• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen KESEHATAN REPRODUKSI (Halaman 33-42)

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Tempat Penelitian a. Sejarah

SMA Negeri 1 Takengon berdiri pada tahun 1957, menempati lokasi gedung peninggalan Tiong Hoa, terletak diatas tanah seluas 3.0048 meter persegi. Secara fisik SMA Negeri 1 Takengon adalah baik dari aspek ruang belajar dan sarana penunjang kegiatan termasuk kategori yang memadai. Sejak pertama kali berdiri, SMA Negeri 1 Takengon mengalami 13 kali pergantian kepala sekolah.

SMA Negeri 1 Takengon di Negerikan dengan Nomor SK ; 72/SK/D.III/1959, tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1959. Maka nama sekolah yang dari SMA swatantera Laut Tawar menjadi SMA Negeri  ABC. Saat ini dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan satu orang wakil kepala sekolah, serta dibantu oleh 43 tenaga pengajar dan 7 staf  sebagai tenaga tata usaha.

Letak ruang guru di SMA Negeri 1 Takengon sangat strategis, karena terletak ditengah-tengah kelas yang ada. Hal ini sengaja diciptakan untuk memudahkan dalam memberikan pengawasan terhadap murid-murid yang berjumlah 651 siswa. Secara keseluruhan lokasi SMA Negeri 1 Takengon dikelilingi pagar beton sehingga memperkecil para siswa untuk membolos dan mempermudah pengawasan terhadap siswa yang terlambat.

b. Pembagian kelas di SMA Negeri 1 Takengon

Jumlah kelas yang ada di SMA Negeri 1 Takengon sebanyak 16 kelas dengan perincian sebagai berikut :

Tabel 3. Jumlah kelas di SMA Negeri 1 Takengon

No. Kelas Frekuensi

1. Kelas X 7 kelas

2. Kelas XI 5 kelas

3. Kelas XII 4 kelas

Jumlah 16 kelas

(Sumber : Arsip SMA Negeri 1 Takengon, 2009)

c. Pembagian ruang dan gedung

Fasilitas ruang dan gedung SMA Negeri 1 Takengon, adalah sebagai berikut :

1. Keadaan fisik sekolah : Permanen

2. Ruang :

a. Ruang kepala sekolah : 1 buah

b. Ruang Guru : 1 buah

c. Tata usaha : 1 buah d. Ruang Laboratorium : 1 buah e. Ruang teori : 16 buah f. Ruang perpustakaan : 1 buah

g. Ruang OSIS : 1 buah

h. Gudang : 1 buah

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan pada tanggal 19 sampai dengan 20 januari 2010 terhadap 220 orang remaja, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Pendidikan Seks

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Remaja Berdasarkan Pendidikan Seks di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah

No Pendidikan Seks Frekuensi Persentase (%)

1. Baik 148 67,3

2. Kurang 72 32,7

Jumlah 220 100

Sumber: Data Primer (diolah tahun 2010)

Berdasarkan tabel diatas memperlihatkan bahwa persentase remaja yang mendapatkan pendidikan seks yang baik (67,3%), lebih besar dari remaja yang mendapatkan pendidikan seks yang kurang (32,7%).

b. Perilaku Seksual remaja

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Remaja Berdasarkan Perilaku Seksual di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah

No Perilaku Seksual Frekuensi Persentase (%)

1. Positif 184 83,6

2. Negatif 36 16,4

Jumlah 220 100

Berdasarkan tabel diatas memperlihatkan bahwa persentase remaja yang beperilaku positif (83,6%) lebih besar dari remaja yang beperilaku negatif (16,4%).

3. Analisa Bivariat

a. Hubungan Pendidikan Seks dengan Perilaku Seksual Remaja

Tabel 6. Hubungan Pendidikan Seks dengan Perilaku Seksual Remaja di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah

Sumber: Data Primer (diolah tahun 2010)

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka dapat diketahui bahwa remaja dengan pendidikan seks baik berjumlah 148 orang, dengan 32 orang mempunyai perilaku negatif (21,6%) dan 116 orang yang berperilaku posititf (78,4%). Remaja dengan pendidika seks yang kurang berjumlah 72 orang, dengan 4 orang yang mempunyai perilaku negatif (5,6%) dan 68 orang yang mempunyai perilaku positif (94,4%).

Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square, memakai rumus Pearson Chi Square pada nilai α= 0,05 dan df = 1 didapat nilai p = 0,005 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pendidikan seks dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2009. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 0,213, artinya remaja dengan pendidikan Pendidikan

Seks

Perilaku Seksual Pada Remaja

Total P value CI OR Negatif Positif   f % f % f % 0,005 0,072 - 0,213 Kurang 4 5,6 68 94,4 72 100 0,629 Baik 32 21,6 116 78,4 148 100 Total 36 27,2 184 83,6 220 100

seks kurang mempunyai peluang 0,213 kali untuk melakukan perilaku seksual dibandingkan dengan remaja yang pendidikan seksnya baik.

B. Pembahasan

1. Hubungan Pendidikan Seks dengan Perilaku Seksual remaja

Hasil analisa statistik pada tabel 6 dengan menggunakan uji chi  square menunjukkan hubungan tersebut bermakna, dimana nilai  p-value 0,005 ( p ≤ 0,05). Hal tersebut berarti hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan antara pendidikan seks dengan perilaku seksual remaja terbukti atau dapat diterima.

 Adanya hubungan tersebut dikuatkan oleh pendapat kriswanto (2006) Pendidikan seks yang diberikan kepada remaja sebenarnya memberikan pengetahuan mengenai fungsi organ reproduksi, cara menjaga dan memelihara organ reproduksi, dan yang tak kalah penting bahwa pendidikan seks memberikan pengetahuan mengenai cara bergaul yang sehat dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Setelah mendapatkan bekal mengenai pendidikan seks, maka diharapkan mereka dapat melindungi diri sendiri dari bahaya pelecehan seksual. Pendidikan seks dapat mencegah perilaku seks bebas, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, pelecehan seksual, dan mencegah penularan berbagai penyakit kelamin.

Tingkat pendidikan seks meskipun menunjukkan angka yang lebih baik namun remaja dengan pendidikan seks yang kurang masih tinggi, hal ini disebabkan oleh masih kurangnya informasi atau penjelasan tentang pendidikan seks yang diterima remaja sehingga pemahaman remaja tentang pendidikan seks hanya berhubungan dengan pornografi, pemahaman yang keliru mengenai seksualitas pada remaja menjadikan mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai masalah seks tanpa menyadari bahaya yang timbul dari perbuatannya, dan ketika permasalahan yang ditimbulkan oleh perilaku seksnya mulai bermunculan,

remaja takut untuk mengutarakan permasalahan tersebut kepada orang tua (Dhe de, 2002).

Namun dipihak lain, anggapan bahwa dengan pendidikan seks anak-anak yang belum saatnya tahu tentang seks jadi mengetahuinya dan karena dorongan keingintahuan yang besar yang ada pada remaja, mereka jadi ingin mencobanya (Sarwono, 2002)

Pengetahuan tentang pendidikan seks mendukung seseorang dalam berpikir dan menelaah sesuatu hal untuk bersikap atau berbuat, semakin tinggi pengetahuan, semakin mudah untuk menerima hal-hal baru, sehingga mereka akan mudah merespon dan bertindak terhadap konsep baru, sehingga remaja ingin mencoba apa yang mereka ketahui, apabila pengetahuannya kurang, akan sulit untuk bersikap dan bertindak.

Di Amerika pendidikan seks disekolah-sekolah tidaklah membantu mengurangi munculnya penyakit kelamin atau kehamilan para remaja. Hal ini disebabkan pendidikan seks itu sendiri tidak mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan seks para remaja. Menurut Mario Wright Elderman, dalam sebuah laporan, dari setiap 20 anak remaja, 10 orang diantaranya aktif melakukan hubungan seksual. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Louis Harris pada tahun 1986 menemukan bahwa 57% warga Negara yang berusia 17 tahun, 46 % warga Negara yang berusia 16 tahun, dan 29% warga negara yang berusia15 tahun melakukan praktik seks. Kini diperkirakan sekitar 80% anak gadisyang memasuki perguruan tinggi telah melakukan hubungan seksual paling sedikit satu kali. Melakukan kebaktian digereja tidak banyak membantu mereka dalam mengurangi perilaku seksual pada remaja.

Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan oleh Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (Sarwono, 2002).

Remaja pada umumnya saat memasuki usia remaja tanpa pengetahuan yang memadai tentang seks dan selama hubungan pacaran berlangsung pengetahuan itu bukan saja tidak bertambah, akan tetapi malah bertambah dengan informasi-informasi yang salah. Hal yang terakhir ini disebabkan oleh orang tua tabu membicarakan seks, sehingga anak berpaling ke sumber-sumber yang tidak akurat, khususnya teman.

Remaja kota kini semakin berani melakukan hubungan seksual pranikah. Hal itu berkaitan dengan hasil sebuah penelitian, 10-12% remaja di Jakarta pengetahuan seksnya sangat kurang. Ini mengisyaratkan pendidikan seks bagi anak dan remaja secara intensif terutama di rumah dan di sekolah, makin penting. Pengetahuan yang setengah-setengah  justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali. Kata-kata bijak ini nampaknya juga berlaku bagi para remaja tentang pengetahuan seks kendati dalam hal ini ketidaktahuan bukan berarti lebih tidak berbahaya. Dalam kaitan dengan hubungan seksual, bisa diambil contoh ada remaja yang berpendapat, kalau hanya sekali bersetubuh, tidak bakal terjadi kehamilan. Atau, meloncat-loncat atau mandi sampai bersih segera setelah melakukan hubungan seksual bisa mencegah kehamilan.

Beberapa akibat yang tentunya memprihatinkan ialah terjadinya pengguguran kandungan dengan berbagai risikonya, perceraian pasangan keluarga muda, atau terjangkitnya penyakit menular seksual, termasuk HIV yang kini sudah mendekam di tubuh ratusan orang di Indonesia. Bandingkan dengan temuan Marlene M, psikolog yang berpraktek di Kalifornia, AS, bahwa setiap tahun terdapat 1 dari 18 gadis remaja  Amerika Serikat hamil sebelum nikah dan 1 dari 5 pasien AIDS tertular HIV

pada usia remaja (Kompas Cyber Media, 2005).

Secara garis besar perilaku seksual pada remaja disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : meningkatnya libido seksual, menurunnya usia kematangan sekual akan diikuti oleh meningkatnya aktifitas seksual pada usia-usia yang dini. Gejala ini diungkapkan oleh K. Fury dimana 33% anak perempuan dan 50% anak laki-laki dibawah usia 16 tahun telah

melakukan hubungan seks. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. Penyaluran tersebut tidak dapat disalurkan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain). tabu larangan damana norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap. Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat  jarak dengan anak dalam masalah ini.

Priyonggo (2002) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang tidak lagi dianggap sebagai tempat yang aman dan mampu melindungi anggota keluarganya akan menimbulkan persoalan-persoalan yang semakin pelik pada anak, salah satunya yaitu masalah perilaku seksual pranikah.

Pendidikan seksual sudah waktunya diberikan secara terbuka. Tidak hanya dalam lingkup keluarga namun juga dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Pendidikan seks yang benar adalah pendidikan seks yang dapat menjelaskan kepada para remaja mengenai seksualitas

dalam dimensinya yang ternyata sangat luas, yang dapat memadukan antara pengetahuan, perilaku seksual dan akibat yang akan di capai, antara emotional attachment (cinta dan nafsu) dengan tanggung jawab yang harus di pikul (Tintin, 2008).

Pendidikan seks di Indonesia seyogyanya tetap dimulai dari rumah.  Alasan utamanya karena masalah seks merupakan masalah yang sangat pribadi. Namun disisi lain banyak orang tua yang kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan anak-anak remaja mereka. Selain pihak orang tua yang masih belum terbuka tentang seks, sehubungan dengan masih kuatnya berlaku tabu-tabuan sehubungan dengan masalah seks, orang tua  juga sering kali kurang paham perihal masalah ini. Pengetahuan yang

terbatas itulah yang menyebabkan orang tua kurang dapat berfungsi sebagaimana sumber dalam pendidikan seks.

Laily dan Matulessy (2004) juga menyatakan bahwa informasi atau pengetahuan mengenai seksualitas yang diberikan pada remaja lebih baik dan tepat jika dilakukan dalam keluarga, karena anak dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga, sehingga cara lain yang dapat diusahakan untuk mengurangi perilaku seksual pranikah pada remaja adalah dengan meningkatkan kualitas komunikasi orang tua-anak.

Menurut asumsi peneliti, adanya hubungan tersebut karena dengan adanya pendidikan seks yang benar akan memberikan pengetahuan dan mendidik remaja agar berperilaku yang baik dalam hal seksual sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan sehingga remaja dapat menempatkan diri dan mengendalikan diri dari perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab melalui tindakan pencegahan seks bebas. Akan tetapi pendidikan seks tidak selalu membuat remaja dapat bersikap positif atau negatif terhadap perilaku seksual, hal ini tergantung dari watak atau keyakinan yang dimiliki oleh setiap remaja, hanya saja untuk hal ini peran orang tua, dan sekolah untuk lebih menanamkan pendidikan seks tersebut untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada setiap remaja dan

menanamkan pendidikan akhlak sehingga dapat membentengi remaja untuk tidak bersikap kearah yang merugikan dirinya sendiri.

BAB VI

Dalam dokumen KESEHATAN REPRODUKSI (Halaman 33-42)

Dokumen terkait