• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah dan Sebaran Titik Api ( Hotspot )

Berdasarkan pengolahan data titik api (hotspot) hasil pemantauan dari satelit MODIS Terra maupun Aqua, titik api dari tahun 2001-2013 di Provinsi Kalimantan Barat memiliki keragaman baik pada lahan gambut maupun mineral. Berikut merupakan hasil dari pengolahan data titik api (hotspot) berdasarkan tahunan dan bulanan pada lahan gambut dan mineral yang tersajikan pada gambar berikut.

Gambar 2 Jumlah titik api (hotspot) tahunan di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2013

Gambar 3 Rata-rata titik api (hotspot) bulanan di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2013

Jumlah titik api (hotspot) berdasarkan tahun pada lahan gambut dan mineral di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2001-2013 (Gambar 2) memiliki pola yang serupa pada setiap tahunnya. Jumlah titik api (hotspot) tertinggi pada lahan gambut terdapat pada tahun 2006, disusul tahun 2009 dan 2002 dengan masing-masing jumlah titik api (hotspot) sebesar 3616, 3513, dan 1896 titik (Lampiran 1). Jumlah titik api (hotspot) tertinggi lainnya pada lahan mineral terdapat pada tahun 2006, 2002 dan 2009 dengan jumlah titik api (hotspot) berturut-turut adalah 10028, 9167 dan 8561 titik (Lampiran 2).

Tahun 2002, 2006, 2009 dan 2012 merupakan tahun dimana titik api (hotspot) mengalami kenaikan yang sangat signifikan pada lahan gambut dan mineral. Hal ini ternyata disebabkan tahun 2002, 2006, 2009 dan 2012 merupakan tahun dimana sedang terjadinya peristiwa El Niño. KLH (2014) menjelaskan bahwa tahun 2006, 2009 dan 2012 merupakan tahun dimana terjadinya El Niño di

14

Indonesia. Saat kejadian El Niño, terdapat kenaikan titik api atau hotspot di Provinsi rawan kebakaran. El Niño juga dapat memperluas kebakaran hutan karena kekeringan yang panjang dan peningkatan suhu udara.

Selanjutnya, rata-rata titik api (hotspot) berdasarkan bulan pada lahan gambut dan mineral di Provinsi Kalimantan Barat selama 13 tahun (Gambar 3) memiliki pola yang serupa pada setiap bulannya. Kenaikan rata-rata titik api (hotspot) tertingi terjadi pada bulan Agustus kemudian menurun hingga bulan Desember dan mulai mengalami kenaikan kembali saat bulan Mei. Selain bulan Agustus, rata-rata titik api (hotspot) tertinggi lainnya terjadi pada bulan September dan Oktober. Adapun nilai rata-rata titik api (hotspot) pada lahan gambut saat bulan Agustus, September dan Oktober berturut-turut adalah 492, 273 dan 162 titik (Lampiran 1), sedangkan nilai rata-rata titik api (hotspot) pada lahan mineral saat bulan Agustus, September dan Oktober berturut-turut adalah 2621, 1073 dan 291 titik (Lampiran 2). Berbeda halnya pada bulan Desember, bulan Desember merupakan bulan yang memiliki rata-rata titik api (hotspot) terendah pada lahan gambut dan mineral dengan nilai rata-rata bulanan berturut-turut 2 dan 4 titik (Lampiran 1 dan Lampran 2).

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, bulan Juli, Agustus, September dan Oktober dimana rata-rata titik api (hotspot) mengalami kenaikan dan penurunan secara signifikan menjadi acuan analisis selanjutnya. Kenaikan dan penurunan rata-rata titik api (hotspot) pada bulan-bulan tertentu tidak lepas dari beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor musim kering dan musim basah. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Kayoman (2010) data titik api (hotspot) dalam lima tahun terakhir, yaitu tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008 kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan Agustus dan September. Bulan-bulan tersebut, kegiatan pembersihan lahan dengan cara membakar dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan maupun perusahaan perkebunan dan kehutanan.

Kondisi cuaca yang sangat kering dan rendahnya jumlah curah hujan sangat mempengaruhi luas hutan dan lahan yang terbakar. Hal ini juga didukung oleh Putra dan Hadiwijoyo (2012) yang menyebutkan bahwa jika curah hujan tinggi maka jumlah titik api (hotspot) akan semakin rendah, sebaliknya jika curah hujan rendah maka titik api (hotspot) akan semakin banyak. Tinggi dan rendah jumlah titik api (hotspot) tersebut dipengaruhi oleh tingginya suhu yang terdeteksi oleh satelit akibat curah hujan yang rendah. Massal et al. (2014) menjelaskan bahwa data titik api (hotspot) yang direkam melalui satelit dapat mendeteksi suhu permukaan tanah yang lebih tinggi dari normal. Data tersebut dapat menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran.

Kepadatan Titik Api (Hotspot) Berdasarkan Jenis Lahan Jumlah Kepadatan Titik Api (Hotspot) pada Lahan Gambut dan Mineral

Jumlah kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan jenis lahan di Provinsi Kalimantan Barat memiliki keragaman di setiap bulannya. Karena kepadatan titik api (hotspot) di Provinsi Kalimantan Barat sangat bergantung pada luasan jenis lahan baik yang tertutupi titik api (hotspot) maupun yang tidak. Kepadatan titik api (hotspot) tersebut merupakan hasil pembagian jumlah titik api (hotspot) tiap bulan dengan luas jenis lahan baik gambut maupun mineral yang didapatkan

15 melalui Geographyc Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG). Berikut merupakan tabel jumlah kepadatan titik api (hotspot) pada lahan gambut dan mineral bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013.

Tabel 5 Kepadatan titik api (hotspot) pada jenis lahan gambut dan mineral

Gambar 4 Kepadatan titik api (hotspot) di Provinsi Kalimantan Barat pada bulan Juli-Oktober

Berdasarkan kepadatan titik api (hotspot) menurut jenis lahan (Tabel 5) kepadatan titik api (hotspot) dari bulan Juli-Oktober mengalami keragaman. Bulan Agustus mempunyai kepadatan titik api (hotspot) tertinggi pada lahan gambut dan mineral berturut-turut sebesar 0.0244 dan 0.0123 Hs/Km2 . Sedangkan, kepadatan titik api (hotspot) terendah pada lahan gambut dan mineral terjadi pada bulan Juli sebesar 0.0014 Hs/Km2 ,meskipun terdapat bulan Oktober pada lahan mineral yang juga memiliki kepadatan titik api (hotspot) terendah sebesar 0,0014 Hs/Km2. Berdasarkan hasil tersebut kepadatan titik api (hotspot) pada lahan gambut lebih tinggi daripada lahan mineral (Gambar 4) meskipun jumlah titik api (hotspot) lahan mineral lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh luasan lahan mineral di Provinsi Kalimantan Barat lebih besar daripada lahan gambut. Selain itu, hal yang menyebabkan kepadatan titik api (hotspot) lahan gambut lebih tinggi daripada lahan mineral adalah jenis penutupan lahan yang berada di lahan gambut. Penutupan tersebut dapat mempengaruhi jumlah titik api (hotspot).

Bulan Jenis Lahan

Gambut Mineral

Rata-rata titik api (hotspot)

Juli 130 299

Agustus 492 2612

September 273 1073

Oktober 162 291

Luas (Km2) 20145.94 211824.72

Kepadatan titik api (hotspot)(Hs/Km2)

Juli 0.0065 0.0014

Agustus 0.0244 0.0123

September 0.0136 0.0051

16

Hubungan Jumlah Titik Api (Hotspot) terhadap Anomali Suhu Permukaan Laut (SPL)

Berdasarkan pembahasan pada subbab sebelumnya, jumlah titik api (hotspot) tahunan berasosiasi dengan kejadian El Niño. Analisis kali ini ingin mengetahui hubungan kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan jenis lahan terhadap kejadian El Niño, dalam hal ini kejadian El Niño ditunjukkan dengan nilai anomali SPL. Anomali SPL yang mengindentifikasikan kejadian El Niño jika mempunyai nilai 0,5 atau lebih. Berikut merupakan hubungan keterkaitan kepadatan titik api (hotspot) bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013 menurut jenis lahan (Gambar 5).

