• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Dasar

Sekolah dasar yang dijadikan contoh dalam penelitian kali ini merupakan sekolah dasar yang berakreditasi baik dan unggulan di Kota Bogor. Sekolah Dasar Negeri Pengadilan 05 berlokasi di jalan Pengadilan nomor 10, Sekolah Dasar Negeri Pajajaran 01 berlokasi di jalan Raya Pajajaran nomor 26, dan Sekolah Dasar Negeri Batutulis 02 berlokasi di jalan Batutulis nomor 137 kota Bogor. Kegiatan belajar mengajar untuk kelas 6 berlangsung pada hari Senin hingga Jumat berkisar antara 4 hingga 6 jam dimulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Selain kegiatan belajar mengajar ketiga sekolah juga menyediakan kegiatan ekstrakurikuler guna mewadahi dan mengembangkan bakat, kreatifitas dan minat contoh.

9 Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Zat gizi

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat diketahui dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi seseorang dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Kedua informasi ini sangat penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi

oleh seseorang (Kusharto dan Sa’adiyah 2012). Data konsumsi pangan dalam penelitian kali digolongkan menjadi dua yaitu makanan pokok dan jajanan yang biasa dikonsumsi contoh didasarkan oleh data 2x24 jam food recall dan Food Frequency Questionnaire. Berikut Tabel 3 menjelaskan daftar bahan makanan yang paling sering dikonsumsi oleh contoh yang dijadikan contoh penelitian.

Tabel 3 Sebaran makanan yang sering dikonsumsi contoh Kelompok

Pangan Jenis Pangan g/hari Frekuensi/minggu

Densitas energi Sumber energi Nasi 131.3 17 1,46 Mie 40.8 4 3,7 Protein hewani Telur Ayam 27.8 5 1,73 Ayam 23.2 4 1,88 Lain lain Goreng-gorengan 66.8 10 3,4 Teh Gelas 127 5 5,33 Biskuit 55.7 5 4,6 Coklat 43 2 2,4

Pangan sumber energi yang sering dikonsumsi contoh adalah nasi dan mie. Masing masing jenis makanan tersebut memiliki nilai densitas energi yaitu sebesar 1,46 dan 3,70. Mie memiliki rasa yang gurih dan mengenyangkan, hal inilah yang menjadi alasan contoh cukup sering mengkonsumsi mie. Biasanya contoh mengkonsumsi mie bersama nasi dan telur tanpa sayur atau mie dengan nasi tanpa telur dan sayur. Konsumsi cara yang demikian kurang tepat, karena mie instan belum dapat dianggap makanan lengkap (wholesome food) dan belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Mie yang terbuat dari tepung terigu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi sedikit protein, vitamin dan mineral. Mie instan dapat memenuhi kebutuhan gizi hanya jika ada penambahan sayuran dan sumber protein. Jenis sayuran yang dapat ditambahkan adalah wortel, sawi, tomat, kol atau tauge. Sumber proteinnya dapat berupa telur daging, ikan, tempe atau tahu (Ratnasari 2012).

Protein hewani yang dominan dikonsumsi oleh contoh adalah telur dan ayam dengan nilai densitas energi sebesar 1,73 dan 1,88. Rata rata konsumsi telur yang dikonsumsi oleh contoh sebesar 27.8 g/hari. Nilai ini mendekati nilai standar yang ditetapkan oleh Kementrian Pertanian (2012) yaitu sebesar 28.8 g/kap/hari. Konsumsi ini perlu dijaga agar stabil dan mencapai nilai capaian untuk tahun

10

2015 berdasarkan Roadmap Diversifikasi Pangan 2010-2015 yaitu sebesar 32.5 g/kap/hari.

Untuk kelompok pangan lain lain sebagian besar contoh dalam penelitian kali ini mengkonsumsi jajanan sebagai selingan dan berkontribusi terhadap konsumsi sehari hari contoh. Jajanan yang sering dikonsumsi contoh adalah goreng- gorengan, teh gelas, biskuit dan coklat. Jenis gorengan yang biasa dikonsumsi contoh adalah bakwan dengan nilai densitas energi yang cukup tinggi diantara jenis gorengan lainnya yaitu sebesar 3,40. Untuk minuman kemasan contoh lebih sering mengkonsumsi teh gelas dengan rata rata nilai densitas energi sebesar 5,33. Jenis biskuit yang biasa dikonsumsi contoh sebagai jajanan memiliki nilai densitas energi sebesar 4,60.

Gizi yang tidak seimbang dan derajat kesehatan yang rendah dapat menghambat pertumbuhan otak sehingga dapat menurunkan kemampuan otak dalam mengolah informasi yang didapat. Keadaan gizi yang baik didukung oleh kebiasaan makan yang baik yaitu salah satunya dengan tidak melewatkan sarapan. Cueto & Chinen (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sarapan, peningkatan diet, dan peningkatan performance cognitive. Berikut Tabel 4 yang menggambarkan sebaran kebiasaan sarapan contoh .

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan kategori kebiasaan sarapan Kebiasaan

Sarapan

Jenis Kelamin

Total Laki laki Perempuan

n % n % N %

Tidak Selalu 14 12,61 13 11,71 27 24,32

Selalu 25 22,52 59 53,15 84 75,68

Total 39 35,14 72 64,86 111 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (75,68%) melakukan sarapan dan hanya sedikit contoh (24,32%) yang tidak selalu sarapan. Sarapan pagi diantaranya memiliki manfaat jika dilakukan setiap hari diantaranya adalah sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Dengan kadar gula darah yang terjamin normal, maka semangat dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktifitas (Kral 2011). Menu sarapan sebaiknya mengandung sumber karbohidrat, protein, tinggi serat, dan rendah lemak (Latifah 2010). Sedangkan jenis sarapan yang biasa dikonsumsi oleh contoh yaitu nasi goreng, roti, telur, mie goreng dan bubur ayam.

Jenis bahan pangan dari makanan yang dicerna dalam tubuh juga mempengaruhi kadar glukosa darah seseorang. Kadar glukosa dalam darah ini lah yang akan mempengaruhi efisiensi aktivitas fisik maupun mental karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sumber energi untuk beraktifitas. Menurut Williams (1995), makanan yang mengandung karbohidrat tinggi seperti nasi akan meningkatkan secara cepat kadar glukosa darah namun pada umumnya hanya berlangsung dalam satu jam. Sehingga sarapan yang baik seharusnya mengandung karbohidrat namun jenis nya adalah karbohidrat kompleks seperti roti dan serealia yang juga mengandung tinggi serat dan rendah lemak. Karena akan merangsang glukosa dan mikro nutrient dalam otak untuk menghasilkan energi. Sehingga dapat memacu otak agar dapat memusatkan pikiran untuk belajar

11 dan memudahkan penyerapan pelajaran dan daya ingat nya menjadi lebih baik dan konsisten.

Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antar konsumsi zat gizi aktual dengan kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai dengan angka kecukupan gizi sehingga diperoleh rasio antara konsumsi dengan kecukupan yang dinyatakan dalam persen. Angka kecukupan gizi (AKG) adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus dipenuhi dari makanan untuk mencukupi hampir semua orang sehat. Hardinsyah dan Tambunan (2004) mengartikan Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Selanjutnya Angka Kecukupan Protein (AKP) dapat diartikan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein yang hilang ditambah sejumlah tertentu, agar mencapai hampir semua populasi sehat (97.5%) di suatu kelompok umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh tertentu pada tingkat aktivitas sedang. Sebaran tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat contoh yang dijadikan dalam penelitian kali ini dijelaskan pada Gambar 2 dibawah ini.

Gambar 2 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat

Rata rata konsumsi energi contoh berjenis kelamin laki laki pada penelitian kali ini sebesar 2034 kkal sedangkan perempuan 2088 kkal. Angka ini sudah mendekati dengan angka kecukupan yang dianjurkan yaitu 2100 kkal untuk laki laki dan 2000 kkal untuk perempuan. Kecukupan energi pada sebagian besar contoh berada dalam keadaan normal, laki laki (10,81%) dalam kisaran normal begitu pula dengan perempuan (18,02%). Untuk protein, rata rata contoh berjenis kelamin laki laki mengkonsumsi protein lebih sedikit dibanding perempuan yaitu 49,85 g sedangkan perempuan sebesar 57,28 g. Namun secara keseluruhan baik contoh yang berjenis kelamin laki laki (16,22%) dan perempuan (18,02%) berada

0 20 40 60 80 100 lak i la k i p er em p u an lak i la k i p er em p u an lak i la k i p er em p u an lak i la k i p er em p u an

energi protein Lemak karbohidrat 10,81 18,02 16,22 18,02 15,32 24,32 13,51 36,94 Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal

12

dalam kisaran normal. Berbeda dengan energi dan protein, kecukupan lemak sebagian besar contoh melebihi diatas angka kebutuhan. Rata rata contoh berjenis kelamin laki laki mengkonsumsi lemak sebesar 58,14 g sedangkan contoh berjenis kelamin perempuan rata rata mengkonsumsi lemak sebanyak 68,38 g. Contoh berjenis kelamin laki laki (15,32%) dan perempuan (24,32%) melebihi diatas angka kebutuhan. Begitu pula dengan tingkat kecukupan karbohidrat contoh berjenis kelamin laki laki (13,51%) dan perempuan (36,94%) memiliki tingkat kecukupan melebihi diatas angka kecukupan yang dianjurkan dengan rata rata konsumsi sebesar 484 g untuk laki laki dan permepuan 614,74 g.

Selain energi, protein, lemak dan karbohidrat vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro yang juga diperlukan oleh tubuh walaupun dalam jumlah yang sedikit. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi 2, yaitu kurang (tingkat kecukupan < 77%) dan cukup (tingkat kecukupan > 77%) (Gibson 2005). Tingkat kecukupan Fe dan Vitamin C terhadap kebutuhan contoh dijelaskan pada Gambar 3 dibawah .

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan Fe dan vitamin C Gambar 3 menunjukkan sebagian besar contoh sudah dalam kategori cukup untuk tingkat kecukupan Fe, baik contoh berjenis kelamin laki laki (22,52%) dan perempuan (34,32%). Dengan rata rata asupan Fe yang diasup contoh yaitu sebesar 12,9 g untuk laki laki dan sebesar 13,8 g untuk perempuan. Hal berbeda untuk tingkat kecukupan vitamin C. Contoh berjenis kelamin laki laki (27,93%) dan perempuan (50,45%) berada dalam kategori kurang. Dengan rata rata konsumsi untuk contoh berjenis kelamin laki laki sebesar 29,86 g dan 37,28 g untuk contoh berjenis kelamin perempuan.

Tingkat kecukupan energi, protein dan zat gizi adalah komponen yang menggambarkan pemenuhan kebutuhan zat gizi secara umum yang diperlukan bagi tubuh. Secara langsung masalah gizi dipengaruhi oleh tidak cukupnya konsumsi energi, protein dan zat gizi lain serta adanya infeksi kesehatan (Nahak & Lewi 2012). Konsumsi energi dan protein yang kurang dalam waktu tertentu akan menyebabkan kurang gizi dan akan menganggu untuk proses pertumbuhan dan perkembangan kesehatan (Pertiwi 2012). Berlaku sebalikya, bila konsumsi energi dan protein sudah mencukup angka kecukupan tentunya akan berdampak baik pula bagi proses pertumbuhan dan perkembangan. Tingkat kecukupan Fe yang baik dan dalam kisaran normal merupakan salah satu upaya menghindarkan siswa dari defisiensi anemia yang sering berujung pada kejadian anemia pada anak usia sekolah dasar. Tingkat kecukupan Fe yang baik juga merupakan salah

0 20 40 60 80 100

Laki laki perempuan Laki laki perempuan

Fe Vitamin C 27,93 50,45 22,52 34,23 7,21 14,41 kurang cukup

13 satu faktor yang mendukung terpenuhinya daya ingat sesaat yang baik bagi siswa skeolah dasar.

Densitas Energi Konsumsi

Perhitungan densitas energi konsumsi diperoleh melalui total energi makanan sehari yang diasup dibagi dengan berat makanan sehari (Avihani 2013). Masing masing makanan mempunyai nilai densitas energi masing masing. Dihitung dengan cara membagi kandungan kalori masing masing makanan dengan berat nya. Untuk nilai densitas energi makanan diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu very low energy density (ED< 0,6 kkal/g), low energy density

(0,6<ED<1,5 kkal/g), medium energy density (1,5<ED<4 kkal/g) dan high energy density (ED>4 kkal/g). Makanan yang tergolong tinggi nilai densitas energinya contohnya adalah cokelat, selai coklat, selai kacang, keripik kentang, mayonaise dll. Sedangkan kelompok makanan yang tergolong rendah nilai densitas energinya adalah kelompok sayur sayuran dan buah buahan(Rolls& Barnett 2000). Meskipun beberapa makanan padat energi sehat, namun ternyata lebih banyak dipilih dan dikonsumsi contoh. Makanan padat energi yang sehat contohnya adalah kacang kacangan , biji bijian, alpukat, telur, kentang dan susu. Makanan padat energi yang tidak sehat disebut makanan padat energi rendah gizi (Energy dense, nutrient-poor foods (EDNP)). EDNP dikategorikan menjadi 5 jenis yaitu

visible fat (margarin, mentega, minyak, krim, saus dressing, gajih, steak,osis dan makanan yang digoreng), sweeteners (gula, sirup, permen, minuman manis), dessert (biskuit, pie, kue, pastry, donat, eskrim, milkshake, puding, kue keju); snack asin( keripik kentang, keripik jagung, tortilla) dan lain lain (kopi, teh, kaldu, saus tomat, saus sambal) (Ashima 2000). Berikut Tabel 5 yang menggambarkan kontribusi terbesar densitas energi makanan terhadap asupan densitas energi konsumsi sehari contoh.

Tabel 5 Rata rata nilai densitas energi makanan dan kontribusinya terhadap densitas energi konsumsi

No Kelompok Pangan Densitas energi makanan

Kontribusi terhadap nilai densitas energi konsumsi

1 Makanan pokok 2,2 11,44 2 Pangan hewani 2,96 15,39 3 Kacang kacangan 2,48 12,90 4 Sayur 0,36 1,87 5 Buah 0,64 3,33 6 Jajanan : Makanan 4,79 24,91 Minuman 5,8 30,16 Total 19,23 100

Makanan dengan densitas energi tinggi sebagian besar berasal dari kelompok minuman jajanan yang dikonsumsi contoh (30,16%) dan sumber pangan hewani (15,39%), sedangkan kelompok sayur (1,87%) dan buah buahan

14

(3,33%) merupakan kelompok jenis pangan yang memiliki nilai densitas energi terkecil (Nuzrina & Wiyono 2010). Dari hasil penelitian kali ini dapat diketahui bahwa dari 57 jenis bahan makanan yang dikonsumsi oleh 11 contoh yang memiliki densitas energi tertinggi adalah jerohan (9.02 kkal/ gram), diikuti dengan minuman bersoda (7,7) dan yang memiliki densitas energi terendah adalah ketimun (0.08 kkal/ gram). Selain itu dapat diketahui juga bahwa bahan makanan dengan densitas energi tinggi. Pangan hewani dan kelompok jajanan yang menyumbang nilai densitas energi konsumsi yang cukup tinggi pada umumnya kelompok makanan tersebut diolah dengan cara digoreng atau deep fried.

Fenomena konsumsi makanan dengan densitas energi tinggi seperti fast food dan minuman bergula telah menjadi kebiasaan dan trend bagi remaja dan anak usia sekolah. Konsumsi makanan dengan densitas energi tinggi secara berlebih secara langsung dapat mempengaruhi peningkatan IMT (Ashima 2008). Berikut Tabel 6 yang menjelaskan sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan densitas energi konsumsi.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan densitas energi konsumsi Jenis

Kelamin

Densitas energi konsumsi

Total Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % N %

Laki Laki 22 19,82 10 9,01 7 6,31 39 35,14 Perempuan 46 41,44 14 12,61 12 10,81 72 64,86 Total 68 61,26 24 21,62 19 17,12 111 100

Sebagian besar contoh (41,44%) berjenis kelamin perempuan mengkonsumsi makanan dengan nilai densitas energi tinggi dibandingkan laki-laki (19,82%). Ditunjukkan dengan rata-rata nilai densitas energi makanan pada perempuan (2,13 kkal/g) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (1,98 kkal/g). Umumnya konsumsi makanan dengan nilai densitas energi tinggi ini berasal jajanan yang diasup oleh contoh. Beberapa makanan ringan atau jajanan yang dikonsumsi oleh contoh terkategorikan jajanan tidak sehat, tinggi kalori, tinggi natrium, dan tinggi lemak. Belum lagi makanan ringan yang mengandung pemanis buatan, pengawet makanan, dan yang belum terdaftar di BPOM.. Tingginya nilai densitas energi makanan pada contoh berjenis kelamin perempuan dikarenakan perempuan lebih banyak mengkonsumsi makanan dengan nilai densitas energi tinggi seperti gorengan, es krim, coklat dan fast food sehingga dapat meningkatkan nilai densitas energi makanan yang diasup. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Dewi 2013) menyebutkan perempuan lebih sering mengkonsumsi fast food sedangkan laki-laki lebih sering mengkonsumsi makanan dengan densitas energi rendah seperti buah dan sayur. Konsumsi lemak secara berlebih menyebabkan peningkatkan nilai densitas energi makanan, sedangkan konsumsi cukup serat dapat menurunkan densitas energi makanan. Hal inilah yang menyebabkan pada perempuan nilai densitas energinya lebih tinggi walaupun asupan energinya lebih rendah dibandingkan laki-laki

Uang saku

Syafitri et al. (2009) menyebutkan bahwa lebih dari separuh siswa mengalokasikan uang saku untuk keperluan membeli makanan jajanan (68,00%).

15 Hanya 8% siswa yang mengalokasikan uang sakunya untuk keperluan transportasi. Sebesar 12 % siswa mengalokasikan uang sakunya untuk menabung.Oleh karena itu, uang saku dianggap berpengaruh terhadap pengalokasian pembelian makanan yang diasup contoh selama di sekolah. Makanan jajanan seringkali lebih banyak mengandung unsur karbohidrat dan hanya sedikit mengandung protein, vitamin atau mineral. Oleh karena itu makanan jajanan tidak dapat menggantikan sarapan pagi atau makan siang. Anak-anak yang banyak mengkonsumsi makanan jajanan perutnya akan merasa kenyang karena padatnya kalori atau tingginya nilai densitas energi makanan yang masuk kedalam tubuh. Sementara gizi seperti protein, vitamin dan mineral masih sangat kurang (Khomsan 2006). Sebaran uang saku berdasarkan densitas energi konsumsi contoh terdapat pada Tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kategori uang saku dan densitas energi konsumsi

Uang saku

Densitas energi konsumsi

p

Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % ≤5000 7 6,31 5 4,50 3 2,70 0.044 5001-15000 59 53,15 19 17,12 16 14,41 ≥15001 2 1,80 0 0 0 0 Total 68 61,26 24 21,62 19 17,12

Berdasarkan Tabel 7 pada penelitian kali ini sebagian besar contoh memiliki uang saku Rp 5000,00– Rp 15.000,00/hari dan mengkonsumsi makanan dengan nilai densitas energi makanan tinggi (53,15%). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryaalamsyah (2009) menyebutkan bahwa rata-rata uang saku siswa sekolah dasar di Bogor adalah Rp 5000-10000 per harinya. Dengan jajanan yang dikonsumsi oleh contoh sebagian besar merupakan makanan dengan nilai densitas energi tinggi seperti gorengan dan makanan minuman kemasan. Hal ini dikarenakan selain harganya lebih terjangkau juga lebih memberikan rasa nikmat dan kenyang yang identik dengan makanan bernilai densitas energi tinggi.

Hasil uji korelasi chi square menunjukkan adanya hubungan antara uang saku dengan asupan densitas energi contoh (p=0.044). Penelitian ini didukung oleh penelitian Drewnowski & Darmon (2005) yang menyatakan bahwa makanan makanan yang lebih sehat dan memiliki densitas energi rendah cenderung lebih mahal dibandingkan bahan makanan yang tinggi densitas energinya seperti manisan dan makanan berlemak. Hal ini hampir serupa dengan yang terjadi di Indonesia dimana makanan sehat seperti buah buahan yang bisa dijadikan konsumsi jajanan oleh anak sekolah harganya lebih mahal dibandingkan jajanan yang dijajakan di sekolah seperti gorengan ataupun makanan minuman berpemanis seperti es campur, arum manis dll. Bagi contoh dengan uang jajan yang dalam rentang sedang yaitu Rp 5000,00 – Rp 15.000,00/hari akan cenderung membeli makanan dengan cita rasa kenyang namun murah yang identik dengan makanan bernilai densitas energi tinggi.

16

Karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga adalah ciri-ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing keluarga contoh. Dalam penelitian kali ini karakteristik keluarga yang dimaksud seperti besar keluarga, pendidikan dan penghasilan orang tua. Karakteristik keluarga diduga berperan positif terhadap tingginya nilai densitas energi makanan yang diasup oleh contoh. Walaupun beberapa ada yang memiliki keterkaitan hubungan langsung maupun tidak. Sebaran contoh berdasarkan kategori karakteristik keluarga dan densitas energi makanan sehari yang diasup oleh contoh dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori karakteristik keluarga dan densitas energi konsumsi

Karakteristik keluarga

Densitas energi konsumsi

p Tinggi Normal Rendah

n % n % n % Besar Keluarga Kecil 65 58,56 22 19,82 18 16,22 0.539 Sedang 3 2,70 2 1,80 1 0,90 Besar 0 0,00 0 0 0 0 Total 68 61,26 24 21,62 19 17,12 Penghasilan Orang Tua

≤ Rp.2.500.000 36 32,43 10 9,01 12 10,81 0.939 >Rp. 2.500.000 32 28,83 14 12,61 7 6,31 Total 68 61,26 24 21,62 19 17,12 Pendidikan Ayah Lulusan ≤ SMA 45 40,54 16 14,41 10 9,01 0.392 Lulusan >SMA 23 20,72 8 7,21 9 8,11 Total 68 61,26 24 21,62 19 17,12 Pendidikan Ibu Lulusan ≤ SMA 51 45,95 18 16,22 14 12,61 0.008 Lulusan >SMA 17 15,32 6 5,41 5 4,50 Total 68 61,26 24 21,62 19 17,12

Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Besar keluarga yang tergolong kecil akan memungkinan semakin baik kualitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu keluarga. Hal ini dikarenakan pembagian porsi makanan akan makin seimbang di dalam sebuah keluarga. Namun hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar keluarga contoh merupakan keluarga kecil dan mengkonsumsi makanan dengan nilai densitas energi sehari yang tinggi (58,56%). Hasil uji korelasi chi square tidak menunjukkan hubungan antara besar keluarga dengan densitas energi konsumsi contoh (p>0.05).

Penghasilan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga dengan penghasilan terbatas akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Syafiq 2007). Dapat dilihat dari Tabel 8 bahwa penghasilan orang tua contoh sebagian besar kurang dan sama dengan Rp

17 2.500.000,00/bulan dan mengkonsumsi makanan dengan nilai densitas energi yang tergolong tinggi (32,43%). Hal ini sejalan dengan penyataan Soekirman (2000) yang menyatakan bahwa tingginya penghasilan akan mencerminkan kemampuan untuk membeli bahan pangan. Rendahnya penghasilan maka akan menunjukkan kecenderungan kurangnya kemampuan membeli bahan pangan. Secara teoritis terdapat hubungan positif antara penghasilan dengan jumlah permintaan pangan sehingga konsumsi makanan baik jumlah maupun mutunya dipengaruhi oleh penghasilan keluarga. Dengan penghasilan yang tidak tergolong tinggi maka menjadi wajar bila konsumsi makanan yang dikonsumsi contoh tidak seimbang. Namun hasil uji korelasi chi square tidak menunjukkan adanya hubungan antara penghasilan orangtua dengan densitas energi konsumsi contoh (p>0.05).

Sebagian besar ayah (40,54%) dan ibu (45,95%) contoh merupakan lulusan

≤ SMA dan memiliki nilai densitas energi konsumsi sehari yang tergolong tinggi, yang berarti kurang seimbang dalam asupan makanannya. Hasil uji korelasi chi square menunjukkan hasil korelasi yang positif (p=0.008) pada hubungan pendidikan ibu dengan densitas energi konsumsi contoh. Dengan pendidikan ibu yang baik ibu menjadi lebih baik dalam memberikan pengertian, memperbaiki pola asuh makan dan mengenalkan pendidikan gizi sedini mungkin kepada anak. Hal ini tentu akan mempengaruhi makanan yang dikonsumsi contoh yang berasal dari rumah. Ibu menjadi lebih selektif dan lebih pandai untuk memilih makanan sehat yang dikonsumsi contoh di rumah. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Madanijah (2004) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik dengan status gizi anak.

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan. Dengan pengetahuan gizi yang baik memungkinkan seseorang akan semakin baik pula memilih makanan yang akan dikonsumsi. Kurang cukupnya pengetahuan tentang gizi dan kesalahan dalam memilih makanan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap status gizi. Berikut Tabel 9 yang menggambarkan sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi dan densitas energi konsumsi.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori pengetahuan gizi dan densitas energi konsumsi

Pengetahuan gizi

Densitas energi konsumsi

p

Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Kurang 0 0 0 0 0 0 0.739 Sedang 17 15,32 8 7,21 5 4,50 Baik 51 45,95 16 14,41 14 12,61 Total 68 61,26 24 21,62 19 17,12

Berdasarkan Tabel 9 sebagian besar contoh (45,95%) mempunyai pengetahuan gizi baik namun masih memiliki nilai densitas energi konsumsi yang tergolong tinggi. Hasil uji korelasi chi square juga menunjukkan tidak adanya

18

hubungan positif antara pengetahuan gizi dan densitas energi contoh(p>0.05). Hal

Dokumen terkait