• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legum pohon merupakan hijauan pakan yang dikenal sebagai sumber protein. Namun, dengan melihat kandungan mineralnya yang tinggi, legum pohon dapat dimanfaatkan sebagai sumber mineral makro. Kadungan mineral seperti Ca dan Mg pada legum pohon lebih tinggi dari rumput (Serra et al., 1996). Kualitas hijauan pakan ditentukan oleh komposisi kimia hijauan. Hasil analisa komposisi kimia pakan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Nutrisi Beberapa Jenis Legum Pohon (%BK)

Nutrien Legum

Angsana Turi Gamal Lamtoro Kaliandra

Abu 6,27 7,60 7,62 7,24 4,46 Protein Kasar 20,15 20,99 18,58 22,76 18,70 Serat Kasar 23,25 21,71 19,74 18,47 19,46 Lemak Kasar 1,33 1,33 2,07 3,02 1,45 Beta-N 33,13 28,57 38,53 37,76 42,93 Ca 1,02 1,27 1,45 1,74 0,95 P 0,31 0,37 0,27 0,35 0,25 Ca : P 3 : 1 3 : 1 5 : 1 5 : 1 4 : 1

Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan

Legum pohon yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan protein kasar 18,58 sampai 22,76%BK. Lamtoro memiliki kandungan protein kasar (PK) yang lebih tinggi dan serat kasar (SK) yang lebih rendah dibandingkan dengan legum yang lain, tetapi rasio Ca : P sangat besar (5:1). Rasio Ca : P dalam ransum sangat penting dibandingkan dengan jumlahnya, karena kedua mineral tersebut saling mempengaruhi. Rasio Ca : P yang direkomendasikan adalah (1:1) sampai (2:1), tetapi pada umumnya ternak ruminansia lebih tahan terhap rasio Ca : P yang luas dibanding hewan–hewan monogastrik (Parakkasi, 1999). Rasio Ca : P legum angsana lebih baik diantara legum yang lain (3:1), tetapi kandungan serat kasar angsana lebih tinggi yaitu 23,25 %BK. Kandungan serat kasar pada pakan dapat mempengaruhi kecernaan pakan.

Degradasi Pakan

Tingkat degradasi pakan dapat digunakan untuk mengetahui tinggi rendahnya kualitas pakan. Jumlah pakan yang didegradasi dapat menunjukkan porsi pakan yang dapat dicerna. Laju degradasi legum pohon dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Laju Degradasi Beberapa Legum Pohon (%BK) Waktu inkubasi

(jam)

Legum

Angsana Turi Gamal Lamtoro Kaliandra

0 5,00 12,73 8,63 9,91 5,70 3 9,59C 15,84A 10,83B 11,04B 5,34D 6 13,17B 18,40A 12,78B 12,08C 6,02D 9 15,98B 20,53A 14,51B 13,06C 6,67D 12 18,19B 22,32A 16,04B 13,97C 7,30D 24 23,25B 28,49A 20,64B 17,03C 9,57D 48 26,11B 31,84A 25,41B 21,08C 13,49D 72 26,65C 34,31B 27,52C 23,39D 17,14D kinetik model a 5,00 12,73 8,63 9,91 5,70 b 21,79 31,75 21,47 16,54 13,49 a+b 26,79B 44,48A 30,10A 26,45B 19,19C c 0,08A 0,05A 0,04A 0,02B 0,02B

Keterangan: superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

a : fraksi terlarut (%BK)

b : materi tidak larut tetapi bisa difermentasi(%BK) (a+b) : potensial degradasi(%BK)

c : laju degradasi (jam-1)

Tingkat degradasi mulai menunjukkan perbedaan setelah inkubasi selama tiga jam. Tingkat degradasi yang paling tinggi selama inkubasi tiga jam adalah daun turi sedangkan yang paling rendah adalah daun kaliandra. Tingkat degradasi daun angsana selama inkubasi tiga jam lebih rendah dari daun turi tetapi lebih tinggi dari tingkat degradasi daun gamal dan lamtoro. Tingkat degradasi selama inkubasi 6 sampai 48 jam dimulai dari yang tertinggi sampai terendah adalah turi > gamal dan angsana > lamtoro > kaliandra. Tingkat degradasi lamtoro lebih rendah karena lamtoro dan kaliandra mengandung tannin yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Karti (1998), bahwa kaliandra mengandung tannin yang cukup tinggi (1– 3 %) sehingga daya cernanya rendah. Lamtoro mengandung zat anti nutrisi berupa tannin (10,15%) dan mimosin (3–5%) dari bahan kering. Kecernaan lamtoro berkisar antara (65–87%) (Skerman,1977).

Daun turi memiliki tingkat degradasi 6,32 % lebih tinggi dari daun lamtoro dan 12,38% dari daun kaliandra selama inkubasi enam jam. Tingkat degradasi daun lamtoro lebih rendah 8,35% dari daun turi, 4,22% dari daun angsana dan 2,07% dari daun gamal, sedangkan tingkat degradasi kaliandra lebih rendah 15,02% dari daun turi, 10,89% dari daun angsana dan 8,74% dari daun gamal selama inkubasi 12 jam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khamseekhiew et al., (2001) bahwa degradasi bahan kering pada gamal lebih tinggi dari lantoro pada periode inkubasi di atas 6 jam.

Selama inkubasi 24 jam tingkat degradasi lamtoro lebih rendah 11,46% dari daun turi, 6,22% dari daun angsana dan 3,61% dari daun gamal. Demikian pula kaliandra memiliki tingkat degradasi 13,68%, 18,92% dan 11,07% lebih rendah dari daun angsana, turi dan gamal. Penambahan waktu inkubasi dari 12 jam hingga 24 jam dapat meningkatkan nilai tercerna pakan dengan rataan mencapai 4,23%.

Daun angsana dan gamal memiliki tingkat degradasi yang lebih tinggi walaupun kandungan serat kasarnya juga tinggi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan daun lamtoro dan kaliandra yang kandungan serat kasarnya lebih rendah namun tinggkat degradasinya juga rendah. Rendahnya tingkat degradasi daun lamtoro dan kaliandra disebabkan adanya zat anti nutrisi berupa mimosin dan tannin yang dapat melindungi lamtoro dan kaliandra dari mikroba yang akan mencernanya selama inkubasi.

Fraksi terlarut (a) adalah kandungan bahan pakan yang dapat larut dalam air dan dapat dicerna tanpa proses fermentasi seperti glukosa. Materi yang tidak larut tetapi dapat didegradasi dalam waktu tertentu disimbolkan (b). Potensial degradasi merupakan jumlah dari degradasi fraksi terlarut dan materi yang tidak terlarut (a+b). Jumlah pakan yang didegradasi setiap satuan waktu disebut laju degradasi (c).

Degradasi fraksi terlarut (a) kelima jenis legum tersebut tidak berbeda. Sama halnya dengan nilai fraksi terlarut (a) nilai fraksi tidak larut tetapi masih bisa difermentasi (b) kelima jenis legum tersebut juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Nilai fraksi tidak larut (b) daun kaliandra lebih rendah dibandingkan dengan nilai b pada daun legum lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi substrat yang akan terfermentasi pada kaliandra tidak akan berperan signifikan dalam nilai kelarutan mineral yang dikandungnya.

Potensial degradasi (a+b) kelima jenis legum tersebut sangat berbeda nyata (P<0.01). Daun turi dan gamal memiliki nilai potensial yang lebih tinggi, sedangkan daun legum yang memiliki nilai potensial degradasi yang rendah adalah angsana dan kaliandra. Laju degradasi (c) daun angsana, turi dan gamal sangat berbeda dengan laju degradasi daun lamtoro dan kaliandra. Laju degradasi (c) daun lamtoro dan kaliandra lebih rendah karena lamtoro dan kaliandra mengandung mimosin dan tannin yang menghambat pencernaan oleh mikroba selama inkubasi dalam cairan rumen.

Kelarutan Mineral

Mineral merupakan elemen–elemen atau unsur kimia selain dari karbon, hidrogen dan nitrogen (Piliang, 2001). Mineral makro (Ca dan P) yang terlarut dan yang tidak terlarut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kelarutan Mineral Selama Inkubasi 12 dan 24 Jam (mg/kg BK Sampel)

Legum

Angsana Turi Gamal Lamtoro Kaliandra

12 Jam Ca terlarut -0,65A -0,83A -2,09B -2,91B -2,68B tidak terlarut 12,80D 15,34C 16,54B 19,73A 12,09D P terlarut -5,80A -7,40B -7,44B -10,07C -7,37B tidak terlarut 7,90D 10,27B 9,31C 12,12A 8,74E 24 Jam Ca terlarut 1,92A 1,29A 0,96A -0,15B -0,30B tidak terlarut 10,24C 13,21B 13,48B 16,96A 9,71C P terlarut 5,33B 2,98C 6,86A 4,75B 0,02D tidak terlarut 6,83D 11,51A 7,58C 12,06A 9,39B Keterangan: superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata

(P<0,01)

Nilai kelarutan Ca dan P dalam cairan rumen berbeda untuk setiap jenis daun legum. Selama inkubasi 12 jam kandungan Ca tidak larut yang tertinggi terdapat pada lamtoro. Jumlah Ca terlarut selama inkubasi 12 jam pada masing–masing legum bernilai negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah Ca yang tidak larut lebih besar dibandingkan jumlah Ca yang terdapat dalam pakan. Hal ini bisa terjadi pada saat inkubasi selama 12 jam mikroba sedang aktif mencerna daun legum tersebut,

sehingga Ca yang terdapat dalam daun mengalami proses mobilisasi menjadi Ca-organik yakni terikat dalam sel mikroba. Dengan demikian jumlah Ca yang tidak larut lebih tinggi dibandingkan jumlah Ca dalam pakan. Akibatnya jumlah Ca yang terdapat larutan bernilai negatif.

Tidak jauh berbeda dengan Ca yang tidak terlarut, P yang tidak terlarut tertinggi juga terdapat pada daun lamtoro, dan sedikit lebih rendah dibawahnya adalah daun turi. P terlarut selama inkubasi 12 jam juga bernilai negatif. Hal tersebut karena sifat mineral P yang sangat mobile. Kondisi ini tidak berbeda dengan yang terjadi pada mineral Ca. Mineral P mengalami mobilisasi dan terikat oleh mikroba menjadi P-organik atau mineral P diikat oleh mineral Ca yang pada saat itu menjadi Ca-organik.

Nilai kelarutan Ca dan P dapat terlihat setelah inkubasi 24 jam. Kelarutan Ca daun angsana, turi dan gamal sangat berbeda dengan lamtoro dan kaliandra. Kelarutan Ca lamtoro dan kaliandra masih bernilai negatif. Kelarutan mineral P kelima jenis legum setelah inkubasi 24 jam menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). Kelarutan mineral P diurutkan dari yang paling tinggi sampai terendah berturut-turut adalah daun gamal > turi > angsana dan lamtoro > kaliandra.

Sama halnya dengan degradasi pakan rendahnya kelarutan Ca dan P pada lamtoro dan kaliandra disebabkan oleh kandungan anti nutrisi pada kedua legum tersebut. Lamtoro dan kaliandra mengandung antinutrisi mimosin dan tannin. Keir et

al., (1997) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa mimosin dan tannin dapat

mengurangi fermentabilitas pakan oleh mikroba dalam rumen. Produksi VFA

Volatile Fatty Acids (VFA) yang biasa disebut asam lemak terbang merupakan hasil pencernaan karbohidrat oleh mikroba dalam cairan rumen. Komponen asam lemak terbang dalam rumen adalah asam asetat, asam propionat, asam – asam lemak rantai cabang berasal dari katabolisme protein. Konsentrasi asam lemak terbang cairan rumen dapat digunakan sebagai salah satu tolak ukur fermentabilitas pakan dan sangat erat kaitannya dengan aktivitas mikroba rumen (Sewed, 1997). VFA mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber energi utama bagi ternak dan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein mikroba (Sutardi et al., 1983). Jika produksi VFA yang dihasilkan tinggi, maka

mengindikasikan bahwa energi yang tersedia bagi mikroba rumen juga semakin tinggi sehingga aktivitas fermentasi mikroba juga dapat meningkat. Konsentrasi VFA dari berbagai jenis legum pohon dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Produksi VFA Beberapa Legum Pohon

Produksi VFA (mM) Legum

Angsana Turi Gamal Lamtoro Kaliandra

12 jam 57,73 99,20 79,56 60,24 55,25

24 jam 57,73 75,84 96,08 92,83 93,25

Produksi VFA rataan hasil penelitian ini berkisar 55,25–99,20 mM. Suryapratama (1999) menyatakan bahwa kisaran konsentrasi VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak adalah 80–160 mM, dengan titik optimum 110 mM.

Secara umum konsentrasi VFA dari berbagai jenis legum pohon tidak menunjukkan adanya perbedaan (P>0,05). Banyaknya VFA yang dihasilkan didalam rumen sangat bervariasi tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald

et al., 1988). Konsentrasi VFA pada angsana, turi dan gamal selama inkubasi 12 jam

lebih tinggi dari lamtoro dan kaliandra. Akan tetapi, setelah inkubasi 24 jam konsentrasi VFA dari daun turi mengalami penurunan bertolak belakang dengan konsentrasi gamal, lamtoro dan kaliandra yang semakin meningkat.

Rendahnya konsentrasi VFA pada lamtoro dan kaliandra selama inkubasi 12 jam pertama disebabkan oleh aktivitas mikroba rumen. Konsentrasi VFA meningkat setelah inkubasi selama 24 jam mengindikasikan bahwa mikroba rumen membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mencerna lamtoro dan kaliandra. Lamtoro dan kaliandra mengandung anti nutrisi tannin sehingga daya cernanya rendah.

Produksi Amonia (NH3)

Amonia (NH3) merupakan salah satu hasil perombakan protein oleh mikroba rumen. Konsentrasi NH3 cairan rumen akan meningkat jika populasi protozoa meningkat, karena protozoa ikut berperan dalam proses daur ulang nitrogen (Sewed, 1997). Konsentrasi NH3 dari beberapa jenis legum pohon disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Konsentrasi NH3 Beberapa Jenis Legum Pohon

Produksi NH3 (mM) Legum

Angsana Turi Gamal Lamtoro Kaliandra

12 jam 12,28B 28,83A 8,30C 6,30C 2,51C

24 jam 19,93B 39,55A 13,33C 11,30D 3,49E

Keterangan: superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Konsentrasi NH3 yang ditunjukkan beberapa jenis legum pohon diatas cukup tinggi. Konsentrasi optimal NH3 untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen berkisar antara 85–300 mg/l atau 6–21 mM (McDonald, 1995), dengan titik optimum 8 mM (Suryapratama, 1999). Konsentrasi NH3 pada lamtoro, kaliandra dan gamal yang diinkubasi selama 12 jam nyata lebih rendah dibandingkan legum yang lainnya. Legum yang memiliki konsentrasi NH3 yang paling tinggi baik pada inkubasi selama 12 jam maupun 24 jam adalah turi. Hal ini karena kandungan protein kasar pada turi lebih tinggi dibanding legum yang lain, sedangkan lamtoro mempunyai nilai kecernaan yang rendah meskipun protein kasarnya tinggi. Selain itu kaliandra memiliki zat anti nutrisi tanin yang menghambat kerja mikroba rumen dalam mencerna pakan. Produksi NH3 tergantung dari kelarutan protein ransum, jumlah protein ransum, lamanya pakan dalam rumen dan pH rumen (Orskov, 1982).

Hubungan Laju Degradasi Bahan Kering dengan Produksi VFA dan NH3

Hubungan laju degradasi dengan produksi VFA dan NH3 beberapa legum pohon dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hubungan Laju Degradasi Bahan Kering dengan Produksi VFA dan NH3

Korelasi Laju Degradasi (c) VFA (12 jam) -0,518

VFA (24 jam) -0,831 Laju Degradasi (c) NH3 (12 jam) 0,935

NH3 (24 jam) 0,931

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara laju degradasi (c) dengan konsentrasi NH3. Semakin tinggi laju degradasi maka konsentrasi NH3 semakin tinggi. Akan tetapi, laju degradasi berbanding

terbalik dengan konsentrasi VFA dalam rumen. Hal ini karena legum yang digunakan dalam percobaan ini mengandung protein yang tinggi. Pakan yang mengandung protein tinggi dan kandungan serat kasar yang relatif rendah jika dibandingkan umumnya hijauan pakan, sehingga produksi NH3 tinggi, tetapi produksi VFA rendah.

Dokumen terkait