• Tidak ada hasil yang ditemukan

Community Participation Analysis in Forest and Land Rehabilitation in Upstream of Cisadane Watershed

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Community Participation Analysis in Forest and Land Rehabilitation in Upstream of Cisadane Watershed"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

DI DAS CISADANE HULU

IDA NURMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

(3)

IDA NURMAYANTI. Community Participation Analysis in Forest and Land Rehabilitation in Upstream of Cisadane Watershed. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and KUKUH MURTILAKSONO.

Forest and land degradation is the important factor for critical land, hidrological cycle disturbance, erotion and sedimentation, during the rainy season and droughts during the dry season in the upstream Cisadane watershed area. This study was aimed to identify the level of community participation, to analized factors affecting the level of community participation, and to develop alternatives of policy priority in order to improve community participation. The level of community participation was analized base on Arenstein’s theory, correlation analysis by Spearman Rank, and alternatives of policy priority by Analytical Hierarchy Process. The results show that the level of community participation in planning and evaluation phases were catagorized as low (nonparticipation), while in implementation phase was catagorized as moderate (tokenism). The Spearman Rank correlation test found that the altermining factors in the planning stage were the level of education, farming area, income level, perception, program socialization (e.g.extension), the availability of facilities and the role of local institutions. In the implementation stage the influencing were age, level of education, income level, perception, program socialization (e.g.extension). While in the evaluation stage there was only one factor that could affect the participation level which was program socialization. In order improve the community participation, alternatives of policy priority should include at least community education, community income and availability of facilities. The low level of education and low income were the important for low participation in the decision making process. In addition, the community trust to the facilitators determines the level of community participation.

(4)

IDA NURMAYANTI. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan KUKUH MURTILAKSONO.

Kerusakan hutan dan lahan yang ada di daerah hulu DAS Cisadane telah menyebabkan lahan menjadi kritis, keseimbangan siklus hidrologi terganggu, erosi dan sedimentasi meningkat sehingga berimplikasi pada terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintah telah melaksanakan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Hasil program tersebut belum memberikan hasil yang diharapkan, hal ini disebabkan dalam pelaksanaan masih dilakukan secara terpusat (top down) dan tidak melibatkan masyarakat, terutama pada saat tahapan perencanaan. Sekarang pemerintah menggunakan pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan lembaga sosial setempat. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para penentu kebijakan (policy makers) dan dapat mengembangkan kegiatan program RHL secara partisipatif.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yang bertujuan untuk dapat mengungkapkan fakta-fakta tentang partisipasi masyarakat termasuk menganalisa hubungan antara aspek-aspek yang ada di dalamnya serta dapat menyusun suatu alternatif kebijakan sebagai umpan balik untuk bisa memperbaiki dalam pelaksanaan program selanjutnya. Untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat digunakan teori Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) di mana terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu : golongan partisipasi rendah (non participation) di mana masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam kegiatan walaupun terlibat tetapi tidak dapat memberikan masukan atau usulan-usulan, golongan sedang (tokenism) di mana masyarakat sudah mulai terlibat tetapi suara masyrakat tidak pernah diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif rendah, dan golongan tinggi (citizen power) di mana masyarakat sudah terlibat secara aktif dan memiliki kewenangan penuh di bidang kebijakan dan aspek pengelolaan pada seluruh tahapan kegitan. Tingkat partisipasi masyarakat di DAS Cisadane Hulu pada tahapan perencanaan dan tahapan evaluasi dalam kegiatan RHL tergolong rendah (non participation). Sedangkan untuk tahapan pelaksanaan tingkat partisipasi masyarakat tergolong sedang (tokenism).

(5)

pendapatan, pekerjaan sampingan dan persepsi masyarakat, serta faktor eksternal yang terdiri dari intensitas sosialisasi program (penyuluhan), peran pendamping, ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial.

Hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat diuji dengan metode korelasi Spearman Rank, di mana data diambil dari 90 responden di lima kecamatan. Sedangkan untuk menyusun alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara analisis terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, yaitu menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), data diambil dari 12 orang responden yang terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang mengerti permasalahan dan punya kepentingan terhadap program RHL di DAS Cisadane Hulu. Hasil wawancara tersebut, menghitung bobot nilai alternatif kebijakan dengan aspek-aspek partisipasi masyarakat diproses komputer dengan software Expert choice 2000. Hasil uji korelasi Spearman Rank faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Tahapan pelaksanaan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Sedangkan pada tahapan evaluasi hanya ada satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi yaitu intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat tersebut pada tahapan perencanaan adalah tingkat pendidikan (0,493**), pada tahapan pelaksanaan adalah tingkat pendidikan (0,397**) dan pada tahapan evaluasi intensitas sosialisasi program (penyuluhan) (-0,254*). Untuk hasil penilaian terhadap alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat menggunakan model AHP menunjukkan bahwa aktor pemerintah (0,75) lebih penting dibanding dengan aktor masyarakat (0,25). Faktor pendukung yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor tingkat pendidikan (0,27), tingkat pendapatan (0,14), peran pendamping (0,12) dan ketersediaan sarana (0,20). Sedangkan untk alternatif kebijakan yang lebih mendukung partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat (0,84) dan meningkatkan dukungan dari pemerintah (0,16). Berdasarkan unsur kebijakan tersebut maka yang menjadi alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui sarana tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan sarana.

