• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit klorosis pada ketiga isolat tanaman cabai menunjukkan variasi gejala yaitu gejala ringan, sedang, dan berat. Gejala ringan berupa klorosis pada daun cabai (Gambar 4A). Gejala sedang berupa klorosis dengan menguningnya lamina daun (Gambar 4B). Sedangkan gejala berat berupa klorosis dengan menguningnya lamina daun disertai dengan penebalan daun (Gambar 4C). Penyakit klorosis dengan menguningnya tulang daun yang ditemukan pada daun cabai di Bali, Indonesia tersebut seperti halnya dengan yang dilaporkan oleh Suastika et al. (2012) yang disebabkan oleh Polerovirus. Namun, gejala yang ditemukan pada daun cabai di Bali, Indonesia tersebut tidak memperlihatkan pemendekan internoda atau daun yang menggulung. Yonaha et al. (1995) melaporkan bahwa tanaman cabai yang diinokulasi mekanis menggunakan sap dari daun tanaman cabai sakit tidak menunjukkan gejala klorosis. Namun, setelah dilakukan grafting (penyambungan) dan vektor kutudaun terjadi gejala klorosis dengan menguningnya tulang daun secara jelas pada bagian atas daun dan setelah itu semua daun berkembang menjadi menggulung dan menguning. Gejala ini biasanya disertai dengan bentuk buah mengalami malformasi. Berdasarkan gejala tersebut, terdapat kemiripan dengan penyakit yang diinduksi oleh PeVYV yang telah dilaporkan di beberapa negara lain (Yonaha 1995; Murakami et al. 2011).

Gambar 4 Gejala Polerovirus pada daun cabai asal Payangan, Bali, Indonesia,

diklasifikasikan menjadi tiga gejala: (A) ringan, (B) sedang, dan (C) berat.

Mikroskopi Elektron Partikel Polerovirus

Infeksi PeVYV ini berhasil dikonfirmasi dengan terdeteksi adanya partikel virus dan perunutan sekuen nukleotida dari CP-PeVYV. Partikel PeVYV yang berasal tanaman sakit hasil pengamatan mikroskop elektron berbentuk heksagonal dengan diameter partikel berukuran ~30 nm (Gambar 5), seperti halnya yang telah diungkapkan oleh King et al. (2012). Partikel virus ini banyak terdapat di jaringan floem (Yonaha 1995).

17

Gambar 5 Mikrograf elektron partikel virus berbentuk heksagonal berukuran diameter ~30 nm yang terdapat pada sap tanaman cabai bergejala klorosis. Skala menunjukkan ~100 nm.

Penularan Polerovirus dengan Kutudaun

Hasil penularan virus menggunakan kutudaun Aphis sp. yang ditunjukkan dalam Gambar 6. A. nasturtii berhasil menularkan Polerovirus yang menyebabkan gejala klorosis pada semua tanaman cabai uji. Periode inkubasi untuk penularan 5 ekor kutudaun pada kesepuluh cabai besar dan kesepuluh cabai rawit yaitu 7 sampai 14 hari. Kejadian penyakit dan tipe gejala pada penularan melalui

A. nasturtii dapat mencapai 100% dengan tipe gejala klorosis disertai penebalan daun.

Gambar 6 (A) Daun cabai sakit sebagai inokulum; (B) Daun tanaman cabai sakit hasil penularan vektor kutudaun; dan (C) kutudaun A. nasturtii

sebagai vektor PeVYV pada tanaman cabai: (1) terminal proses, (2)

antena tubercle, (3) striduratory apparatus tidak ada, (4) cauda, (5) sifunkuli, dan (6) femur.

Gambar 6A menunjukkan daun cabai sakit bergejala klorosis yang digunakan sebagai inokulum. Berdasarkan hasil penularan menggunakan vektor kutudaun A. nasturtii berhasil menunjukkan gejala klorosis disertai dengan malformasi daun (Gambar 6B). Hal ini sesuai dengan pernyataan Yonaha et al.

(1995) bahwa tanaman cabai yang hanya dapat ditularkan menggunakan vektor kutudaun serta grafting (penyambungan) dan tidak dapat diinokulasi secara

