Lokasi percobaan terletak di Kelurahan Loji, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian terletak di ketinggian 250 m dpl dengan koordinat 6o 35'1"S dan 106o 45'44"E. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor menunjukkan selama percobaan rata-rata curah hujan per bulan adalah 259.6 mm dengan curah hujan terendah pada bulan Juni sebesar 62.4 mm dan tertinggi pada bulan Mei sebesar 399 mm. Curah hujan pada awal penelitian cukup tinggi yaitu sebesar 216 mm pada bulan April 2013 dengan 24 hari hujan. Hal ini menjadi kendala untuk melakukan aplikasi herbisida ke lahan penelitian. Temperatur udara rata-rata selama penelitian adalah sebesar 26.07oC sedangkan intensitas penyinaran matahari selama penelitian sebesar 280.05 Cal cm-2.
Lahan yang digunakan dalam penelitian adalah lahan bera dengan waktu bera sekitar 4 bulan. Pengolahan tanah pada saat penelitian tidak dilakukan karena penelitian mengaplikasikan sistem tanpa olah tanah. Lahan penelitian dibagi dalam 24 petak dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Jarak antar petak sebesar 0.5 meter yang hanya dibersihkan dari gulma. Kondisi lahan setelah perlakuan dan pemetakan dapat dilihat pada Gambar 13. Pengairan pada saat penelitian mengandalkan hujan yang pada saat itu sedang musim hujan (Lampiran 5).
17 Analisis Vegetasi Gulma
Analisis vegetasi pada pengamatan pertama teridentifikasi 12 jenis gulma antara lain Ageratum conyzoides, Cynodon dactylon, Colocasia sp., Mikania micrantha, Portulaca oleracea, Borreria alata, Ottochloa nodosa, Brachiaria mutica, Commelina nudiflora, Paspalum conjugatum, Cyperus rotundus dan Arachis hypogaea. Pada pengamatan ini, 3 gulma yang mendominasi adalah Paspalum conjugatum (32.81%), Commelina nudiflora (11.48%) dan Ageratum conyzoides (11.19%). Pengamatan SDR pada 4 MST (setelah aplikasi herbisida) menunjukkan perubahan gulma yang mendominansi lahan penelitian. Gulma jenis Rotboellia exaltata mendominansi lahan penelitian dengan nilai SDR 27.38% disusul dengan gulma Paspalum conjugatum (15.57%) dan Ageratum conyzoides (11.83%). Pengamatan SDR pada 8 dan 12 MST menunjukkan bahwa gulma jenis Rotboellia exaltata mendominansi dengan nilai SDR berturut-turut adalah 53.80% dan 48.69%.
Perubahan dominansi gulma dapat dilihat pada pengamatan sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Dominansi gulma sebelum perlakuan adalah Paspalum conjugatum dan setelah perlakuan dominansi gulma berubah ke jenis Rotboellia exaltata yang kedua jenis gulma ini merupakan gulma golongan rumput. Gulma golongan rumput mampu bertahan hidup karena mempunyai daya adaptasi terhadap perubahan gangguan lingkungan dan kemampuannya untuk tetap tumbuh walaupun ada gangguan manusia dan hewan (Terry 1991). Hal ini
Jenis gulma Sum Dominance Ratio
Sebelum perlakuan 4 MST 8 MST 12 MST --- % --- Ageratum conyzoides 11.19 11.83 2.81 5.19 Cynodon dactylon 7.60 2.85 Colocasia sp. 4.68 Mikania micrantha 3.21 2.11 2.39 2.19 Portulaca oleracea 3.05 Borreria alata 5.07 8.14 8.25 9.57 Ottochloa nodosa 5.63 Brachiaria mutica 10.78 Commelina nudiflora 11.48 8.65 14.37 15.81 Paspalum conjugatum 32.81 15.57 4.84 3.25 Cyperus rotundus 2.20 Arachis hypogaea 2.32 Rotboellia exaltata 27.38 53.80 48.69 Digitaria ciliaris 8.35 7.66 12.17 Murdannia nudiflora 11.10 3.24 2.21 Synedrella nodiflora 4.02 2.64 0.92 Total 100.00 100.00 100.00 100.00
18
yang menyebabkan terjadinya dominansi gulma golongan rumput pada lahan penelitian. Hasil ini seperti hasil penelitian Listyobudi (2011) dimana pengunaan herbisida IPA-Glifosat dengan dosis 3 l ha-1 cukup efektif dalam menekan pertumbuhan gulma berdaun lebar tetapi tidak efektif untuk menekan jenis gulma rumputan. Herbisida IPA-Glifosat memberikan pengaruh baik karena merupakan herbisida sistemik yang mampu membunuh gulma secara menyeluruh. Perubahan gulma dominan dapat disebabkan karena biji-biji atau organ perkembangbiakan gulma yang ada di dalam tanah. Kehadiran gulma pada pertanaman jagung berkaitan dengan deposit biji gulma dalam tanah. Biji gulma dapat tersimpan dan bertahan hidup selama puluhan tahun dalam kondisi dorman, dan akan berkecambah ketika kondisi lingkungan mematahkan dormansi itu. Terangkatnya biji gulma ke lapisan atas permukaan tanah dan tersedianya kelembaban yang sesuai untuk perkecambahan mendorong gulma untuk tumbuh dan berkembang (Fadhly dan Tabri 2007).
Penyemprotan IPA-Glifosat pada lahan pertanaman jagung selain menyebabkan ada jenis gulma yang tereduksi, juga menyebabkan jenis gulma lain muncul seperti Rotboellia exaltata, Digitaria ciliaris, Murdannia nudiflora, dan Synedrella nodiflora. Perlakuan herbisida menyebabkan perubahan faktor lingkungan di pertanaman jagung sehingga akan menyebabkan perubahan komposisi gulma yang ada. Pengendalian gulma dengan herbisida untuk mengendalikan golongan gulma tertentu dapat menyebabkan munculnya gulma dari golongan lain (Tjitrosoedirdjo et al. 1984). Perubahan komposisi dan jumlah gulma sejalan dengan aktivitas kompetisi dari setiap gulma meskipun agroekosistem relatif sama. Secara ekologis sebagian besar gulma merupakan spesies yang pioneer yang cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan kemudian akan mendesak spesies lain secara perlahan-lahan dan selanjutnya mengadakan suksesi untuk menstabilkan komunitas (Cox dan Atkin 1978).
Pertumbuhan Vegetatif dan Hasil Tanaman Jagung
Peubah pertumbuhan vegetatif tanaman jagung yang diamati adalah daya tumbuh, tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah klorofil, luas daun, dan waktu berbunga. Pada peubah daya tumbuh, perlakuan herbisida semua dosis berbeda nyata dengan kontrol dan penyiangan manual (Tabel 2). Pada petak kontrol dan penyiangan manual, daya tumbuh jagung diduga terhambat oleh adanya gulma dalam hal penggunaan sumberdaya seperti air dan sinar matahari. Tingginya dosis herbisida IPA-Glifosat dapat menurunkan daya kecambah seperti pada perlakuan herbisida dosis 6 l ha-1 namun hasil ini tidak berbeda nyata dengan dosis herbisida yang lain. Suwarni et al. (2000) menyatakan bahwa persentase kecambah kacang tanah belum mengalami penghambatan pada perlakuan IPA-Glifosat pada dosis di bawah 600 ppm karena di samping dosisnya belum begitu tinggi, kemungkinan terdapat suatu zat tertentu yang dapat menginaktifkan IPA-Glifosat sehingga sebagian IPA-Glifosat yang telah diserap kecambah kacang tanah tidak aktif dan tidak mengganggu metabolisme. Dosis IPA-Glifosat di atas 600 ppm menghambat sintesis amilase sehingga proses hidrolisis pati menjadi gula dalam endosperm berkurang dan jumlah glukosa yang dikirim ke titik tumbuh sedikit sehingga pertumbuhan biji terhambat.
19 Tabel 2 Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap daya tumbuh tanaman jagung
Perlakuan Daya tumbuh (%)
Kontrol 81.67 b Herbisida 3 l ha-1 96.25 a Herbisida 4 l ha-1 98.75 a Herbisida 5 l ha-1 98.75 a Herbisida 6 l ha-1 97.71 a Penyiangan manual 86.04 b
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5% Pengamatan 2-5 MST pada peubah jumlah daun tanaman menunjukkan bahwa perlakuan herbisida IPA-Glifosat berbeda nyata dengan kontrol dan penyiangan manual. Perlakuan herbisida IPA-Glifosat dengan dosis 4 l ha-1 pada 6 MST menghasilkan jumlah daun tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 3). Pola yang sama juga terlihat pada peubah tinggi tanaman kecuali pada 2 MST dimana setiap perlakuan menghasilkan tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata (Tabel 4). Pada perlakuan kontrol, gulma masih dapat hidup seperti sebelum diberi perlakuan sehingga menjadi pesaing tanaman pokok dalam hal penyerapan unsur hara, air, dan cahaya matahari. Penggunaan herbisida dapat mengendalikan gulma pada lahan penelitian sehingga pertumbuhan jagung meningkat. Gulma yang mati akibat perlakuan herbisida IPA-Glifosat secara tidak langsung dapat menambah kandungan unsur hara dan bahan organik tanah. Penambahan dosis IPA-Glifosat di atas 4 l ha-1 menyebabkan penurunan jumlah daun dan tinggi tanaman jagung. Hal ini disebabkan karena herbisida IPA-Glifosat yang terjerap oleh liat sudah melebihi kapasitas serapan IPA-Glifosat, sehingga herbisida IPA-Glifosat aktif di dalam larutan tanah meningkat dan akhirnya diserap oleh tanaman jagung (Wardoyo et al. 2001).
Tabel 3 Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap jumlah daun tanaman jagung Perlakuan Pengamatan 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST Kontrol 3.6 B 4.2 b 4.5 b 5.0 b 6.1 c Herbisida 3 l ha-1 4.9 A 5.6 a 6.0 a 6.5 a 7.5 ab Herbisida 4 l ha-1 5.6 A 5.7 a 6.2 a 6.6 a 7.6 a Herbisida 5 l ha-1 5.4 A 5.7 a 6.2 a 6.4 a 7.4 ab Herbisida 6 l ha-1 5.0 A 5.4 a 5.9 a 6.2 a 6.9 b Penyiangan manual 3.7 B 3.9 b 4.2 b 5.0 b 6.0 c Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%
20
Tabel 4 Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap tinggi tanaman jagung Perlakuan Pengamatan 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST --- cm --- Kontrol 52.48 66.30 a 81.00 a 107.10 a 143.05 a Herbisida 3 l ha-1 53.24 81.40 b 108.05 b 153.00 b 199.00 ab Herbisida 4 l ha-1 55.75 86.60 b 116.30 b 163.85 b 216.10 c Herbisida 5 l ha-1 53.63 81.50 b 109.30 b 155.40 b 205.00 ab Herbisida 6 l ha-1 49.90 79.45 b 105.55 b 144.55 b 187.90 b Penyiangan Manual 51.79 60.55 a 68.35 a 85.65 a 137.65 a Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%
Peubah jumlah klorofil, luas daun, dan rata-rata waktu berbunga diamati pada saat 70% tanaman jagung menghasilkan bunga jantan. Hal ini dilakukan karena pada saat tersebut merupakan puncak fase pertumbuhan vegetatif tanaman jagung. Semua perlakuan menghasilkan jumlah klorofil yang tidak berbeda nyata karena Glifosat tidak menghambat pembentukan klorofil. Herbisida IPA-Glifosat menghambat sintesis protein dengan menghentikan penggabungan asam amino aromatik, yaitu: fenilalanin, triptofan, dan tirosin. IPA-Glifosat bekerja pada saat tumbuhan aktif hidup sehingga dapat menyerap bahan aktif yang akan ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma. IPA-Glifosat ditranslokasikan ke seluruh bagian jaringan tumbuhan sekitar 5 hari (120 jam) setelah aplikasi. (Ashton dan Monaco 1991). Lebih spesifik, IPA-Glifosat menghambat pembentukan asam amino aromatik khususnya menghambat kerja enzim 5-enolpyruvil-shikimate-3-phoshate sintase (EPSPS) dalam lintasan asam shikimat yang akan membentuk asam-asam amino aromatik seperti tritofan, tirosin, dan fenilalanin. Terhambatnya EPSPS menyebabkan produksi asam amino aromatik menurun drastis, demikian juga sintesis protein sehingga sel akan mati secara prematur. Belakangan diketahui bahwa IPA-Glifosat juga daat membunuh mikroorganisme karena sebagian besar dari mikroorganisme mempunyai enzim EPSPS (Wardoyo et al. 2001).
Perlakuan herbisida IPA-Glifosat dengan dosis 4 l ha-1 menghasilkan umur berbunga yang paling cepat dibandingkan dengan perlakuan yang lain namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan herbisida dosis 3 l ha-1. Luas daun tertinggi juga didapat pada perlakuan herbisida IPA-Glifosat dengan dosis 4 l ha-1 meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan herbisida IPA-Glifosat dosis 3 dan 5 l ha-1 (Tabel 5). Jumlah daun, tinggi tanaman, dan luas daun merupakan peubah yang dapat menggambarkan pertumbuhan vegetatif tanaman jagung. Pertumbuhan vegetatif yang baik memicu tanaman untuk masuk fase vegetatif lebih cepat. Umur berbunga dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, air serta cahaya matahari. Ketersediaan unsur hara, air, dan cahaya matahari yang mencukupi akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Pengamatan peubah pertumbuhan vegetatif yang terbaik memberikan waktu umur berbunga tercepat dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Nasution 2009). Perlakuan herbisida IPA-Glifosat dosis 4 l ha-1 menghasilkan jumlah daun, tinggi tanaman dan luas daun tertinggi sehingga mendorong tanaman jagung memasuki fase
21 generatif. Hal ini mengakibatkan perlakuan herbisida IPA-Glifosat dengan dosis 4 l ha-1 menghasilkan waktu berbunga tercepat dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Tabel 5 Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap jumlah klorofil, luas daun, dan rata-rata waktu berbunga tanaman jagung
Perlakuan Jumlah klorofil Luas daun Rata-rata waktu berbunga --- mg g-1 --- --- cm2 --- --- HST --- Kontrol 3.43 3123.60 b 47.75 a Herbisida 3 l ha-1 3.31 4124.30 a 46.00 ab Herbisida 4 l ha-1 3.43 4214.80 a 45.00 b Herbisida 5 l ha-1 3.24 4171.20 a 47.00 a Herbisida 6 l ha-1 3.07 3034.80 b 47.75 a Penyiangan manual 3.97 2897.30 b 47.75 a
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%
Penggunaan herbisida untuk persiapan lahan secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan gulma. Apabila daya tekan herbisida terhadap gulma cukup baik, maka pengaruh tidak langsung herbisida yang digunakan terhadap pertumbuhan tanaman diharapkan juga akan baik. Dengan menghambat pertumbuhan gulma pada awal pertumbuhan akan menurunkan persaingan gulma pada tanaman jagung. Berkurangnya persaingan antar tanaman dengan gulma maka dapat memberikan pertumbuhan yang baik terutama pada masa vegetatif (Listyobudi 2011). Hal ini dapat dilihat dari peubah-peubah vegetatif yang diamati bahwa perlakuan penggunaan herbisida IPA-Glifosat memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan kontrol (tanpa penyiangan). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Nurjanah (2003) yang menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman kedelai secara langsung berkaitan dengan keberadaan gulma di sekitar tanaman yang telah mendapat perlakuan. Gulma pada perlakuan G0D0 (kontrol) lebih banyak, sehingga pertumbuhan kedelai pada perlakuan ini lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan herbisida. Pertumbuhan rendah disebabkan oleh karena tanaman kedelai yang tumbuh bersama gulma mengalami persaingan dalam mendapatkan unsur hara, cahaya, air, ruang tumbuh serta gas (CO2, O2) untuk pertumbuhannya. Terbatasnya unsur-unsur yang diperlukan tanaman mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman.
Pertumbuhan yang baik disebabkan tercukupinya segala sarana tumbuh yang dibutuhkan. Kehadiran gulma pada pertanaman jagung memungkinkan terjadinya persaingan antara keduanya sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat dan hasil tanaman menjadi berkurang. Peubah hasil tanaman jagung yang diamati adalah panjang tongkol, diameter tongkol, bobot tongkol basah, bobot tongkol kering, bobot brangkasan, bobot biji kering, bobot 100 biji jagung dan produktivitas. Perlakuan penggunaan herbisida pada semua dosis dan penyiangan manual berbeda nyata dengan kontrol pada peubah panjang tongkol dan diameter tongkol (Tabel 6).
22
Tabel 6 Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap panjang dan diameter tongkol jagung
Perlakuan Panjang tongkol Diameter tongkol --- cm --- Kontrol 11.34 b 3.26 b Herbisida 3 l ha-1 15.04 a 3.77 a Herbisida 4 l ha-1 15.40 a 3.95 a Herbisida 5 l ha-1 14.42 a 3.96 a Herbisida 6 l ha-1 14.28 a 3.78 a Penyiangan manual 14.09 a 3.77 a
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%
Pada peubah bobot tongkol basah jagung per tanaman, hanya perlakuan herbisida dengan dosis 6 l ha-1 yang tidak berbeda nyata dengan kontrol dan penyiangan manual sedangkan pada peubah bobot tongkol kering per tanaman, perlakuan herbisida dosis 3 l ha-1 yang tidak berbeda nyata dengan kontrol dan penyiangan manual. Perlakuan herbisida IPA-Glifosat pada semua dosis dan penyiangan manual menghasilkan bobot tongkol basah dan bobot tongkol kering hasil ubinan yang berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan herbisida dengan dosis 4 l ha-1 menghasilkan bobot tongkol basah dan bobot tongkol kering yang berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan penyiangan manual (Tabel 7 dan 8). Penggunaan herbisida IPA-Glifosat dengan dosis 4 l ha-1 sudah mampu memberikan kondisi lingkungan yang memungkinkan tanaman jagung menghasilkan komponen produksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tanpa diberi herbisida IPA-Glifosat (Triyono 2009).
Hasil jagung per hektar menunjukkan adanya hubungan positif antara hasil jagung per hektar dengan diameter tongkol. Ini berarti semakin besar diameter tongkol maka hasil per hektar akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bara dan Chozin (2009), mengatakan bahwa semakin lebar diameter tongkol, maka biji yang terdapat pada tongkol tersebut semakin banyak sehingga bobot biji yang terdapat pada tongkol juga semakin besar sehingga hasil semakin besar.
Tabel 7 Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap bobot tongkol basah dan kering jagung per tanaman
Perlakuan Bobot tongkol basah Bobot tongkol kering --- g --- Kontrol 121.04 C 96.02 c Herbisida 3 l ha-1 161.24 ab 123.52 bc Herbisida 4 l ha-1 191.00 A 156.86 a Herbisida 5 l ha-1 164.26 ab 136.05 ab Herbisida 6 l ha-1 154.29 bc 129.61 ab Penyiangan manual 146.25 bc 117.99 bc
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%
23 Tabel 8 Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap bobot tongkol
basah dan kering jagung hasil ubinan
Perlakuan Bobot tongkol basah Bobot tongkol kering --- g (2m)-2--- Kontrol 1488.72 c 932.87 c Herbisida 3 l ha-1 2617.04 ab 1715.39 b Herbisida 4 l ha-1 3025.30 a 2141.13 a Herbisida 5 l ha-1 2699.42 ab 1912.06 ab Herbisida 6 l ha-1 2551.14 b 1664.91 b Penyiangan manual 2512.23 b 1601.19 b
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%
Peubah bobot brangkasan tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Bobot brangkasan diduga tidak dipengaruhi oleh penggunaan herbisida. Pengamatan pada peubah bobot 100 butir biji jagung, perlakuan herbisida dosis 4 l ha-1 berbeda nyata dengan kontrol dan penyiangan manual. Perlakuan herbisida IPA-Glifosat dosis 4, 5, dan 6 l ha-1 berbeda nyata dengan kontrol pada peubah bobot biji kering per tanaman. Hasil yang sama apabila dikonversi ke bentuk produktivitas (Tabel 9).
Hasil jagung yang diamati juga menunjukkan pola yang sama dengan parameter pertumbuhan dimana semakin tinggi dosis herbisida dapat meningkatkan hasil jagung sampai pada dosis tertentu. Peningkatan dosis herbisida IPA-Glifosat yang semakin tinggi justru menurunkan hasil jagung. Perlakuan herbisida dengan dosis 4 l ha-1 merupakan dosis yang memberikan hasil maksimum pada peubah hasil yang diamati. Perlakuan dosis 5 dan 6 l ha-1 cenderung menunjukkan penurunan pertumbuhan dan hasil jagung dibandingkan dengan dosis 4 l ha-1. Wardoyo et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian dosis IPA-Glifosat 4 l ha-1 menurunkan bobot basah tanaman dan bobot kering biji kedelai dibandingkan dengan dosis IPA-Glifosat 3 l ha-1. Hasil ini juga tidak berbeda dengan hasil penelitian Suwarni et al. (2000) yang menunjukkan bahwa jumlah polong, jumlah biji, bobot polong dan biji kacang tanah lebih tinggi pada perlakuan dosis herbisida IPA-Glifosat 4.5 l ha-1 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan herbisida IPA-Glifosat dosis 6 l ha-1.
Tabel 9 Pengaruh penggunaan herbisida IPA-Glifosat terhadap bobot brangkasan, bobot biji kering, dan bobot 100 butir biji jagung
Perlakuan Bobot
brangkasan
Bobot 100 Bobot biji
kering
Produktivitas
butir biji biji kering
--- g --- --- g --- g (2m)-2 ton ha-1 Kontrol 175.83 23.59 c 598.1 c 2.99 c Herbisida 3 l ha-1 189.59 26.38 abc 1250.8 ab 6.25 ab Herbisida 4 l ha-1 238.92 31.65 a 1449.7 a 7.25 a Herbisida 5 l ha-1 223.50 31.04 ab 1386.3 ab 6.93 ab Herbisida 6 l ha-1 219.83 30.69 ab 1250.4 ab 6.25 ab Penyiangan manual 189.17 25.66 bc 1040.5 b 5.20 b
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%
24
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini masih dibawah produksi maksimum dari varietas Lamuru berdasarkan deskripsi yang dikeluarkan Kementrian Pertanian. Jagung varietas Lamuru dapat menghasilkan produksi biji kering maksimum 7.6 ton ha-1. Ada beberapa faktor yang diduga menyebabkan penurunan hasil ini yaitu masih adanya gulma pada lahan penelitian, terserapnya IPA-Glifosat oleh tanaman jagung dan faktor cuaca. Kehadiran gulma pada lahan pertanaman jagung tidak jarang menurunkan hasil dan mutu biji. Penurunan hasil bergantung pada jenis gulma, kepadatan, lama persaingan, dan senyawa allelopati yang dikeluarkan oleh gulma. Meskipun demikian, kehilangan hasil akibat gulma sulit diperkirakan karena pengaruhnya tidak dapat segera diamati. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi negatif antara bobot kering gulma dan hasil jagung, dengan penurunan hasil hingga 95% (Fadhly dan Tabri 2007). Tingkat persaingan antara tanaman dan gulma bergantung pada empat faktor, yaitu stadia pertumbuhan tanaman, kepadatan gulma, tingkat cekaman air dan hara, serta spesies gulma. Jika dibiarkan, gulma berdaun lebar dan rumputan dapat secara nyata menekan pertumbuhan dan perkembangan jagung.
Faktor lain yang diduga menyebabkan penurunan hasil jagung adalah terserapnya herbisida Glifosat oleh tanaman jagung. Sifat herbisida IPA-Glifosat yang non-selektif memungkinkan bahan aktif ini juga masuk dan terserap oleh jagung. Herbisida IPA-Glifosat yang diaplikasikan sebagian akan terjerap oleh tanah sampai pada kapasitas tertentu. Tipe liat dan tipe penjerap lainnya mempengaruhi banyaknya adsorpsi IPA-Glifosat. Glifosat dapat berinteraksi dengan partikel tanah melalui salah satu gugus dari asam fosfonik. Kation jenuh di dalam kompleks adsorpsi liat juga mempengaruhi perbedaan dalam adsorpsi IPA-Glifosat oleh liat. Di samping itu, IPA-IPA-Glifosat juga teradsorpsi oleh bahan organik melalui jembatan kation (Torstensson 1985). Banyaknya IPA-Glifosat yang tidak terjerap oleh tanah memungkinkan masuk ke tanaman pokok sehingga menurunkan pertumbuhan dan hasil pada kacang tanah (Suwarni et al. 2000), jagung dan kedelai (Wardoyo et al. 2001). Faktor cuaca selama penelitian juga diduga menghambat pertumbuhan vegetatif dan hasil jagung. Curah hujan selama penelitian yang tergolong tinggi memang menguntungkan karena kebutuhan air tanaman jagung tercukupi namun yang menjadi penghambat pertumbuhan adalah tertutupnya cahaya matahari oleh awan (mendung) sehingga jagung tidak dapat berfotosintesis dengan baik.
Residu Herbisida IPA-Glifosat pada Pipil Jagung
Residu herbisida yang diamati adalah pada biji kering jagung pipil. Pengujian residu menggunakan metode dari Komisi Pestisida (2006). Hasil pengujian residu menunjukkan bahwa pada setiap petak penelitian mengandung residu herbisida IPA-Glifosat (Tabel 10). Residu herbisida IPA-Glifosat pada jagung pipil perlakuan kontrol dan penyiangan manual kemungkinan disebabkan adanya aliran air hujan di lahan penelitian. Pola distribusi residu IPA-Glifosat di dalam tanah tidak lepas dari pengaruh curah hujan, sifat fisik, sifat kimia, dan lingkungan termasuk vegetasi gulma sebelum dan setelah perlakuan serta tanamannya sendiri. Semakin tinggi curah hujan, maka peluang daerah lain terpapar residu IPA-Glifosat semakin besar (Wardoyo et al. 2001). Konsentrasi residu herbisida yang terdapat pada petak kontrol dapat terjadi karena tanah pada
25 petakan tersebut berinteraksi dengan petakan lain yang diberi perlakuan dosis. Interaksi yang dimaksud diduga berasal dari adanya aliran permukaan (run off) yang terjadi akibat adanya aliran air yang berasal dari air hujan atau irigasi (Inayati 2012). Faktor lain yang diduga mempengaruhi adanya residu pada perlakuan kontrol dan penyiangan manual adalah adanya residu awal pada benih jagung yang digunakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat residu pada pipil jagung pada semua dosis herbisida. Apabila hasil pipilan ini digunakan sebagai benih maka memungkinkan adanya residu pada benih jagung yang tidak hilang sampai pertanaman berikutnya.
Tabel 10 Kadar residu herbisida IPA-Glifosat pada pipil jagung
Perlakuan Konsentrasi IPA-Glifosat
mg kg-1 Kontrol 0.031 Herbisida 3 l ha-1 0.042 Herbisida 4 l ha-1 0.058 Herbisida 5 l ha-1 0.075 Herbisida 6 l ha-1 0.169 Penyiangan manual 0.036
Peningkatan dosis herbisida semakin meningkatkan residu herbisida IPA-Glifosat pada jagung pipil. Perlakuan herbisida IPA-IPA-Glifosat dengan dosis 6 l ha-1 menghasilkan residu IPA-Glifosat tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hasil ini seperti penelitian Inayati (2012) yang menunjukkan bahwa peningkatan dosis herbisida sodium bispiribak menghasilkan peningkatan residu pada tanah, tanaman, dan hasil padi. Dosis herbisida sodium bispiribak 3 l ha-1 menunjukkan konsentrasi residu tertinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis 1 dan 2 l ha-1. Hasil serupa juga didapat pada penelitian Lestari (2004) yang