• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produk minuman mengandung susu kemasan kantong yang diproduksi oleh PT DDI, memiliki dua varian rasa yaitu strawberry dan cokelat. Namun produk yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah produk dengan varian rasa cokelat. Produk dapat dikategorikan sebagai minuman mengandung susu apabila kadar lemak susu tidak kurang dari 0.3 %. Sedangkan pada produk susu, kadar lemak susu yang harus terkandung pada produk ialah sebesar 3% (BPOM 2006). Hal ini menandakan bahwa komposisi air yang terdapat pada produk minuman mengandung susu lebih banyak, dengan perkiraan penambahan susu sebesar 10% dibandingkan produk susu. Produk minuman mengandung susu yang diproduksi oleh PT DDI diolah melalui teknologi UHT dan dikemas dalam kemasan kantong berukuran 70 ml. Selama perkembangannya produk ini telah mengalami beberapa perubahan terkait inovasi dalam hal proses, kemasan, dan formula.

Inovasi proses yang dimaksud dalam pembahasan ini berkaitan dengan perubahan suhu proses UHT. Perubahan dilakukan terkait kenaikan atau penurunan suhu proses UHT A, UHT B dan UHT C. Suhu UHT B lebih tinggi daripada suhu UHT A, namun lebih rendah daripada suhu UHT C. Perubahan kemasan dilakukan dengan mengubah kemasan EVOH 88 menjadi VMPET 12. Perbedaan kemasan tersebut terletak pada lapisan material penyusun kemasan, dan sifat penghalang terhadap oksigen, uap air dan cahaya. Perubahan formula dilakukan dengan mengubah formula FM menjadi SB. Perbedaan dari kedua jenis formula tersebut terletak pada jumlah penggunaan gula, dimana kandungan gula pada formula SB lebih sedikit daripada FM. Pengurangan jumlah gula pada formula SB bertujuan agar konsumen anak-anak terbiasa mengkonsumsi produk rendah gula sejak dini. Hal ini berkaitan dengan isu kesehatan yaitu penyakit diabetes. Berdasarkan WHO (2014), diabetes merupakan penyakit dengan jumlah penderita diseluruh dunia mencapai 347 juta jiwa. WHO (2014) melanjutkan bahwa diabetes tidak hanya dapat menyerang orang tua tapi juga anak-anak. Selain itu, kematian akibat diabetes diprediksi akan meningkat lebih dari 50% pada 10 tahun mendatang. Namun resiko penyebaran penyakit diabetes khususnya diabetes tipe 2, dapat dicegah dengan diet sehat dan diet rendah gula, melakukan pola hidup yang sehat serta olahraga.

Pengolahan data

Pengolahan data analisis parameter kritis pH dan sensori dalam pendugaan umur simpan tahun 2011–2013 dilakukan dengan mengelompokkannya berdasarkan jenis formula, proses, dan kemasan. Pemilihan pH sebagai parameter kritis dilakukan berdasarkan penelitian Balyak (2013). Ardika (2013), menambahkan bahwa karakteristik pH untuk produk susu yang diproduksi oleh PT DDI lebih mudah mengalami perubahan selama penyimpanan. Hal tersebut terjadi pada profil produk FM maupun SB. Tabel 4 dan Tabel 5 adalah salah satu contoh hasil pengolahan data pH profil produk FM yang disimpan suhu normal (30oC) dan suhu akselerasi (35oC, 40oC, 45oC). Data penurunan pH untuk profil produk SB dapat dilihat pada Lampiran 3.

Berdasarkan kedua tabel tersebut dapat terlihat bahwa produk yang disimpan pada suhu normal membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengalami penurunan nilai pH, sedangkan untuk produk yang disimpan pada suhu lebih tinggi penurunan pH terjadi lebh cepat. Hal tersebut menunjukan bahwa suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu produk, dimana suhu dapat mempercepat reaksi kimia dalam produk pangan. Kumpulan data pH tersebut selanjutnya digunakan untuk analisis menggunkan software JMP. Hasil yang didapat dari pengolahan JMP terdiri atas model exponensial 2P, exponensial 3P, dan model linier.

Tabel 4 Rata-rata data pH formula FM penyimpanan normal pada suhu 30oC

Formula Proses Temp (oC) Waktu

(minggu) pH FM UHT B 30 0 6.82 FM UHT B 30 4 6.79 FM UHT B 30 8 6.70 FM UHT B 30 12 6.63 FM UHT B 30 16 6.60 FM UHT B 30 20 6.57 FM UHT B 30 24 6.56

Tabel 5 Rata-rata data pH formula FM penyimpanan normal pada suhu 35oC, 40 oC, dan 45 oC

Formula Proses Temp(oC) Waktu

(minggu) pH FM UHT B 35 0 6.82 FM UHT B 35 1 6.74 FM UHT B 35 2 6.67 FM UHT B 35 3 6.65 FM UHT B 35 4 6.65 FM UHT B 35 5 6.61 FM UHT B 35 6 6.59 FM UHT B 40 0 6.82 FM UHT B 40 1 6.70 FM UHT B 40 2 6.64 FM UHT B 40 3 6.61 FM UHT B 40 4 6.60 FM UHT B 40 5 6.56 FM UHT B 40 6 6.53 FM UHT B 45 0 6.82 FM UHT B 45 1 6.67 FM UHT B 45 2 6.60 FM UHT B 45 3 6.58 FM UHT B 45 4 6.55 FM UHT B 45 5 6.51 FM UHT B 45 6 6.48

Data yang dihasilkan dari pengolahan JMP untuk setiap model terdiri dari dua bagian, yaitu data yang digunakan sebagai penentu kesesuaian model dan data persamaan model (Gambar 3). Data-data tersebut selanjutnya dikelompokan menjadi kesatuan data untuk setiap model (Tabel 6). Persamaan model exponensial 2P merupakan jenis model Orde 1, maka nilai a setara dengan nilai nilai Qo, dan b setara dengan k (laju penurunan mutu). Tanda negatif pada nilai b atau k menunjukan adanya penurunan pada grafik persamaan model.

Selanjutnya, analisis Arrhenius dilakukkan dengan memplotkan dengan masing-masing suhu (1/T) dengan nilai ln k (Gambar 4). Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0.9993. Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara suhu dan pH (ln k) sangat tinggi. Hasil analisis regresi linier dari plot 1/T dan ln k pada penurunan pH tersebut menghasilkan persamaan = − + . Persamaan tersebut dalam

Gambar 4 Analisis Arrhenius pada model exponensial 2P profil produk FM UHT B EVOH 88

Tabel 6 Hasil pengelompokan model exponensial 2P pada FM UHT B EVOH 88

Temperature (C) 1/T (K¹) Exponential 2P a

(Qo) b (k) ln k SSE AICc BIC

R-Square 30 0.0033 6.812 -0.0018 -6.326 0.175 -371.975 -364.220 0.848 35 0.0032 6.786 -0.0054 -5.214 0.138 -363.801 -356.268 0.788 40 0.0032 6.770 -0.0067 -5.007 0.220 -347.582 -339.827 0.790 45 0.0031 6.749 -0.0080 -4.824 0.312 -310.777 -303.022 0.792

Gambar 3 Contoh hasil pengolahan data pH pada FM UHT B EVOH 88 model exponensial 2P suhu 30 oC dengan program JMP.

analisis model selanjutnya digunakan untuk mengetahui nilai laju penurunan mutu Arrhenius (k Arr) yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 8 menunjukan hasil persentase eror (E%) pada model 2P jenis FM UHT B EVOH, yaitu sebesar 0.031%. Persentase eror merupakan salah satu parameter pemilihan model, yang digunakan untuk melihat sejauh mana perbedaan antara Qt dengan Q Arr pada suhu penyimpanan normal 30 oC. Makin kecil E%, maka perbedaan antara Qt dengan Q Arr semakin kecil. Nilai mutu (Qt) pada diperoleh dengan mensubstitusi persamaan model dengan waktu penyimpanan (0 – 24 minggu). Sedangkan nilai Q Arr didapat dari persamaan JMP dengan nilai k yang telah diubah menjadi nilai k Arr hasil analisis Arrhenius.

Tabel 8 Persentase error (E %) pada model 2P jenis FM UHT B EVOH 88

T (0C) Type Minggu 2P E% 2P Qt Qt Arr Qt vs Qt Arr 30 FM UHT B EVOH 88 0 6.8122 6.8122 0.000 1 6.8000 6.7820 0.003 2 6.7879 6.7519 0.005 3 6.7757 6.7220 0.008 4 6.7636 6.6921 0.011 5 6.7515 6.6625 0.013 6 6.7395 6.6329 0.016 7 6.7274 6.6035 0.018 8 6.7154 6.5742 0.021 9 6.7034 6.5450 0.024 10 6.6914 6.5160 0.026 11 6.6795 6.4871 0.029 12 6.6675 6.4583 0.031 13 6.6556 6.4297 0.034 14 6.6437 6.4012 0.037 15 6.6318 6.3728 0.039 16 6.6200 6.3445 0.042 17 6.6081 6.3164 0.044 18 6.5963 6.2884 0.047 19 6.5845 6.2605 0.049 20 6.5728 6.2327 0.052 21 6.5610 6.2051 0.054 22 6.5493 6.1775 0.057 23 6.5376 6.1501 0.059 24 6.5259 6.1229 0.062 Sum 0.780 E% 0.031

Tabel 7 Data k Arrhenius

Temperature (C) Temperature (K) ln k k Arr

30 303 -5.4159 0.0044 35 308 -5.2113 0.0055 40 313 -5.0132 0.0066 45 318 -4.8214 0.0081

Tabel 9 menunjukan nilai SSE Arr yang didapatkan dari perbandingan antara nilai Q Arr dengan dengan rata-rata nilai mutu data aktual ( ̅̅̅̅). Berdasarkan Tabel 9 tersebut, didapatkan hasil SSE Arr sebesar 0.4237. Nilai SSE yang semakin kecil menunjukan perbedaan yang semakin kecil antara nilai mutu model (Q) dengan data aktual. Keseluruhan proses ini dilakukan pada model exponensial 3P dan Linier dari parameter pH, serta pada setiap atribut untuk parameter sensori.

Penentuan Model exponensial 2P, 3P atau Linier

a. Seleksi model pH

Penentuan model pendugaan umur simpan tahap pertama dilakukan dengan memilih nilai AIC, BIC, SSE-JMP, SSE-Arr, dan E% terkecil, serta memilih nilai R2 yang paling mendekati 1. Gambar 5 menunjukan perbedaan persentasi nilai parameter AIC, BIC, SSE JMP, SSE Arrhenius, E%, dan R2 antara model exponensial 2P dengan 3P berdasarkan data pH. Hasil tersebut menunjukan bahwa model exponensial 3P unggul pada parameter E% (62.50%), AIC (58.97%), BIC (79.49%), SSE-JMP (100%), dan SSE-Arr (57.14%). Sedangkan model 2P unggul secara mutlak pada parameter R2. Parameter R2 dianggap sebagai parameter penentu karena menandakan adanya korelasi antara pendugaan umur simpan dengan nilai mutu. Tingginya nilai R2 pada model exponensial 2P menandakan bahwa model tersebut memiliki tingkat korelasi yang lebih baik dibandingkan model exponensial 3P.

Tabel 9 Hasil Sum of Square Error (SSE) model 2P parameter pH profil produk FM UHT B EVOH 88

Exponensial 2P

Minggu Atribute average (̅̅̅̅̅�� ) Qt Arr SE

0 6.82 6.81 0.0001 4 6.79 6.69 0.0086 8 6.70 6.57 0.0168 12 6.63 6.46 0.0306 16 6.60 6.34 0.0666 20 6.57 6.23 0.1104 24 6.56 6.12 0.1905 SSE 0.4237

Pendugaan umur simpan metode ASLT model Arrhenius digunakan dengan tujuan mempercepat kerusakan produk yang dipicu oleh tingginya suhu penyimpanan. Berdasarkan hal tersebut, maka nilai k (laju penurunan mutu) akan meningkat penurunannya seiring dengan peningkatan suhu (Kusnandar 2010). Hal tersebut dijadikan salah satu dasar untuk pemilihan model. Gambar 6 menunjukan hubungan antara nilai k dengan suhu pada proses UHT yang berbeda.

Gambar 6 Hubungan antara nilai laju penurunan mutu (k) dengan suhu (T) faktor proses

Gambar 7 Perbandingan antara grafik model JMP, model Arrhenius dan grafik data aktual model exponensial 2P dan 3P di suhu 30oC profil SB UHT B VMPET 12

Tanda negatif pada nilai k menunjukan slope yang menurun pada grafik persamaan model JMP. Gambar 6 memperlihatkan perubahan nilai k yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya suhu (dengan mengabaikan tanda negatif) pada model exponensial 2P. Hal tersebut terjadi pada profil UHT B maupun UHT C. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh model exponensial 3P. Nilai k mengalami penurunan ketika suhu penyimpanan meningkat pada profil UHT C, dan cenderung tidak mengalami perubahan nilai k pada profil UHT B. Berdasarkan hal tersebut, maka pada tahap analisis ini model 3P dianggap kurang sesuai untuk memprediksi umur simpan parameter pH.

Proses pemilihan model tahap ketiga dilakukan dengan membandingkan trend grafik model pendugaan umur simpan dengan grafik data aktual. Pada Gambar 7 terlihat bahwa trend grafik yang dihasilkan oleh model exponensial 2P persamaan JMP maupun Arrhenius lebih mendekati trend grafik data aktual. Sedangkan pada model exponensial 3P, grafik model Arrhenius memperlihatkan trend yang sangat berbeda dengan trend data aktual. Berdasarkan ketiga analisis diatas, maka model terpilih untuk parameter pH adalah model exponensial 2P.

b. Seleksi model Sensori

Gambar 8 merupakan hasil analisis pemilihan model tahap pertama yang menunjukan persentase data pada masing-masing model Linier, exponensial 2P dan 3P dengan nilai AIC, BIC, SSE-JMP, SSE-Arr, E% terkecil dan persentase data dengan nilai R2 yang paling mendekati 1. Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat bahwa model linier memiliki parameter AIC dan BIC yang lebih unggul, dengan jumlah persentase data dengan nilai AIC terkecil sebesar 51.37% dan 52.89% pada parameter BIC.

Model exponensial 2P memiliki jumlah persentase E% terkecil yang paling dominan dibandingkan model lainnya (64.28%). Selain itu, persentase terbesar untuk parameter SSE-Arr juga ditunjukan pada model exponensial 2P yaitu sebesar 64.28%. Jumlah data terkecil parameter SSE-JMP yang paling dominan diperlihatkan oleh model 3P dengan jumlah persentase data sebesar 80.95%. Nilai persentase R2 terbesar diperlihatkan oleh model exponensial 3P sebesar 52.73%, yang disusul oleh model linier (6.06%) dan model exponensial 2P (4.85%). Berdasarkan hasil tersebut, belum dapat diambil keputusan karena model

exponensial 2P, 3P dan model linier sama-sama unggul dalam penyeleksian tahap pertama.

Analisis tahap kedua mengambil contoh profil FM, faktor proses pada atribut intensitas flavor (Gambar 9). Grafik model exponensial 2P dan linier memperlihatkan hasil laju penurunan mutu (k) yang semakin meningkat seiring bertambah tingginya suhu penyimpanan. Namun pada grafik model exponensial 3P, nilai k tidak terus meningkat ketika suhu penyimpanan semakin tinggi dan cenderung memiliki trend grafik yang berfluktuasi. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip Arrhenius dimana suhu sangat berperan dalam pendugaan umur simpan, oleh karena itu model 3P dianggap kurang sesuai untuk memprediksi umur simpan pada parameter sensori.

Gambar 9 Hubungan antara nilai laju penurunan mutu (k) dengan suhu (T) profil FM atribut intensitas flavor

Tahap ketiga, yaitu perbandingan trend grafik model exponensial 2P, 3P dan linier dengan grafik data aktual yang dapat dilihat pada Gambar 10. Grafik model JMP dan Arrhenius pada model exponensial 3P menunjukan hasil trend yang kurang sesuai dengan grafik data aktual. Trend grafik model JMP dan Arr pada model exponensial 2P dan linier menunjukan kesesuaian yang lebih baik dengan model data aktual. Model linier memiliki persentase nilai R2 yang lebih besar daripada model exponensial 2P. Berdasarkan hasil tersebut, jenis model yang digunakan untuk model pendugaan umur simpan parameter sensori adalah model linier. Keseluruhan analisis ini dilakukan untuk setiap atribut dalam parameter sensori.

Gambar 10 Perbandingan antara grafik model JMP, model Arr dan grafik data aktual model exponensial 2P, 3P dan linier profil FM UHT B EVOH 88 atribut intensitas flavor

Pengaruh faktor kritis pH dan sensori dalam penentuan umur simpan

Parameter pH

Nilai pH merupakan besaran yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat. Suatu zat dinyatakan bersifat netral atau normal jika memiliki nilai pH berkisar 7. Nilai pH dibawah 7 menunjukan sifat asam, jika nilai pH diatas 7 maka suatu zat tersebut bersifat basa. Susu normal yang berasal dari sapi sehat memiliki nilai pH yang cenderung netral yang berkisar antara 6.60 – 6.70 (Tamime 2009). Pada PT DDI, batas kritis penurunan pH untuk produk minuman mengandung susu kemasan kantong adalah 6.50. Apabila pH produk lebih rendah dari 6.50 maka mutu produk sudah tidak dapat diterima atau tidak layak untuk dikonsumsi.

Faktor yang berpengaruh terhadap parameter pH didapatkan dengan analisis uji SPSS. Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa kemasan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan pH produk. Hal ini menunjukan bahwa produk yang dikemas dengan jenis kemasan yang berbeda menghasilkan nilai pH yang berbeda nyata pada taraf signifikasi 5%. Pada dasarnya kemasan berfungsi sebagai pelindung produk dari bahaya cemaran lingkungan, bahaya mekanik, fisik dan kimia seperti cahaya dan oksigen (Robertson 2009). Selain itu menurut Eskin dan Robinson (2001), kemasan juga berperan dalam menjaga kualitas, serta menjadi bagian dalam proses pengawetan produk. Salah satu jenis kemasan yang digunakan untuk mengemas produk minuman mengandung susu UHT yang diproduksi oleh PT DDI adalah kemasan kantong fleksibel. Sejak mulai diproduksi, faktor kemasan telah mengalami perubahan sebanyak dua kali (Tabel 11).

Tabel 11 Perbedaan spesifikasi kemasan fleksibel

Kemasan Lapisan OTR

(cc m-2 hari-1 atm-1) Ketebalan

EVOH PET/INK/ADH/EVOH <5 103µm VMPET PET/INK/ADH/VMPET/ADH/LLDPE <1.5 91µm

Perubahan yang paling utama terjadi pada jenis material penyusun kemasan. Material penyusun kemasan pada awal perkembangan produk memiliki komposisi PET/INK/ADH/EVOH, sedangkan setelah dilakukan inovasi material penyusun kemasan berubah menjadi PET/INK/ADH/VMPET/ADH/LLDPE. Urutan lapisan komponen kemasan fleksibel dari sisi luar hingga ke sisi dalam berdasarkan Sampurno (2006) adalah lapisan material cetak (PET), material penghalang (barrier) yaitu VMPET, material heat seal (LLDPE) dan material untuk melekatkan antar lapisan (ADH). Perlu diperhatikan juga bahwa beberapa material bisa berfungsi sekaligus sebagai penghalang dan heat seal (EVOH). Perbedaan lain yang terdapat antara kemasan EVOH dengan VMPET terletak

Tabel 10 Faktor yang berpengaruh pada parameter pH

Parameter Faktor yang berpengaruh

pada spesifikasi ketebalan kemasan dan nilai OTR. Kemasan EVOH memiliki lapisan yang lebih tebal dibandingkan lapisan VMPET (103µm > 91µm).

Nilai OTR dari kemasan VMPET (<1.5 cc m-2 hari-1 atm-1) lebih kecil dibandingkan OTR kemasan EVOH (<5 cc m-2 hari-1 atm-1). Nilai tersebut didapat dari kondisi standar pengujian pada suhu 23oC, dan RH 0%. Selain itu, dari segi WVTR dan lapisan penghalang cahaya kemasan VMPET memiliki kemampuan penghalang yang lebih baik dari pada EVOH. Menurut Sampurno (2006), OTR (oxygen transmission rate) adalah kecepatan gas oksigen menembus melalui film pada kondisi suhu dan kelembaban relatif, sedangkan WVTR (water vapor transmission rate) adalah laju transmisi uap air kedalam lapisan kemasan.

Penurunan pH selama penyimpanan dapat disebabkan karena terjadinya reaksi kimia seperti oksidasi lemak. Terjadinya reaksi oksidasi lemak dapat dipicu oleh keberadaan oksigen, enzim peroksidase, radiasi (cahaya) dan ion metal polivalen, selain itu tingginya suhu penyimpanan dapat menginisiasi reaksi autooksidasi (Kusnandar 2010). Reaksi oksidasi lemak merupakan salah satu reaksi yang menyebabkan kerusakan lemak, terutama lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Menurut Kusnandar (2010), hasil dari reaksi oksidasi lemak adalah senyawa hidroperoksida, yang jika terdegradasi akan membentuk senyawa volatil seperti aldehida. Hart et al. (2003), menambahkan bahwa komponen aldehida sangat mudah teroksidasi menghasilkan asam karboksilat. Senyawa asam tersebutlah yang menyebabkan pH produk turun.

Penurunan nilai pH selama penyimpanan juga dapat disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi asam lemak bebas, asam laktat dan asam organik lainnya yang dihasilkan dari degradasi komponen susu terutama lemak dan laktosa (Rehman dan Salariya 2005). Reaksi lipolisis atau hidrolisis lemak, serta penyimpanan produk susu pada suhu tinggi menjadi salah satu penyebab penurunan pH (Tamime 2009). Reaksi lipolisis adalah reaksi hidrolisis ester yang melepaskan asam lemak bebas dari gliserin dalam struktur lemak. Asam lemak bebas tersebut bersifat asam dan dapat menurunkan pH produk selama umur simpan. Aktifitas enzim lipase dan pemanasan menjadi pemicu terjadinya reaksi tersebut.

Laktosa tergolong sebagai gula pereduksi serta merupakan disakarida yang disusun oleh D-glukosa dan D-galaktosa (Kusnandar 2010). Menurut Berg (1993) pemanasan pada suhu tinggi dapat menyebabkan degradasi laktosa dan menghasilkan asam organik yang dapat menurunkan pH produk, serta menyebabkan terjadinya isomerisasi laktosa menjadi laktulosa. Laktulosa merupakan disakarida dari galaktosa dan fruktosa. Degradasi laktulosa akan

Tabel 12 Model pendugaan umur simpan parameter pH

Kemasan Profil Produk T (0C) Model ko

Ea

(kal mol-1) E%

EVOH 88

FM UHT A EVOH 88 30 Qt=6.776209*exp

(-0.001219*t) - - - FM UHT B EVOH 88 30 Qt=6.8122002*exp

(-0.001789*t) 1324.366 7584.878 3.12 FM UHT C EVOH 88 30 Qt=6.7837753*exp

(-0.004176*t) - - -

VMPET 12

FM UHT A VMPET 12 30 Qt=6.813747*exp

(-0.00112*t) - - - SB UHT B VMPET12 30 Qt=6.8284888*exp

menghasilkan galaktosa, asam format, serta senyawa lain dengan jumlah atom karbon lima (C5). Menurut Van Boekel (1998), asam format yang dihasilkan berjumlah cukup banyak dan bertanggungjawab terhadap penurunan pH pada produk susu yang dipanaskan. Selain itu, penurunun nilai pH dapat disebabkan juga oleh terdegradasinya komponen-komponen produk, seperti denaturasi protein akibat panas sehingga protein melepaskan atom hidrogen yang akan berpengaruh pada keseimbangan ion (Ardika 2014).

Tabel 12 menunjukan model pendugaan umur simpan untuk parameter pH. Berdasarkan tebel tersebut nilai ko, Ea, dan E% pada model FM UHT A Kemasan EVOH 88, FM UHT C Kemasan EVOH 88, dan FM UHT A Kemasan VMPET 12 tidak dapat ditampilkan akibat data yang kurang lengkap, sehingga tidak dapat diolah kedalam persamaan Arrhenius. Nilai Ea dan E% pada produk FM UHT B EVOH 88 adalah 7584.878 kal mol-1 dan 3.12 %. Sedangkan produk SB UHT B VMPET12 nilai Ea sebesar 5673.329 kal mol-1, dengan persentase error sebesar 0.34 %. Berdasarkan Kusnandar (2010), energi aktivasi (Ea) adalah energi minimal yang harus dicapai agar terjadi suatu reaksi kimia. Hal ini menandakan bahwa semakin kecil nilai Ea semakin mudah reaksi kimia komponen pangan terjadi, sehingga kerusakan pun terjadi lebih cepat. Menurut Robertson (2009), faktor kemasan memiliki efek yang signifikan pada beberapa faktor ektrinsik seperti suhu, RH, cahaya, dan gas sehingga dapat berkontribusi terhadap terjadinya reaksi kerusakan pada produk. Reaksi kimia yang kemungkinan terjadi akibat perubahan kemasan adalah reaksi oksidasi lemak.

Nilai Ea terendah ditunjukan pada produk berkemasan VMPET 12. Berdasarkan hal tersebut, produk yang dikemas dengan kemasan VMPET lebih mudah mengalami kerusakan. Namun hal ini kurang sesuai dengan spesifikasi kemasan VMPET yang memiliki nilai OTR, dan WVTR yang lebih rendah serta memiliki nilai penghalang cahaya yang lebih baik dibandingkan kemasan EVOH. Menurut Robertson (2009), kemasan yang memiliki nilai OTR dan WVTR yang rendah serta memiliki penghalang cahaya yang baik dapat memperlambat laju kerusakan produk. Dalam hal ini, maka faktor yang kemungkinan mempengaruhi tingginya kecepatan reaksi kimia pada kemasan VMPET adalah sifat lapisan VMPET yang kurang lentur dibandingkan kemasan EVOH. Hal tersebut sesuai dengan Labthink (2013) yang telah mengukur flex durability dari kemasan fleksibel VMPET, EVOH dan PET.

Flex Durability atau daya tahan kelenturan mengacu pada kapasitas kerusakan bentuk material kemasan yang diuji dibawah tekanan untuk melihat pertahanan stabilitas material, pada umumnya proses ini mempengaruhi sifat fisik bahan seperti sifat penghalang dari kemasan (Labthink 2013). Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa kemasan VMPET memiliki flex durability yang paling buruk dan menyebabkan nilai WVTR meningkat hingga sepuluh kali lipat, sedangkan hasil flex durability EVOH adalah paling bagus dan nilai WVTR cenderung konstant selama proses uji berlangsung. Ketika sifat penghalang suatu kemasan menurun lebih cepat akibat rendahnya flex durability, maka hal ini akan berakibat pada kerusakan produk yang juga terjadi lebih cepat. Selain itu pada kemasan VMPET yang kurang fleksibel, pengepakan produk kedalam dus yang dilakukan secara manual dapat menyebabkan adanya lipatan atau goresan akibat ujung-ujung produk yang runcing. Hal tersebut dapat membentuk lubang-lubang kecil pada kemasan yang dapat dilalui oleh gas-gas sperti oksigen, uap air atau cahaya sehingga mempengaruhi terjadinya percepatan kerusakan produk.

Parameter Sensori

Mutu produk pangan akan selalu menurun selama proses penyimpanan, tak terkecuali untuk produk yang diawetkan dan produk beku. Perubahan mutu selama penyimpanan dapat mengubah karakteristik tekstur produk, flavor, warna, penampakan produk, nilai gizi serta keamananan produk. Berdasarkan hal tersebut, parameter sensori menjadi salah satu parameter penting dalam pendugaan umur simpan. Faktor yang berpengaruh terkait pendugaan umur simpan parameter sensori dapat dilihat pada Tabel 13.

Hasil dari analisis tersebut menunjukan bahwa faktor yang berpengaruh pada atribut sensori kualitas keseluruhan, intensitas keseluruhan, kemanisan, rasa susu, intensitas flavor adalah faktor proses (p<0.05). Pada produk ini, unit proses berkaitan dengan proses pemanasan (UHT) dimana suhu proses UHT A < UHT B < UHT C. Suhu merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi penurunan mutu produk (Robertson 2009). Semakin tinggi suhu proses yang digunakan, semakin tinggi pula laju reaksi kimia yang dapat menyebabkan perubahan mutu pada produk. Menurut Rerkrai (1986), ketika susu diproses melalui pemanasan seperti proses UHT, terjadinya reaksi kimia dan biokimia tidak dapat dihindari. Reaksi tersebut meliputi reaksi Mailard, lipolisis, oksidasi dan denaturasi protein. Hasil dari reaksi tersebut dapat menyebabkan perubahan karakteristik sensori produk meliputi warna, rasa, aroma, dan tekstur pada produk.

Model untuk parameter sensori berdasarkan masing-masing atribut uji sensori disajikan pada Tabel 14 – Tabel 18. Berdasarkan tabel-tabel tersebut,

Dokumen terkait