Gambar 5 Keterkaitan kepadatan titik api (hotspot) bulan Juli-Oktober terhadap anomali SPL di Provinsi Kalimantan Barat

Hubungan keterkaitan tersebut (Gambar 5) menunjukkan bahwa kepadatan titik api (hotspot) tertinggi terjadi jika nilai anomali SPL berada pada nilai 0.5 atau lebih pada lahan gambut maupun mineral. Lahan gambut mempunyai kepadatan titik api (hotspot) tertinggi pada tahun 2002, 2006 dan 2009, sedangkan lahan mineral mempunyai kepadatan titik api (hotspot) tertinggi pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009. Namun, untuk mengetahui seberapa signifikan atau nyata hubungan keterkaitan tersebut perlu adanya analisis lebih lanjut yang tersajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Analisis ini tidak menggunakan kepadatan titik api (hotspot) melainkan menggunakan jumlah titik api (hotspot). Hal ini dilakukan karena untuk melihat keterkaitan pada analisis model prediksi peluang aktivitas kebakaran yang tersajikan pada subbab selanjutnya.

(a) (b)

Gambar 6 (a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali SPL pada analisis seluruh bulan (b) Hubungan jumlah titik api (hotspot) kumulatif 3 bulan dengan anomali SPL rataan 3 bulan pada analisis seluruh bulan

17

(a) (b)

Gambar 7 (a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali SPL pada analisis bulan Juli-Oktober (b) Hubungan jumlah titik api (hotspot) kumulatif 3 bulan dengan anomali SPL rataan 3 bulan pada analisis bulan Juli-Oktober

(a) (b)

Gambar 8 (a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali SPL pada analisis bulan Juli-Oktober saat lag 1 (b) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali SPL pada analisis bulan Juli-Oktober saat lag 2

Berdasarkan hubungan bulanan maupun rataan 3 bulan, jumlah titik api (hotspot) pada analisis seluruh bulan (Gambar 6) memiliki nilai R-Square kurang dari 10% pada lahan gambut maupun mineral. Nilai tersebut sangatlah kecil untuk menunjukkan keterkaitan antara dua variabel tersebut. Hubungan ini dijelaskan lebih lanjut dalam analisis regresi yang ditunjukkan pada nilai p-value yang tersajikan pada Lampiran 3.. Nilai p-value hubungan bulanan jumlah titik api (hotspot) terhadap anomali SPL sebesar 0.484 pada lahan gambut dan 0.081 pada lahan mineral, sedangkan nilai kumulatif titik api (hotspot) dengan rataan 3 bulan mempunyai p-value 0.051 untuk lahan gambut dan 0.081 untuk lahan mineral. Nilai p-value pada seluruh hubungan tersebut lebih besar dari nilai alfa (�) sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata pada analisis seluruh bulan antara jumlah titik api (hotspot) terhadap anomali SPL.

Berbeda halnya dengan hubungan jumlah titik api (hotspot) pada analisis bulan Juli-Oktober yang tersajikan pada Gambar 7. Nilai R-Square hubungan bulanan maupun rataan 3 bulan berkisar 10-40 %. Nilai R-Square ini lebih tinggi daripada hubungan jumlah titik api (hotspot) pada analisis seluruh bulan. Ketinggian nilai R-Square ini didukung oleh hubungan yang nyata antara jumlah titik api (hotspot) pada analisis bulan Juli-Oktober terhadap anomali SPL yang ditunjukkan pada nilai p-value yang terdapat pada Lampiran 4. Nilai p-value

18

hubungan bulanan jumlah titik api (hotspot) terhadap anomali SPL sebesar 0.003 untuk lahan gambut dan 0.030 untuk lahan mineral, sedangkan nilai kumulatif titik api (hotspot) dengan rataan 3 bulan sebesar 0.000 untuk lahan gambut dan 0.000 untuk lahan mineral. Nilai tersebut lebih kecil dari nilai alfa (�) sebesar 0.05. Selanjutnya, jika dianalisis menurut prediksi 1 bulan hingga 2 bulan kedepan nilai R-Square yang didapatkan 0.2127 untuk lahan gambut dan 0.1063 untuk lahan mineral saat lag 1. Sedangkan saat lag 2, R-Square yang didapatkan sebesar 0.1492 untuk lahan gambut dan 0.0695 untuk lahan mineral.

Analisis hubungan jumlah titik api (hotspot) terhadap anomali SPL berdasarkan bulanan dan rataan 3 bulan serta dibedakan antara data seluruh bulan dan 4 bulan (Juli-Oktober) bertujuan untuk melihat model yang paling baik diantara analisis tersebut. Pemodelan yang paling baik jika mempunyai nilai MS atau KT (Kuadrat Tengah Sisa) lebih kecil daripada hubungan yang lain. Hal tersebut didukung oleh Matjik (2005) yang menyebutkan bahwa jumlah komponen utama yang terbaik adalah yang rataan akar kuadrat tengah sisa (RMSPD) dari data validasi paling kecil. Hasil yang telah didapat menunjukkan bahwa hubungan rataan 3 bulan pada analisis seluruh bulan dan analisis 4 bulan (Juli-Oktober) memiliki model terbaik. Hal ini karena nilai MS hubungan bulanan pada data seluruh bulan yaitu 5.728 untuk lahan gambut dan 5.209 untuk lahan mineral, sedangkan nilai MS hubungan rataan 3 bulannya sebesar 3.481 untuk lahan gambut dan 3.617 untuk lahan mineral. Adapun nilai MS pada analisis bulan Juli-Oktober, yaitu pada hubungan bulanan sebesar 2.569 untuk lahan gambut dan 2.674 untuk lahan mineral, sedangkan nilai MS hubungan rataan 3 bulannya sebesar 0.998 untuk lahan gambut dan 0.909 untuk lahan mineral.

Hubungan Jumlah Titik Api (Hotspot) terhadap Curah Hujan

Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya ketinggian jumlah titik api (hotspot) bulanan sangat dipengaruhi oleh curah hujan, sedangkan analisis kali ini ingin mengetahui bagaimana keterkaitan anomali curah hujan terhadap ketinggian kepadatan titik api (hotspot) di Provinsi Kalimantan Barat pada bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013. Curah hujan yang dipakai pada analisis ini merupakan anomalinya, hal ini bertujuan untuk melihat ekstrem tinggi maupun ektrem rendah yang dihubungkan pada ketinggian kepadatan titik api (hotspot) pada setiap tahunnya. Sedangkan, definisi anomali menurut IRI dan CCROM-SEAP (2009) adalah selisih antara nilai-rata-rata satu set data yang digunakan untuk menyimpulkan penyimpangan dari kondisi normal. Anomali yang bernilai >0 berarti nilainya berada diatas rata-rata, sedangkan anomali yang bernilai <0 berarti nilainya dibawah rata-rata. Berikut merupakan hubungan keterkaitan antara kepadatan titik api (hotspot) dengan anomali curah hujan yang tersajikan pada Gambar 9.

19

Gambar 9 Keterkaitan kepadatan titik api (hotspot) bulan Juli-Oktober terhadap anomali curah hujan di Provinsi Kalimantan Barat

Berdasarkan keterkaitan antara kepadatan titik api (hotspot) dengan curah hujan anomali, didapatkan hasil bahwa semakin negatif nilai anomali tidak selalu menunjukkan kepadatan titik api (hotspot) tertinggi pada lahan gambut maupun mineral. Hanya tahun-tahun tertentu saja yang memiliki nilai anomali negatif yang memiliki kepadatan titik api (hotspot) tertinggi, seperti tahun 2002, 2006 dan 2009 pada lahan gambut dan 2002, 2004, 2006 dan 2009 pada lahan mineral. Namun, untuk mengetahui seberapa signifikan atau nyata hubungan keterkaitan tersebut perlu adanya analisis lebih lanjut yang tersajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11. Sama seperti analisis sebelumnya, titik api (hotspot) yang digunakan pada analisis ini adalah jumlah titik api (hotspot).

(a) (b)

Gambar 10 (a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali curah hujan pada analisis seluruh bulan (b) Hubungan jumlah titik api (hotspot) kumulatif 3 bulan dengan anomali curah hujan kumulatif 3 bulan pada analisis seluruh bulan

20

(a) (b)

Gambar 11 (a) Hubungan jumlah titik api (hotspot) dengan anomali curah hujan pada analisis bulan Juli-Oktober (b) Hubungan jumlah titik api (hotspot) kumulatif 3 bulan dengan anomali curah hujan kumulatif 3 bulan pada analisis bulan Juli-Oktober

Berdasarkan hubungan bulanan maupun kumulatif 3 bulan, jumlah titik api (hotspot) pada seluruh bulan memiliki nilai R-Square 34 - 45% pada lahan gambut maupun mineral. Hubungan ini dijelaskan lebih lanjut dalam analisis regresi yang ditunjukkan pada nilai p-value yang tersajikan pada Lampiran 3. Nilai p-value hubungan jumlah titik api (hotspot) terhadap curah hujan bulanan sebesar 0.000 pada lahan gambut dan mineral, begitu pula dengan hubungan kumulatif 3 bulan. Nilai p-value pada seluruh hubungan tersebut lebih kecil dari nilai alfa (�) sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berpengaruh secara signifikan atau nyata terhadap jumlah titik api (hotspot).

Selanjutnya, berdasarkan hubungan jumlah titik api (hotspot) bulan Juli-Oktober yang tersajikan pada Gambar 11, nilai R-Square hubungan bulanan maupun kumulatif 3 bulan berkisar 43 - 56% pada lahan gambut dan mineral. Nilai ini lebih besar daripada hubungan seluruh bulan. Ketinggian nilai R-Square ini didukung oleh hubungan yang signifikan antara jumlah titik api (hotspot) bulan Juli-Oktober terhadap curah hujan bulanan yang ditunjukkan pada nilai p-value yang terdapat pada Lampiran 4. Nilai p-p-value hubungan jumlah titik api (hotspot) terhadap curah hujan bulanan sebesar 0.000 untuk lahan gambut dan mineral, begitu pula untuk hubungan kumulatif 3 bulan. Nilai tersebut lebih kecil dari nilai alfa (�) sebesar 0.05.

Sama halnya seperti analisis sebelumnya, analisis hubungan jumlah titik api (hotspot) terhadap curah hujan berdasarkan bulanan dan kumulatif 3 bulan serta dibedakan antara analisis seluruh bulan dan 4 bulan (Juli-Oktober) bertujuan untuk melihat model yang paling baik diantara analisis tersebut. Hasil yang telah didapat menunjukkan bahwa nilai MS hubungan bulanan pada analisis seluruh bulan, yaitu 3.33 untuk lahan gambut dan 2.94 untuk lahan mineral, sedangkan nilai MS hubungan kumulatif 3 bulannya sebesar 2.34 untuk lahan gambut maupun mineral. Adapun nilai MS pada analisis bulan Juli-Oktober, yaitu pada hubungan bulanan sebesar 1.693 untuk lahan gambut dan 1.547 untuk lahan mineral, sedangkan nilai MS hubungan kumulatif 3 bulannya sebesar 0.747 untuk lahan gambut dan 0.705 untuk lahan mineral. Maka sama seperti analisis sebelumnya, model terbaik didapat pada hubungan kumulatif 3 bulan pada analisis data seluruh bulan dan data bulan Juli-Oktober.

21

Kepadatan Titik Api (Hotspot)Berdasarkan Kategori Penutupan lahan

Penelitian kali ini juga ingin mengetahui bagaimana kepadatan jumlah titik api (hotspot) berdasarkan kategori penutupan lahan. Kepadatan titik api (hotspot) tersebut diperoleh dengan membagi jumlah titik api (hotspot) setiap bulannya dengan luasan kategori penutupan lahan. Luas setiap jenis penutupan lahan yang dihitung bukan hanya yang tertutupi oleh titik api (hotspot) saja, melainkan keseluruhan luasan kategori penutupan lahan. Berikut merupakan kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan jenis penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2013 yang tersajikan pada Tabel 6 untuk lahan gambut dan Tabel 7 untuk lahan mineral.

Tabel 6 Rata-rata kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan kategori penutupan lahan pada lahan gambut

Jenis Penutupan Lahan

Jumlah Titik Api (Hotspot)

Luas (Km2)

Kepadatan Titik Api (Hotspot) (Hs/Km2)

Other Land 106 499.18 0.2117

Crop Land (Perennial) 182 892.64 0.2038

Grass Land 283 2443.81 0.1159

Wet Land 54 707.36 0.0760

Crop Land (Annual) 88 1911.39 0.0462

Settlements Land 1 14.10 0.0382

Forest Land 345 13677.45 0.0252

Tabel 7 Rata-rata kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan kategori penutupan lahan pada lahan mineral

Jenis Penutupan Lahan

Jumlah Titik Api (Hotspot)

Luas (Km2)

Kepadatan Titik Api (Hotspot) (Hs/Km2)

Other Land 269 4243.59 0.0635

Grass Land 700 13386.98 0.0523

Crop Land (Perennial) 272 6505.53 0.0418

Wet Land 167 5215.91 0.0319

Settlements Land 13 591.00 0.0224

Crop Land (Annual) 1922 113665.48 0.0169

22

Gambar 12 Kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan kategori penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat pada bulan Juli-Oktober dari tahun 2001-2013

Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7 serta Gambar 12 didapatkan hasil bahwa jenis penutupan lahan tipe other land atau lahan lainnya memiliki rata-rata kepadatan titik api (hotspot) tertinggi pada lahan gambut maupun mineral dari tahun 2001-2013 di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 0.2117 dan 0.0635 Hs/Km2. Jenis lahan lainnya atau other land dalam penelitian kali ini berupa tanah kosong, bandara dan pertambangan. Hal ini disebabkan oleh luas area yang dimiliki oleh other land dari tahun 2001-2013 tidak lebih besar daripada jenis penutupan lahan yang lain, namun memiliki jumlah titik api (hotspot) yang cukup tinggi.

Kepadatan titik api (hotspot) terendah dimiliki oleh jenis penutupan lahan forest land atau lahan hutan dengan besaran 0.0252 Hs/Km2 untuk lahan gambut dan 0.0105 Hs/Km2 untuk lahan mineral. Hal ini disebabkan oleh luas area kategori penutupan lahan pada lahan hutan memiliki luasan tertinggi, meskipun jumlah titik api (hotspot) pada lahan hutan cukup tinggi pada lahan gambut maupun mineral. Sedangkan, menurut Kayoman (1998) kepadatan titik api (hotspot) terendah pada lahan hutan disebabkan oleh wilayah yang bervegetasi hutan, kejadian kebakaran akan lambat terjadi dikarenakan kandungan uap air yang cukup besar dari bahan bakar penyusunnya.

Hubungan Kepadatan Titik Api (Hotspot)Berdasarkan Kategori Penutupan lahan terhadap Curah hujan dan anomali SPL

Analisis kali ini ingin mengetahui seberapa besar hubungan curah hujan bulanan dan anomali SPL terhadap kepadatan titik api (hotspot) di berbagai penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2013 pada setiap jenis lahan. Penutupan lahan dalam analisis ini ditentukan berdasarkan 7 kategori. Berikut merupakan hasil yang telah didapatkan melalui analisis regresi yang tersajikan dalam tabel.

23 Tabel 8 Hubungan kepadatan titik api (hotspot) terhadap curah hujan pada setiap

kategori penutupan lahan pada lahan gambut

Kategori Penutupan

Lahan

a b Standard Error Square R -

Kuadrat Tengah Sisa P - Value Forest Land 0.0321 -0.012 1.5811 0.3681 2.5000 1.86 x 10-6 * Grass Land 0.1176 -0.011 1.3097 0.4404 1.7155 8.22 x 10-8 * Crop Land (Annual) 0.0731 -0.014 1.4494 0.5044 2.1009 7.84 x 10-9 * Crop Land (Perennial) 0.1278 -0.013 1.9221 0.3271 3.6944 9.46 x 10-6 * Settlements Land 0.0166 -0.003 0.7574 0.1146 0.5736 1.41 x 10-2 * Other Land 0.1931 -0.010 1.3457 0.3928 1.8111 6.67 x 10-7 * Wet Land 0.1461 -0.014 1.9239 0.5391 1.9239 5.85 x 10-10 *

Keterangan: * nyata pada taraf �= 5% dan TNtidak nyata

Tabel 9 Hubungan kepadatan titik api (hotspot) terhadap curah hujan pada setiap kategori penutupan lahan pada lahan mineral

Kategori Penutupan Lahan a b Standard Error R -Square Kuadrat Tengah Sisa P - Value Forest Land 0.0137 -0.012 1.5061 0.4163 2.2685 2.40 x 10-7 * Grass Land 0.0602 -0.011 1.1507 0.4944 1.3241 6.20 x 10-9 * Crop Land (Annual) 0.0189 -0.012 1.6283 0.3857 2.6515 9.00 x 10-7 * Crop Land (Perennial) 0.0661 -0.014 1.5721 0.4722 2.4715 1.80 x 10-8 * Settlements Land 0.0111 -0.008 1.5501 0.2140 2.4030 5.50 x 10-4 * Other Land 0.0835 -0.012 1.1286 0.5330 1.2734 8.20 x 10-10 * Wet Land 0.0515 -0.012 0.9652 0.6233 0.9316 3.50 x 10-12 *

24

Tabel 10 Hubungan kepadatan titik api (hotspot) terhadap anomali SPL pada setiap kategori penutupan lahan pada lahan gambut

Kategori Penutupan

lahan

a b Standard Error Square R

-Kuadrat Tengah Sisa P - Value Forest Land 0.0022 0.8686 1.8868 0.1002 3.5602 2.22 x 10-2 * Grass Land 0.0089 1.3179 1.4674 0.2976 2.1532 2.88 x 10-5 * Crop Land (Annual) 0.0029 0.9200 1.9478 0.1049 3.794 1.91 x 10-2 * Crop Land (Perennial) 0.0067 0.7704 2.2756 0.0568 5.1783 8.88 x 10-2 TN Settlements Land 0.0091 0.1320 0.7992 0.0141 0.6387 4.00 x 10-1 TN Other Land 0.0177 0.8376 1.6168 0.1236 2.6140 1.06 x 10-2 * Wet Land 0.0053 1.5295 1.7162 0.2944 2.9454 3.24x 10-5 *

Keterangan: * nyata pada taraf �= 5% dan TN tidak nyata

Tabel 11 Hubungan kepadatan titik api (hotspot) terhadap anomali SPL pada setiap kategori penutupan lahan pada lahan mineral

Kategori Penutupan lahan a b Standard Error R -Square Kuadrat Tengah Sisa P - Value Forest Land 0.0008 0.7206 1.9009 0.0702 3.6136 5.76 x 10-2TN Grass Land 0.0049 0.9534 1.4634 0.1823 2.1417 1.59 x 10-3 * Crop Land (Annual) 0.0011 0.5213 2.0429 0.0331 4.1735 1.96 x 10-1 TN Crop Land (Perennial) 0.0025 0.8991 2.0635 0.0907 4.2582 3.00 x 10-2 * Settlements Land 0.0019 0.8452 1.6377 0.1227 2.6822 1.01 x 10-2 * Other Land 0.0058 1.1346 1.4323 0.2479 2.0515 1.70 x 10-4* Wet Land 0.0033 1.1138 1.3498 0.2635 1.8219 1.00 x 10-4 *

Keterangan : * nyata pada taraf �= 5% dan TN tidak nyata

Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9, hubungan antara kepadatan titik api (hotspot) dengan curah hujan bulanan Provinsi Kalimantan Barat mendapatkan hasil yang signifikan atau nyata pada semua jenis kategori penutupan lahan. Hal tersebut dapat terlihat dari nilai p-value yang didapatkan kurang dari nilai alfa (�) sebesar 0.05. Artinya curah hujan bulanan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kepadatan titik api (hotspot) di berbagai kategori penutupan lahan pada lahan gambut maupun mineral.

25 Berbeda dengan hubungan antara kepadatan titik api (hotspot) dengan anomali SPL (Tabel 10 dan Tabel 11). Lahan gambut pada kategori penutupan lahan tanaman tipe tanaman bertahun-tahun (crop land perennial) dan kategori tanah pemukiman (settlements land) memiliki hubungan yang tidak nyata, sedangkan pada lahan mineral kategori lahan hutan (forest land) dan lahan tanaman tahunan (crop land annual) yang memiliki hubungan tidak nyata. Artinya anomali SPL tidak seluruhnya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kepadatan titik api (hotspot) berdasarkan 7 kategori penutupan lahan pada bulan Juli-Oktober tahun 2001-2013 di Provinsi Kalimantan Barat.

Model Prediksi Peluang Titik Api (Hotspot)dengan Anomali SPL

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, terdapat hubungan yang erat antara jumlah titik api (hotspot) dengan curah hujan. Namun untuk membuat model prediksi peluang ini tidak menggunakan variabel curah hujan melainkan anomali SPL. Hal ini karena untuk membuat suatu model prediksi diperlukan variabel yang mempunyai sifat perubahan yang tidak terlalu cepat dan memori penyimpanannya yang besar. Data anomali SPL memiliki sifat perubahan yang tidak terlalu cepat dan memori penyimpanannya yang cukup besar, berbeda dengan curah hujan yang memiliki keragaman cukup tinggi. Selain itu juga terdapat dampak kuat dari ENSO terhadap curah hujan di Indonesia. Sehingga kejadian ENSO juga dapat meprakirakan kejadian hujan di Indonesia. Maka pada analisis ini ingin menggunakan anomali SPL untuk membuat sebuah model prediksi peluang aktivitas kebakaran.

Model prediksi yang digunakan merupakan prakiraan dalam bentuk peluang yang ditetapkan oleh matrik risiko. Matrix risiko peluang kebakaran menurut IRI dan CCROM-SEAP (2009) merupakan tabel yang digunakan untuk merekam serta menganalisis variabel-variabel berdasarkan kategori, sehingga dapat digunakan sebagai model prakiraan peluang (Probabilistic Forecasting Model). Membuat model prediksi peluang tersebut dibutuhkan nilai ambang batas. Ambang batas pada analisis ini menggunakan rata-rata seluruh tahun kejadian kebakaran dan nilai sebesar 0.5°C untuk ambang batas anomali SPL. Alasan

Dokumen terkait