• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi. Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan semua aspek sosial ekonomi. Penyebab utama tejadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan adalah kerusakan lingkungan, terutama di wilayah hulu DAS sebagai daerah tangkapan air. Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu dilakukan upaya pemulihan dan peningkatan kemampuan fungsi dan produktivitas hutan dan lahan melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).

Kegiatan RHL harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, misalnya kepemilikan tanah, pengetahuan, pendapatan dan jumlah tenaga kerja. Menurut Agus dan Widianto (2004) tindakan konservasi yang mudah diterima petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang status penguasaan lahanya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani dengan fasilitas penyuluh. Petani paling berhak mengambil keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka. Keberhasilan tindakan konservasi akan semakin mudah dicapai apabila masyarakat yang diharapkan berpartisipasi mengerti permasalahan yang akan dipecahkan dan manfaat dari tindakan tersebut. Salah satu keberhasilan dalam tingkat partisipasi masyarakat melalui kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat, hal ini merupakan salah satu prinsip dari kegiatan RHL.

Pendekatan partisipatif mutlak diperlukan dalam mencapai keberhasilan pembangunan. Lahirnya metode partisipasi masyarakat dalam pembangunan disebabkan adanya kritik bahwa masyarakat diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan perkembangan dari metode-metode terdahulu, di antaranya Rapid Rural Appraisal (RRA). Definisi yang tepat tentang PRA

masih sering diperdebatkan, namun perbedaan antara PRA dengan RRA adalah RRA merupakan bentuk pengumpulan informasi/data oleh “orang luar” yang kemudian dibawa keluar dan dianalisisnya sendiri. Sedangkan untuk PRA adalah kegiatan yang bersifat partisipatif. Walaupun teknik yang digunakan bisa sama, tetapi “orang luar” hanya berperan sebagai pemandu, perantara atau fasilitator. Masyarakat didorong untuk melakukan kegiatan menggali informasi tentang permasalahn mereka, kemudian menganalisis dan menentukan cara terbaik dalam mengatasi masalah.

Karakteristik Internal dan Eksternal Masyarakat

Karakteristik internal dan eksternal responden merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu, baik faktor yang berada di dalam masyarakat (faktor internal) maupun faktor yang ada di luar masyarakat (faktor eksternal) (Tabel 9).

Tabel 9 Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat di lokasi penelitian

Tingkat Partisipasi Masyarakat

No Faktor Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%)

Faktor Internal 1. Umur (X1.1) 0 85,6 14,4 2. Tingkat Pendidikan (X1.2) 20 51,1 28,9 3. Luas Lahan (X1.3) 16,7 51,1 25,6 4. Tingkat Pendapatan (X1.4) 35,6 41,1 23,3 5. Pekerjaan sampingan(X1.5) 96,7 3,3 0 6. Persepsi (X1.6) 12,2 41,1 46,7 Faktor Eksternal

1. Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) (X2.1)

4,4 34,4 61,2

2. Peran pendamping (X2.2) 38,9 52,2 8,9

3. Ketersediaan sarana (X2.3) 10 51,1 38,9

4. Peran kelembagaan sosial (X2.4) 21,1 66,7 12,2

Karakteristik Internal

Umur. Umur merupakan salah satu variabel yang sering digunakan untuk menganalisis berapa besarnya tenaga kerja (manpower), angkatan kerja (labor force) serta proporsi dari penduduk berusia dewasa yang terlibat dalam kegiatan ekonomis secara aktif di

suatu tempat. Penduduk muda berumur di bawah 15 tahun dianggap sebagai penduduk yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung kepada orang tua atau orang lain yang menanggungnya. Sedangkan penduduk yang berusia di atas 65 tahun dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Penduduk berusia antara 15 – 65 tahun adalah penduduk usia kerja (lebih dari 10 tahun) yang dianggap produktif (BPS Kabupaten Bogor, 2009).

Umur responden berkisar antara umur 20 tahun sampai dengan 73 tahun, di mana sebagian besar tergolong sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada responden yang memiliki umur di bawah 15 tahun, sebagian besar responden berumur produktif antara 15-65 tahun 85,6%, dengan hasil ini responden sebagian besar tergolong produktif, maka masyarakat di DAS Cisadane Hulu memiliki potensi besar untuk ikut terlibat dalam kegiatan RHL.

Tingkat Pendidikan. Kajian-kajian tentang sosial kemasyarakatan di mana tingkat pendidikan merupakan salah satu dari tiga komponen sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan) dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang pada setiap tahapan kegiatan. Mereka yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Sebaliknya, bagi mereka yang berpendidikan rendah lebih banyak terlibat pada tahap pelaksanaan. Tingkat pendidikan responden pada umumnya tergolong sedang (51,1%), sehingga rendahnya tingkat pendidikan tersebut dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, khususnya kegiatan yang memerlukan pemikiran-pemikiran. Berdasarkan data hasil maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program belum mendapatkan hasil yang memuaskan, karena masyarakat masih ada rasa keraguan dalam mengemukakan pendapatnya padahal ini sangat penting dalam menentukan akan ke mana arah dan tujuan program ini dilaksanakan. Masyarakat lebih banyak ikut terlibat di dalam pelaksanaan program RHL.

Luas Lahan. Luas lahan garapan yang dimiliki responden dapat mempengaruhi tingkat partisipasi dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Responden yang memiliki lahan sempit tidak memiliki alternatif mengalokasikan lahannya untuk ditanami pohon-pohonan. Biasanya yang memiliki lahan yang sempit akan lebih cenderung memanfaatkan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada pohon-pohonan karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil

penelitian luas lahan responden tergolong sedang (51,1%), di mana sebagian besar luas lahan responden digunakan untuk budidaya pangan sebagai sumber kehidupan bagi anggota keluarganya.

Masyarakat yang memiliki lahan sempit dan sedang pada umumnya hanya memanfaatkan lahannya untuk tanaman jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga akan mengalami kesulitan jika lahannya ditanami dengan tanaman keras. Hal ini yang seharusnya dapat di atasi dengan memberikan pengetahuan, keterampilan dan penyuluhan, sehinga mereka dapat mengetahui, mengerti dan bersedia lahannya untuk ditanami tanaman keras walaupun hasil dan manfaat yang bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang.

Tingkat Pendapatan. Pendapatan responden adalah pendapatan rata-rata per bulan, baik pendapatan yang berasal dari mata penharian pokok maupun sampingan. Hasil penelitian diperoleh tingkat pendapatan responden berkisar antara Rp 100.000 – Rp 1.500.000. Rendahnya tingkat pendapatan sebagai implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan dan sempitnya kepemilikan lahan masyarakat. Di lokasi penelitian tingkat pendidikan sebagian besar hanya tamatan SMP sehingga mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan untuk dapat mengakses permodalan. Kondisi tersebut juga akan berpengaruh pada sempitnya lahan, sehingga masyarakat tidak dapat mengembangkan pertaniannya dan akan berakibat pendapatan mereka menjadi terbatas.

Pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan merupakan pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan yang dimiliki oleh responden di luar pekerjaan utamanya. Pekerjaan itu dilakukan untuk menambah pendapatan, guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil data lapangan diperoleh bahwa pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh responden tergolong rendah, hanya berkisar 0–2. Pekerjaan sampingan yang umumnya digeluti oleh responden adalah berdagang, beternak, ojek dan buruh bangunan. Sebagian besar pekerjaan sampingan responden tergolong rendah (96,7%), artinya mereka hanya tergantung kepada pekerjaan utamanya saja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Persepsi. Persepsi merupakan pengetahuan, pandangan dan penilaian responden terhadap tujuan dan manfaat dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat diajukan pertanyaan-pertanyaan kepada

responden mengenai pandangan atau penilaian terhadap tujuan dan manfaat dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Pengukuran tingkat persepsi ini didasarkan pada pernyataan responden tidak setuju, kurang setuju dan setuju terhadap program tersebut. Persepsi responden sebagian besar tergolong tinggi yaitu 46,7%, artinya persepsi masyarakat terhadap tujuan dan manfaat RHL cukup tinggi. Tingginya persepsi masyarakat tersebut disebabkan karena pemahaman masyarakat sudah tinggi terhadap tujuan dan manfaat RHL dan mereka bisa merasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Karakteristik Eksternal

Intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) diukur dari jumlah atau frekuensi kegiatan-kegiatan sosialisasi (penyuluhan) RHL yang diberikan kepada responden, baik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan tersebut diaktualisasikan pada kegiatan-kegiatan seperti : pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh pihak pelaksana, kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Data hasil yang diperoleh umumnya tergolong tinggi yaitu 61,2%, ini menggambarkan bahwa intensitas sosialisasi program (penyuluhan) yang dilakukan sudah optimal, walaupun masih banyak kekurangan-kekurangan yang dirasakan masyarakat seperti masalah kurangnya Sumber daya manusia yang ada (hanya ada tiga orang penyuluh) sehingga intensitas kunjungan dan penyuluhan ke lokasi masih kurang.

Peran pendamping. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan oleh petugas-petugas pendamping dari lembaga sosial masyarakat yang dianggap mampu memberikan penjelasan dan bimbingan teknis pada kegiatan RHL di lapangan. Penilaian peran petugas ini didasarkan pada intensitas kunjungan di lapangan dan keterlibatan langsung mereka dalam menjalankan tugasnya, melalui informasi yang digali secara langsung dari peserta kegiatan. Sebagian besar responden menyatakan peran pendamping tergolong sedang (52,2%). Hal ini dapat diartikan bahwa peran petugas pendamping dalam menjalankan tugasnya belum optimal sehingga perlu ditingkatkan.

Ketersediaan sarana. Ketersediaan sarana kegiatan RHL merupakan komponen yang sangat penting karena sarana dimaksud sangat diperlukan untuk dapat menunjang dalam

pelaksanaan kegiatan rehabilitasi tersebut. Sarana rehabilitasi tersebut antara lain berupa peralatan kerja, bahan (material), bibit tanaman, pupuk dan dana. Data hasil menunjukkan bahwa ketersediaan sarana tergolong sedang (51,1%), karena sarana rehabilitasi yang disediakan oleh pemerintah tidak langsung diberikan kepada masyarakat tetapi melalui kantor dinas terkait. Untuk bibit tanaman dan pupuk disediakan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Bogor. Sedangkan sarana rehabilitasi sipil teknis disediakan oleh BPDAS Citarum Ciliwung. Data tersebut menunjukkan bahwa sarana ini belum tersedia sesuai kebutuhan masyarakat. Salah satu penyebab kurang tersedianya sarana rehabilitasi hutan dan lahan ini karena faktor anggaran pemerintah yang bertahap.

Peran kelembagaan sosial. Kelembagaan sosial memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong partisipasi masyarakat. Biasanya peran kelembagaan sosial ini berupa dukungan yang diaktualisasikan melalui kegiatan pertemuan-pertemuan pembahasan masalah-masalah perencanaan, pelaksanaan di lapangan dan evaluasi kegiatan RHL. Peran kelembagaan sosial tergolong sedang yaitu 66,7%, di mana responden menyatakan bahwa lembaga sosial sangat mendukung kegiatan, salah satu peran kelembagaan sosial yang bisa terwujud adalah terbentuknya kelompok tani yang merupakan suatu wadah tempat berkumpulnya petani dalam mendiskusikan masalah-masalah yang terjadi di lokasinya. Dukungan ini mulai dirasakan oleh masyarakat pada saat perencanaan dan pelaksanaan karena pada saat evaluasi lembaga sosial ini kurang terlibat.

Tingkat Partisipasi Masyarakat

Program RHL melibatkan partisipasi masyarakat baik disekitar obyek kegiatan maupun masyarakat luas mulai proses perencanaan, persiapan bibit, persiapan lapangan sampai kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Masyarakat secara langsung maupun tidak langsung ikut terlibat dalam setiap tahapan kegiatan. Dengan pelibatan aktif masyarakat secara tidak langsung akan menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat, sehingga membentuk budaya memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan dan lingkungan, sehingga akhirnya masyarakat mau dan mampu secara swadaya melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan tanaman/hutan yang berada pada lingkungannya.

Partisipasi masyarakat yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan RHL dalam setiap tahapan kegiatan, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan di lapangan dan tahapan evaluasi. Data hasil diperoleh dari wawancara responden dan kuesioner dengan parameter pengukuran tidak terlibat masuk kategori rendah, kurang sampai cukup terlibat masuk kategori sedang, dan selalu sampai banyak terlibat masuk katagori tinggi. Tabel 10 menunjukkan hasil dari tingkat partisipasi masyarakat, baik pada tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan di lapangan dan tahapan evaluasi.

Tabel 10 Kategori Hasil Penilaian Masyarakat dalam kegiatan RHL pada Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi di lokasi penelitian

Partisipasi Masyarakat Tahapan Perencanaan Tahapan

Pelaksanaan Tahapan Evaluasi Kategori Nilai Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Rendah < 10 42 46,7 0 0 33 36,7 Sedang 10 – 15 37 41,1 46 51,1 28 31,1 Tinggi > 15 11 12,2 44 48,9 29 32,2 Total 90 100 90 100 90 100 Tahapan Perencanaan

Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah sebagai berikut: 1) identifikasi masalah, 2) penentuan lokasi, 3) penentuan luas lahan, 4) penentuan jenis bibit tanaman, 5) penentuan bangunan sipil teknis, 6) pembentukan kelompok tani, dan 7) penentuan biaya.

Penilaian terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL untuk tahapan perencanaan secara umum masih tergolong rendah (46,7%), artinya peserta hanya mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana tetapi mereka tidak pernah hadir dalam rapat atau pertemuan. Tingkatan ini masuk ke dalam kelompok nonparticipation. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan, yaitu sebagian besar (51,1%) hanya tamat SMP, sehingga ini berimplikasi terhadap ketidak tertarikan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan. Hasil penelitian ini sejalan denga hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh Muis (2007) dan Pujianto (2009) yang menyatakan bahwa partisipasi dalam tahapan perencanaan pada umumnya masih rendah. Tingkat partisipasi rendah di mana masyarakat hanya digunakan sebagai alat publikasi saja, walaupun masyarakat yang terlibat dalam kegiatan, tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak pernah aktif memberikan masukan atau usulan-usulan dalam proses tahapan perencanaan. Pada tahap perencanaan ini lebih banyak dilakukan oleh pihak pemerintah sehingga sampai saat ini masih bersifat top down.

Perubahan paradigma arah penentuan kebijakan dari bersifat top down menjadi bottom up, di mana DAS sebagai satu kesatuan atau unit perencanaan mempunyai makna bahwa perencanaan pengelolaan DAS harus dapat menampung seluruh kepentingan sektoral dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, di mana perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna lahan dan sumber daya alam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pola perkembangan kependudukan yang serasi.

Tahapan Pelaksanaan

Pengukuran untuk tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan adalah sebagai berikut : 1) penyiapan lahan, 2) pemeriksaan bibit tanaman, 3) penanaman, 4) pembuatan bangunan sipil teknis, 5) penyiangan/pembersihan rumput, 6) pendangiran, 7) penyulaman, 8) pemeliharaan, 9) penyiapan sarana, 10) pertemuan kelompok tani dan 11) penyediaan dana.

Tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan secara umum termasuk pada kategori sedang (51,1%). Tingkatan partisipasi ini masuk ke dalam kelompok tingkatan partisipasi tokenism. Artinya bahwa masyarakat sudah mulai diajak dalam konsultasi pelaksanaan kegiatan, dimasukkan ke dalam anggota badan-badan kerja dan juga berbagi tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan walaupun masih seringkali suara mereka masih tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya relatif rendah.

Pada kegiatan pemeriksaan bibit tanaman, penyulaman, penanaman dan pemeliharaan tanaman tingkat partisipasi masyarakat masih tergolong rendah, ini disebabkan karena alasan teknis, di mana wewenang untuk kegiatan pemeriksaan bibit dikelola sepenuhnya oleh institusi independen bentukan proyek. Bahkan dalam pemeriksaan yang dilakukan, keterlibatan masyarakat hanya sebatas mendampingi tim

pemeriksa, tanpa memiliki wewenang untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan bibit yang disediakan. Demikian pula pada kegiatan penyulaman dan pemeliharaan tanaman, di mana bibit yang disalurkan tidak mencukupi untuk kegiatan penyulaman. Persediaan bibit untuk kegiatan penanaman pun tidak mencukupi. Jumlah bibit yang terbatas ini menyebabkan target luasan tanaman tidak terpenuhi.

Tahapan Evaluasi

Pada tahapan evaluasi pengukuran tingkat partispasi masyarakat dilakukan dua kegiatan, yaitu : penilaian dan pemantauan keberhasilan kegiatan serta membantu memberikan informasi kepada tim evaluasi. Penilaian tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan evaluasi termasuk pada kategori rendah (36,7%). Tingkatan partisipasi ini masuk ke dalam kelompok non participation.

Partisipasi masyarakat tergolong rendah, artinya bahwa masyarakat hanya mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana dan tidak pernah hadir dalam kegiatan rapat atau pertemuan, dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kepentingan terhadap kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi hanya dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Muis (2007) dan Pudjianto (2009) yang menyatakan bahwa dinamika partisipasi masyarakat di DAS dalam kegiatan evaluasi pada umumnya rendah, karena sebagian besar respondennya tidak pernah terlibat pada kegiatan evaluasi bahkan tidak mengetahui bahwa telah dilakukan kegiatan evaluasi.

Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat

Hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal responden terhadap tingkat partisipasi masyarakat memberikan gambaran tentang bagaimana peranan dari masing-masing faktor, terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan ini pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dilakukan uji korelasi Spearman Rank. Uji korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak menunjukkan hubungan fungsional, ini tidak membedakan jenis variabel. Keeratan hubungan ini dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi.

Koefisien korelasi memiliki nilai antara -1 hingga +1. Sifat nilai koefisien korelasi adalah plus (+) atau minus (-). Hal ini menunjukkan arah korelasi. Sifat korelasi akan menentukan arah dari korelasi. Keeratan korelasi dapat dikelompokkan sebagai

berikut : 0,00 sampai 0,20 berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah; 0,21 sampai 0,40 berarti korelasi memiliki keeratan lemah; 0,41 sampai 0,70 berarti korelasi memiliki keeratan kuat; 0,71 sampai 0,90 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat; 0,91 sampai 0,99 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat sekali, dan 1 berarti sangat sempurna. Hasil uji korelasi pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil Uji Korelasi Spearman Rank dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu Partisipasi Masyarakat No Faktor Tahapan Perencanaan (Y1) Tahapan Pelaksanaan (Y2) Tahapan Evaluasi (Y3) Faktor Internal 1. Umur (X1.1) 0,151 0,322** 0,015 2. Tingkat Pendidikan (X1.2) 0,493** 0,397** - 0,129 3. Luas Lahan (X1.3) 0,371** 0,098 - 0,121 4. Tingkat Pendapatan (X1.4) 0,402** 0,279** - 0,172 5. Pekerjaan sampingan(X1.5) 0,084 0,186 - 0,072 6. Persepsi (X1.6) 0,279* 0,256* 0,040 Faktor Eksternal

1. Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) (X2.1)

0,231* 0,268* - 0,254*

2. Peran pendamping (X2.2) - 0,094 - 0,039 0,017

3. Ketersediaan sarana (X2.3) 0,346** 0,316** 0,760

4. Peran kelembagaan sosial (X2.4) 0,298** 0,379** 0,058

Keterangan:

** Berpengaruh nyata pada α = 0,01 ; * Berpengaruh nyata pada α = 0,05

Hubungan antara Umur dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman Rank menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (keeratan hubungan) antara variabel umur dengan tingkat partisipasi pada tahapan perencanaan tidak memiliki hubungan nyata (0,151), sedangkan pada tahapan pelaksanaan memiliki hubungan nyata (0,322**), dan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan lemah (0,015). Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa variabel umur pada tahapan pelaksanaan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Sedangkan pada tahapan perencanaan dan evaluasi umur tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi, karena memiliki korelasi yang tidak nyata dan sangat lemah. Artinya bahwa umur dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL, karena umur di lokasi penelitian termasuk golongan produktif sehingga akan memudahkan dalam ikut keterlibatan di program ini, berbeda apabila umur

responden didominasi oleh mereka yang berumur di bawah 15 tahun karena tergolong belum produktif sehingga mereka masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang menanggungnya.

Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Nilai hasil koefisiem korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah sebesar 0,493** dan tahapan pelaksanaan sebesar 0,397** sehingga mempunyai hubungan nyata yang cukup kuat, sedangkan pada tahapan evaluasi sebesar -0,129 memiliki hubungan yang sangat lemah. Artinya bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan tingkat pendidikan responden sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka akan cenderung semakin tinggi pula untuk tingkat partisipasinya. Sedangkan pada tahapan evaluasi tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat.

Hubungan antara Luas Lahan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Luas lahan nilai koefisien korelasinya pada tahapan perencanaan 0,371**, pada tahapan pelaksanaan 0,098, dan pada tahapan evaluasi -0,121. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan luas lahan responden mempunyai hubungan nyata yang kuat dengan tingkat partisipasi, sedangkan pada tahapan pelaksanaan dan tahapan evaluasi tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat, bahkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat lemah. Hal ini berarti pada tahapan perencanaan luas lahan sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, maka semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Sedangkan pada tahap pelaksanaan dan tahapan evaluasi tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat.

Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Nilai koefisien korelasi antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan sebesar 0,402**, tahapan pelaksanaan sebesar 0,279**, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,172. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan tingkat pendapatan responden memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat, sedangkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat lemah.

Hal ini berarti bahwa pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan tingkat pendapatan dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tingi pendapatan masyarakat maka akan semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Masyarakat yang telah memiliki pendapatan yang tinggi tidak terlalu menggantungkan kelangsungan hidupnya pada hasil hutan, sehingga mereka akan menjaga kelestarian hutan (tidak merusak hutan) dibandingkan dengan masyarakat yang berpendapatan rendah.

Hubungan antara Pekerjaan Sampingan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat

Antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan memiliki nilai koefidien korelasi sebesar 0,084, tahapan pelaksanaan sebesar 0,186, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,072. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel pekerjaan sampingan memiliki korelasi yang lemah terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan yang dimiliki oleh

Dokumen terkait