(6)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

(7)

REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

DI DAS CISADANE HULU

IDA NURMAYANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungan (DAS)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu Nama : Ida Nurmayanti

NRP : A155080051

Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Daerah Aliran Sungai (DAS)

Prof.Dr.Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(9)
(10)

Tesis ini dipersembahkan untuk mereka yang saya sayangi dan cintai, Bapak H. Hasan Muharam, Mamah Hj.Maryati (Almh),

Suami Burhanuddin,anakku Ficky Burhan, Rully Burhan dan Ocha Burhan terima kasih atas semua do’a, dorongan dan dukungannya,

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya tesis ini berhasil Penulis selesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari 2010 sampai Juni 2010 ini adalah “Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan serta pengarahan ke arah yang lebih baik mulai dari penyusunan usulan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini, Bapak Dr.Ir.Yayat Hidayat, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis dan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang selalu memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan studi di Pascasarjana IPB. Disamping itu, penulis juga memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang telah memberikan banyak kesempatan dan bantuan, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, suami dan putera puteri tercinta yang selalu memberikan dorongan, kesabaran, keikhlasan, do’a restu dan kasih sayangnya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat, khususnya bagi mereka yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2010

(12)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Maret 1968 dari ayah Drs. H. Hasan Muharam dan ibu Hj. Maryati (Almh). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Ir. Burhanuddin dan dikarunia tiga orang anak, Ficky Burhan, Rully Burhan dan Ocha Burhan.

Pada tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri I Bogor, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Universitas Nasional Jakarta, Fakultas Biologi dan lulus tahun 1991. Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusat Diklat Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

(13)
(14)
(15)

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 7 2. Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam

(16)

Halaman

1. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode 1970-2007……….... 13

2. Lokasi penelitian di DAS Cisadane Hulu………...

3. Skala Pembanding berpasangan untuk menilai kriteria dan alternatif…………... 22 28 4. Matriks pembanding berpasangan (pairwise comparison) untuk menentukan

prioritas... 5. Luas Wilayah,dan Jumlah Penduduk per Kecamatan tahun 2008 ... 6. Data Hidrologi DAS Cisadane Hulu tahun 2007... 7. Jumlah dan Nama Desa per kecamatan di lokasi penelitian... 8. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per Kecamatan di lokasi penelitian... 9. Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi

Masyarakat di lokasi penelitian... 10.Kategori Hasil Penilaian Masyarakat dalam kegiatan RHL pada Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi di lokasi penelitian... 11.Hasil Uji Korelasi Spearman Rank dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu... 12.Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat...

29 31 31 32 33

35

40

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta administrasi DAS Cisadane Hulu……….………....

2. Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori... 3. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel

terikat (Y1)... 4. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel

terikat (Y2)... 5. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel

terikat (Y3)... 6. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Perencanaan... 7. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Pelaksanaan... 8. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Evaluasi... 9. Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi

Hutan dan Lahan... 10.Nilai banding berpasangan (pairwise compasrison)... 11.Foto kegiatan di lokasi penelitian...

63 64

66

69

72 75 77 80

(18)

Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai manfaat tersebut, manfaat ekonomilah yang lebih menjadi perhatian dari sebagian besar masyarakat. Hutan sebagai sumber keanekaragaman hayati dan sebagai penyedia kebutuhan hidup dari masyarakat di sekitar hutan. Pendapat yang menganggap fungsi hutan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi mengakibatkan semakin meningkatnya degradasi hutan dari tahun ke tahun.

Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Menurut Sinukaban (2008) pengertian DAS adalah daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami sehingga semua air hujan yang jatuh diatas DAS tersebut akan mengalir melalui titik pembuangan (outlet) yang sama. Berdasarkan pengertian tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS.

(19)

tersebut, diantaranya : 1). pengelolaan dilaksanakan secara terpadu lintas sektoral; 2). peningkatan peran serta masyarakat (partisipatif); 3). peningkatan penyuluhan baik kualitas dan kuantitas; 4). penguatan institusi dan 5). pemberian insentif kepada petani di kawasan DAS (khususnya di bagian hulu) (Priyono dan Cahyono, 2003 dalam Ahsoni, 2008).

Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di wilayah DAS bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun 2003 pemerintah telah melaksanakan program RHL melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Secara konseptual program tersebut merupakan upaya strategis yang langsung menyentuh masyarakat. Pelaksanaan program tersebut di beberapa daerah banyak mengalami kegagalan, misalnya tahun 2003 di Kalimantan Selatan sudah 29.000 hektar lahan kritis ditanami pohon proyek GN-RHL, namun kurang lebih 11.600 hektar diantaranya (40%) mati (Partono, 2006). Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, sedikitnya 19 juta pohon atau 59% dari 32 juta pohon yang ditanam melalui GN-RHL sepanjang tahun 2003 mati. Kendala yang menyebabkan kegagalan proyek GN-RHL di beberapa daerah di Indonesia antara lain disebabkan oleh perencanaan yang tidak matang, pelaksanaan program tidak memperhatikan waktu penanaman dan tingkat penerimaan masyarakat yang kurang (Departemen Kehutanan, 2007).

Kajian terdahulu banyak menjelaskan hubungan antara tingkat partisipai masyarakat dengan keberhasilan pembangunan kehutanan (Pujo, 1998; Sunartana, 2003; Safei, 2003; Trison, 2005; dan Muis, 2007), tetapi belum ada kajian yang secara khusus menjelaskan faktor-faktor dominan apa saja, baik internal maupun eksternal yang dapat menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat rendah dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Partisipasi masyarakat merupakan modal dasar untuk membangun sebuah kekuatan di masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama (colection action). Tingkat partisipasi masyarakat pada setiap tahapan kegiatan RHL sangatlah diperlukan, selain itu peran pemerintah dalam menunjang keberhasilan pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangatlah diharapkan.

(20)

gulud (3.883,9 Ha), sumur resapan, dan dam penahan (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007). Program tersebut merupakan program terpadu antar departemen dengan menggunakan pendekatan partisipatif yang melibatkan mayarakat dan lembaga sosial pada setiap tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Adanya pendekatan partisipatif diharapkan masyarakat dapat ikut berperan aktif, sehingga implementasi program RHL di DAS Cisadane Hulu ini dapat berhasil dengan baik.

Hasil penelitian Ahsoni (2008) menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas, hal ini tercermin dari : 1). buruknya infrastruktur rumah; 2). rendahnya tingkat pendidikan (80% tidak tamat Sekolah Dasar); 3). sempitnya kepemilikan lahan rata-rata hanya 0,2 Ha; 4). rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp 11.849.550/tahun dan 5). mata pencaharian sebagai buruh tani (51%) dan penggarap (31%). Adanya keterbatasan kondisi sosial ekonomi tersebut maka kemampuan masyarakat dalam keterlibatan program RHL terbatas, sehingga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi.

Keberhasilan tingkat partisipatif sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakatnya, biasanya partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah terkena kebijakan, program atau proyek dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan dengan lebih efektif; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; 3). merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan 4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan dalam penerapan. Oleh karena itu dalam konteks partisipasi masyarakat, maka program RHL di DAS Cisadane Hulu perlu dikaji dan dikembangkan implementasinya.

Perumusan Masalah

(21)

Citarum-Ciliwung dengan berbagai pola penanganan baik vegetatif maupun sipil teknis dan masih terdapat sisa lahan kritis di luar kawasan hutan yang belum tertangani seluas 240.642,6 ha (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007).

DAS Cisadane sebagai salah satu wilayah hidrologis saat ini kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budayanya sangat bervariasi, sehingga upaya pengembangan dan pemasyarakatan kegiatan RHL dan konservasi tanah merupakan suatu hal yang sangat penting serta mendesak untuk segera dilaksanakan. Luas dan kompleksnya permasalahan dalam suatu DAS, baik yang bersifat ekonomis maupun ekologis, maka perlu adanya upaya RHL dan konsevasi tanah yang terencana, terpadu dan lintas sektoral dengan penanganan yang bersifat multi disipliner. Pelaksanaan RHL selalu terdapat beberapa faktor pembatas dan permasalahan yang harus dicari penanganannya melalui kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan seta aspek ekologis wilayah setempat.

Menurut Kartodiharjo (2006), selama ini program pembangunan kehutanan yang dianggap sebagai jawaban atas kerusakan hutan masih bertumpu pada tindakan-tindakan fisik dan bukan masyarakat. Dalam rancangan anggaran GN RHL tahun 2005 misalnya, biaya pembibitan, penanaman dan pemeliharaan mencapai 82,7%. Keyakinan itu sejak awal tahun 80an tidak terbukti kebenarannya, yaitu dengan tingginya kegagalan pelaksanaan reboisasi dan penghijauan, asumsi yang dipakai seolah-olah sudah terdapat kelembagaan yang mapan dan mendukung pelaksanaan gerakan tersebut. Kelembagaan bukan hanya keberadaan lembaga atau organisasi pengelola hutan yang mampu, melainkan juga termasuk kepastian kawasan hutan, sistem insentif, maupun regulasi yang tidak menyebabkan biaya transaksi tinggi.

(22)

Kemampuan memprediksi tingkat partisipasi tersebut juga akan membantu dalam penyusunan kebijakan yang tepat dan bisa digunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut.

Kerangka Pemikiran

Proses perencanaan yang begitu panjang dan banyak melibatkan instistusi terkait serta luasnya sasaran lahan kritis yang perlu direhabilitasi baik di dalam maupun di luar kawasan hutan dalam kurun waktu selama 5 tahun, pola penyelenggaraan GN-RHL beragam, hampir dapat dipastikan dalam pelaksanaan penyelenggaraan GN-RHL akan banyak mengalami permasalahan baik teknis maupun administratif, ditambah lagi sistem pelaksanaan kegiatannya melalui proses tahapan-tahapan yang terputus (discontinue). Akibat dari proses yang bertahap dan terputus tersebut mengakibatkan pertanggungjawaban publik (public accountabillity) juga terputus dan tidak jelas arahnya karena banyaknya pihak-pihak yang terkait, sehingga akhirnya disadari atau tidak disadari akan berdampak kepada keluaran (out-put) atau hasil akhir dari pekerjaan GN-RHL yang cenderung mengarah kepada ketidakberhasilan (kegagalan) di lapangan dengan biaya ekonomi yang tinggi (inefisiensi).

Sasaran RHL adalah lahan maka keluaran (out put) dari GN-RHL tidak lain adalah terwujudya penutupan lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan oleh jenis kayu-kayuan tanaman hutan dan atau jenis MPTS, sehingga lahan kritis tersebut dapat berfungsi kembali sebagai penyangga kehidupan dalam hal pencegahan banjir, erosi, longsor dan sebagainya sesuai dengan tujuan dari GN-RHL. Lahan yang digunakan dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah lahan masyarakat.

(23)

diantara faktor-faktor internal dan faktor eksternal terhadap tingkat partisipasi masyarakat, maka dapat ditetapkan alternatif kebijakan yang tepat untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL.

Kajian faktor internal dan eksternal mengambil sampel dari suatu populasi melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi ahli. Wawancara ataupun kuesioner dilakukan ke berbagai tingkatan responden, yaitu dari tingkatan petani atau masyarakat setempat sampai kepada responden ahli yang mengetahui dan terjun langsung dalam kegiatan RHL di lokasi tersebut.

Analisis data dari hasil wawancara menggunakan analisis statistik non parametrik uji korelasi Spearman Rank, untuk mendapatkan ketepatan dalam mengolah data dibantu dengan komputer program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi 15. Sedangkan untuk menentukan alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), di mana menggunakan bentuk hirarki sesuai tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif kebijakan, dalam mengolah data dibantu komputer dengan progran Expert Choice 2000. Uraian tersebut menjadi landasan kerangka pemikiran untuk dapat mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Secara skematis pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu.

Manfaat Penelitian

(24)
(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian disalukan ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catchment area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (air, tanah dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.

DAS terbagi ke dalam tiga bagian yaitu: bagian hulu, tengah dan bagian hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur air, ekosistem bagian tengah merupakan pembagi dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir merupakan daerah pemakai air. Hubungan antara ekosistem tersebut menjadikan DAS sebagai satu kesatuan fungsi hidrologis. Wilayah DAS bisa meliputi berbagai wilayah administratif, misalnya antar desa, kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan dapat meliputi antar negara yang mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2004).

Manan (1979) mengatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdiri dari kondisi fisik, biologi dan manusia yang satu sama lain saling berhubungan erat membentuk keseimbangan. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan dapat menopang kehidupan manusia secara terus menerus, maka diperlukan pengelolaan DAS yang baik, pengelolaan sumberdaya alam yang baik juga (renewable) seperti tanah, air dan vegetasi dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan hasil air (water yield) untuk kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan masyrakat berupa air minum, industri, irigasi, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya (Puspaningsih, 1997).

(26)

sehingga tercapai suatu kondisi biofisik DAS yang memungkinkan diperolehnya keseimbangan dan tata air yang baik. Hasil air yang optimum dipandang dari aspek kuantitas, kualitas dan regimen. Dasar pengetahuan hidrologi sangat penting untuk menjelaskan sistem pengelolaan DAS di samping hasil-hasil dari penelitian terapan yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan DAS, diantaranya dengan mempelajari proses-proses hidrologi seperti evapotranspirasi, intersepsi, penggunaan air untuk vegetasi, infiltrasi, perkolasi, air bumi, erosi, sedimentasi dan aliran sungai (Manan, 1997). Prinsip dasar pengelolaan DAS adalah sebagai berikut : 1). pada dasarnya berupa pemanfaatan, pemberdayaan, pengembangan, perlindungan dan pengendalian sumberdaya dalam DAS; 2). berdasarkan pada asas kelestarian, kemanfaatan, keadilan dan kemandirian (kelayakan usaha) serta akuntabilitas dan berkeadilan; dan 3). direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pada dasarnya masalah erosi berkaitan dengan tingginya erosivitas hujan, sifat tanah yang mudah tererosi, bentukan lahan dengan lereng yang curam dan panjang, serta penggunaan lahan yang terlalu intensif dan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh kondisi alamiah dan karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah secara alami untuk mempertahankan keseimbangan tanah, sedangkan erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak memperdulikan kaidah-kaidah konservasi tanah (Asdak, 2004).

(27)

yang mengakibatkan keringnya sungai, sumur dan lahan-lahan pertanian (Arsyad, 2006).

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,95 juta ha dan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220 juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi (Departemen Kehutanan, 2007). Berkurangnya areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan semua aspek sosial ekonomi. Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat memprihatinkan yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian terus terjadi akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah degradasi hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan semakin menurun kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan datang harus mampu mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa lingkungan yang semakin meningkat.

(28)

Luasan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap meluas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Departemen Kehutanan, 2007). Tingkat kekritisan lahan sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali.

Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan lahan. Faktor lain yang menyebabkan pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik adalah kurangnya keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan swasta dan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2008).

(29)

peluang untuk pengembangan ekowisata dan 7). memulihkan citra negara, bangsa, pemerintah dan masyarakat di mata dunia (WALHI, 2004).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL memiliki beberapa prinsip, di antaranya adalah : 1). meminimumkan kegagalan kebijakan (policy failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (goverment failure) dan kegagalan pasar (market failure); 2). RHL harus menjadi kebutuhan masyarakat; 3). RHL menggunakan DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan dan pengendalian; 4). adanya kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja dalam RHL; 5). memanfaatkan potensi masyarakat lokal; 6). tujuan RHL disesuaikan dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran rehabilitasi; 8). perlunya pemahaman yang baik terhadap status penguasaan /kepemilikan lahan sasaran RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; 9). kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat dan 10). adanya penguatan kelembagaan (Timpakul, 2004 dalam Muis, 2007). Kegiatan RHL yang telah dilaksanakan di Indonesia pada Tabel 1.

Kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2005), pemerintah telah merehabilitasi hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ±469.256 ha dan penghijauan, termasuk hutan rakyat seluas ± 1.785.149 ha. Pada tahun 2003 pemerintah melalui GN-RHL telah mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas ± 3 juta ha, dengan sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana. Gerakan tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di tahun 2002 dengan tema ”Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai komitmen bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan rakyat” (WALHI, 2004).

(30)

hutan dan lahan serta perbaikan lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien. Tabel 1 Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode 1970 - 2007

No. Tahun Kegiatan

1. 1970-1976 Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP (World Food Program) (hasil kurang memadai)

2. 1973-1979 Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development di Solo bantuan FAO/UNDP, dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar)

3. 1981-1989 Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/mode farm)

4. 1996-1997 INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek-proyek di daerah, reboisasi dilaksanakan Pemda Propinsi dan penghijauan oleh Pemda Kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah-sedang) Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Departemen Kehutanan (keberhasilan: rendah/bermasalah)

7. 2000-2004 RHL DR (60%) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan: rendah-cukup)

8. 2003-2007 GN-RHL di DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPTnya, penyedia bibit oleh BPDAS, penanaman/konservasi tanah oleh PemKab/Kota dan BKSD/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat

Sumber : Departemen Kehutanan (2006)

(31)

vegetasi; 3). memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat sistem drainase pada jalan tersebut dan 4). menutup jalan-jalan hutan yang tidak direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka untuk RHL di wilayah DAS yang lebih sesuai adalah dengan menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lahan disertai dengan memperluas atau mempertahankan vegetasi yang ada.

Menurut Trison (2005) ada tiga pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery), yaitu: 1). restorasi (restoration) didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya; 2). melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis exotic, dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang ekosistem asli. Tujuannya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli dan 3). kegiatan reklamasi adalah penggunaan jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan, tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli di areal yang terdegradasi.

Permasalahan RHL dalam konteks DAS adalah degradasi lahan dan erosi. Pemilihan teknik rehabilitasi tergantung pada sifat DAS antara lain sifat dan bentuk tanah serta masyarakat yang ada di dalamnya. Tanah yang berlereng curam mungkin tidak sesuai jika digunakan untuk tanaman semusim, karena disamping sistim pengolahan semusim dapat menyebabkan tanah menjadi mudah tererosi, juga menyulitkan dalam pengelolaannya. Sehingga jenis tanaman yang lebih cocok adalah jenis tanaman keras (tahunan).

Partisipasi Masyarakat Pengertian Partisipasi

(32)

dalam usaha-usaha mengevaluasi program. Menurut Sastroepoetra (1988), partisipasi dapat didefinisikan keterlibatan mental emosional yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan dan cita-cita kelompok dan turut bertanggungjawab terhadapnya. Partisipasi juga dapat diartikan berbagi (sharing) dalam proses interaksi secara sadar karena rasa kesetiakawanan dan kecintaan serta tangungjawab seseorang terhadap kelompok masyarakat tempat masyarakat tersebut menjadi anggota.

Partisipasi merupakan satu terminologi yang semakin banyak diperbincangkan sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan, dari sentralistik menjadi desentalistik yang mengutamakan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam seluruh proses pembangunan. Konsep ini menempatkan masyarakat pada titik yang sangat sentral dalam spektrum pembangunan. Slamet (2003) mengatakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan adalah ikut ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses pembangunan. Khairuddin (1992) dalam Fauzi (2009) mengemukakan partisipasi adalah keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama dan ikut bertanggungjawab tehadap usaha yang dilakukan, yaitu : 1). partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi; 2). partisipasi menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok.; dan 3). partisipasi merupakan tanggungjawab terhadap kelompok.

Mubyarto (1984) lebih menegaskan partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih luas yaitu kesediaan masyarakat untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa harus mengorbankan kepentingan dirinya. Muhadjir (1980) dalam Fauzi (2009) merinci kembali tingkatan partisipasi tersebut ke dalam empat jenis keterlibatan masyarakat dalam : 1). proses pembuatan keputusan; 2). pelaksanaan program dan pengambilan keputusan; 3). menikmati hasil dari kegiatan dan 4). evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana.

(33)

1). masyarakat bertanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program pemerintah; 2). anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkajian ulang proyek dalam pengambilan keputusan semata; 3). anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proyek dan 4). anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, yang meliputi perencanaan sebuah program, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring.

Perubahan paradigma sistem pengelolaan kebijakan dari top down ke buttom up sudah banyak diterapkan, masyarakat sudah mulai dipandang sebagai bagian integral dari pengelolaan suatu kebijakan. Masalah RHL merupakan salah satu kebijakan konservasi sumberdaya alam yang tidak dapat lepas dari peran dan keberadaan masyarakat setempat. Pada saat ini program-program pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam banyak menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Hal ini dapat dilihat dari produk-produk hukum yang telah mencantumkan hak, kewajiban dan peran serta masyarakat, misalnya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Bab III, pasal 7), dan masih banyak lagi produk-produk hukum yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat. Proses ini sangat berarti bagi pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam di masa-masa mendatang, karena memungkinkan dikembangkan pendekatan partisipatif yang dapat merealisir hak-hak masyarakat yang selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah dengan sistem kebijakan top down nya (Pudjianto, 2009).

Mitchell dan Setiawan (2000) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah akan terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan dengan lebih efektif ; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; 3). merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan 4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan.

(34)

keuntungan di mana orang-orang akan lebih energik, lebih sepakat dan lebih bertanggungjawab apabila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu dilakukan oleh suatu kewenangan dari luar. Kesepakatan dan tanggungjawab dalam berpartisipasi adalah : 1). masyarakat lebih punya kesepakatan terhadap anggotanya daripada sistem pelayanan terhadap kliennya; 2). masyarakat lebih mengerti masalah-masalahnya daripada para profesional pelayanan; 3). masyarakat lebih fleksibel dan kreatif daripada birokrasi besar; 4). masyarakat lebih mudah melakukan daripada profesional pelayanan; 5). masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap atau perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan; 6). lembaga-lembaga dan para profesional menawarkan pelayanan, msyarakat menawarkan kepedulian dan 7). sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas.

Masyarakat petani pedesaan di sekitar DAS pada umumnya mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang hampir sama, yaitu adanya keterbatasan-keterbatasan seperti penghasilan, kepemilikan tanah, pendidikan dan keterampilan, namun pemahaman terhadap konsep partisipasi masing-masing masyarakat mungkin berbeda. Di dalam konsep partisipasi dibutuhkan pemahaman bahwa sesungguhnya partisipasi adalah merupakan pelimpahan hak-hak kekuasaan kepada masyarakat dalan pengambilan suatu keputusan. Pemahaman inilah yang harus disikapi oleh masyarakat secara positif.

Derajat Partisipasi

Partisipasi masyarakat meliputi tiga tahapan, yaitu keterlibatan dalam: 1). proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan; 2). memikul beban dan tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan; dan 3). memetik hasil dalam pembangunan secara berkeadilan. Terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, partisipasi efektif dapat dipandang sebagai sebuah kondisi di mana kearifan lokal, keterampilan dan sumberdaya lainnya digerakkan dan dilaksanakan secara totalitas, artinya masyarakat lokal diberdayakan untuk menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola sumberdaya, membuat keputusan dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Muis, 2007).

(35)

that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economi

processes, to deliberately include in the future.” Definisi tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa depannya. Sehingga dapat diidentifikasi tingkatan partisipasi masyarakat menjadi delapan tingkatan (Gambar 2).

8

7 Citizen Power

6

5

4 Tokenism

3

2

Nonparticipation 1

Gambar 2 Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009)

Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat adalah :

1. Tingkat manipulasi (manipulation), merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat (advising board).

Citizen Control

Delegated Power

Partenership

Placation

Consultation

Information

Therapy

(36)

2. Tingkat terapi (therapy), tidak melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan. Perencana atau perancang memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy.

3. Tingkat pemberian infomasi (informing), pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggungjawabnya dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat.

4. Tingkat konsultasi (consultation), pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat.

5. Tingkat perujukan (placation), masyarakat mulai mempunyai pengaruh meskipun masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah, sehingga usul-usul atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan.

6. Tingkat kemitraan (partnership), adanya kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan, disepakati bersama untuk saling membagi tanggungjawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun.

7. Tingkat pendelegasian kekuaaan (delegeted power), masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas.

(37)

untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak ketiga. Pada tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benar-benar memiliki posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melaluinya apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga.

Delapan tingkat partispasi masyarakat ini masih dikelompokkan lagi menjadi tiga tingkat menurut pembagian kekuasaan, yaitu :

1. Nonparticipation (tidak ada partisipasi / tingkatan partisipasi masyarakat rendah). Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah manipulation dan therapy.

2. Tokenism (tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Yang termasuk kelompok ini adalah informing, consultation, dan placation.

3. Citizen Power (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah : partnership, delegated power dan citizen control.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah memaparkan mekanisme, derajat dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan dengan tangga partisipasi, kemudian digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat (Pudjianto, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat

(38)

peraturan atau perundang-undangan, yang meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi (Soetrisno, 1995).

Untuk membangun partisipasi masyarakat perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat menghambat dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat, dalam konteks konservasi, biasanya hambatan-hambatan tersebut dapat dibedakan menjadi hambatan fisik, hambatan ekonomi, hambatan kelembagaan dan hambatan teknologi. Hambatan fisik seperti dalam hal pemanfaatan lahan di daerah lereng bukit maka harus dibuatkan teras terlebih dahulu, untuk itu diperlukan orang yang mempunyai kondisi fisik yang kuat. Hambatan ekonomi pada umumnya disebabkan karena kurangnya pendidikan, pengetahuan dan pendapatan, sehingga tidak memiliki akses permodalan. Hambatan kelembagaan karena mereka kurang memperhatikan manfaatnya, sedangkan hambatan teknologi adalah penyesuaian diri masyarakat dengan teknologi yang digunakan.

(39)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2010 - Juni 2010 di DAS Cisadane Hulu, di lima Kecamatan yaitu Kecamatan Tamansari, Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Tenjolaya, Kecamatan Leuwisadeng, dan Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Lokasi dipilih atas dasar pertimbangan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan areal percontohan bagi kegiatan RHL yang telah dilaksanakan. Pertimbangan lainnya adalah lokasi ini merupakan prioritas utama dalam penanganan banjir (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007). Lokasi penelitian (Tabel 2) dan peta lokasi (Lampiran 1).

Tabel 2 Lokasi Penelitian di DAS Cisadane Hulu

No. Nama Desa Nama Kecamatan

1. Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari

2. Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang

3. Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya

4. Desa Leuwisadeng Kecamatan Leuwisadeng

5. Desa Sibanteng Kecamatan Leuwisadeng

6. Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng

7. Desa Gunung Picung Kecamatan Pamijahan

8. Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan

9. Desa Ciasiman Kecamatan Pamijahan

Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode survei, yaitu mengambil sampel dari suatu populasi melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi pakar. Analisis data dari penelitian ini menggunakan uji korelasi Spearman Rank dan metode Analytic Hierarchy Process (AHP).

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

(40)

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.

Data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang menyatakan dalam bentuk kalimat, atau menunjukkan perbedaan dari tinggi, rendah, sedang. Data berjenjang ini ditransformasikan ke dalam data kuantitatif dengan memberikan simbol angka secara berjenjang. Data kuantitatif adalah data yang menyatakan dalam bentuk angka, baik yang berasal dari transformasi data kualitatif maupun data dari asalnya yang bersifat kuantitatif. Teknik pengumpulan data : 1). teknik observasi langsung yaitu melalui pengamatan dan pencatatan langsung yang terjadi di tempat penelitian; 2). teknik komunikasi langsung adalah melakukan kontak langsung secara lisan dengan responden (melakukan wawancara); 3). teknik komunikasi tak langsung adalah menyampaikan pertanyan tertulis berupa kuesioner kepada responden untuk dijawab secara tertulis dan 4). teknik dokumenter adalah menghimpun data-data dari buku-buku/literatur, media, arsip-arsip, peraturan dan Undang-Undang yang berkaitan dengan permasalahan.

Pengamatan Variabel

Pengamatan variabel-variabel penelitian adalah :

1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam keterlibatan program RHL mulai dari tahapan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi.

Partisipasi Masyarakat (Y) a. Tahapan Perencanaan (Y1)

Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis tanaman, cara pelaksanaan, cara bangunan sipil dan penentuan biaya, yang dikatagorikan : o Rendah ( nilai, < 10)

o Sedang ( nilai, 10 – 15) o Tinggi ( nilai, > 15) b. Tahapan Pelaksanaan (Y2)

(41)

sipil teknis, penyiapan sarana rehabilitasi dan penyediaan dana yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 10) o Sedang ( nilai, 10 – 15) o Tinggi ( nilai, > 15) c. Tahapan Evaluasi (Y3)

Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan evaluasi yaitu kegiatan pemantauan dan penilaian keberhasilan kegiatan, membantu memberikan informasi kepada tim evaluasi dan tim pendamping yang dikatagorikan :

o Rendah ( nilai, < 10) o Sedang ( nilai, 10 – 15) o Tinggi ( nilai, > 15)

2. Faktor internal yang terdiri dari : umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan, dan persepsi.

Faktor Internal (X1)

a. Umur ( X1.1), umur responden dibagi ke dalam tiga kelompok yang dikatagorikan :

o Rendah ( umur < 15 tahun) o Sedang ( umur 15 - 65 tahun) o Tinggi ( umur > 65 tahun)

b. Tingkat Pendidikan ( X1.2), adalah pendidikan formal terakhir. Dikelompokkan tidak sekolah dan tidak tamat SD, Tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, tamat Akademi dan tamat Perguruan Tinggi yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, 1) o Sedang ( nilai, 2) o Tinggi ( nilai, 3)

c. Luas Lahan ( X1.3), adalah mengukur luas lahan yang dimiliki atau digarap oleh responden, yang dinyatakan dalam ha dan dikatagorikan ke dalam :

(42)

d. Tingkat Pendapatan ( X1.4), adalah jumlah seluruh penghasilan rata-rata per bulan responden yang dinyatakan dalam rupiah dan dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( pendapatan < Rp 500.000,-)

o Sedang ( pendapatan Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,-) o Tinggi ( pendapatan > Rp 1.000.000,-)

e. Pekerjaan sampingan ( X1.5), adalah pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan yang dilakukan responden di luar pekerjaan utamanya dalam satu tahun terakhir yang dikatagorikan ke dalam:

o Rendah ( nilai, 1) o Sedang ( nilai, 2) o Tinggi ( nilai, 3)

f. Persepsi ( X1.6), adalah pandangan dan penilaian responden terhadap program kegiatan RHL dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3) o Sedang ( nilai, 3 - 4) o Tinggi ( nilai, > 4)

3. Faktor eksternal yang terdiri dari : intensitas sosialisasi program (penyuluhan), peran pendamping, ketersediaan sarana dan prasarana rehabilitasi, dan peran kelembagaan sosial.

Faktor Eksternal (X2)

a. Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) ( X2.1), adalah jumlah kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh pelaksana kegiatan RHL untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan responden baik dalam perencanaaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3) o Sedang ( nilai, 3 - 5) o Tinggi ( nilai, > 5)

b. Peran pendamping ( X2.2), adalah peranan petugas pendamping menyangkut frekuensi kunjungan, tingkat keterlibatan dalam kegiatan dan pembinaan yang dikatagorikan ke dalam :

(43)

o Sedang ( nilai, 3 - 5) o Tinggi ( nilai, > 5)

c. Ketersediaan sarana ( X2.3), adalah sarana seperti peralatan kerja, bibit tanaman, pupuk dan dana yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3) o Sedang ( nilai, 3 - 5) o Tinggi ( nilai, > 5)

d. Peran kelembagaan sosial ( X2.4), adalah peran lembaga sosial dalam mendorong partisipasi masyarakat, ini akan dapat tercermin dalam dukungannya kepada masyarakat yang dikatagorikan ke dalam :

o Rendah ( nilai, < 3) o Sedang ( nilai, 3 - 5) o Tinggi ( nilai, > 5)

Pengumpulan Data

Penetapan responden dilakukan dengan teknik purpose sampling, di mana responden ditentukan oleh peneliti dengan ketentuan mewakili lokasi kegiatan RHL. Responden diambil sebanyak 90 orang dari lima kecamatan dan mereka adalah orang-orang yang terkait dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu, yang berinteraksi langsung dengan kegiatan tersebut.

Untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat, mengambil sampel yang dianggap ahli atau dapat memberikan masukan kepada pengambil kebijakan. Jumlah sampel sebanyak 12 responden, terdiri dari 5 orang petani, 2 orang dari BPDAS Citarum Ciliwung, 1 orang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bogor, 1 orang Penyuluh Lapangan Gerhan, 1 orang Polhut dan 2 orang Pengendali Ekosistem Hutan (PEH).

Tahapan Penelitian

(44)

menganalisis data primer dengan uji Korelasi Spearman Rank dan metode AHP dan 5). membahas hasil penelitian (berupa kondisi aktual dari partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu).

Analisis Data

Mengumpulkan data terlebih dahulu sebelum dianalisis, kemudian menghitung total skor dari tiap-tiap variabel dari data yang bersifat kuantitatif dan mengelompokkan data sesuai dengan variabel masing-masing. Untuk data kualitatif melalui tiga tahap yaitu: tahap interpretasi dan penjelasan hasil catatan lapangan serta kategori data; tahap mendeskripsikan kategori-kategori data; dan tahap terakhir adalah mengelompokkan data.

Analisis data penelitian menjawab dari tujuan penelitian. Sehingga metode analisis untuk menjawab dari tujuan penelitian adalah :

1. Mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL. Analisis ini menghitung jumlah dan prosentase dari data-data yang terkumpul, melalui cara tabulasi frekuensi yang nantinya menyajikannya dalam bentuk distribusi frekuensi. 2. Mengkaji hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan

tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL, menjelaskan secara deskriptif-kualitatif menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu uji korelasi Spearman Rank, dengan rumus:

n 6

Σ

bi²

i=1

ρ = 1 -

n(n²-1) dimana : ρ = koefisien korelasi Spearman Rank

bi = selisih peringkat X dan Y n = banyaknya sampel

Untuk memudahkan dan mendapatkan ketepatan dalam pengolahan data dengan menggunakan komputer program Statistical Program for Social Sience(SPSS) versi 15;

(45)

dibantu dengan komputer program Expert Choice 2000. Langkah-langkah dalam penyusunan metode AHP adalah sebagai berikut (Saaty dan Vargas, 1994) :

a. Menyusun Hirarki, persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsur yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi status hirarki. Langkah awal dalam menyusun hirarki adalah menentukan tujuan utama, yaitu strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu yang ditempatkan pada tingkat puncak (fokus). Kemudian di tingkat ke dua adalah faktor pendukung dari tujuan utama yaitu pemerintah dan masyarakat. Pada tingkat ke tiga menyusun kriteria-kriteria esensial yang berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Pada tingkat ke empat menyusun alternatif prioritas kebijakan yang akan dipilih untuk menentukan strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu.

b. Menilai kriteria dan alternatif, melalui pembandingan berpasangan. Untuk

membuat pembandingan berpasangan membuat sebuah matriks,

membandingkan pasangan-pasangan elemen dengan kriteria di tingkat lebih tinggi dengan memasukkan nilai-nilai kebalikannya serta memasukkan bilangan 1 sepanjang diagonal utama matrik (Tabel 3).

Tabel 3 Skala pembanding berpasangan untuk menilai kriteria dan alternatif

Nilai Keterangan

1

3

5

7

9

2,4,6,8

Ke dua elemen sama pentingnya

Elemen yang satu lebih penting dibanding yang lainnya

Elemen yang satu sangat penting dibanding elemen yang lainnya

Satu elemen sangat jelas lebih penting dari elemen yang lainnya

Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen yang lainnya

Apabila terjadi ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

Sumber: Saaty dan Vargas (1994)

(46)

Tabel 4 Matriks pembandingan berpasang (pairwise comparison) untuk menentukan prioritas

C A1 A2 A3 ………. Aj A1

A2 A3 . . Aj

1 1

1

1

1

1 Sumber: Saaty dan Vargas (1994)

(47)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Biofisik

Letak da Luas Wilayah

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, luas wilayah adalah 2.301,95 km². Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan. Wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga wilayah pembangunan, yaitu: wilayah pembangunan barat, tengah dan timur. Pembangunan wilayah barat meliputi tiga belas kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjolaya, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar 128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 (dua puluh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Bojonggede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. Pembangunan wilayah timur meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu (BPS Kabupaten Bogor, 2009).

(48)

Tabel 5 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk per Kecamatan tahun 2008

No. Kecamatan Luas Wilayah (Ha) Jumlah Penduduk (orang)

1. Leuwiliang 6.177,12 111.705

2. Leuwisadeng 3.283,12 70.631

3. Pamijahan 8.088,29 134.865

4. Tenjolaya 2.368,00 53.583

5. Tamansari 2.161,00 84.332

Total 22.077,53 455.116

Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009)

Iklim dan Hidrologi

Iklim di Kabupaten Bogor menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah) di bagian selatan dan tipe B ( Basah) di bagian utara. Suhu berkisar rata-rata antara 20ºC sampai 30ºC (BPS Kabupaten Bogor, 2009).

DAS Cisadane tergolong dalam lima zona agroklimat yaitu : A (basah), B (agak basah), C (sedang), D (agak kering) dan E (kering). Kondisi daerah hilir cenderung kering (D dan E) dan meningkat semakin basah (A) ke daerah hulu atau dataran tinggi. Secara umum kondisi di DAS Cisadane relatif basah dan ini menguntungkan bagi sektor pertanian, tetapi sebaliknya dapat juga merugikan apabila suatu wilayah telah terjadi kesalahan dalam penggunaan lahannya karena kondisi iklim yang basah memberikan kontribusi terhadap bahaya banjir dan longsor (Tabel 6).

Tabel 6 Data Hidrologi DAS Cisadane Hulu tahun 2007

SPAS

No. Parameter

Cipopokol Cipeucang Lengkong

1. Curah hujan tahunan (mm) 1094 3535 3875

2. Jumlah hari hujan (hari) 107 215 266

3. Debit rata-rata harian maksimum ( m³/detik) 0,09 4,59 0,66

4. Debit rata-rata harian minimun ( m³/detik) 0,02 0,12 0,06

5. Total Direct Run off (mm) 131,54 148,45 674,30

6. Sedimen Tahunan (mm) 1,18 1,10 3,64

7. Erosi Atual (ton/tahun/ha) 17,73 16,45 54,57

8. Koefosien Reqim Sungai 3,86 37,85 11,60

9. Koefosien Variansi 0,59 - -

10. Koefosien Limpasan 0,12 0,04 0,17

11. SDR 0,33 0,18 0,35

(49)

Penutupan Lahan

Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahan pertanian semusim dan daerah ladang, sawah dan tegalan. DAS Cisadane bagian hulu yang meliputi Kabupaten Bogor dan sebagian Kota Bogor didominasi oleh penggunaan lahan sebagai berikut: hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahan kosong. Sedangkan di bagian tengah dan hilir, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman, ladang dan lahan kosong.

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian pada umumnya masih terbatas. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikannya yang rata-rata masih rendah yaitu hanya lulusan SD dan sebagian besar hidupnya lebih menggantungkan pada bidang pertanian. Banyaknya Desa per kecamatan lokasi penelitian (Tabel 7).

Tabel 7 Jumlah dan Nama Desa per kecamatan di lokasi penelitian

No. Kecamatan Jumlah Desa Nama Desa

1. Leuwiliang 11 Purasari, Puraseda, Karyasari, Pabangbon,

Karacak, Barengkok, Cibeber1, Cibeber2, Leuwimekar, Leuwiliang, Karehkel

2. Leuwisadeng 8 Wangunjaya, Sadengkolot, Leuwisadeng,

Sibanteng, Babakan madang, Sadeng, Kalong1, Kalong2

3. Pamijahan 15 Cibunian, Purwabakti, Ciasmara, Ciasihan,

Gng.Sari, Gng.Bunder1, Gng.Bunder2, Cibening, Gng.Picung, Cibitung Kulon, Cibitung Wetan, Pamijahan, Pasarem, Gng.Menyan, Cinayang

4. Tenjolaya 6 Tapos1, Tapos2, Gng. Malang, Situ daun,

Cibitung Tengah, Cinangneng

5. Tamansari 8 Sukajadi, Sukaluyu, Sukajaya, Sukaresmi, Pasir eurih, Tamansari, Sukamantri, Sirnagalih

Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009)

Jumlah Penduduk, Golongan Usia dan Tingkat Pendidikan

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dari lima kecamatan adalah 455.116 orang, terdiri dari laki-laki 234.581 orang dan perempuan 220.535 orang (Tabel 8).

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2    Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969)
Tabel 2  Lokasi Penelitian di DAS Cisadane Hulu
Tabel 9  Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Metode: Kerangka pikiran dari laporan ini adalah dengan melakukan identifikasi terhadap sumber bahaya yang ada pada unit Pengerjaan Plat (PPL), lalu memberikan penialaian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) rata-rata kemampuan pemecahan masalah materi segitiga peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan

Schreiber dan Dresselhaus (2003) menyatakan bahwa PGM memang bukan merupakan media yang umum untuk perkecambahan polen bagi semua spesies tanaman, tetapi PGM

Peringkat selanjutnya, dilanjutkan dengan poin-poin yang berbentuk fitur dari produk, yaitu poin Z6 dan Z5 atau Fitur “Poin Solid” khusus untuk pengguna kartu LOOP

(ii) Dapatkan rajah berjujukan yang sesuai untuk sistem kawalan lif tersebut.. Obtain a suitable sequence diagram for the above mentioned elevator

Sebagimana amanat yang terkandung di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia berusaha mencerdaskan bangsa, maka Pemerintah

Selain itu, Sarle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga meyebutkan ciri-ciri ilokusi komisif, yaitu berjanji, bersumpah atau mengancam. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat