• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kapasitas Fiskal

Dalam dokumen Jejak Vol.1 No.1 20081 (Halaman 68-72)

DENGAN TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kapasitas Fiskal

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia memberi wacana baru bagi upaya daerah untuk mengembangkan wilayahnya. Salah satu variabel yang diharapkan untuk mendorong kemajuan perekonomian daerah adalah dana alokasi umum. Pertimbangan atau alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah antara lain adalah untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal dan untuk mengatasi ketimpangan horisontal antar-daerah.

Adanya perbedaan potensi (fiscal capacity) yang dimiliki antar-daerah di Indonesia, sudah bisa menjadi alasan untuk terjadinya kecemburuan dan ketimpangan pertumbuhan antar-daerah. Apalagi jika kebutuhan (fiscal needs) lebih besar daripada potensi yang dimiliki masing-masing daerah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan fiskal (fiscal gap). Jika dideskripsikan lebih rinci, masalah in-equality penting karena menyebabkan

beberapa hal: Pertama, ketimpangan pendapatan menyebabkan in-efisiensi ekonomi. Kedua, disparitas pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas. Ketiga, ketimpangan menye-babkan alokasi aset yang tidak efisien. Keempat, tidak tercapainya standar penyediaan minimum antar-daerah.

Tabel 1 menunjukkan kapasitas fiskal daerah yang beragam di 26 propinsi di Indonesia. Hanya ada 2 daerah yang relatif konsisten memiliki kapasitas fiskal lebih besar dari 100 yakni Jawa Timur dan Bali. Selama periode 1999-2002 rata-rata pencapaian kapasitas fiskal kedua daerah ini masing-masing 157,37 dan 132,93 persen. Artinya kedua daerah ini memiliki sumber “surplus” untuk mendanai belanja rutin. Dengan kata lain, Jawa Timur dan Bali sudah mampu membiayai belanja rutin dari PAD.

Tabel 1. Kapasitas Fiskal Daerah di Indonesia, 1999-2002 Tahun No. Propinsi 1999 2000 2001 2002 1 N. Aceh Darussalam 33.99 36.71 18.17 18.98 2 Sumatera Utara 92.76 116.17 67.34 71.48 3 Sumatera Barat 56.28 75.80 54.43 59.42 4 Riau 60.14 60.45 75.15 61.29 5 Jambi 54.58 69.05 50.21 38.69 6 Sumatera Selatan 60.52 51.93 53.51 47.07 7 Bengkulu 32.96 33.26 22.36 17.73 8 Lampung 56.11 67.28 63.17 46.81 9 DKI Jakarta 68.84 111.15 78.17 88.73 10 Jawa Barat 70.58 91.82 78.81 80.64 11 Jawa Tengah 59.33 87.34 73.90 69.24 12 DI Jogjakarta 55.65 78.19 51.74 47.17 13 Jawa Timur 129.80 203.13 188.67 107.88 14 Kalimantan Barat 56.20 55.21 44.71 43.14 15 Kalimantan Tengah 21.06 28.01 21.73 23.62 16 Kalimantan Selatan 38.76 49.06 46.33 47.31 17 Kalimantan Timur 23.20 35.12 24.71 30.33 18 Sulawesi Utara 30.73 51.49 33.12 29.23 19 Sulawesi Tengah 51.08 44.64 32.35 25.79 20 Sulawesi Selatan 56.70 79.97 61.44 57.12 21 Sulawesi Tenggara 27.45 26.27 22.17 25.93 22 Bali 156.85 181.10 107.33 86.43 23 Nusa Tenggara Barat 59.94 43.42 30.46 37.16 24 Nusa Tenggara Timur 33.00 32.59 27.40 18.90

25 Maluku 28.29 30.74 9.67 8.02 26 Papua 12.23 9.78 11.52 7.47 Sumber: Statistik Keuangan Daerah Propinsi, 1999-2002,

Pada tabel 1 di atas juga mengindikasikan adanya kesenjangan kapasitas fiskal yang cukup parah antar daerah. Di Sumatera misalnya, hanya Sumatera Utara yang memiliki kapasitas fiskal lebih dari 80 persen. Di lain pihak, kapasitas fiskal di Jawa relatif lebih merata (kecuali Jogjakarta). Bandingkan dengan pencapaian kapasitas fiskal di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Bahkan di daerah yang terkenal memiliki sumber daya alam melimpah (seperti; Riau dan Kalimantan Timur), pencapaian kapasitas fiskal tergolong rendah. Kondisi ini meng-indikasikan bahwa daerah-daerah di Indonesia banyak bergantung pada “faktor pemberian alam”.

Selain itu, eksplorasi sumber daya alam di dae-rah justru banyak menyumbang pada penerimaan pungutan pusat sehingga tidak memberi implikasi langsung pada PAD. Fiscal gap yang terjadi di daerah-daerah akan mempengaruhi kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan fasilitas daerah atau fasilitas publik.

2. Hubungan Kapasitas fiskal dan Kemiskinan a. Regresi Data Panel

Data Panel adalah merupakan kombinasi dari data runtut waktu dan silang tempat yaitu memiliki observasi dari analisis unit pada titik waktu tertentu. Keunggulan data panel antara lain; pertama, memunculkan heterogenitas secara eksplisit ke dalam perhitungan dengan memasukkan variabel-variabel spesifik. Kedua, menyajikan data yang informatif, bervariasi, kolinearitas antar variabel lebih rendah, menambah jumlah derajat kebebasan, dan lebih efisien. Ketiga, dengan masuknya observasi silang tempat, data panel dianjurkan untuk studi perubahan dinamis. Keempat, lebih mampu mende-teksi dan mengukur efek dibandingkan dengan data silang tempat dan silang waktu murni. Kelima, menghasilkan model perilaku yang lebih kompleks.

Keenam, meminimumkan bias pada data ketika

dilakukan agregasi.

Regresi data panel berbeda dengan regresi runtut waktu (time series) dan regresi silang tempat (cross section). Model persamaannya ditunjukkan berikut: i t 2 2 t 1 1 0 kap_fiskal PDRB u poor=α +α +α +

Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Kapasitas fiskal (kap_fiskal) diukur dengan rasio PAD terhadap Belanja Rutin di masing-masing propinsi --- sebagai proyeksi kemampuan fiskal daerah

2. Kemiskinan (poor) – sebagai variabel independen yang menunjukkan kondisi sosial.

3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)--- seba-gai pangsa pasar daerah dan variabel kontrol kebijakan fiskal.

Dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) dan model fixed effect maka diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

i t 2 t 1 0,000164PDRB u fiskal _ kap 21 , 4 poor=− − + t-stat (-3,79) (-5,24) R2 = 0,96 dw-stat = 1,8 Interpretasi model

1. Pada model fixed effect, intersep terletak pada masing-masing provinsi.

2. Berdasarkan uji t-statistik kapasitas fiskal bertanda negatif dan secara statistik signifikan terhadap kemiskinan. Berarti ketika kapasitas fiskal meningkat maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Perbedaan kapasitas fiskal masing-masing daerah juga kan mempengaruhi pengalo-kasian atau skal prioritas juga akan bervariasi. 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

bertanda negatif dan secara signifikan terhadap kemiskinan berarti ada stimulus fiskal terhadap kemiskinan.

4. R2 menunjukkan variasi proporsi kontribusi varia-bel kapasitas fiskal dan PDRB terhadap kemis-kinan sebesar 96,3%.

b. Pengujian Asumsi Klasik 1. Multikolinearitas

Multikolinearitas diartikan sebagai adanya hubungan yang pasti (exact) di antara beberapa atau semua variabel bebasnya dalam suatu model regresi. Pada kasus munculnya multikolinearitas, R2

sangat tinggi namun tidak ada koefisien regresi yang signifikan secara statistik.

Dari model yang diestimasi dengan bobot menunjukkan R2 yang tinggi yakni 0,96 namun hanya satu koefisien yang tidak signifikan. Artinya, multi-kolinearitas dalam model ini bisa diabaikan

2. Heterokedastisitas

Pada umumnya model OLS masih terdapat informasi yang tidak seimbang sehingga peluang munculnya masalah heteroskedastisitas lebih besar. Gujarati (2003:395) menyarankan estimasi dengan menggunakan Generalized Least Square (GLS) yang mempunyai kapasitas secara eksplisit menghasilkan estimator yang BLUE.

3. Autokorelasi

Istilah autokorelasi diartikan sebagai adanya “korelasi antar anggota series dari observasi baik pada time series maupun cross-section. Autokorelasi sebagai masalah klasik seringkali terjadi karena; masalah inersia dalam variabel ekonomi, bias spesifikasi, fenomena Cobweb (ada pola musiman), penggunaan time-lag, manipulasi data, transformasi data yang tidak tepat, dan non-stasionaritas.

Salah satu teknik untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah dengan memperhatikan nilai Durbin-Watson statistik (d-statistik) dan membandingkannya dengan nilai d- tabel. Berdasar-kan nilai dw-statitik sebesar 1,86 (dL = 1,613; du = 1,736) menunjukkan bahwa model persamaan bebas autokorelasi positif dan negatif .

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 1. Kesimpulan

Berdasarkan bahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Kapasitas fiskal masing-masing daerah berpe-ngaruh pada tingkat kemiskinan. Berarti ketika kapasitas fiskal meningkat maka akan menurun-kan tingkat kemiskinan. Perbedaan kapasitas fiskal masing-masing daerah juga kan mempe-ngaruhi pengalokasian atau skal prioritas juga akan bervariasi.

b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpe-ngaruh terhadap kemiskinan berarti ada stimulus fiskal terhadap kemiskinan

2. Implikasi Kebijakan

Beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Pemerintah daerah harus mampu meningkatkan kapasitas fiskal dan PDRB sebagai solusi untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

b. Adanya pelimpahan kewenangkan ke daerah berarti pemerintah harus mampu meningkatkan tanggung jawab terhadap tingkat kesejahteraan di daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ehtisham, Bert Hofman (Maret 2000). “Decentralization-Opportunities and Risks”, IMF and World Bank Resident Mission.

Bank Indonesia (2003) Laporan Perekonomian Indonesia 2003, ISSN 0522-2572.

Bambang Brodjonegoro, “Otonomi Daerah dan Kondisi Fiskal Indonesia”, www. KPPOD.go.id.

Frida, Asnita (2003), Penanaman Modal Asing Langsung dan Efisiensi Kebijakan Fiskal Daerah di Indonesia 1998-2005, Tesis, tidak untuk dipublikasikan.

Gujarati, Damodar N. (2003) Basic Econometrics, Fourth Edition, Mc Graw Hill.

Isdijoso, Brahmantio, Wibowo, Tri (2004) “Analisis Kebi-jakan Fiskal Pada Era Otonomi Daerah:Studi Kasus Sektor Pendidikan di Kota Surakarta”, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.

Hyman, David N. (1996) Public Finance A Contemporary Apllication of Theory to Policy, Fifth Edition, The Dryden Press.

Kuncoro, M., (1995) “Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan Ketergantungan”, Prisma4: 3-17. Mckay, Andrew, (2002) Assesing The Impact of Fiscal Policy on Poverty, Discussion Paper, 2002/43, World Institute for Development Economics Research. Mardiasmo, (2002) Otonomi dan Manajemen Keuangan

Daerah, Penerbit Andi Yogyakarta.

PSEK-UGM (2003) Penyusunan Standar Pelayanan Mini-mal (SPM) Pemerintah, Laporan Akhir, Kota Surabaya.

Silver, C., Iwan J.A., and Larry S (2001) “Ïntergovermental Transfers and Decentralisation in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies 37(3): 345-361. Subiyantoro, Heru (2004), Kebijakan Fiskal: Pemikiran,

Konsep, dan Implementasi, Badan Analisa Fiskal, Jakarta: Departemen Keuangan.

Zandvakili, S., and Jeffrey A. Mills (2001) “The Distributional Implications of Tax and Transfer Program in US”, The Quarterly Review of Economics and Finance 4: 167-181.

PENGEMBANGAN PRODUKSI KERAJINAN SEBAGAI UPAYA

Dalam dokumen Jejak Vol.1 No.1 20081 (Halaman 68-72)

Dokumen terkait