Limbah Monosodium Glutamat (MSG) sudah mulai digunakan sebagai pupuk cair dengan penambahan amonia, terutama di daerah sekitar industri MSG. Peningkatan kualitas terus dilakukan melalui proses pengkayaan dengan penambahan bahan-bahan yang dapat meningkatkan unsur hara dan bahan organik dalam pupuk, serta dengan pengkayaan metode dan teknik pengolahan pupuk. Limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah MSG (GM-1) yang belum mengalami pengkayaan apapun yang berasal dari PT. Sasa Inti.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama penelitian berlangsung, suhu ruangan berkisar antara 25,8-26,5˚C. Kondisi lingkungan selama penelitian dihomogenkan,
karena akan berpengaruh terhadap mikroorganisme dalam proses dekomposisi di dalam pupuk cair. Pengkayaan dilakukan dengan membuat formulasi pupuk berdasarkan hasil analisis limbah MSG (GM-1) dan mengacu pada standar SNI pupuk sipramin 02-4958-1999 dan persyaratan teknis pupuk anorganik cair berdasarkan SK Mentan No. 9 tahun 2003. Kandungan unsur hara dan bahan organik dari limbah MSG (GM-1), standar pupuk sipramin, dan persyaratan teknis pupuk anorganik cair ditunjukkan dalam Tabel 10.
Tabel 10 . Komposisi Kimia Limbah MSG, Standar SNI dan Persyaratan Teknis Pupuk Anorganik Cair
No. Peubah Kandungan GM-1 SNI Pupuk Sipramin Pupuk Anorganik Cair
1. N total (%) 3,23 Min 4% Total N, P2O5
dan K2O Min. 10 % 2. P2O5 (%) 0,10 - 3. K2O (%) 1,12 - 4. C (%) 5,47 - - 5. NO3- (%) 0,02 - -
6. Bahan Organik (%) - Min 8% -
Hasil analisis yang dilakukan di Pusat Penelitian Tanah Bogor menunjukkan bahwa nilai pH limbah MSG PT. Sasa Inti adalah 3,5, dengan C-organik 5,47%, N-total 3,23%, N-total P0,10%, dan total K 1,12%. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kandungan unsur hara limbah MSG PT. Sasa Inti (GM-1) masih tergolong rendah dan berada di bawah standar SNI 02-4958-1999 tentang standar pupuk sipramin. Berdasarkan SNI standar pupuk yang berasal dari limbah MSG yang tergolong pupuk cair sisa proses asam amino (sipramin) ini adalah nilai pH 5,5-6,5, bobot jenis pada suhu 25ºC adalah 1,10-1,80, N-total minimal 8,0 dan bahan organik minimal 4,0. Persyaratan teknis untuk pupuk anorganik cair yaitu total kandungan N, P, dan K sebesar minimal 10%.
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH atau derajat keasaman dari formulasi pupuk hasil pengkayaan limbah MSG mengalami peningkatan dari nilai pH awal limbah MSG (GM-1). Semua formulasi pupuk telah memenuhi standar yang digunakan sebagai acuan yaitu SNI 02-4958-1999 tentang standar pupuk sipramin. Standar pH yang ditetapkan dalam SNI adalah antara 5,5-6,5. Rataan nilai pH akhir pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Nilai pH Akhir Pupuk Setelah Pengkayaan
A1B1= Formulasi Guano Tanpa Feses; A2B1 = Formulasi Tepung Tulang Tanpa Feses; A1B2 = Formulasi Guano+Feses; A2B2 = Formulasi Tepung Tulang+Feses
Rataan nilai pH dari semua formulasi setelah diperkaya dan melalui proses aerasi meningkat dari pH limbah MSG 3,5 menjadi 8,6. Nilai pH tertinggi adalah pada formulasi pupuk dengan penambahan tepung tulang tanpa feses yaitu sebesar 8,7. Rataan derajat keasaman pupuk pada penelitian ini menunjukkan pH bersifat netral hingga basa (alkali). Menurut Murbandono (2002), pengontrolan pH agar tetap pada kondisi optimal perlu dilakukan karena keasaman yang terlalu rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. CPIS (1992) menambahkan bahwa pH yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan unsur N pada pupuk berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada kondisi asam (pH rendah) dapat menyebabkan matinya mikroorganisme.
Nilai pH dalam pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG ini lebih bersifat basa dan berada di atas standar SNI pupuk sipramin, Hal ini didasarkan pada pertimbangan pengaplikasian pupuk untuk tanah latosol yang bersifat asam. Tanah latosol ini merupakan tanah yang berwarna merah dan kuning, sifat fisiknya rendah dan bereaksi sedang hingga sangat asam dan menempati area seluas 9% dari daratan Indonesia (Soepardi, 1983). Nilai pH rendah pada tanah menyebabkan terlepasnya alumunium dari tanah dan menimbulkan keracunan. Akar yang halus akan mengalami nekrosis sehingga penyerapan hara dan air terhambat. Hal ini menyebabkan tumbuhan kekurangan air dan hara serta menyebabkan kematian. Penambahan pupuk cair dengan nilai pH tinggi ini diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik tanah, dan kemampuan penyerapan hara di dalam tanah.
Kualitas Pupuk Kandungan N-Total
Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro esensial yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Sutedjo (1994) nitrogen merupakan unsur hara yang utama bagi pertumbuhan tanaman yang sangat diperlukan untuk perkembangan atau pertumbuhan bagian vegetatif seperti daun, batang dan akar.
Hasil analisis ragam pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat interaksi antara faktor sumber hara organik dan faktor penambahan feses yang mempengaruhi kandungan N-total di dalam pupuk cair. Penambahan jenis sumber hara organik
berbeda (guano dan tepung tulang), nyata (P<0,05) mempengaruhi kandungan N-total pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG. Begitu pun penambahan feses yang berbeda nyata (P<0,05) mempengaruhi kandungan N-total pupuk cair.
Tabel 11. Kandungan N-Total dengan Penambahan Jenis Sumber Hara Organik Berbeda dan Level Feses yang Berbeda
Sumber Hara Penambahan Feses Rataan
Persyaratan Pupuk Anorganik Feses Tanpa Feses
--- % --- Minimal 2% Guano 2,06 ± 0,005 2,24 ± 0,08 2,15a ± 0,11 Tepung Tulang 1,95 ± 0,06 2,08 ± 0,12 2,01b ± 0,11 Rataan 2,01b ± 0,07 2,16a ± 0,13 2,08± 0,12
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menyatakan perbedaan faktor yang nyata P<0,05
Kandungan N-total tertinggi terdapat pada formulasi guano tanpa penambahan feses sebesar 2,24% dan terendah pada formulasi tepung tulang dengan penambahan feses sebesar 1,95%. Hasil tersebut menunjukkan formulasi tanpa penambahan feses berpengaruh lebih baik pada kandungan N-total pupuk. Hal ini dapat diduga karena sebagian kandungan N tetap tinggal di dalam feses dan di dalam feses terdapat mikroba dekomposer yang dapat mendegradasi unsur hara dalam pupuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Djaja et al. (2003) N tertinggal dimanfaatkan oleh mikroba untuk pembentukan protein dan reproduksinya. Mikroba bekerja dan memanfaatkan N sesuai dengan kemampuan dan keadaannya.
Rataan kandungan N-total yang diperoleh sebesar 2,08%, lebih rendah dibandingkan kandungan N-total limbah MSG sebelum diperkaya dan diaerasi sebesar 3,23%. Kandungan N-total pupuk cair ini sudah memenuhi kandungan minimal N-total berdasarkan persyaratan teknis pupuk anorganik cair sebesar minimal 2%. Akan tetapi jika dibandingkan dengan standar SNI pupuk sipramin sebesar minimal 4%, kandungan N-total pupuk cair ini masih tergolong rendah.
Kandungan N-total hasil analisis menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan N-total hasil perhitungan. Penurunan kandungan N-total tersebut diduga disebabkan karena proses aerasi yang tidak sempurna karena lama aerasi yang singkat dan daya aerasi yang kurang baik menyebabkan bakteri dekomposer tidak
homogen dan tidak bekerja secara optimal, sehingga proses dekomposisi bahan organik tidak sempurna. Selain itu diduga bahwa penurunan kandungan N-total dalam pupuk cair juga disebabkan oleh kehilangan N yang menguap dalam bentuk gas pada proses aerasi. Sama halnya dengan pernyataan Indranada (1989) yang menyatakan bahwa penurunan kadar N disebabkan karena proses kehilangan N melalui penguapan (volatilisasi) dalam bentuk gas amoniak (NH3).
Kandungan Nitrat (NO3-)
Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama yang diasmilasi oleh tanaman. Nitrat ini diperoleh dari proses nitrifikasi yang merupakan proses pembentukan nitrat atau nitrit secara hayati dari senyawa-senyawa yang mengandung senyawa-senyawa tereduksi (Imas et al., 1989).
Tabel 12. Kandungan NO3- dengan Penambahan Jenis Sumber Hara Organik Berbeda dan Level Feses yang Berbeda
Sumber Hara
Penambahan Feses
Rataan Feses Tanpa Feses
--- % ---
Guano 0,04 ± 0,02 0,03 ± 0,00 0,036 ± 0,018
Tepung Tulang 0,02 ± 0,005 0,04 ± 0,003 0,031 ± 0,023
Rataan 0,033 ± 0,018 0,03 ± 0,02 0,034 ± 0,02
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor penambahan feses dan sumber hara berbeda (guano dan tepung tulang) yang berpengaruh terhadap kandungan NO3- pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG. Penambahan feses tidak nyata mempengaruhi kandungan NO3- pupuk cair, begitu pun dengan penambahan sumber hara berbeda (guano dan tepung tulang) yang tidak nyata mempengaruhi kandungan NO3- dalam pupuk.
Hasil analisis laboratorium (Tabel 12) menunjukkan bahwa rataan kandungan NO3- yang tertinggi adalah pada formulasi tepung tulang dengan penambahan feses yaitu sebesar 0,02%. Rataan kandungan NO3- yang tertinggi adalah pada formulasi guano dengan penambahan feses dan formulasi tepung tulang tanpa feses yaitu sebesar 0,04%. Rataan kandungan NO3- pada pupuk cair setelah pengkayaan lebih
tinggi dibandingkan dengan kandungan MSG awal yaitu sebesar 0,02%. Peningkatan kandungan NO3- ini diduga karena terjadi proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses pembentukan nitrat atau nitrit secara hayati dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen terenduksi. Di alam proses ini terjadi di tempat-tempat seperti tanah, lingkungan marin, tumpukan pupuk kandang atau selama pengolahan limbah. Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama yang diasmilasi oleh tanaman dan berperanan penting untuk mempertahankan kesuburan tanah (Imas et al., 1989).
Kandungan Fosfor (P2O5)
Fosfor merupakan unsur esensial bagi kehidupan tanaman. Kekurangan P dapat menyebabkan tanaman tidak mampu menyerap unsur lain, pembelahan sel menurun, dan tanaman menjadi kerdil (Sutedjo, 1994). Kandungan P yang diuji dalam penelitian ini adalah dalam bentuk P2O5 yang kemudian akan digunakan tanaman dalam bentuk H2PO4-.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor jenis sumber hara dan faktor penambahan feses terhadap kandungan P2O5 dalam pupuk cair. Penambahan sumber hara organik berbeda (guano dan tepung tulang) tidak nyata berpengaruh terhadap kandungan P2O5 dalam pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG. Begitu pun penambahan feses tidak nyata mempengaruhi kandungan P2O5 dalam pupuk cair.
Tabel 13. Kandungan P2O5 dengan Penambahan Jenis Sumber Hara Organik Berbeda dan Level Feses yang Berbeda
Sumber Hara Penambahan Feses Rataan Persyaratan Pupuk Anorganik Feses Tanpa Feses
--- % --- Minimal 2% Guano 0,35 ± 0,10 0,24 ± 0,11 0,29 ± 0,11 Tepung Tulang 0,33 ± 0,30 0,56 ± 0,09 0,45 ± 0,23 Rataan 0,34 ± 0,20 0,40 ± 0,20 0,37 ± 0,19
Hasil analisis laboratorium pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG (Tabel 13) menunjukkan bahwa kandungan P tertinggi terdapat pada formulasi tepung tulang tanpa feses, yaitu sebesar 0,56% dan kandungan terendah pada formulasi
tepung tulang dengan penambahan feses sebesar 0,33%. Kandungan P2O5 dari limbah MSG sebelum diperkaya dan diaerasi sebesar 0,10%, mengalami peningkatan setelah dilakukan pengkayaan dan aerasi menjadi 0,37%. Peningkatan ini diduga karena penambahan guano dan tepung tulang yang merupakan sumber P. Akan tetapi peningkatan ini tidak signifikan sehingga tidak berpengaruh nyata pada analisis ragam. Penambahan guano dan tepung tulang dalam jumlah yang lebih tinggi pada formulasi pupuk diharapkan dapat meningkatkan kandungan P2O5 secara signifikan. Menurut Sediyarso (1999) bahan penyusun pupuk guano berasal dari deposit batuan terfosfatisasi dan deposit guano. Pupuk ini banyak mengandung N dan P yang berasal dari akumulasi hasil ekskresi binatang laut dan kelelawar. Pupuk guano mengandung P yang cukup tinggi dan memiliki sifat yang mudah larut oleh air. Rasyaf (1999) menyatakan bahwa tepung tulang mempunyai kandungan P yang cukup tinggi yaitu sekitar 12-15%.
Kandungan P2O5 dalam pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG, masih di bawah persyaratan teknis pupuk anorganik cair yang menentukan kandungan P di dalam pupuk sebesar minimal 2%. Kandungan P2O5 yang masih rendah ini dapat disebabkan karena lama aerasi yang kurang optimal, sehingga proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme juga tidak optimal, dan karena unsur P2O5 yang masih terjerat pada bahan organik tepung tulang atau guano yang belum terurai. Pupuk ini masih dapat diaplilkasikan untuk tanaman dengan produksi utama daun-daunan, karena jika diaplikasikan untuk tanaman dengan produksi utama buah-buahan hasilnya tidak optimal. Unsur P dalam pupuk sangat dibutuhkan oleh tanaman yang produksi utamanya buah.
Kandungan Kalium (K2O)
Kalium (K) adalah salah satu unsur hara yang mempunyai peranan penting, selain P yang mampu diserap oleh tanaman dalam jumlah besar. Adanya K yang cukup tersedia dalam tanaman akan merangsang pertumbuhan akar, dan meningkatkan ketegaran tanaman yang membuat tanaman lebih tahan terhadap serangan hama penyakit (Soepardi, 1983). Kandungan K yang diuji dalam penelitian ini adalah dalam bentuk K2O yang kemudian akan digunakan tanaman dalam bentuk K+.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor penambahan sumber hara organik dengan faktor penambahan feses yang berpengaruh terhadap kandungan K2O di dalam pupuk cair. Penambahan feses berpengaruh terhadap penurunan kandungan K2O di dalam pupuk (P<0,05). Penambahan sumber hara berbeda (guano dan tepung tulang) tidak berpengaruh terhadap kandungan K2O di dalam pupuk.
Tabel 14. Kandungan K2O dengan Penambahan Jenis Sumber Hara Organik Berbeda dan Level Feses yang Berbeda
Sumber Hara Penambahan Feses Rataan Persyaratan Pupuk Anorganik Feses Tanpa Feses
--- % --- Minimal 2% Guano 1,52 ± 0,44 1,85 ± 0,12 1,69 ± 0,34 Tepung Tulang 1,08 ± 0,73 1,96 ± 0,06 1,52 ± 0,67 Rataan 1,30b ± 0,59 1,91a ± 0,10 1,60 ± 0,51
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan faktor yang nyata P<0,05
Hasil analisis laboratorium pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG (Tabel 14) menunjukkan bahwa kandungan K2O pupuk yang berasal dari limbah MSG sebelum mengalami pengkayaan dan aerasi sebesar 1,12%, mengalami peningkatan setelah mengalami pengkayaan dan aerasi menjadi 1,60%. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kandungan hasil perhitungan, terjadi penurunan yang cukup signifikan pada kandungan K2O hasil analisis laboratorium, penurunan ini diduga karena proses aerasi yang tidak optimal, sehingga dekomposisi bahan organik yang tersedia tidak sepenuhnya terurai oleh mikroorganisme.
Kandungan K2O tertinggi terdapat pada pupuk dengan formulasi tepung tulang tanpa penambahan feses yaitu sebesar 1,96% dan kandungan K2O terendah pada formulasi tepung tulang dengan penambahan feses sebesar 1,08%. Kandungan K2O dalam pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG masih di bawah standar persyaratan teknis pupuk anorganik cair sebesar minimal 2%.
Formulasi pupuk dengan penambahan feses memiliki kandungan K2O lebih rendah dibandingkan dengan formulasi pupuk tanpa penambahan feses (Tabel 10). Hal ini disebabkan karena di dalam feses mengandung mikroorganisme dekomposer
yang berperan dalam proses dekomposisi, yang selain selain merombak bahan organik menjadi mineral tersedia dalam pupuk, juga menggunakan sebagian kandungan mineral yang ada, salah satunya adalah K untuk kebutuhan hidupnya. Unsur K berfungsi dalam metabolisme mikroba dan sebagai katalisator (Sutedjo et al.,1991).
Kandungan Total N, P dan K
Kandungan total N, P dan K menentukan kualitas pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG. Kandungan total N, P dan K yang dingin dicapai adalah minimal 10% berdasarkan SK. Mentan No. 9 tahun 2003 tentang persyaratan teknis pupuk anorganik cair makro. Berdasarkan hasil perhitungan, kandungan total N, P dan K berdasarkan formulasi yang dibuat sudah mencapai > 10%. Rataan kandungan total N, P dan K ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4.
Hasil analisis laboratorium menunjukkan kandungan total N, P dan K tertinggi adalah pada formulasi tepung tulang tanpa penambahan feses sebesar 4,6% dan terendah adalah pada formulasi tepung tulang dengan penambahan feses sebesar 3,36%. Kandungan total N, P dan K dari pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG
Kandungan Total N, P, K Pupuk Cair Hasil Pengkayaan Limbah MSG G = Formulasi Guano Tanpa Feses; TT = Formulasi Tepung Tulang Tanpa Feses; G+F = Formulasi Guano+Feses; TT+F = Formulasi Tepung Tulang+Feses
mengalami penurunan dari kandungan total N, P dan K hasil perhitungan yang sudah mencapai total N, P dan K lebih dari 10%. Penurunan kandungan total N, P dan K dalam pupuk cair ini dapat disebabkan penurunan masing-masing kandungan unsur, karena kehilangan melalui volatilisasi (penguapan) pada unsur N, penggunaan oleh mikroorganisme yang ditambahkan ke dalam pupuk, dan proses aerasi yang belum sempurna.
Kandungan C-organik
Karbon merupakan sumber energi utama untuk aktivitas mikroorganisme tanah dan berfungsi sebagai pembangun bahan organik. Nilai C yang dihasilkan dipengaruhi oleh lignin dan selulosa dalam bahan serta oleh mikroorganisme perombak bahan organik.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor penambahan sumber hara organik dengan faktor penambahan feses yang berpengaruh terhadap kandungan C-organik dalam pupuk cair. Penambahan jenis sumber hara organik berbeda (guano dan tepung tulang) tidak nyata berpengaruh terhadap kandungan C-organik pupuk hasil pengkayaan limbah MSG. Sama halnya pada penambahan feses yang juga tidak nyata berpengaruh terhadap kandungan C-organik pupuk cair.
Tabel 15. Kandungan C-Organik dengan Penambahan Jenis Sumber Hara Organik Berbeda dan Level Feses yang Berbeda
Sumber Hara Penambahan Feses Rataan
Feses Tanpa Feses
--- % ---
Guano 3,34 ± 0,14 3,11 ± 0,78 3,22 ± 0,51
Tepung Tulang 3,22 ± 0,02 2,87 ± 0,31 3,04 ± 0,27
Rataan 3,28 ± 0,11 2,99 ± 0,54 3,14 ± 0,40
Kandungan C-organik tertinggi pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG terdapat pada formulasi guano dengan penambahan feses sebesar 3,34%, sedangkan nilai C-organik terendah adalah pada formulasi tepung tulang tanpa feses sebesar 2,87% (Tabel 15). Hasil tersebut menunjukkan bahwa guano dan feses memiliki
kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Malagon (2004) kandungan bahan organik dan nutrisi yang terdapat dalam guano sangat tinggi yaitu sekitar 30-65%. Sejalan dengan pernyataan Harada et al. (1993) bahwa kotoran sapi perah mengandung bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah oleh mikrorganisme seperti bakteri, fungi dan Actinomycetes yang terdapat pada kotoran sapi perah.
Secara umum kandungan C-organik dalam semua formulasi mengalami penurunan dari kandungan limbah MSG awal (GM-1). Penurunan ini terjadi akibat adanya penggunaan karbon sebagai sumber energi agen dekomposer untuk aktivitas metabolismenya (Graves et al., 2000 ). Sutedjo et al. (1991) menyatakan, bahwa dari proses dekomposisi bahan organik, tidaklah seluruhnya dapat ditransformasi sekaligus, karena adanya asimilasi sebagian besar karbon oleh berbagai mikroba sebagai penyusun selnya. Selain itu, penurunan kandungan C-organik ini diduga disebabkan karena penguapan dalam bentuk CO2 dan CH4 yang diakibatkan karena penambahan O2 dalam proses aerasi.
Karakteristik Produk Akhir Pupuk Cair
Limbah MSG yang digunakan berasal dari hasil sampingan pembuatan MSG yang belum mengalami penambahan apapun. Warna dari limbah MSG ini adalah coklat muda dengan bau seperti molases. Hal ini disebabkan karena MSG terbuat dari hasil sampingan pembuatan tebu, yaitu tetes. Karakteristik produk akhir dari pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Karakteristik Produk Akhir Pupuk Cair Hasil Pengkayaan Limbah MSG
Proses pengkayaan akan mempengaruhi perubahan karakteristik fisik dari pupuk cair. Karakteristik fisik pupuk cair hasil pengkayaan limbah MSG menunjukkan kualitas pupuk cair setelah mengalami pengkayaan dan proses aerasi. Perubahan fisik dan kimia dari pupuk cair ini dipengaruhi oleh penambahan bahan, aktivitas mikroorganisme, dan proses aerasi yang telah dilakukan.
Perubahan warna pada pupuk cair hasil pengkayaan merupakan salah satu karakteristik fisik yang menentukan kualitas pupuk cair. Perubahan warna yang terjadi pada pupuk cair setelah mengalami pengkayaan dan aerasi adalah warnanya semakin gelap. Perlahan hingga akhir proses aerasi warnanya berubah menjadi coklat kehitaman, perubahan ini disebabkan oleh proses oksidasi dari oksigen yang dimasukkan pada saat proses aerasi.
Bau juga menunjukkan kualitas pupuk cair, terutama dari segi kematangan pupuk. Proses aerasi dapat mengurangi bau yang yang terjadi pada pupuk cair, namun masih terdapat bau menyengat pada produk akhir pupuk cair hasil pengkayaan. Hal ini menunjukkan lama proses aerasi yang belum optimal sehingga masih menimbulkan bau menyengat pada pupuk.