• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kawasan lembah Palu meliputi wilayah Kota Palu dan sebagian wilayah Kabupaten Donggala. Wilayah Kota Palu yang termasuk kawasan Lembah Palu yaitu Kecamatan Palu Barat, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Utara dan Kecamatan Palu Selatan, sedangkan Kabupaten Donggala yaitu Kecamatan Sigi- Biromaru, Kecamatan Dolo, Kecamatan Marawola, Kecamatan Tawaeli. Bagian tengah Lembah Palu dibelah oleh Sungai Palu yang membentang dari Timur ke Barat dan sungai ini bermuara di Teluk Palu. Perbatasan wilayah Lembah Palu yaitu sebelah timur berbatasan dengan gunung Lolo (wilayah Kecamatan Parigi, Kabupaten Parimou), sebelah Barat berbatasan dengan gunung Watu Ralele dan gunung Lebanu, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tawaeli Kota Palu dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala.

Iklim

Iklim merupakan komponen penting dan penentu dalam keberhasilan pengembangan suatu komoditas, sehingga penentuan suatu program pengembangan perlu ditunjang oleh ketersediaan data yang akurat dan rinci. Pengembangan komoditas pakan ternak tidak terlepas dari komponen iklim seperti curah hujan, kelembaban udara, penyinaran dan suhu. Iklim seperti curah hujan di Lembah Palu berada pada kisaran 450–1.000 mm/tahun dengan sebaran curah hujan tertinggi pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus. Curah hujan yang sangat menentukan perkembangan suatu komoditas di suatu wilayah tidak hanya berfungsi sebagai penyedia air, akan tetapi juga dapat berfungsi sebagai pelarut hara dalam tanah dan alat transportasi. Suhu udara pada tahun 2003-2004 berkisar antara 27,5-27,20C dengan kelembaban udara antara 72,8 - 74,8% (BPS Kota Palu 2004).

Lembah Palu termasuk wilayah bayangan hujan, sehingga jarang terjadi hujan tetapi persediaan air tanah cukup dan air yang berasal dari sungai-sungai yang ada di Lembah Palu. Potensi air tanah dan air sungai ini yang dimanfaatkan oleh petani di Lembah Palu untuk bertanam padi, palawija dan sayuran, akan tetapi kondisi hijauan pakan di padang penggembalaan tergantung

musim, saat musim hujan terjadi pertumbuhan vegetasi hijauan pakan yang tinggi namun saat musim kemarau hijauan pakan terbatas, dan kering serta terjadi pengayuan (lignification). Gambaran umum keadaan daerah penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Gambaran umum keadaan lokasi penelitian

Potensi Lokasi (Poboya) di (Kawatuna) di (Loru) di Palu Timur Palu Selatan Biromaru

Luas wilayah (km2) 63,41 20,67 57,68 Bentang lahan (%)) a. dataran 25 50 60 b. perbukitan 50 25 25 c. pegunungan 25 25 15 Curah hujan (mm/bln) 100 100 150 Ketinggian dpl (m) 100 250 500 Jumlah penduduk(jiwa) 1.287 2.666 1.906 Jumlah penduduk (KK) 601 613 496 Pertanian (ha) - sawah 50 213 226 - ladang 150 378 286 - padang gembalaan 607 457 325 Populasi domba (ekor) 425 1.213 200

Jarak dr Palu Selatan(km) 5 0 10

Sumber : BPS Kota Palu 2004

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa luas dataran, persawahan dan ladang di tiga lokasi yang bervariasi, secara umum peternak di tiga lokasi melepaskan ternaknya merumput di padang penggembalaan. Sekilas tampak bahwa lokasi penggembalaan di Palu Timur dan Palu Selatan lebih luas dibanding Biromaru, namun produksi hijauannya lebih rendah. Apalagi populasi ternak di Palu Timur dan Palu Selatan lebih banyak dibanding Biromaru. Disamping itu area penggembalaan di Palu Timur dan Palu Selatan mulai bergeser kebukit akibat perkembangan pemukiman penduduk dan perumahan.

Amar (2002) menyimpulkan bahwa secara umum produksi hijauan lebih tinggi pada musim basah dibanding musim kering, akan tetapi produksi lahan tersebut tergolong sangat rendah sepanjang tahun dan merupakan faktor pembatas bagi produktivitas ternak yang digembalakan. Selanjutnya menurut Amar (2002)

bahwa dengan menggabungkan data produksi pada dua musim berbeda sebagai rata-rata daya tampung sepanjang tahun menunjukkan bahwa estimasi daya tampung lahan penggembalaan di Poboya sepanjang tahun sangat rendah. Seekor ternak domba dewasa membutuhkan 1,5 ha/tahun (1 ha domba dewasa hanya mampu menampung 0,67 ekor ternak domba, atau 14,4 ha/tahun untuk seekor sapi dewasa (1 ha hanya mampu menampung 0,07 ekor ternak sapi). Jika menggunakan patokan unit-ternak (UT) menurut Amar (2002), maka daya tampung lahan rata-rata hanya 0,06 UT/tahun (1 UT = 1 ekor sapi dewasa dengan bobot 500 kg). Dari patokan tersebut maka daya tampung padang rumput pada masing-masing lokasi adalah 36,79 UT di Palu Timur, 27, 70 UT di Palu Selatan dan 19,7 UT di Biromaru. Populasi ternak masing-masing lokasi di sajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Populasi ternak besar dan kecil di tiga lokasi penelitian

Ternak Palu Timur Palu Selatan Biromaru

(ekor) (Poboya) (Kawatuna) (Loru)

Sapi 505 718 270

Kuda 42 48 −

Kambing 315 1829 295

Domba 425 1213 200

Jumlah 1287 3808 765

Sumber : BPS Kota Palu 2004

Berdasarkan hasil perhitungan daya tampung padang penggembalaan dengan populasi ternak yang ada pada Tabel 5 menyebabkan ternak yang ada khususnya domba tidak mampu menampilkan potensi genetiknya secara optimal, Upaya-upaya alternatif terus dilakukan untuk mengatasi masalah misalnya penelitian pemberian pakan sebagaimana telah dilakukan oleh Munier et al. (sistem semi intensif (2002) maupun intensif (2004). Munier (2002) menyimpulkan bahwa pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan produktivitas domba dibandingkan tanpa pemberian pakan tambahan. Jika sistem pemeliharaan dilakukan secara semi intensif di tiga lokasi, maka di Loru berpotensi untuk pengembangan ternak karena didukung lokasi persawahan dan tanaman palawija desa sekitarnya.

Sumber Pakan

Hasil penelitian Hamsun dan Amar (2001) menyatakan bahwa rumput- rumputan memperlihatkan respon positif terhadap bulan basah dengan peningkatan produksi. Rumput merupakan kontributor dominan dalam mempersiapkan bahan kering. Proporsinya lebih tinggi pada bulan basah dari pada bulan kering. Di Kelurahan Kawatuna, rumput alam yang mendominasi adalah Cynodon sp dan Digitaria fuscescens dengan kapasitas tampung padang penggembalaan 0,5 ekor/ha/tahun untuk domba. Kandungan protein kasar Cynodon sp rendah hanya 11,16% sementara kebutuhan protein kasar saat tumbuh domba dengan rataan bobot hidup 21,55 kg membutuhkan protein kasar sebesar 15,80%. Dilaporkan juga bahwa beberapa jenis leguminosa yang tumbuh di padang penggembalaan Kelurahan Kawatuna seperti Tephrosia sp, Desmodium triflorum dan Alysicarpus sp dengan kandungan protein kasar 8,6−9,3%

Selanjutnya menurut Amar (2002) bahwa jenis rumput pakan ternak yang dominan di penggembalaan Poboya adalah Cynodon sp. dan Digitaria fuscescens, sedangkan jenis legume yang paling banyak adalah Tephrosia sp, Desmodium triflorum dan Alysicarpus sp. Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di lembah Palu disajikan pada Gambar 4.

a. Musim hujan (kiri) b. Musim kemarau (kanan) Gambar 4 Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di Kawatuna.

Keadaan Umum Peternak

Usaha utama peternak adalah bertanam padi sawah, palawija, buah- buahan, sayur-sayuran, kakao dan kelapa dalam sedangkan usaha ternak ruminansia kecil hanya bersifat penunjang. Meskipun beternak domba sebagai usaha sambilan, hasil penjualan ternaknya cukup besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarganya terutama untuk menyekolahkan anak-anaknya, acara-acara keagamaan dan sosial. Hal ini didukung oleh Priyanti et al. (1989) bahwa meskipun usaha ternak ruminansia kecil sebagai usaha penunjang tetapi kenyataannya memberikan sumbangan yang besar bagi pendapatan peternak. Hasil penjualan produk-produk pertanian hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagian dikonsumsi mereka. Keterlibatan wanita dalam usaha ternak domba memberikan andil yang cukup besar. Wanita menggantikan untuk menggembalakan ternak apabila suaminya melakukan kegiatan dilahan sawah atau kebunnya terutama saat pengolahan tanah, penanaman dan panen.

Menurut Munier (2003) bahwa jumlah peternak tertinggi di Kelurahan Kawatuna Kecamatan Palu Selatan 50 kepala keluarga (KK), dan di Kelurahan Paboya Kecamatan Palu Timur 8 KK, di Kecamatan Biromaru 8 KK. Tingkat pendidikan peternak bervariasi dari yang terendah tamat SD dan tertinggi tamat SLTA. Pada umumnya peternak dapat membaca dan berhitung dengan baik. Kaitannya dengan umur peternak ditemukan di lapang juga bervariasi dengan kisaran 23–75 tahun. Tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Tingkat pendidikan peternak menurut kelurahan

Lokasi Penelitian Tingkat pendidikan (orang) Jumlah SD SMP SLTA Kelurahan Kawatuna (%) 12 3 3 18 Kelurahan Poboya (%) 2 4 2 8 Biromaru (%) 2 3 3 8 Jumlah (KK) 16 10 8 34 Persentase (%) 47,06 29,41 23,52 Sumber : Munier (2003)

Tingkat pendidikan peternak pada Tabel 6 didominasi oleh tamatan SD 47,06%, meskipun ada juga peternak yang tidak tamat SD, tetapi pengamatan di

lapang peternak masih mengandalkan pengalaman secara turun temurun dalam memanfatkan sumber pakan guna meningkatkan bobot badan. Kebiasaan menggembala ternak masih disukai oleh peternak karena dianggap lebih praktis dari pada mengambilkan rumput ternaknya sebagaimana umumnya petani di Jawa. Hal tersebut mungkin disebabkan selain hijauan yang kurang, domba yang digembala cukup banyak sekitar 50-100 ekor lebih setiap penggembala juga menurut Diwyanto et al. (2002) karena pengaruh faktor sosial dan budaya. Namun dari 23,53% lulusan SLTA tersebut diatas memiliki potensi dalam mengakses perkembangan inovasi-inovasi teknologi beternak yang semakin berkembang.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah setempat dan perguruan tinggi dalam meningkatkan produktivitas petani peternak adalah dengan membentuk wadah (kelompok) sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan atau pemberian bantuan. Disamping itu domba dilokasi penelitian sering dijadikan sebagai obyek penelitian sehingga dengan interaksi peternak dengan para peneliti memberikan tambahan pengetahuan bagi peternak untuk mengelola ternaknya.

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan domba dilokasi penelitian umumnya digembalakan secara bebas dipadang penggembalaan yang berbukit-bukit dan di kandangkan kembali pada sore hari. Jarak lokasi penggembalaan dengan kandang ternak tergantung musim. Hijauan pakan yang dikonsumsi oleh domba di padang tersebut adalah rumput alam dengan ketersediaannya yang terbatas dan rendah kandungan nutrisinya, apalagi jika musim kemarau jarak penggembalaan makin jauh. Hal ini mengakibatkan rendahnya bobot hidup ternak dewasa, bobot lahir yang rendah, dan interval kelahiran anak panjang. Di padang penggembalaan ternak domba sering terjadi serangan parasit cacing terutama saat musim hujan. Akibat dari kekurangan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak dan tingginya angka serangan parasit sering mengakibatkan kematian. Untuk mengantisipasi serangan parasit dipadang penggembalaan, domba mulai digembalakan menjelang siang mulai jam 10,00/11,00–17,00, dimana pada waktu tersebut hijauan sudah

mengering. Jika hari hujan peternak lebih memilih untuk tidak melepas ternaknya.

Perkandangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya kandang domba di lokasi penelitian adalah berlantai tanah. Lantai tanah di tiga lokasi masing-masing di Palu Timur 81,82% , Palu Selatan 73,33 % dan Biromaru 88,89% selebihnya berlantai panggung. Demikian pula dinding kandang umumnya menggunakan kayu. Penggunaan kayu sebagai dinding kandang di Palu Timur 63,64%, di Palu Selatan 80% dan di Biromaru 88,89%, selebihnya menggunakan dinding kandang dari papan. Sedangkan penggunaan atap rumbia sebesar 90-100% di tiga lokasi.

Lantai yang terbuat dari panggung umumnya dibuat berkat adanya bantuan dari dinas terkait atau kegiatan-kegiatan penelitian di lokasi tersebut. Setiap kandang baik lantai tanah maupun panggung di buatkan kamar kecil sebagai tempat melahirkan atau sebagai tempat mengumpulkan anak yang baru lahir sebelum domba dewasa digembalakan agar tidak ikut bersama induknya. Hal ini dilakukan setiap hari sampai anak berumur 6-8 minggu dengan asumsi anak sudah mampu berjalan mengikuti domba dewasa.

a. Lantai panggung (kiri) di Poboya b. Lantai tanah (kanan) di Kawatuna

Gambar 5 Kandang domba Donggala di lokasi penelitian.

Unsur iklim yang banyak mempengaruhi produksi ternak adalah temperatur dan kelembaban udara yang tinggi terutama di daerah-daerah tropis seperti di Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah yang memiliki temperatur rata- rata 34,5oC. Hal tersebut akan mengganggu aktivitas fisiologis tubuh dan secara tidak langsung mempengaruhi konsumsi pakan, pertumbuhan maupun kualitas daging. Menurut Yousef (1985) bahwa daerah untuk domba berkisar pada suhu udara 4-24oC. Untuk mengurangi beban panas tubuh domba perlu dilakukan manajemen pemeliharaan seperti pemilihan sistem perkandangan. Kandang mempunyai peranan yang sangat penting, karena kandang berfungsi untuk melindungi ternak dari cekaman sinar matahari, angin kencang, curah hujan, gangguan hewan lain (anjing) serta pencuri ternak.

Populasi dan Kepemilikan Ternak

Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian

Jantan Betina

Lokasi Anak Muda Dewasa Anak Muda Dewasa Total ………...……(ekor)………..…………

Palu Timur 84 34 22 98 68 354 660

Palu Selatan 80 44 33 112 60 347 676

Biromaru 29 23 23 50 35 150 310

Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah betina dewasa belum diimbangi dengan jumlah anak yang lahir. Namun replacement masih diatas 15%, berarti masih sesuai dengan patokan teknis produksi. Jumlah peternak di tiga lokasi penelitian masing di Palu Timur 16 KK, di Palu Selatan 20 KK dan di Biromaru 13 KK. Dengan demikian rata-rata peternak memiliki 41,25 ekor Palu Timur, 33,80 ekor Palu Selatan dan 23,85 ekor untuk Biromaru. Ternak domba yang dipelihara oleh peternak di Lembah Palu adalah milik sendiri dan sebagian peternak memelihara ternak ruminansia kecil sebagai ternak gaduhan yang pemiliknya berasal dari Kota Palu.

Hal tersebut lebih tinggi dari skala pemilikan domba pada umumnya di Indonesia. Menurut Diwyanto et al. (2002) bahwa pemilikan ternak ruminansia

kecil pada setiap keluarga petani hanya 3–5 ekor yang berorientasi pada pemilikan ternak daerah padat penduduk seperti Jawa dan Bali. Tingginya rataan kepemilikan ternak domba ini karena ketersediaan padang penggembalaan serta daya adaptasi ternak dengan lingkungan setempat. Disamping itu di wilayah ini merupakan sentra pengembangan domba yang diprogramkan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Palu. Pola kepemilikan ternak domba umumnya yang berkembang adalah sistem kooperasi keluarga kecil, karena prinsipnya dalam satu kandang tediri dari puluhan bahkan ratusan ekor ternak domba yang dimiliki 3-5 orang peternak dengan jadwal penggembalaan tujuh atau 10 hari setiap peternak.

Daging domba sudah merupakan salah satu sumber protein hewani yang sudah memasyarakat di lembah Palu. Permintaan terhadap ternak ini juga terus meningkat terutama untuk acara-acara hajatan atau hari raya. Akibatnya jumlah pengeluaran, pemotongan dan kematian belum sebanding dengan tingkat kelahiran. Tingkat pengeluaran terbesar terjadi pada domba jantan, dengan jantan dewasa menempati pengeluaran tertinggi. Dinamika populasi domba di Sulawesi Tengah tahun 2005 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Dinamika populasi domba Sulawesi Tengah tahun 2005 di lokasi penelitian No Uraian Jumlah Persentase Peningkatan 1 Populasi awal 2005 (ekor) 4010 (%) 2 Kelahiran 1203 30,00 3 Pemasukan − − 4 Pengeluaran 1038 26,00 5 Pemotongan 750 18,70 6 Kematian 155 3,87 7 Populasi akhir 2005 3270 Sumber : Disnak 2005

Daya jual domba dewasa yang tinggi terkait dengan hari raya kurban. Banyaknya jantan yang dijual dibandingkan betina karena umumnya konsumen mencari domba jantan dan memiliki harga yang lebih tinggi dari pada betina. Pengurangan populasi berikutnya adalah tingginya angka pemotongan yang juga banyak terjadi pada domba jantan dewasa. Itulah sebabnya terjadi kelangkaan pejantan domba dewasa. Hal tersebut merupakan penyebab turunnya populasi

dari tahun ke tahun. Sebab lainnya adalah besarnya pengeluaran ternak domba melalui pengiriman antar pulau. Jika hal hal ini terus terjadi menjadi akan sangat mengancam populasi domba di daerah ini. Oleh karena itu harus ada upaya mengatasi hal tersebut supaya ternak domba yang sudah beradaptasi dengan lingkungan lembah Palu tidak terancam kepunahan.

Berdasarkan kondisi tersebut maka kebijakan untuk tetap mempertahankan populasi serta meningkatkannya adalah dengan menekan pengeluaran dan pemotongan. Selanjutnya pemerintah mendorong peternak untuk melakukan seleksi terhadap betina produktif. Mempertahankan pejantan unggul yang ada dengan cara, pemerintah membeli pejantan-pejantan yang unggul kemudian menitipkan kembali kepada peternak atau menggilir kepada peternak lain, sehingga tidak ada beralasan jika peternak hendak menjualnya karena membutuhkan uang. Mendatangkan pejantan unggul, menambah wilayah baru yang potensial untuk pengembangan ternak domba serta meningkatkan pengetahuan terhadap peternak melalui penyuluhan.

Tabel 9 Beberapa sifat reproduksi domba Donggala hasil penelitian

Palu Timur Palu Selatan Biromaru

1 Persentase beranak (%) 51,41 55,33 57,25

2 Rasio anak dan induk 1:1,94 1:1,81 1:1,75

3 Persentase anak sapih

dari total kelahiran 14,86 33,29 13,92

4 Rasio jantan & betina dewasa 1:16 1:10,5 1:6

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa persentase beranak domba Donggala pada ketiga lokasi masih rendah yakni dibawah 60% dengan jarak beranak antara 7-8 bulan. Menurut Wiradarya (2005) bahwa tingkat produksi anak domba perkelahiran adalah 90%. Rendahnya persentase beranak tersebut mungkin disebabkan karena peternak belum melakukan seleksi terhadap betina yang produktif dan mengafkir induk yang tidak produktif sehingga mempengaruhi perhitungan persentase beranak. Rasio jantan dan betina dewasa masih rendah karena menurut Wiradarya (2005) rasio pejantan:induk adalah 1 : 25, sehingga berpotensi sebagai daerah bibit. Rasio tersebut diharapkan melahirkan anak yang dapat mewariskan keunggulan-keunggulan tetuanya.

Peluang Pasar Ternak Domba Donggala

Hasil wawancara dengan peternak bahwa harga jual harga jual domba Donggala jantan dewasa berkisar Rp 750.000-1.500.000 lebih tinggi dibanding domba betina dewasa sekitar Rp 500.000-750 000. Kebutuhan domba masyarakat Palu dan sekitarnya sebanyak 1.181 ekor/tahun atau 15,9% dari total populasi domba tahun 2003 (7.408 ekor). Dengan demikian ternak domba cukup menjanjikan oleh karena itu Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah menjadikan Domba sebagai salah satu komoditas unggulan berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim dan sosial budaya. Penetapan komoditas unggulan suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan memacu perdagangan antar daerah dan antarnegara. (Disnak, 2003)

Usaha pemeliharaan domba tersebut memilki peluang pasar yang baik karena lokasi pengembangan dekat kota Palu dimana masyarakatnya menyukai daging domba. Hal tersebut ditunjukkan tingginya pemotongan untuk kebutuhan hajatan, aqikah dan hari raya. Peluang pemasaran ternak domba ke Kalimantan Timur sampai saat ini belum bisa dipenuhi karena populasi yang masih rendah sehingga hal ini menjadi tantangan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dan masyarakat peternak untuk melihat domba sebagai salah satu komoditas unggulan Sulawesi Tengah.

Berdasarkan Disnak Sulteng (2004) bahwa total pemotongan tercatat sapi di Kota Palu pada tahun 2004 mencapai 8.378 ekor dengan produksi daging karkas 1.069,121 ton sedangkan total pemotongan domba mencapai 1.458 ekor dengan produksi daging karkas 65,56 ton sehingga perbandingan daging domba dengan daging sapi mencapai 6,132%. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi daging domba di Kota Palu masih lebih rendah dibanding dengan ternak sapi. Hal tersebut disebabkan disamping populasi yang rendah, harga yang lebih mahal dan adanya anggapan bahwa daging domba lebih tinggi kolesterolnya. Walaupun dengan populasi yang sedikit dibanding ternak sapi dan kambing, ternak domba merupakan ternak khas di daerah ini karena untuk pulau Sulawesi domba tersebut hanya ada di lembah Palu.

Sifat Kuantitatif Bobot Badan Bobot Badan Pra Sapih

Rataan bobot badan domba jantan dan betina umur 0-8 minggu dilokasi penelitian disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Tabel 10 Rataan bobot badan domba jantanumur 0-8 minggu dilokasi penelitian

MINGGU

Lokasi BL I II III IV V VI VII VIII

Rata2 2,70 3,94 4,57 5,09 5,86 6,39 6,95 7,57 8,01 Palu Timur SB 0,43 0,52 0,65 0,78 1,02 0,86 0,81 0,77 0,75 Rata2 2,91 3,84 4,45 5,12 5,74 6,08 6,75 7,27 7,88 Palu Selatan SB 0,55 0,62 0,69 0,89 1,03 1,15 1,23 1,24 1,31 Rata2 3,25 3,92 4,52 5,40 6,01 6,71 7,43 7,95 8,36 Biromaru SB 0,53 0,76 0,64 0,65 0,69 0,81 1,07 1,34 1,28

Tabel 11 Rataan bobot badan domba betinaumur 0-8 minggu dilokasi penelitian

MINGGU

Lokasi BL I II III IV V VI VII VIII

Rata2 2,66 3,59 4,06 4,49 5,01 5,51 5,99 6,71 7,31 Palu Timur SB 0,34 0,52 0,64 0,63 0,75 0,83 0,77 0,89 0,88 Rata2 2,74 3,55 4,17 4,66 5,32 5,68 6,09 6,71 7,28 Palu Selatan SB 0,21 0,34 0,46 0,66 0,78 0,83 0,86 0,97 0,91 Rata2 2,67 3,38 3,97 4,70 5,28 6,06 6,61 7,50 7,97 Biromaru SB 0,52 0,59 0,71 0,67 0,92 0,97 1,01 1,33 1,13

Keterangan SB: simpangan baku

Rata-rata bobot lahir domba jantan Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru masing-masing 2,70; 2,91 dan 3,25 kg sedangkan domba betina adalah 2,66; 2,74 dan 2,67 kg. Anak domba di Biromaru memperlihatkan pertumbuhan yang lebih tinggi baik jantan maupun betina dari umur 5-8 minggu, meskipun hasil uji Tukey dari umur 0-8 minggu baik jantan maupun betina tidak berbeda nyata (P>0,5). Priyanto et al. (1992) melaporkan ternak-ternak di desa-desa di daerah Cirebon dengan jumlah anak sekelahiran 1,2 dan 3,0 secara berturut-turut mempunyai

bobot lahir sebesar 2,6; 3,3 dan 6,0 kg, bila dikandangkan dan bila digembalakan didapatkan bobot lahir sebesar 2,1 dan 3,0 kg untuk ternak dengan jumlah anak sekelahiran 1 dan 2 secara berturut-turut.

Grafik pertumbuhan domba Donggala dari bobot lahir sampai bobot umur 8 minggu di lokasi penelitian berdasarkan bobot badan disajikan pada Gambar 6.

Keterangan : PT : Palu Timur; PS : Palu Selatan; BM : Biromaru

Gambar 6 Histogram bobot anak domba jantan (kiri) dan betina (kanan) dari umur 0-8 minggu di tiga lokasi penelitian.

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa bobot lahir anak domba di Biromaru lebih tinggi dibanding lokasi lainnya meskipun hasil uji Tukey tidak berbeda nyata (P>0,05), hal ini mungkin disebabkan perbedaaan pasokan nutrien induk yang lebih cukup saat bunting. Lokasi lainnya berada pada kondisi padang penggembalaan yang lebih miskin pakan dibandingkan dengan lokasi induk-induk yang di Biromaru. Demikian pula pertumbuhan anak domba di Palu Selatan lebih tinggi dibanding domba di Palu Timur, namun lebih rendah dibandingkan anak domba di Biromaru baik jantan maupun betina.

Sutama (1993) menyatakan bahwa domba ekor gemuk adalah domba prolifik dengan jumlah litter yang bervariasi 1-3 ekor (rata-rata 1,6 ekor) tergantung umur induk. Tipe kelahiran Domba Donggala dominan tunggal namun

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Umur (Minggu) B obot B a da n (k g) PT PS BM ♂ 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Umur (Minggu) B obot B a da n ( k g) PT PS BM ♀

masih ditemui kelahiran kembar di Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru. Adanya kelahiran kembar tersebut merupakan kemajuan meskipun para peneliti sebelumnya menyimpulkan bahwa domba lokal Palu mempunyai tipe kelahiran tunggal Hamsun et al. (1988), Duma (2001). Kondisi ini mungkin disebabkan ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitasnya yang rendah atau induk yang cenderung menyusui anaknya dalam waktu yang relatif lama karena tidak adanya penyapihan oleh peternak serta pola kawin alam (Mirajuddin dan Duma 2003). Tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir. Bobot lahir pada kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan kelahiran kembar. Hal tersebut disebabkan terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesak-desakan dalam uterus yang sempit, dibandingkan jika anak tersebut dilahirkan tunggal (Triwulaningsih 1981). Persentase kelahiran domba kembar dua di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Persentase kelahiran domba kembar dua di lokasi penelitian

Total Kelahiran Kembar Dua

Persentase Kembar (%)

Palu Timur 31 1 3,23

Palu Selatan 62 1 1,61

Biromaru 11 1 9,09

Dokumen terkait