• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini menggunakan ransum perlakuan yang terdiri dari Indigofera

sp., limbah tauge, onggok, jagung, bungkil kelapa, CaCO3, molases, bungkil kedelai, premix, dan NaCl. Bahan-bahan tersebut dicampur dan dibentuk mashdengan perbandingan hijauan dan konsentrat yaitu 30:70. Sumber hijauan yang digunakan adalah Indigofera sp. dan limbah tauge. Legum Indigofera sp. didapat dari UP3 Jonggol sedangkan limbah tauge didapat dari Pasar Bogor. Limbah tauge dapat digolongkan sebagai hijauan karena mengandung serat kasar yang tinggi mencapai 49,44% (Rahayu et al., 2010).

Terdapat perbedaan kandungan nutrient pada ransum yang mengandung

Indigofera sp., dan limbah tauge. Ransum yang mengandung Indigofera sp.,

memiliki kandungan protein kasar lebih besar dari pada limbah tauge yaitu 20,76% . Hal ini dikarenakan sumber hijauan limbah tauge memiliki protein yang lebih rendah dibanding dengan leguminosa Indigofera sp. Leguminosa mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi, karena simbiosis yang terjadi antara mikroorganisme tanah yaitu Rhizobium sp. pada bintil akar membuat leguminosa mampu memfiksasi nitrogen dari udara (Fondevila et al., 2002). Kandungan serat kasar Indigofera sp. 17,62% lebih kecil dari limbah tauge, namun NDF Indigofera sp. lebih tinggi dari limbah tauge dan ADF limbah tauge lebih besar dari Indigofera sp.Hal tersebut menandakan bahwa serat kasar Indigofera sp. lebih mudah dicerna dari limbah tauge. Serat kasar dapat mempengaruhi kecernaan pakan. Semakin tinggi kandungan serat kasar, kecernaan pakan akan semakin menurun.

Kandungan lemak pada ransum penelitian tidak berbeda antara Indigofera

sp. dan limbah tauge. Imbangan Ca dan P ransum yang mengandung Indigofera sp.

yaitu 3:1 sedangkan imbangan pada ransum yang mengandung limbah tauge yaitu 2:1. Imbangan Ca dan P pada ransum non ruminansia adalah antara 1:1 hingga 2:1, sedangkan ternak ruminansia dapat lebih toleran dengan imbangan yang lebih tinggi. Keberadaan Ca yang tinggi dapat menimbulkan gangguan, yaitu dapat mengakibatkan defisiensi pada beberapa mineral seperti Mg, Fe, Mn, dan Cu (Tillman et al., 1989).

24 Kandungan TDN ransum penelitian relatif sama umumnya berkisar antara 72,22-73,82 %. Kandungan TDN ransum ini sudah memenuhi kebutuhan ransum ternak kambing dan domba yaitu 54-56% (NRC, 2007).

KonsentrasipH Cairan Rumen

Fermentasi pakan di dalam rumen akan mempengaruhi nilai pH, yaitu semakin tinggi aktivitas fermentasi makan nilai pH akan semakin turun. Faktor lain yang mempengaruhi nilai pH cairan rumen adalah produksi saliva. Saliva yang diproduksi domba bersifat alkalis dan berperan sebagai buffer untuk menjaga keseimbangan pH rumen. Sekresi saliva dipengaruhi oleh bentuk fisik pakan, kandungan bahan kering, volume cairan isi perut dan stimulasi psikologis .Nilai pH cairan rumen merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap kondisi rumen, baik dalam mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun dalam menghasilkan produk produknya yang berupa VFA dan N-NH3 (McDonald et al., 2002). Pengukuran pH rumen penting dilakukan, terutama pada ternak yang mengkonsumsi ransum dengan tingkat konsentrat yang tinggi.

Hal pengukuran pH cairan rumen pada penelitian ini menujukkan bahwa ransum yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap pH cairan rumen. Begitu juga dengan bangsa dan interaksi ransum-bangsa tidak nyata pengaruhnya terhadap pH cairan rumen.

Tabel 5. Konsentrasi pH Cairan Rumen dengan Teknik Rusitec

Bangsa Ransum Rataan

R1 R2

D1 6,77 ± 0,02 6,76 ± 0,04 6,77 ± 0,03

D2 6,71 ± 0,04 6,18 ± 0,03 6,44 ± 0,04

Rataan 6,71 ± 0,03 6,47 ± 0,03

Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa kisaran pH cairan rumen antara 6,18 sampai 6,77. Secara umum, pH cairan rumen yang dicapai pada penelitian ini berada pada kondisi yang cukup optimal untuk berlangsungnya proses metabolisme di dalam rumen. Menurut Orksov (1982) mengatakan bahwa agar terjadi perombakan bahan

25 makanan diperlukan pH rumen 6-7. Bila kondisi pH tersebut kurang dari enam, proteolisis dan deaminasi akan terhambat, karena tertekannya pertumbuhan bakteri rumen, begitu juga pembentukan amonia akan terhambat. Nilai pH merupakan faktor penting yang menunjukkan keadaan dan fungsi yang normal dari rumen. Nilai pH dapat menggambarkan populasi mikroba dan produk fermentasi serta fungsi fisiologi pada rumen terutama pergerakan dan fungsi penyerapan (Istiqomah et al., 2011).

Konsentrasi NH3Cairan Rumen

Kadar amoniak dalam cairan rumenmerupakan petunjuk adanya proses degradasi(perombakan) protein yang masuk dalam rumen danproses sintesis protein oleh mikroba rumen. Proteinyang masuk ke dalam rumen, sebagian akan mengalamiperombakan oleh enzim proteolitik yang dikandung oleh mikroba rumen. (McDonald, 2002). Untuk mengetahui efisiensi penggunaan nitrogen pada ruminansia, pengukuran konsentrasi amonia perlu dilakukan (Wohlt, 1976). Produksi NH3 pada penelitian ini disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Produksi NH3Cairan Rumen dengan Tehnik RUSITEC

Bangsa Ransum Rataan

R1 (mM) R2 (mM)

D1 10,67± 0,56 7,10 ± 0,02 8,88 ± 2,08

D2 8,11± 2,42 7,06 ± 0,21 7,59 ± 1,43

Rataan 9,38a ± 1,93 7,09b ± 0,12

Keterangan : a, b) Superskrip yang tidak sama dalam satu baris berarti berbeda nyata (P<0,05).Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.

Ransum yang berbasisIndigofera sp. lebih banyak memproduksi NH3 dari pada limbah tauge (P<0,05). Hal ini dikarenakan kandungan protein ransum yang mengandung Indigofera sp. lebih besar dari kandungan protein limbah tauge. Konsentrasi amonia pakan yang mengadung limbah tauge lebih rendah dari

Indigofera sp.Hal ini dikarenakan kandungan protein ransum yang mengandung

limbah tauge lebih rendah dari Indigofera sp. Selain itu, protein limbah tauge diduga tidak mudah didegradasi oleh mikroba rumen dibandingkan dengan Indigofera

sp.Hal tersebut didukung adanya kandungan serat kasar ransum yang mengandung

26 protein yang sulit terdegradasi dapat disebabkan oleh banyaknya kandungan serat kasar yang tidak dapat dicerna.

Perbedaan cairan rumen domba garut dan domba jonggol tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rataan konsentrasi amonia, walaupun cairan rumen domba garut lebih tinggi menghasilkan amonia dibandingkan cairan rumen domba jonggol. Hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan aktivitas fermentasi mikrobadomba garut dan domba jonggol dalam mendegradasi protein sehingga bakteri rumen kedua ternak tersebut memiliki kemampuan yang sama dalam mendegradasi protein. Konsentrasi amonia sangat berhubungan dengan jumlah populasi mikroba rumen, khususnya bakteri proteolitik (Bach et al., 2005).

Konsentrasi amonia normal untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah 4-12 mM. Konsentrasi amonia dalam penelitian ini umumnya tinggi berkisar antara 7,06-10,07 mM yang sangat membantu dalam pembentukan protein mikroba rumen. (Sutardi, 1980). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi amonia yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah dapat dimanfaatkan optimal oleh mikroba rumen untuk mensintesis protein mikroba yang akan diserap di organ pasca rumen. Tingginya konsentrasi disebabkan oleh tidak adanya penyerapan amonia oleh dinding rumen,

N-recycling, pembuangan melalui urin dan terjadi lisis mikroba yang dapat menambah

jumlah amonia dalam fermentor sehingga amonia terakumulasi (Afriyanti, 2008)

Produksi VFA Cairan Rumen

Karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, pati dan gula tercerna lainnya merupakan substrat utama dalam proses fermentasi. Karbohidrat ini difermentasi menjadi bentuk heksosa dan pentosa yang kemudian dikonversi menjadi piruvat, selanjutnya piruvat dirubah menjadi VFA (Dijkstra, 2005). VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia melalui proses glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA (khususnya propionat) ke dalam sistem peredaran darah yang kemudian diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger, 1982). VFA umumnya terdiri dari asetat, propionat dan butirat, akan tetapi juga terdiri dari valerat, caproat, isobutirat, isovalerat, 2-metilbutirat dalam jumlah sedikit serta beberapa jenis asam lainnya yang diproduksi di rumen sebagai hasil akhir fermentasi mikroba (France dan Dijkstra, 2005).

27 Produksi VFA total yang dihasilkan dalam penelitian ini menujukkan bahwa ransum yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi VFA total, begitu juga dengan pengaruh bangsa dan interaksi keduanya. Produksi VFA cairan rumen selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 8. Pengaruh yang tidak nyata terhadap produksi VFA total menunjukkan bahwa reaksi yang ditimbulkan rumen terhadap pakan Indigofera sp. dan limbah tauge tersebut hampir sama, karena menurut McDonald et al. (2002) volume VFA yang terdapat dalam rumino-retikulum menunjukkan aktivitas mikroba rumen. Bahan makanan yang mudah difermentasi akan meningkatkan aktivitas mikroba, sehingga volume VFA yang dihasilkan meningkat.

Produksi VFA total yang dihasilkan berkisar antara 108-143 mM, nilai tersebut masih berada di atas kisaran konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh mikroba rumen dalam kondisi normal yaitu 80–160 mM (Sutardi, 1980). Jika dilihat VFA total ransum penelitian hampir mendekati optimum. Kondisi ini disebabkan oleh sumber karbohidrat mudah tercerna yang terdapat dalam ransum penelitian juga menyumbang kadar energi pakan Indigofera sp. dan limbah tauge. Bahan organik yang mudah terfermentasi dalam ransum penelitian seperti molases dan onggok akan memenuhi kebutuhan mikroba secara cepat setelah pemberian pakan (Dixon, 1986). Produksi VFA total dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, sifat karbohidrat, laju makanan meninggalkan rumen, frekuensi pemberian makan, dan aktivitas mikroba dalam mencerna pakan (Sutardi, 1980).

VFA Total terbesar pada penelitian ini dicapai oleh cairan rumen domba garut yang diberi pakan Indigofera sp.yaitu 143,764 mM. Peningkatan konsentrasi VFA total mencerminkan peningkatan sumber protein dan karbohidrat yang mudah tercerna (bahan organik) di dalam ransum yang mengandung Indigofera sp. yang dapat difermentasi oleh mikroba rumen. Hal ini sejalan dengan dengan hasil penelitian yang diperoleh Blummelet al. (1993), yaitu peningkatan karbohidrat mudah terdegradasi meningkatkan bahan kering tercerna. Bahan kering tercerna akan diubah oleh mikroba rumen menjadi VFA dan protein mikroba dengan meningkatnya pertumbuhan. Penambahan sumber protein tidak dapat menstimulasi pertumbuhan mikroba rumen tanpa diimbangi penambahan sumber karbohidrat mudah terdegradasi.

28 Tabel 7. Produksi VFA Cairan Rumen dengan Menggunakan Tehnik RUSITEC

Parameter Bangsa Ransum Rataan R1(mM) R2 (mM) VFA Total D1 143,76 ± 52,40 112,62 ± 3,67 128,19 ± 35,25 D2 139,46 ± 12,41 108,90 ± 8,31 124,18 ± 19,63 Rataan 141,61 ± 31,19 110,76 ± 5,66 Asetat D1 50,83 ± 21,38 41,82 ± 11,99 46,32 ± 15,08 D2 47,28 ± 3,76 37,92 ± 2,96 42,60 ± 6,06 Rataan 42,25 ± 8,96 31,90 ± 0,55 Propionat D1 36,66 ± 6,91 33,88 ± 1,32 35,27 ± 4,36 D2 41,50 ± 5,35 36,07 ± 14,36 38,79 ± 9,38 Rataan 39,08 ± 5,77 34,98 ± 8,42 C2/C3 D1 1,38 ± 0,91 1,23 ± 0,08 1,31 ± 0,45 D2 1,14 ± 0,70 1,05 ± 0,21 1,08 ± 0,64 Rataan 1,08 ± 0,55 0,91 ± 0,06 Butirat D1 9,60 ± 4,65 9,10 ± 3,22 9,35 ± 3,28 D2 9,65 ± 2,80 5,55 ± 1,79 7,60 ± 3,04 Rataan 9,62 ± 3,13 7,32 ± 2,95 Isobutirat D1 29,48 ± 12,04 14,22 ± 4,96 21,85 ± 11,58 D2 23,80 ± 8,79 18,33 ± 6,15 21,06 ± 6,95 Rataan 26,64 ± 9,21 16,28 ± 5,14 Valerat D1 7,94 ± 3,53 6,78 ± 1,42 7,36 ± 2,29 D2 7,53 ± 0,50 5,14 ± 0,54 6,33 ± 1,44 Rataan 7,74 ± 2,07 5,96 ± 1,29 Isovalerat D1 9,22 ± 3,86 6,79 ± 2,61 9,22 ± 3,86 D2 9,68 ± 3,21 5,87 ± 1,61 6,79 ± 2,61 Rataan 9,68 ± 3,21 5,87 ± 1,61

Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan Dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.

29 Jika dihubungkan dengan komposisi zat makanan (Tabel 4), ransum

Indigofera sp. mengandung kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah

tauge. Kalsium dan fosfor ini sangat dibutuhkan mikroba rumen untuk menjamin pertumbuhannya. Durand dan Kawashima (1980) mengatakan bahwa untuk pertumbuhan mikroba rumen dan berlangsungnya proses fermentasi secara baik dibutuhkan suplai mineral yang cukup, termasuk dalam hal ini kalsium dan fosfor. Dengan lebih tingginya kandungan kalsium dan fosfor pada ransum Indigofera sp., menyebabkan aktivitas mikroba lebih baik, sehingga memungkinkan menghasilkan VFA yang lebih tinggi. Kandungan NDF yang menggambarkan serat kasar yang dapat dicerna pada ransum yang mengandung Indigofera sp. lebih tinggi dari pada limbah tauge diduga dapat meningkatkan kandungan substrat serat sehingga mampu menstimulasi peningkatan bakteri selulolitik.

Kandungan Beta-N pada ransum yang mengandung Indigofera sp. dapat digunakan untuk menstimulasi peningkatan populasi bakteri amilolitik sehingga mampu meningkatkan degradasi amilosa. Kandungan tanin yang terdapat pada

Indigofera sp. dapat menurunkan populasi protozoa yang berkontribusi terhadap

peningkatan bakteri rumen terutama amilolitik. Bakteri amilolitik biasanya menempel pada granula pati dan ketika protozoa menelan partikel partikel pati maka bakteri amilolitik ikut tertelan bersama granula pati (Subrata et al., 2005). Efek penurunan protozoa ini mampu mengoptimalkan proses fermentasi yang dapat meningkatkan produksi VFA total sehingga penyediaan energi untuk ternak meningkat.

Produksi VFA total ransum yang mengandung limbah tauge lebih rendah dariIndigofera sp. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan serat kasar pada limbah tauge. Serat kasar yang cukup tinggi tersebut kemungkinan banyak mengandung dinding sel dan liginin sehingga bagian isi sel sedikit sekali yang difermentasi oleh mikroba rumen dan konsentrasi VFA total menjadi lebih rendah (Selly, 1994).

Konsentrasi VFA cairan rumen domba garut tidak berbeda nyata dengan cairan rumen domba jonggol. Hal tersebut menunjukkan bahwa mikroba rumen domba garut dan domba jonggol memiliki kemampuan yang sama dalam memproduksi VFA, walaupun VFA cairan rumen domba garut lebih tinggi dari domba jonggol.

30 Hal ini sejalan dengan pernyataan Mendozaet al. (1993) bahwa populasi protozoa yang tinggi akan mendegradasi pati dalam jumlah yang sedikit sehingga akan menghasilkan VFA yang rendah. Produksi VFA total juga sangat berhubungan dengan mikroba rumen, khususnya bakteri selulolitik dan amilolitik (Church, 1979).

Asam Asetat

Produksi asam asetat yang dihasilkan dalam penelitian ini secara statistik tidak dipengaruhi oleh perlakuan ransum dan perlakuan bangsa begitu juga dengan interaksi keduanya. Produksi asam asetat terbesar yaitu domba garut yang mendapat pakan Indigofera sp. Hal ini dikarenakan domba garut lebih efisien dalam mencerna serat kasar pakan, dan Indigofera sp. merupakan pakan yang mudah dicerna serat kasarnya. McDonaldet al.(2002) mengatakan bahwa besarnya asam asetat yang dihasilkan dipengaruhi oleh kadar serat kasar ransum yang dikonsumsi ternak. Kandungan serat kasar ransum Indigofera sp. lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan serat kasar limbah tauge, namun asam asetat yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan ransum Indigofera sp. memproduksi asam asetat lebih banyak dari pada limbah tauge. Hal ini disebabkan serat kasar limbah tauge tidak mudah dicerna oleh ruminansia. Hal tersebut dapat dilihat dari kandungan NDF (Tabel 4) pakan Indigofera sp. lebih besar dari limbah tauge, sehingga Indigofera sp. dapat dimanfaatkan dengan baik oleh domba garut.

Asam Propionat

Asam propionat tergolong asam glukogenik, sebab di dalam hati asam tersebut diubah menjadi glukosa. Secara umum glukosa berguna sebagai sumber energi utama bagi organ-organ tubuh, antara lain: otak, syaraf, kelenjar susu dan janin. Menurut Brockman (1993) kurang lebih 50% glukosa pada ternak ruminansia berasal dari asam propionat. Asam propionat yang dihasilkan dalam penelitian ini tidak dipegaruhi oleh perlakuan ransum dan jenis bangsa domba. Asam propionat tertinggi terdapat pada domba jonggol yang diberi ransum berbasis Indigofera sp. yaitu sebesar 38,087 mM. Semakin tinggi kandungan karbohidrat mudah dicerna maka kandungan propionat juga akan semakin tinggi. Hal ini didukung oleh pH rumen pada domba jonggol yang diberi pakan Indigofera sp. lebih rendah dari perlakuan yang diberikan. pH yang semakin rendah menunjukkan bahan makanan

31 didalam rumen mudah difermentasi oleh mikroba. Hal ini menunjukkan pakan

Indigofera sp. mudah difermentasi oleh domba jonggol sehingga lebih efisien untuk

program penggemukan. Peningkatan propionat sangat penting untuk domba pedaging karena merupakan sumber energi. Propionat yang terserap dapat menyuplai 30% (atau lebih) glukosa untuk ruminansia (Parakkasi, 1999).

Imbangan Asetat dan Propionat

Nisbah C2/C3 di dalam rumen dapat memberikan indikasi tentang pemanfaatan hasil fermentasi tersebut lebih ke arah penggemukan dibandingkan ke arah pembentukan susu (Arora,1989). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa nisbah terkecil terdapat pada domba jonggol. Hal ini mengindikasikan bahwa domba jonggol lebih cocok digunakan untuk domba penggemukan dibandingkan dengan domba garut.

Asam Butirat

Produksi asam butirat pada penelitian ini tidak nyata dipengaruhi perlakuan. Produksi asam butirat tertinggi dihasilkan oleh domba jonggol yang mendapat ransum Indigofera sp.Produksi asam butirat tertinggi dihasilkan oleh ransum

Indigofera sp. yaitu sebesar 9,629 mM. Menurut McDonald et al.(2002) asam butirat

dapat dibentuk didalam rumen dari asam asetat atau dari gabungan yang membangkitkan aktivitas acetil coenzim A seperti asam piruvat dan glutamat. Selanjutnya dikatakan bahwa asam lemak rantai panjang dan asam lemak bercabang oleh sel-sel mikroba rumen akan merangsang pembentukan butirat.

McDonald et al. (2002) pada umumnya perbandingan proporsi molar VFA domba yang mendapat ransum hijauan dibanding konsentrat 70:30 sekitar 65% asetat (C2),20% propionat (C3), 10% butirat (C4) dan 5% valerat (C5). Proporsi VFA dalam cairan rumenbervariasi tergantung dari macam ransum dan waktu setelah makan. Hasil analisis proporsi molar VFA pada penelitian ini adalah 38,2% asetat, 35,7% propionat, 19,1% butirat dan 7% valerat. Ransum yang mengandung proporsi konsentrat lebih banyak dari hijauan akan rnenghasilkan perbandingan 45% asetat, 40% propionat, 5-10% butirat dan 2-8% valerat. Apabila konsentrat dalamransum meningkat, maka proporsi asetat menurun dan asam propionat meningkat(Ranjhan, 1980).

32 Pengaruh perlakuan dapat meningkatkan proporsi propionat dan butirat, namun menurunkan proporsi asetat. Secara biokimia propionat dibentuk dari glukosa, xilosa dan laktat melalui dua cara yaitu jalur reduksi langsung dan jalur asam dikarboksilat melalui interaksi mikroorganisme rumen. Peningkatan proporsi propionat dapat disebabkan oleh pergeseran penggunaanH2 hasil fermentasi untuk produksi propionat akibat rendahnya aktifitas bakteri pembentuk metan (CH4). Sedangkan penurunan proporsi asetat disebabkan karena piruvat lebih banyak dikonversi menjadi Acetyl Coenzym A yang merupakan prekusor pembentukan butirat, sehingga proporsi butirat meningkat.

VFA Parsial Lainnya

Menurut McDonald et al. (2002) dari proses fermentasi akan dihasilkan pula isobutirat, valerat, dan isovalerat walaupun dalam jumlah kecil. Seperti asam-asam VFA lain yang telah disebutkan sebelumnya, produksi asam isobutirat, valerat, dan isovalerat tertinggi pada penelitian ini adalah domba garut yang diberikan ransum

Indigofera sp.Asam isobutirat, isovalerat, valerat tidak berbeda nyata terhadap

pengaruh perlakuan. Produksi isobutirat, dan isovalerat meningkat seiring dengan meningkatnya produksi NH3. Konsentrasi isobutirat yang tinggi dalam cairan rumen dapat dimanfaatkan sebagai sumber kerangka karbon untuk pembentukan sintesis protein mikroba. Hungate (1966) mengatakan bahwa asam amino valin di dalam rumen akan difermentasikan menjadi isovalerat. Hal ini tergantung dari aktivitas rumen, sedangkan aktivitas mikroba rumen tersebut dipengaruhi oleh ransum yang dikonsumsi. Dengan semakin tingginya asam amino valin dan leusin dalam ransum, maka produksi asam isobutirat dan isovalerat cenderung meningkat.

Jumlah VFA yang terbentuksangat dipengaruhi oleh kecernaan serta ransum yang difermentasi(Baldwin,1995). Proporsi asam asetat, asam propionat dan asam butirat dipengaruhi oleh macam pakan (Orksov dan Rycle, 1990). Penjelasan lebih lanjut oleh Ranjhan (1980), konsentrasi VFA dalam rumen akan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah macam karbohidrat, gerak laju pakan meninggalkan rumen dan kandungan karbohidrat struktural (selulosa dan hemiselulosa). Owen dan Zim (1988) menyatakan bahwa konsentrasi VFA di dalam rumen, juga sangat ditentukan oleh pH rumen dan macam pakan yang dikonsumsi.

33

Kecernaan Bahan Kering (KCBK)

Kecernaan bahan kering merupakan suatu tolak ukur untuk menentukan kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering, maka semakin tinggi pula zat-zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering ransum berbasis

Indigofera sp.lebih tinggi jika dibandingkan dengan ransum berbasis limbah tauge

(P<0,05). Lebih tingginya Indigofera sp. dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi VFA pada ransum yang mengandung Indigofera sp. begitu juga halnya dengan konsentrasi amonia yang lebih tinggi. Kandungan serat kasar limbah tauge yang lebih tinggi dari pada Indigofera sp. juga dapat menyebabkan kecernaan bahan keringnya lebih rendah. Tingginya serat kasar pada ransum dapat menyebabkan mikroba rumen tidak dapat mendegradasi pakan secara maksimal (McDonald et al., 2002). Serat kasar biasanya kaya akan lignin dan selulosa (Sutardi, 1980). Kandungan lignin pada pakan tersebut dapat mengakibatkan pakan menjadi sukar larut sehingga jumlah pakan yang didegradasi pun menjadi sedikit (Selly, 2004).

Tabel 8. Rataan Kecernaan Bahan Kering dengan Tehnik RUSITEC

Bangsa Ransum Rataan

R1 (%) R2 (%)

D1 68,53 ± 0,21 63,09 ± 5,72 65,81 ± 4,56

D2 68,73 ± 0,77 62,42 ± 4,08 65,57 ± 4,36

Rataan 68,63a ± 0,47 62,71b ± 4,07

Keterangan : a, b) Superskrip yang tidak sama dalam satu baris berarti berbeda nyata (P<0,05).Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.

Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda (Sutardi, 1980). Indigofera sp. merupakan jenis leguminosa yang memiliki kandungan protein lebih tinggi dari limbah tauge. Perlakuan terhadap dua bangsa tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering begitu juga interaksi keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba rumen domba garut dan domba jonggol memiliki karakteristik yang sama dalam mendegradasi pakan. Nilai kecernaan bahan kering ransum yang mengandung 30% Indigofera sp. dan limbah

34 tauge dapat dikatakan tinggi yaitu sekitar 62-68%. Hal ini dikarenakan adanya karbohidrat yang mudah didegradasi yang terkandung dalam ransum penelitian seperti molases. Sari (1989) menyatakan bahwa penambahan molases pada ransum mengakibatkan mikroorganisme rumen mampu merombak serat kasar menjadi lebih cepat dicerna. Selain itu, penambahan molases akan meningkatkan daya cerna karena molases merupakan sumber karbohidrat mudah larut dan banyak energi yang tersedia yang mampu mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dengan cepat.

Kecernaan Bahan Organik (KCBO)

Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan (Sutardi, 1980). Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan maka semakin banyak zat gizi yang diserap tubuh. Nilai suatu pakan dipengauhi oleh zat gizi yang diserap tubuh (Silalahi, 2003). Bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tingginya bahan organik yang dikonsumsi akan menghasilkan nilai degradasi bahan organik yang semakin tinggi. Degradasi bahan organik diukur karena komponen dari bahan organik sangat dibutuhkan untuk hidup pokok dan produksi (Rahmawati, 2001).

Hasil analisis ragam menujukkan kecernaan bahan organik ransum yang mengandung Indigofera sp. sebanyak 30% lebih tinggi dari ransum yang

Dokumen terkait