18

mekanis menggunakan sap dari daun tanaman cabai sakit. Penularan ini dilakukan secara persisten sirkulatif oleh kutudaun. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Gray dan Gildow (2003) yang menyatakan bahwa virus terbawa dan bergerak dalam saluran makanan melalui foregut dan terakumulasi dalam midgut atau

hindgut kemudian virus terakumulasi dalam haemocoel selama satu sampai dua minggu. Penularan virus kemudian diinjeksikan ke dalam tanaman melalui saluran air liur ketika kutudaun tersebut makan pada tanaman.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa spesies kutudaun yang mampu menularkan virus Polerovirus adalah A. nasturtii. Hal ini berbeda dengan yang telah dilaporkan oleh Yonaha et al. (1995) yang menyebutkan bahwa A. gosypii

dan M. persicae yang mampu menularkan virus Polerovirus. Gambar 6C menunjukkan ciri-ciri A. nasturtii sebagai berikut: (1) terminal proses pada antena

lebih panjang dari pada base, (2) antena tubercle tidak berkembang, (3) striduratory apparatus tidak ada, (4) cauda berbentuk lidah (tongue) dan

berwarna pucat, (5) sifunkuli berwarna pucat dan ujungnya berwarna gelap, dan (6) Rambut pada femur panjang. Ciri morfologi secara makroskopis antara

A. nasturtii dan A. gosypii adalah sangat mirip, tetapi ketika diidentifikasi secara mikroskopis menunjukkan adanya perbedaan pada A. nasturtii yaitu sifunkuli berwarna pucat dengan ujung yang berwarna gelap.

Amplifikasi DNA

Teknik RT-PCR menggunakan primer spesifik CP-PeVYV berhasil mengamplifikasi fragmen DNA ~650 pb pada sampel yang menunjukkan gejala positif seperti halnya pada kontrol positif dari daun tanaman cabai asal Payangan, Bali, Indonesia (Gambar 7). Berdasarkan hasil amplifikasi tersebut, isolat bergejala berat digunakan dalam analisis perunutan sekuen nukleotida dan digunakan sebagai insert kloning.

Gambar 7 Hasil amplifikasi DNA sampel daun tanaman cabai bergejala klorosis berat (B), sedang (S), dan ringan (R), K(-), kontrol sehat dan K(+), kontrol positif dari tanaman sakit. M adalah marker 1 Kpb DNA ladder (Thermo Scientific, US).

19 Keberhasilan penularan virus menggunakan vektor kutudaun A. nasturtii

dikonfirmasi dengan RT-PCR yang menunjukkan Polerovirus positif teramplifikasi DNA berukuran ~650 pb pada semua tanaman uji hasil penularan (Gambar 8). Penularan ini dilakukan secara sirkulatif oleh kutudaun (Gray & Gildow 2003).

Gambar 8 Hasil amplifikasi DNA sebanyak sepuluh sampel daun tanaman

cabai bergejala klorosis dari hasil penularan menggunakan

A. nasturtii, K(-), kontrol sehat dan K(+), kontrol positif dari tanaman sakit, 1 - 10: sampel tanaman uji hasil penularan. M adalah marker 1 Kpb DNA ladder (Thermo Scientific, US).

Perunutan Sekuen Nukleotida

Sekuen gen CP PeVYV isolat Payangan, Bali memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan PeVYV isolat Jepang dan Taiwan hampir 99% (Tabel 1). Menurut King et al. (2012) jika terdapat persamaan sekuen nukleotida dari gen protein selubung antara satu virus dengan virus yang lain dengan nilai lebih dari 90%, maka virus-virus tersebut merupakan spesies virus yang sama. Analisis filogenetika pada kladogram menunjukkan hubungan kekerabatan Polerovirus

(Luteoviridae) (Gambar 9). Polerovirus isolat Bali, Indonesia baik yang bergejala klorosis termasuk ke dalam spesies Pepper vein yellow virus (PeVYV) serta memiliki kekerabatan yang dekat dengan PYLCV asal Israel dan TVDV asal Cina, tetapi berada paling jauh kekerabatannya dengan CABYV asal Jepang dan PABYV asal Mali. PeVYV sangat mirip dengan PYLCV isolat Israel seperti yang dikemukakan oleh Dombrovsky et al. (2013). Perbedaan hubungan kekerabatan tersebut kemungkinan berkorelasi dengan perbedaan inang dari masing-masing virus dari genus Polerovirus, family Luteoviridae tersebut. Barley yellow dwarf virus (BYDV) asal Turki digunakan sebagai outgrup dalam analisis ini. BYDV asal Turki ini dilaporkan juga merupakan anggota genus Luteovirus dari famili Luteoviridae. Pensejajaran sekuen nukleotida dengan Clustal W menunjukkan bahwa gen CP-PeVYV virus tanaman cabai asal Bali memiliki homologi dengan virus-virus tersebut dan beberapa perbedaan nukleotida pada beberapa lokasi.

20

Tabel 1 Tingkat kesamaan sekuen nukleotida sebagian gen protein selubung (CP) PeVYV isolat cabai Payangan, Bali, Indonesia dengan isolat lainnya yang telah dilaporkan menggunakan program Bioedit V.7.0.5

Keterangan: PeVYV: Pepper vein yellow virus; CABYV: Cucurbit aphid borne yellow; PABYV:

Pepo aphid borne yellows virus; PYLCV: Pepper yellow leaf curl virus; TVDV:

Tobacco vein distorting virus; Barley yellow dwarf virus (BYDV)

Gambar 9 Filogenetika kekerabatan Polerovirus isolat cabai Bali, Indonesia berdasarkan sikuen nukleotida sebagian gen coat protein (CP) menggunakan metode neighbour joining tree pada program MEGA 5.1dengan bootstrap 1000. PeVYV_Jepang PeVYV_Taiwan PeVYV_Bali_Indonesia PeVYV_Filipina PeVYV_Mali PeVYV_Thailand PeVYV_India PeVYV_Turki PYLCV_Israel TVDV_Cina CABYV_Jepang PABYV_Mali BYDV_Turki

21 Kloning Gen Protein Selubung PeVYV

Keberhasilan proses ligasi ditunjukkan oleh plasmid pQE30 yang digunakan sebagai vektor dengan fragmen DNA dari gen CP-PeVYV yang diintroduksi ke dalam E. coli strain M15[pREP4]. Proses transformasi selanjutnya menggunakan bakteri E. coli kompeten. Hasil transformasi ditunjukkan oleh kemampuan tetap tumbuhnya E. coli berupa koloni berwarna putih pada media yang mengandung ampisilin (Gambar 10).

Gambar 10 Hasil transformasi (A) kontrol negatif tanpa diberi plasmid (K-); (B) koloni E. coli strain M15[pREP4] yang membawa plasmid rekombinan pQE30-CP-PeVYV yang tumbuh pada media LB yang

mengandung antibiotik ampisilin 50 g/mL dan kanamisin 25 g/mL.

Satria et al. (2009) mengemukakan bahwa antibiotik ampisilin pada medium akan menghambat sel yang tidak mengandung plasmid yang ditransformasikan untuk tumbuh karena ketiadaan gen penyandi resistensi terhadap ampisilin. Sedangkan sel yang mengandung plasmid yang membawa sisipan DNA akan berwarna putih pada media karena tidak dapat menghasilkan ujung α atau bagian N terminal dari protein β-galaktosidase. Sistem penyeleksian klon berdasarkan aktivitas gen yang digunakan sebagai material dalam kloning meliputi DNA target, vektor, dan sel inang. Klon E.coli strain M15[pREP4] yang positif membawa plasmid rekombinan telah berhasil diseleksi menggunakan koloni PCR (Gambar 11). Keenam klon transforman ditunjukkan oleh satu pita tunggal dengan ukuran ~650 pb yang berhasil diamplifikasi dari koloni tunggal klon rekombinan dengan primer forward F-BamHI dan primer reverse R-PstI.

22

Gambar 11 Hasil PCR terhadap koloni tunggal E. coli rekombinan yang membawa plasmid pQE30-CP-PeVYV dengan primer spesifik genus

Polerovirus F-BamHI dan R-PstI (1, 2, 3, 4, 5, dan 6); M adalah marker 1 Kpb DNA ladder (Thermo Scientific, US).

Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYVpada E. coli M15[pREP4] Plasmid rekombinan pQE30-CP yang membawa gen CP-PeVYV berhasil dikonstruksi dengan menyisipkan gen tersebut pada situs pemotongan BamHI/

PstI. Klon E. coli strain M15[pREP4] (Qiagen) yang positif membawa plasmid rekombinan telah berhasil diseleksi dengan PCR berukuran ~650 pb. Optimasi ekspresi rekombinan CP-PeVYV dilakukan pada beberapa suhu inkubasi yang berbeda (25 oC, 28 oC, 30 oC, dan 37 oC), konsentrasi Isoprophyl-β -D-thiogalactoside (IPTG) final (0.25, 0.5, dan 1 mM) dan waktu panen setelah diinduksi IPTG (3, 6, 9, 12, dan 15 jam) pada Tabel 2. Hasil analisis dengan SDS-PAGE menunjukkan plasmid rekombinan pQE30-CP-PeVYV dengan fusi protein berukuran ~25 kDa yang diduga sebagai CP PeVYV terdeteksi pada klon yang diinduksi dengan IPTG dibanding klon yang tidak diinduksi. Hal ini menunjukkan bahwa gen CP PeVYV telah berhasil diekspresikan dalam pQE30 dengan E. coli

strain M15[pREP4] (Qiagen).

PeVYV memiliki kesamaan dengan Pepper yellow leaf curl virus

(PYLCV) yang termasuk dalam genus Polerovirus. Gejala dari PYLCV meliputi pemendekan ruas batang, menguningnya tulang daun, keriting, kecil, dan buah berubah warna. Analisis sekuen genom PYLCV berukuran 6 028 pb yang terdiri atas enam open reading frames (ORFs). ORF0 mengkode 28.14 kDa protein 0 (P0), ORF1 mengkode 72.12 kDa protein 1 (P1), ORF2 mengkode 65.58 kDa protein 2 (P2) yang diduga berperan sebagai RNA-dependent RNA polymerase

(RdRp), ORF3 mengkode 22.51 coat protein (CP: protein selubung), dan sejajar ORF4 yang mengkode movement protein (MP), ORF5 memiliki read-through domain (RTD) menghasilkan sebuah protein gabungan 77.94 kDa yang terdiri atas produk ORF3 (CP) dan berdekatan dengan ORF5 (Dombrovsky et al. 2013).

23 Tabel 2 Ekspresi gen protein selubung PeVYV pada E. coli M15[pREP4] berdasarkan optimasi suhu, konsentrasi IPTG, dan waktu setelah pemberian IPTG dengan analisis SDS-PAGE

Suhu Ekspresi gen pada kombinasi konsentrasi IPTG dan waktu

0.25 mM IPTG 0.50 mM IPTG 1.0 mM IPTG

3 6 9 12 15 3 6 9 12 15 3 6 9 12 15 (jam) 25 - - - - - - - - - - - 28 - - - - - - - - - - - 30 - - - - - - - - - - - 37 - + - - - - ++ - - - - + - - - Keterangan: +: pita protein tipis; ++: pita protein tebal; -: tidak terekspresi

Hasil optimasi ekpresi rekombinan CP-PeVYV pada suhu 25 oC, 28 oC, dan 30 oC dengan konsentrasi IPTG yang digunakan menunjukkan protein rekombinan CP-PeVYV tidak berhasil terekspresi; pita protein target tidak terbentuk (data tidak ditampilkan). Namun, inkubasi pada suhu 37 oC protein rekombinan CP menunjukkan terekspresi dengan pita protein yang diduga berukuran ~25 kDa setelah dianalsis menggunakan ProtParam tool (ExPaSy Bioinformatics Resource Portal) (Gambar 12A). Di antara konsentrasi IPTG yang digunakan, ekspresi protein rekombinan CP terekspresi pada konsentrasi 0.5 mM dan waktu panen bakteri pada saat 6 jam setelah diinduksi IPTG (Gambar 12B). IPTG mempengaruhi gen-gen lain di bakteri sehingga muncul protein baru. Sehingga perlu dilakukan metode deteksi Western bloth untuk lebih meyakinkan bahwa pita protein yang diperoleh merupakan protein target. Namun, antiserum PeVYV belum tersedia secara komersiil.

Bakteri E. coli memiliki berbagai keunggulan, antara lain adalah kemampuannya untuk tumbuh dengan cepat, densitas sel yang tinggi, media pertumbuhan yang murah, karakteristik genetik yang jelas, serta ketersediaan strain mutan dengan yang sesuai berbagai pasangan vektor kloning. Meskipun tidak selalu ada jaminan bahwa protein heterologus akan dihasilkan oleh E. coli

dalam jumlah yang tinggi dan aktif secara biologis, berbagai cara telah dilakukan untuk meningkatkan performa dari mikroorganisme ini (Baneyx 1999). Vektor pQE30 dan bakteri ekspresi M15 adalah termasuk bakteri ekspresi yang low copy number (Qiagen 2013). Namun, hasil ekspresi protein rekombinan CP-PeVYV menunjukkan masih kurang melimpah. Hal ini menunjukkan perlu optimasi lebih lanjut kondisi ekspresi. Beberapa faktor yang perlu dioptimasi ialah suhu inkubasi yang lebih rendah seperti 20 oC dengan konsentrasi IPTG kisaran 0.25-1.0 mM, jenis bufer lisis protein yang digunakan, dan analisis ekspresi protein pada fraksi cair (soluble/ supernatan). Selain itu, kemungkinan terjadi mutasi perubahan rangka atau mutasi bingkai (frameshift mutation) karena adanya nukleotida yang hilang sehingga triplet nukleotida tidak terbentuk atau terbentuk prematur stop kodon yang menjadikan protein yang terbentuk tidak fungsional. Oleh karena itu,

24

perlu dilakukan optimasi lebih lanjut ketika subkloning menggunakan TA kloning.

a.

b.

Gambar 12 (A) Representasi skematik konstruksi CP-PeVYV pada vektor ekspresi pQE30 dengan enzim restriksi BamHI dan PstI menunjukkan 0.84 kDa 6xHistag Protein dan 24.05 kDa fragmen yang terekspresi dari CP-PeVYV. (B) Ekspresi gen CP-PeVYV pada

E.coli suhu 37 °C selama 6 jam. Lajur 1: pQE30 tanpa insert; lajur 2:

recombinant CP uninduced; induced IPTG 0.25 mM (lajur 3), 0.5 mM (lajur 4), dan 1 mM (lajur 5); MW : berat molekul protein (kDa). Penanda protein; SDS-PAGE Low Range (Biorad).

~25 kDa kDa

5 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait