• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepulauan Seribu memiliki luas kurang lebih 699.750 haterletak di lepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang (Santoso 2010). Kepulauan seribu terdiri atas 103 pulau, diantaranya terdapat Pulau Kotok dan Karang Bongkok yang menjadi lokasi penelitian.

Kawasan Kepulauan Seribu memiliki topografi datar hingga landai dengan ketinggian 0-2 meter di atas permukaan laut. Luas daratan dapat berubah oleh pasang surut dengan ketinggian pasang antara 1 - 1,5 meter. Morfologi Kepulauan Seribu merupakan dataran rendah, dengan perairan laut ditumbuhi karang yang membentuk atoll maupun karang penghalang. Atoll dijumpai diseluruh gugusan pulau, kecuali Pulau Pari sedangkan Fringing reef dijumpai antara lain P. Pari, P. Kotok dan P. Tikus.

Karang Bongkok memiliki luas kurang lebih 281.192 ha memiliki ekosistem pesisir seperti lamun dan terumbu karang dimana untuk ekosistem lamun ditemukan tidak terlalu banyak. Distribusi ekosistem lamun yang berada di daerah karang bongkok tidak tersebar secara merata, distribusi lamun tersebut secara kelompok pada beberapa lokasi atau area dengan kedalaman yang berbeda, namun kedalaman tersebut tidak signifikan. Berbeda halnya dengan ekosistem terumbu karang, distibusi ekosistem ini menyebar mengelilingi pulau mulai pada kedalam 50 cm hingga lebih dari 50 cm. Distibusi kedua ekosistem secara kasak mata tidak memiliki perbedaan dengan ekosistem yang berada di Pulau Kotok.

Distribusi ekosistem lamun dan terumbu karang yang berada di perairan Pulau Kotok hampir sama dengan distribusi yang terjadi di Karang Bongkok, dengan luasan Pulau Kotok kurang lebih 67.498 ha memiliki distribusi lamun yang lebih baik dibandingkan dengan Karang Bongkok. Begitu juga dengan ekosistem terumbu karang, namun pada daerah Pulau Kotok selain lamun dan terumbu karang terdapat juga patahan karang (Rubble) yang luasanya sangat besar.

Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan empat jenis lamun yang berada di perairan Pulau Kotok dan dua jenis lamun yang ditemukan perairan karang bongkok. Jenis lamun yang ditemukan adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acroides, Halophila minor dan Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata (Gambar 5).

Perbedaan komposisi jenis lamun yang ditemukan pada perairan Karang Bongkok dan Pulau Kotok, dikarenakan berkaitan dengan kemampuan adaptasi jenis lamun terhadap kondisi lingkungan yang berbeda (Lefaan 2008).

Gambar 5 Jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian

Komposisi jenis lamun pada kedua lokasi dapat dilihat pada Tabel 6. Jenis lamun Thalassia hemprichii ditemui pada kedua lokasi pengamatan karena secara umum, T. hemprichii memiliki penutupan yang tinggi karena merupakan jenis yang umum ditemui dan tersebar luas di seluruh perairan Indonesia, termasuk di Karang Bongkok dan Pulau Kotok serta kemampuan tumbuhnya di berbagai macam tipe substrat seperti pasir berlumpur, pasir berukuran sedang dan kasar, hingga pecahan karang mati (Takadengan & Azkab 2010).

Tabel 6. Komposisi Jenis Lamun pada Pulau Kotok dan Karang Bongkok

Lokasi Spesies Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Enhalus acroides Halophila minor Halodule uninervis Pulau Kotok + - + + + Karang Bongkok + + - - -

Keterangan: + : dijumpai, -: tidak dijumpai

Berdasarkan tipe substrat di Karang Bongkok dicirikan oleh pasir yang bertekstur halus dan sedikit bercampur dengan pecahan karang mati, oleh karena itu jenis lamun T. hemprichii dan C. rotundata dapat tumbuh dengan baik. Kedua jenis lamun ini dapat memiliki toleransi yang tinggi untuk hidup pada perairan Karang Bongkok karena memiliki keadaan air yang jernih dan penetrasi cahaya yang menebus kolom perairan hingga ke dasar perairan dapat berlangsung terjadinya peroses forosintesis yang baik (Takadengan & Azkab 2010).

Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii

Halophila minor

Tipe substrat yang berada di Pulau Kotok adalah pasir halus yang sedikit berlumpur, bercampur dengan pecahan karang yang telah mati, jenis lamun E. acroides, H, minor dan Halodule uninervis dapat tumbuh di daerah tersebut dengan baik. E. acoroides merupakan jenis lamun yang sering mendominasi komunitas padang lamun, E. acoroides secara dominan dapat hidup pada substrat dasar berpasir dan kadang-kadang terdapat campuran pecahan karang mati (Sangaji 1994). Selain itu, E. acoroides umumnya tumbuh di sedimen yang berpasir atau berlumpur dan di daerah dengan bioturbasi tinggi serta dapat tumbuh menjadi padang yang monospesifik (Nienhuis et al 1989). Jenis Halodule uninervis seringkali tumbuh sebagai vegetasi spesies tunggal yang hidup pada substrat pasir halus sampai kasar di zona intertidal dan subtidal dan memiliki sebaran vertikal yang luas mulai dari zona intertidal sampai lebih dari 20 m (Hutomo et al 1988). Menurut Bengen (2001) H. uninervis yang berdaun kecil memiliki penyebaran yang hampir sama dengan E. acoroides, namun keberadaannya hanya terbatas pada bagian pinggir pantai yang paling dangkal, sehingga bila ada proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat mencapai dasar perairan sehingga tetap memberikan kesempatan bagi lamun jenis ini untuk tumbuh dan berfotosintesis.

Secara umum biomassa dan produksi lamun dapat bervariasi secara spasial dan temporal yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti nutrien dan cahaya (Tomascik et al 1987). Selain itu juga sangat tergantung pada spesies dan kondisi perairan lokal lainnya seperti kecerahan air, sirkulasi air dan kedalaman (Zieman 1987), suhu dan angin (Mellor et al 1993). Fortes (1990) menjelaskan bahwa besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan, tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan dari luasan lamun sendiri. Perbedaan biomassa lamun dapat berbeda sesuai menurut lokasi dan musim Nateekarnchanalarp (1992). Pada musim panas biomassa lamun H. ovalis tertinggi ditemukan di Chon Khram (1.09 gbk/m2) kemudian di Yai (0,93 gbk/m2) dan terendah di Hin Com (0,91 gbk/m2). Pada lokasi yang sama di Chon Khram biomassa lamun H. ovalis memiliki perbedaan berdasarkan musim. Biomassa tertinggi ditemukan sebesar 2,3 gbk/m2 pada musim hujan, yang kemudian disusul 1,09 gbk/m2 (musim panas) dan 0,14 gbk/m2 (musim dingin). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa persentase luas penutupan lamun yang tinggi belum tentu menghasilkan biomassa yang tinggi dibanding dengan persentase luas penutupan lamun yang lebih rendah.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Azkab (1992) Di kepulauan Seribu, jenis T. hemprichii menunjukkan rasio antara biomassa di bawah dan di atas substrat adalah 4,80 gbk/m2 di Pulau Pan dan Pulau Rambut dan 4,71 gbk/m2 di pulau Bidadari, Sedangkan pada jenis T. testudinum ditemukan rasio antara bagian dangkal dan bagian dalam padang lamun berbeda antara lokasi penelitian (Dawes & Tomasko 1988). Selain itu pada lokasi penelitian yang berbeda seperti di Egmont Key memiliki biomassa 3,19 pada bagian dangkal dan 0,79 gbk/m2 bagian dalam padang lamun. Sedangkan di Anclote Key memiliki biomassa masing-masing 1,31 gbk/m2 bagian dangkal dan 1,84 gbk/m2 bagian dalam dari lamun tersebut.

Pengolahan Citra Satelit Klasifikasi Habitat Dasar

Hasil klasifikasi perairan dangkal menggunakan algoritma klasifikasi SVM dengan tipe kernel radial basis function (rbf) pada Karang Bongkok dan Pulau Kotok dapat disajikan pada Gambar 6 dan 7. Klasifikasi habitat lamun pada citra hasil transformasi DII dan PCA, mampu mengidentifikasi kelas lamun dengan beberapa kelas penyusun habitat dasar perairan seperti rubble, karang, lagoon, pasir, pasir campur lamun dan pasir campur rubble dengan hasil pemetaan yang berbeda-beda.

Gambar 6 Hasil Klasifikasi habitat dasar menggunakan algoritma SVM di perairan Karang Bongkok pada citra hasil transformasi DII dan PCA

Klasifikasi habitat dasar perairan dengan algoritma SVM pada citra DII dan PCA di Karang Bongkok dan Pulau Kotok menghasilkan luasan yang berbeda-beda (Tabel 7).

Karang Bongkok

Tabel 7 Luasan hasil klasifikasi habitat dasar perairan

Kelas Karang Bongkok (ha) Pulau Kotok (ha)

DII PCA DII PCA

Terumbu Karang 335.23 337.70 86.72 87.06 Lamun 19.51 37.01 2.57 2.63 Lagoon 73.72 62.46 0.40 0.41 Pasir 2.44 2.43 0.44 0.43 Rubble 66.94 75.80 7.90 5.96 Pasir Lamun 13.80 13.21 10.02 9.86 Pasir Rubble 99.76 82.92 13.50 15.19

Terlihat dengan jelas hasil klasifikasi pada citra hasil transformasi PCA memiliki luasan yang lebih besar dibandingkan dengan luasan pada citra hasil transformasi DII. Hal tersebut dikarenakan bahwa penggunaan kanal pada saat proses klasifikasi citra. Citra hasil transformasi PCA menggunakan kanal coastal (kanal 1) hingga kanal red edge (kanal 6) pada citra WorldView-2, dimana ke enam kanal tersebut memiliki informasi penting yang saling berhubungan (Chauvaud 2010). Hasil dari transformasi PCA pada enam kanal sinar tampak di citra WorldView-2 berupa kanal baru PC1, PC2 dan PC3.

Gambar 7 Hasil Klasifikasi habitat dasar menggunakan algoritma SVM di perairan Pulau Kotok pada citra hasil transformasi DII dan PCA Kanal PC1 mengandung 90% informasi pada citra hasil transformasi (Pasqualini 1997; Danoedoro 2012), dimana penggunaan pada kanal PC1 yaitu dari kanal coastal hingga kanal red edge. Pengaruh kanal coastal hingga kanal yellow (kanal 4) lebih memberikan informasi mengenai habitat dasar perairan, Karena panjang gelombang pada kisaran kanal 1 hingga kanal 4 dapat menembus

Pulau Kotok

kolom perairan, sehingga informasi mengenai objek dasar perairan secara keseluruhan dapat terekam kembali oleh sensor. Sedangkan pengaruh kanal red dan red edge memberikan informasi tetnatng objek dasar perairan yang lebih keci. Hal tersebut dikarenakan panjang gelombang pada kanal red dan red edge tidak dapat menebus kolom perairan, atau dengan kata lain panjang gelombang tersebut habis terserap oleh air.

Kanal PC2 mengandung sekitar 5-7% dan kanal PC3 mengandung sekitar 2% informasi yang berada pada citra hasil transformasi tersebut (Danoedoro 2012). Penggunaan kanal pada PC2 yaitu kanal Blue hingga kanal red edge sedangkan pada PC 3 yaitu kanal green hingga red edge. Pengaruh kanal blue hingga kanal yellow ataupun kanal green hingga yellow hanya memberikan setengah dari informasi yang terdapat dari objek dasar perairan, karena kanal yang digunakan untuk mendeteksi objek dasar perairan pada kanal PC 2 dan PC3 tidak sama seperti pada kanal yang terdapat pada PC1. Kandungan nilai persentase terhadap informasi dasar perairan pada kanal PC1 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kanal PC2 dan PC3, hal tersebut dikarenakan bahwa PC1 terletak pada posisi distribusi piksel yang variasinya paling besar dari pada PC2 dan PC3. Akan tetepi, dengan nilai persentasi yang berbeda pada ketiga kanal PC tersebut saling melengkapi informasi yang terkandung didalamnya (Danoedoro 2012).

Berbeda halnya dengan citra DII yang memiliki luasan lebih rendah jika dibandingkan dengan citra transformasi PCA, hal tersebut dikarenakan terjadinya pengurangan informasi akibat proses koreksi kolom perairan (Danoedoro 2012). Kombinasi kanal yang digunakan pada saat proses koreksi kolom perairan yaitu kanal coastal-blue (kanal 1-2), kanal yellow-red (kanal 4-5) dan kanal red-red edge (kanal 5-6). Kombinasi dari ketiga kanal yang digunakan untuk proses selanjutnya merupakan hasil dari perhitungan nilai koefisiean atenuasi (ki/kj). Hasil perhitungan nilai ki/kj menujukan bahwa ketiga pasangan kanal tersebut memiliki nilai korelasi yang tinggi dibandingkan dengan pasangan kanal yang lain (Tabel 8).

Tabel 8 Nilai ki/kj pada Karang Bongkok dan Pulau Kotok Pasangan antar kanal Ki/Kj r2 Karang Bongkok Pulau Kotok Karang Bongkok Pulau Kotok Coastal-blue (1-2) 0.89 0.59 0.81 0.82 Yellow-Red (4-5) 0.91 0.71 0.98 0.95 Red-Red Edge (5-6) 3.21 2.79 0.88 0.72

Hasil perhitungan nilai ki/kj berkisar antara 0.89-3.21 merupakan kisaran nilai ki/kj perairan laut (Lyzenga 1981). Semakin besar nilai ki/kj menunjukan bahwa kemampuan identifikais tipe dasar perairan menurun. Koefisien atenuasi band spektral bervariasi tergantung tipe spesifik perairan untuk penentuan sampel pada citra. Hasil perhitungan nilai ki/kj pada penelitian ini menunjukan bahwa pasangan band Red-Red Edge (5-6) memiliki kisaran panjang gelombang lebih besar dan mempunyai nilai ki/kj kecil dari pasangan band lainnya. Semakin besar kisaran panjang gelombang pasangan band yang dibandingkan, maka nilai ki/kj semakin kecil (Wahiddin 2015). Hal tersebut dikarena bahwa panjang gelombang Red-Red Edge lebih banyak dipantulkan di perairan laut dari pada diserap, sehingga objek yang berada pada substrat dapat terdetekasi (Mumby 2006).

Secara keseluruhan hasil klasifikasi dengan citra WorldView-2 dalam penelitian ini memiliki nlai akurasi yang baik. Berdasarkan data survey yang telah dikumpulkan maka dapat di tentukan nilai over accuracy (OA), producer accuracy (PA) dan user accuracy (UA). Hasil akurasi dari klasifikasi disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil perhitungan uji akurasi klasifikasi habitat perairan dangkal

Lokasi/kelas PA UA OA

DII PCA DII PCA DII PCA Karang Bongkok Karang 17% 50% 100% 100% 72.38% 81% Lagoon 100% 100% 63% 83% Lamun 73% 82% 96% 96% Pasir 80% 80% 100% 100%

Pasir mix Lamun 100% 100% 100% 83% Pasir mix Rubble 100% 100% 50% 50%

Rubble 57% 64% 35% 53% Pulau Kotok Karang 87% 80% 81% 80% 83% 84.29% Lagoon 100% 100% 100% 100% Lamun 72% 82% 100% 98% Pasir 100% 100% 10% 100%

Pasir mix Lamun 95% 95% 100% 100% Pasir mix Rubble 100% 88% 50% 44%

Rubble 100% 83% 64% 75%

Perhitungan UA lamun pada citra transformasi DII dan PCA memberikan informasi bahwa sekitar 96% untuk kelas lamun telah di klasifikasi dengan benar di Karang Bongkok dan UA lamun pada citra transformasi DII 100% di Pulau Kotok sedangakan pada citra transformasi PCA sebesar 98%. Perhitungan PA pada citra transformasi DII untuk kelas lamun sebesar 73% dan pada citra transformasi PCA sebesar 82% di Karang Bongkok, sedangkan pada citra transformasi DII di Pulau Kotok sebesar 72 % dan PCA sebesar 82%. Hasil perhitungan OA untuk peta hasil klasifikasi menggunakan algoritma SVM pada citra hasil transformasi DII di Karang Bongkok adalah 72.38% dan PCA adalah 81% sedangakan hasil perhitungan OA pada citra transformasi DII adalah 83% dan PCA adalah 84.29% di Pulau Kotok. Hasil akurasi yang diterdapat pada citra transformasi DII dan PCA dapat dikatakan bahwa peta ekosistem lamun dapat diklasifikasi dengan benar. Batas akurasi yang dapat diterima untuk peta habitat dasar perairan dangkal berdasarkan pada SNI 7716:2011 tentang pemetaan habitat dasar perairan laut dangkal yaitu sebesar 60% (LIPI 2014).

Akurasi pada pemetaan lamun dan habitat dasar yang dilakukan oleh Tamondong et al. (2013) menggunakan citra WorldView-2 dengan metode DII memiliki akurasi 75%. Jika dibandingkan dengan penelitian ini memiliki akurasi sebesar 72.38% dan 83% dapat dikatakan sangat baik.

Sementara itu pemetaan habitat dasar perairan dengan PCA khususnya untuk objek lamun dilakukan oleh Pasqualini et al. (2005) menggunakan citra satelit SPOT memiliki akurasi 73-98%. Dengan satelit yang berbeda dilakukan oleh Ludin et al. (2011) memiliki akurasi 70%. Akurasi pemetaan hasil penelitian ini memiliki akurasi >80% dan dapat dikatakan cukup baik.

Klasifikasi Lamun

Hasil klasifikasi kerapatan lamun menggunakan klasifikasi SVM dengan tipe kernel radial basis function (rbf) pada Karang Bongkok dan Pulau Kotok dapat disajikan pada Gambar 8 dan 9.

Gambar 8 Hasil klasifikasi lamun menggunakan SVM pada citra hasil transformasi DII dan PCA di Karang Bongkok

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, kerapatan lamun di kelaskan menjadi 4 kelas dengan persentase tutupan yaitu lamun Sangat Padat (LSP) = 75-100%, Lamun Padat (LP) = 50-75%, Lamun Sedang (LS) = 25-50% dan Lamun Jarang (LJ) = 1-25% (Lampiran 2). Berdasarkan hasil tranformasi PCA didapat nilai selang pada masing-masing kelas baik di Karang Bongkok dan Pulau Kotok. Pada Karang Bongkok, transformasi PCA kelas LJ memiliki nilai berkisar 30.22 – 24.88, LS berkisar 24,63-30.58, LP berkisar 19,49 – 17.51 dan LSP berkisar 15.98 – 12,23, sedangakan pada Pulau Kotok hasil trasformasi PCA pada kelas LJ memiliki nilai berkisar 33.67 – 26.04, LS berkisar 26.03 – 19.45, LP berkisar 19.05 – 10.63 dan LSP berkisar 9.81 – 4.06. Hasil transformasi DII pada Karang Bongkok untuk kelas LJ memiliki nilai berkisar -11.84 - -9.06, LS berkisar -9.06 -

PCA DII

Karang Bongkok

Karang Bongkok

Legenda

-7.14, LP berkisar -7.14 - -5.05 dan LSP berkisar -5.05 - -3.25, sedangakan pada Pulau Kotok hasil trasformasi DII pada kelas LJ memiliki nilai berkisar -9.22 - -6.15, LS berkisar -6.15 - -6.6, LP berkisar -6.6 - -3.01 dan LSP berkisar -3.01 - -0.48.

Gambar 9 Hasil klasifikasi lamun menggunakan SVM pada citra hasil transformasi DII dan PCA di Pulau Kotok

Klasifikasi lamun menggunakan algoritma SVM pada citra DII dan PCA di Karang Bongkok dan Pulau Kotok menghasilkan luasan pada masing-masing kelas lamun yang berbeda-beda (Tabel 10).

Tabel 10 Luasan hasil klasifikasi kerapatan lamun Kelas

kerapatan

Karang Bongkok (ha) Pulau Kotok (ha)

DII PCA DII PCA

Lamun jarang 3.17 1.38 - 0.03 Lamun sedang 5.12 2.18 0.01 1.46 Lamun padat 11.78 26.93 0.56 0.97 Lamun sangat padat - 6.60 2.49 0.02

Hasil klasifikasi kerapatan lamun pada citra transformasi DII dan PCA memiliki nilai luasan yang berbeda, baik di Karang Bongkok maupun di Pulau Kotok. Hasil tersebut menunjukan bahwa pada citra hasil transformasi PCA dapat mengidentifikasi seluruh kelas yang dibangun berdasarkan data lapangan baik yang berada di Karang Bongkok maupun Pulau Kotok, sedangkan hasil klasifikasi pada citra transformasi DII dapat mengidentifikasi tiga kelas dari ke empat kelas

DII

PCA

Legenda

Lamun Jarang Lamun Sedang Lamun Padat Lamun Sangat Padat

Pulau Kotok

yang dibangun, dimana ketiga kelas tersebut memiliki luasan yang besar di Karang Bngkok dan Pulau Kotok.

Klasifikasi lamun pada citra hasil transformasi DII pada Karang Bongkok menunjukan bahwa kelas LJ, LS dan LP memiliki luasan yang lebih besar dibandingkan kelas LSP. Berdasarkan hasil pengamatan lapang pada Karang Bongkok terdapat dua jenis lamun yaitu T. hemprichii dan C. rotundata, kedua jenis lamun ini tumbuh secara berkelempok. Jenis lamun C. rotundata merupakan jenis lamun yang mendominasi perairan Karang Bongkok, dimana lamun tersebut memiliki kantong daun yang tertutup penuh dengan daun muda, kadang-kadang berwarna gelap (Waycott et al 2004) dan memiliki jumlah tegakan yang sangat banyak. Selain itu, kondisi lokasi pengamatan merupakan daerah yang dangkal bahkan terlihat ketika surut air laut. Oleh karena itu lamun C. rotundata lebih mudah untuk tumbuh dan berkembang dibandingkan dengan jenis lainya.

Berbeda dengan kelas yang terdeteksi di Pulau Kotok dengan luasan yang besar seperti LS, LP dan LSP, sedangkan kelas LJ memiliki luasan yang kecil. Kondisi kelas LJ di Pulau Kotok sangatlah sedikit, dengan pertumbuhan lamun yang menyebar dan didominasi oleh spesies yang berukuran kecil seperti Thalasia hemprichii.

Terjadinya perbedaan hasil klasifikasi pada pemetaan kerapatan lamun di Karang Bongkok dan Pulau Kotok menggunakan citra hasil transformasi DII dan PCA, disebabkan karena pengaruh penggunaan kanal pada saat klasifikasi. Penggunaan kanal pada citra hasil transformasi DII yaitu kanal Coastal dan blue, yellow dan red, red dan red edge. Sementara kanal yang digunakan pada citra hasil transformasi PCA adalah seluruh kanal yang yang berada dalam citra asli WorldView-2 yang telah di kompres menjadi 3 kanal.

Hasil Uji Akurasi

Berdasarkan data survey yang telah dikumpulkan, maka dilakukan uji akurasi untuk mengetahui nilai overall accuracy (OA), producer accuracy (PA) dan user accuracy (UA) dari hasil klasifikasi lamun pada citra hasil transformasi DII dan PCA berdasarkan klasifikasi SVM di perairan Pulau Kotok dan Karang Bongkok. Hasil uji akurasi pada empat kelas dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil perhitungan uji akurasi pada cittra hasil transformasi DII dan PCA di Karang Bongkok dan Pulau Kotok

Lokasi/ Kelas

PA UA OA

DII PCA DII PCA DII PCA Karang Bongkok

Lamun jarang 4% 100% 28% 63%

Lamun sedang 0% 0% 0% 0%

Lamun padat 1% 57% 52% 86% 50.85% 54.93%

Lamun sangat padat 9% 100% 0% 0% Pulau Kotok

Lamun jarang 1% 100% 0% 0%

Lamun sedang 8% 78% 100% 85%

Lamun padat 1% 65% 82% 93% 50.86% 52.99%

Hasil uji akurasi dari ke empat kelas lamun tersebut memberikan informasi bahwa hasil klasifikasi menggunakan SVM pada citra transformasi DII di pulau Kotok adalah 50.86% dan PCA diperoleh sebesar 52.99%, sedangkan hasil klasifikasi pada citra transformasi DII Karang Bongkok diperoleh sebesar 50.85% dan PCA sebesar 54.93%.

Akurasi yang dicapai dari proses klasifikasi masih tergolong rendah, rendahnya akurasi dapat disebabkan karena sulit mencocokan posisi antara citra dan data lapangan. Rendahnya akurasi ini disebabkan citra yang digunakan memiliki resolusi temporal 1.8 m x 1.8 m sedangkan GPS yang digunakan saat survei lapangan memiliki presisi 3-5 m dari posisi sebenarnya. Selain sulit dalam mencocokan posisi citra dan lapangan, rendahnya akurasi dapat disebabkan oleh perbedaan antara waktu perekaman citra dan pengamatan data lapangan.

Phinn et al. (2008) menyatakan bahwa untuk pemetaan spesies, penutupan dan biomasaa lamun menggunakan satelit belum dimungkinkan memiliki akurasi tinggi (>80%). Faktor yang menyebabkan kecilnya akurasi adalah karena petumbuhan lamun di lokasi penelitian, dimana lamun di lokasi tidak tumbuh secara tersebar, melainkan tubuh secara berkelompok dan pertumbuhan tersebut hanya terjadi pada bagian daun dan rhizoma dari lamun (Brouns 1985; Azkab 1999).

Kecilnya akurasi pada hasil klasifikasi dapat dipengaruhi juga oleh nilai piksel pada citra, yang mana dari nilai piksel tersebut diklasifikasi menggunakan algoritma untuk menghasilkan suatu peta hasil klasifikasi yang mengandung informasi mengenai objek yang dibangun. Akan tetapi, dari hasil klasifikasi terdapat objek yang tidak dapat dikelaskan dengan benar, sehingga pada saat dilakukan uji akurasi menghasilkan nilai yang rendah.

Terlihat dengan jelas hasil perhitungan Overall accuracy baik pada hasil klasifikasi dasar perairan maunpun pada hasil klasifikasi kerapatan lamun pada citra transformasi PCA lebih tinggi dibandingkan pada citra transformasi DII, hal tersebut dikarenakan bahwa penggunaan kanal yang digunakan pada proses klasifikasi berbeda. PCA menggunakan 3 kanal yang merupakan kanal baru hasil gabungan dari 6 kanal pada citra satelit WorldView-2, dimana kombinasi kanal yang digunakan adalah kanal 123456 memiliki informasi saling terkait. Berbeda dengan citra hasil transformasi DII menggunakan 3 pasang kanal yang memiliki nilai korelasi tinggi pada saat proses koreksi kolom perairan. Penggunaan kanal berdasarkan nilai korelasi tinggi seperti kanal 5/6 memiliki pengaruh pada saat proses klasifikasi, akan tetapi dengan korelasi tinggi pada kanal tersebut tidak dapat meningkatkan akurasi dari hasil klasifikasi (Tamondong et al. 2013).

4 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait