Kabupaten Ciamis Jawa Barat
Kabupaten Ciamis terletak di provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan di sebelah utara, Kabupaten Tasikmalaya di sebelah barat, Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur dan Samudra Indonesia di sebelah selatan. Luas total dari Kabupaten Ciamis adalah 244.479ha dan secara geografis terletak pada 1080 20’ 1080 40’ B dan 70 40’ 0” 70
41’ 0” LS. Kabupaten Ciamis merupakan daerah yang baik untuk pengembangan pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan dan pariwisata. Jenis tanah yang mendominasi Kabupeten Ciamis adalah tanah latosol, podsolik, aluvial dan grumusol (Dinas Provinsi Jawa Barat, 2010). Kabupaten Ciamis terletak pada ketinggian 731 mdpl. Suhu udara di Kabupaten Ciamis berkisar 21-31 °C; kelembaban sebesar 58-93% dan kecepatan angin sebesar 20 km/jam (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2012).
Kabupaten Ciamis sangat berpotensi untuk pengembangan ayam Kampung karena populasi ayam Kampung di daerah ini cukup banyak, yaitu 2814759 ekor (Badan Pusat Statistik, 2010). Gambar 10 menyajikan denah lokasi penelitian di daerah Sindangrasa dan Imbanagara Kabupaten Ciamis. Salah satu daerah pengembangan ayam Kampung di Kabupaten Ciamis adalah daerah Sindangrasa dan Imbanaraga. Kedua daerah ini dijadikan pusat ayam Kampung di bawah pengawasan HIMPULI (Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia). Ayam Kampung di daerah ini merupakan ayam dwiguna (sebagai pedaging dan petelur). Sebagian besar masyarakat di kedua daerah tersebut masih memelihara ayam Kampung sebagai tabungan hidup dan untuk menyalurkan hobi, sehingga kepemilikan ayam Kampung berjumlah tidak terlalu banyak. Kandang ayam Kampung dibuat sederhana dan diletakkan di belakang rumah.
Sistem pemeliharaan ayam Kampung di daerah Ciamis bersifat semi intensif. Pelepasan ayam sepanjang hari setelah ayam diberi makan pada pagi hari dan ayam akan kembali menjelang sore hari. Pakan yang diberikan pada ayam Kampung di daerah Ciamis berupa limbah dapur ditambah dengan dedak padi. Terdapat pula beberapa jenis tanaman di sekitar rumah peternak seperti pohon mangga, rambutan,
22 pisang, jati dan pohon bambu yang digunakan ayam sebagai sumber pakan. Selain itu, naungan pohon bambu juga digunakan untuk tempat berlindung dari terik matahari dan hujan. Pemberian vitamin antistres juga dilakukan oleh beberapa warga yang memiliki ayam Kampung, terutama pada jumlah banyak.
Sumber: Google Earth (2012)
Gambar 10. Peta Lokasi Penelitian di Daerah Sindangrasa dan Imbanagara Kabupaten Ciamis
Kabupaten Tegal Jawa Tengah
Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki populasi ayam Kampung terbanyak di Pulau Jawa (Badan Pusat Statistik, 2010). Salah satu daerah penyebaran ayam Kampung di Jawa Tengah adalah Kabupaten Tegal dengan populasi ayam Kampung sebanyak 2448752 ekor. Kecamatan Mejasem Timur merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tegal yang memiliki potensi ayam Kampung yang cukup tinggi. Sebagian besar warga masyarakat daerah tersebut memelihara ayam Kampung walaupun hanya dalam skala rumah tangga. Ayam Kampung dipelihara hanya dijadikan sebagai tabungan hidup. Gambar 11 menyajikan denah lokasi penelitian di daerah Mejasem Timur Kabupaten Tegal.
Kabupaten Tegal terletak antara 1080 57'6" - 1090 21'30" BT dan antara 600 50'41" 70 15'30" LS. Daerah ini memiliki lokasi yang strategis dengan fasilitas pelabuhan karena terletak pada jalur Semarang Tegal Cirebon serta Semarang Tegal Purwokerto dan Cilacap. Kabupaten Tegal memiliki luas total 878,79 Km2
Lokasi Penelitian
23 yang terbagi atas tiga daerah yaitu daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. (Pemerintah Kabupaten Tegal, 2011). Kabupaten Tegal memiliki ketinggian 1200-2050 mdpl. Rata-rata suhu udara daerah Tegal adalah 23-32 °C dengan kelembaban sebesar 55-88% serta memiliki kecepatam angin sebesar 25 km/jam (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2012).
Sumber: Google Earth (2012)
Gambar 11. Peta Lokasi Penelitian di Daerah Mejasem Timur Kabupaten Tegal Pemeliharaan ayam Kampung di Kecamatan Mejasem Timur dilakukan secara semi intensif. Ayam tidak dikandangkan khusus tetapi diberi naungan untuk beristirahat pada malam hari. Naungan dapat berupa rumah kosong yang tidak digunakan, gudang bahkan sudut-sudut dapur yang juga tidak banyak digunakan. Kurungan ayam juga digunakan untuk mempermudah penanganan. Ayam Kampung diberi pakan limbah rumah tangga ditambah dengan dedak padi; yang diberikan pada pagi hari sebelum dilepas. Ayam dilepas untuk mencari makan sendiri di areal sekitar rumah atau pekarangan dan area persawahan. Pekarangan rumah ditanami pohon mangga, pohon pisang, tanaman pagar dan tanaman bunga.
Kabupaten Blitar Jawa Timur
Kabupaten Blitar merupakan daerah yang memiliki populasi ayam Kampung terbanyak di wilayah Jawa Timur menurut data Badan Pusat Statistik (2010) dengan populasi sebanyak 2039460 ekor. Salah satu daerah pengembangan usaha ayam Kampung di Blitar adalah di daerah Duren Kecamatan Talun. Kabupaten Blitar terletak di kawasan selatan Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan Samudera
Lokasi Penelitian
24 India pada 111040’ 112010’ B dan 7058’ 809’51’’ LS dengan luas total 1.588,79 km2 (Pemerintah Kabupaten Blitar, 2011). Kabupaten Blitar terletak di ketinggian 150 mdpl. Suhu rata-rata Kabupaten Blitar adalah 20-30 °C dengan kelembaban sebesar 60-92% serta memiliki kecepatam angin sebesar 35 km/jam (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2012). Gambar 12 menyajikan denah lokasi penelitian di daerah Duren Kabupaten Blitar.
Sumber: Google Earth (2012)
Gambar 12. Peta Lokasi Penelitian di Daerah Duren Kabupaten Blitar
Tanah di Kabupaten Blitar merupakan tanah regolos yang berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur dan peka terhadap erosi (Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur, 2010). Kabupaten Blitar berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah usaha pertanian dan peternakan. Kesuburan tanah Kabupaten Blitar merupakan sumbangan dari aktivitas Gunung Kelud dengan 32 aliran sungai yang menopang kesuburan areal persawahan, sehingga sumber pakan tersedia sepanjang tahun (Pemerintah Kabupaten Blitar, 2011).
Peternakan ayam Kampung di daerah Duren berskala rumah tangga yang yang dipelihara secara semi intensif dengan jumlah kepemilikan ayam Kampung berkisar 1 10 ekor. Beberapa rumah tangga memiliki ayam Kampung lebih dari 10 ekor yang dimanfaatkan sebagai indukan dan sebagai hobi. Ayam dilepas setelah diberi makan pada pagi hari dan dibiarkan sampai dengan kembali ke kandang pada sore hari. Ayam dibiarkan mencari makan secara bebas di sekitar area rumah yang banyak ditumbuhi pohon pisang, pohon mangga, pohon jati dan tanaman bunga.
25 Terdapat pula ayam yang ditempatkan sepanjang hari dengan pakan yang selalu disediakan tetapi ayam masih diberikan kebebasan untuk bergerak di dalam area rumah yang diberi pembatas meskipun beratapkan langit. Bangunan tidak permanen berukuran kecil digunakan ayam untuk beristirahat pada saat berlindung dari hujan dan terik matahari. Bangunan tersebut dibuat dari bambu dengan desain sederhana yang diletakkan di belakang rumah. Pakan yang diberikan berupa limbah dapur yang diberi tambahan dedak padi dan jagung. Vitamin antistres terkadang juga diberikan pada ayam Kampung tersebut.
Analisis Statistik Deskriptif
Hasil analisis deskriptif pengukuran panjang femur (X1), panjang tibia (X2), panjang shank (X3), lingkar shank (X4), panjang sayap (X5), panjang maxilla (X6), tinggi jengger (X7) dan panjang jari ketiga (X8) ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar; disajikan pada Tabel 3. Ayam Kampung dibedakan menjadi jantan dan betina. Tabel 4 menyajikan rekapitulasi urutan kelas ukuran-ukuran linear permukaan tubuh berdasarkan Tabel 3.
Hasil pengukuran beberapa variabel pada tubuh ayam Kampung pada masing-masing lokasi pengamatan menunjukkan bahwa secara umum ukuran linear permukaan tubuh ayam jantan lebih besar. Soeparno (2005) menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan pada ternak. Jenis kelamin yang berbeda menghasilkan hormon kelamin yang berbeda yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan. Herren (2012) juga menyatakan bahwa hormon testostron pada dosis rendah mampu meningkatkan pelebaran epiphysis tulang dan membantu kerja hormon pertumbuhan, sedangkan hormon estrogen justru menghambat pertumbuhan kerangka. Testosteron pada jantan berperan sebagai steroid dari androgen yang memicu pertumbuhan yang lebih cepat. Sulandari et al. (2007b) menyatakan bahwa ayam Kampung merupakan ayam tipe dwiguna, karena peternak menyeleksi ke arah pedaging dan petelur. Seleksi ke arah pedaging berdasarkan bobot badan, sedang seleksi ke arah petelur berdasarkan produksi telur. Seleksi ke arah pedaging diperlihatkan dengan hasil keragaman yang relatif rendah pada sifat-sifat ukuran linear permukaan tubuh yang berkorelasi erat dengan bobot badan. Hasil penelitian Kusuma (2002) menyatakan korelasi positif antara bobot badan dan panjang femur (X1), antara bobot badan dan panjang
26
tibia(X2), antara bobot badan dan panjang shank (X3); berturut-turut sebesar 0,396; 0,761 dan 0,706.
Tabel 3. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Variabel-Variabel Ukuran Linear Permukaan Tubuh pada Ayam Kampung Jantan dan Betina di Lokasi Ciamis, Tegal dan Blitar
Variabel Ciamis (n=101) Tegal (n=109) Blitar (n=118) ♂ n=45 ♀ n=56 ♂ n= 0 ♀ n=89 ♂ n=38 ♀ n=80 ---(mm)--- Panjang Femur (X1) 127,39 ± 15,53 (12,19%) 120,12 ± 18,50 (15,40%) 129,45 ± 16,32 (12,61%) 117,63 ± 16,45 (13,98%) 129,57 ± 17,29 (13,34%) 118,12 ± 16,62 (14,07%) Panjang Tibia (X2) 162,11 ± 16,12 (9,95%) 142,64 ± 20,55 (14,41%) 152,70 ± 17,75 (11,62%) 137,86 ± 15,48 (11,23%) 170,02 ± 16,31 (9,59%) 146,02 ± 13,33 (9,13%) Panjang Shank (X3) 103,22 ± 10,82 (10,48%) 85,48 ± 11,94 (13,97%) 99,10 ± 10,59 (10,68%) 82,04 ± 7,89 (9,62%) 114,95 ± 10,42 (9,06%) 88,18 ± 8,88 (10,07%) Lingkar Shank (X4) 52,63 ± 7,03 (13,36%) 44,82 ± 3,86 (8,61%) 48,85 ± 5,70 (11,66%) 41,83 ± 3,96 (9,45%) 53,08 ± 6,62 (12,48%) 43,40 ± 3,64 (8,39%) Panjang Sayap (X5) 163,55 ± 18,55 (11,34%) 154,67 ± 20,48 (13,24%) 154,06 ± 15,06 (9,77%) 139,96 ± 16,11 (11,51%) 151,75 ± 19,70 (12,98%) 148,12 ± 16,56 (11,18%) Panjang Maxilla (X6) 36,36 ± 5,05 (13,89%) 32,86 ± 3,63 (11,04%) 32,46 ± 6,04 (18,59%) 30,41 ± 4,80 (15,78%) 37,11 ± 4,44 (11,97%) 32,52 ± 4,03 (12,40%) Tinggi Jengger (X7) 26,55 ± 15,10 (56,87%) 10,76 ± 6,13 (56,99%) 19,23 ± 9,70 (50,42%) 10,58 ± 5,60 (52,95%) 18,79 ± 8,36 (44,47%) 7,85 ± 3,26 (41,55%) Panjang Jari Ketiga (X8) 62,16 ± 7,55 (12,15%) 53,72 ± 7,05 (13,12%) 64,33 ± 7,43 (11,54%) 54,46 ± 5,90 (10,84%) 71,35 ± 5,48 (7,68%) 60,79 ± 7,01 (11,53%) Keterangan: Persen dalam tanda kurung menunjukkan koefisien keragaman; n menunjukkan jumlah
sampel (ekor)
Uraian berikut ini menyajikan kondisi masing-masing populasi ayam Kampung yang diamati berdasarkan nilai rataan dan koefisien keragaman variabel linear permukaan tubuh pada masing-masing lokasi pengamatan (Tabel 4). Lingkar
27 Tabel 4. Urutan Kelas Ukuran-ukuran Linear Permukaan Tubuh yang Berkorelasi dengan Produksi Ayam Kampung Jantan dan Betina di Lokasi Pengamatan yang Berbeda
Variabel Jantan Betina
Ciamis Tegal Blitar Ciamis Tegal Blitar
Panjang Femur 3* 2 1 1 3* 2
Panjang Tibia 2 3 1* 2 3 1*
Panjang Sayap 1 2* 3 1 3 2*
Keterangan: tanda (*) adalah ukuran linear yang terseleksi; 1=besar; 2=sedang; 3=kecil
shank (X4) tidak berhubungan langsung dengan produksi daging dan telur. Lingkar
shank (X4) dihubungkan dengan kemampuan unggas menopang tubuh (Mulyono et
al., 2009). Keragaman lingkar shank (X4) pada ayam betina pada masing-masing lokasi pengamatan ditemukan lebih rendah dibandingkan ayam jantan. Hal yang sama juga pada rataan ukuran lingkar shank (X4). Ukuran lingkar shank (X4) ayam betina lebih kecil dibandingkan ayam jantan. Keseragaman yang tinggi pada ukuran lingkar shank (X4) menunjukkan bahwa ukuran lingkar shank (X4) telah terseleksi sebagai akibat dari seleksi tidak langsung terhadap sifat produksi telur. Betina dengan bobot badan rendah memiliki lingkar shank (X4) yang rendah pula. Pada pengamatan ini secara tidak langsung peternak telah menyeleksi lingkar shank (X4)
atau lingkar shank (X4) telah terseleksi. Ayam betina yang berproduksi telur tinggi memiliki ukuran tubuh kecil atau memiliki bobot yang ringan. Korelasi antara produksi telur dan bobot badan ditemukan negatif (Nestor et al., 2000). Secara tidak Tabel 5. Urutan Kelas Ukuran-ukuran Linear Permukaan Tubuh yang Berkorelasi dengan Daya Adaptasi (Seleksi Alam) pada Ayam Kampung Jantan dan Betina di Lokasi Pengamatan yang Berbeda
Variabel Jantan Betina
Ciamis Tegal Blitar Ciamis Tegal Blitar
Panjang Maxilla 2 3 1* 1* 3 2
Tinggi Jengger 1 2 3* 1 2 3*
Panjang Jari Ketiga 3 2 1* 3 2* 1
Panjang Shank 2 3 1* 2 3* 1
Lingkar Shank 2 3* 1 1 3 2*
28 langsung seleksi bobot badan pada betina ke arah negatif, telah dilakukan oleh peternak.
Berikut ini diuraikan perolehan rataan ukuran linear permukaan tubuh dan koefisien keragaman ayam Kampung pengamatan pada sifat-sifat yang berhubungan dengan produksi sebagai akibat tidak langsung dari seleksi peternak terhadap sifat produksi telur dan daging (Tabel 4). Panjang femur (X1) merupakan satu-satunya variabel linear permukaan tubuh ayam Kampung jantan Ciamis yang terseleksi paling ketat diantara ayam Kampung jantan di lokasi pengamatan lain; dengan rataan terendah (Tabel 4). Panjang tibia (X2) meskipun bukan merupakan variabel yang paling terseleksi diantara ayam Kampung jantan pada lokasi pengamatan lain, tetapi memiliki rataan diantara ayam Kampung jantan Tegal dan Blitar. Panjang sayap (X5)
ayam Kampung jantan Ciamis memiliki rataan yang tertinggi. Ayam Kampung betina Ciamis tidak terseleksi paling ketat diantara ayam Kampung betina lokasi pengamatan lain; tetapi memiliki rataan yang paling besar pada panjang femur (X1)
dan panjang sayap (X5). Panjang tibia (X2) memiliki rataan diantara ayam Kampung betina Tegal dan Blitar. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa ayam Kampung Ciamis belum mendapatkan seleksi yang lebih mengarah kepada salah satu sifat produksi. Ayam Kampung Ciamis merupakan ayam Kampung tipe dwiguna. Sulandari et al. (2007b) menyatakan bahwa ayam kampung merupakan ayam tipe dwiguna, karena peternak menyeleksi ke arah pedaging dan petelur.
Seleksi cukup ketat diantara variabel permukaan linear tubuh ayam Kampung jantan ditemukan pada lokasi Tegal. Ayam Kampung jantan Tegal terseleksi ketat pada panjang sayap (X5). Perolehan rataan panjang sayap (X5) pada ayam Kampung jantan di Tegal menempati urutan diantara ayam jantan Ciamis dan Blitar (Tabel 4). Berdasarkan hal tersebut, ayam Kampung jantan Tegal berukuran tubuh kecil. Seleksi ketat pada panjang femur (X1) di temukan pada ayam Kampung betina Tegal dengan rataan paling rendah diantara ayam Kampung betina pengamatan. Panjang
tibia (X2) dan panjang sayap (X5) ayam Kampung betina Tegal memiliki rataan yang paling kecil. Berdasarkan hal tersebut, ayam Kampung betina Tegal memiliki tubuh berukuran kecil. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa ayam Kampung Tegal dikategorikan sebagai ayam Kampung tipe dwiguna yang lebih diarahkan ke sifat
29 petelur karena berukuran kecil. Menurut Rasyaf (2002) ayam dengan ukuran kecil dikategorikan sebagai ayam tipe ringan, penghasil telur tinggi.
Seleksi cukup ketat ditemukan diantara variabel permukaan linear tubuh ayam Kampung jantan pada lokasi Blitar. Panjang tibia (X2) merupakan variabel yang terseleksi ketat di Blitar dan menempati urutan tertinggi. Berdasarkan hal tersebut, tubuh ayam Kampung jantan Blitar berukuran besar. Seleksi cukup ketat diantara variabel permukaan linear tubuh ayam Kampung betina juga ditemukan pada lokasi Blitar. Panjang tibia (X2) dan panjang sayap (X5) merupakan variabel yang terseleksi ketat di Blitar. Panjang tibia (X2) ayam Kampung betina di Blitar memiliki rataan tertinggi, sedangkan panjang sayap (X5) ditemukan diantara ayam Kampung Ciamis dan Tegal. Berdasarkan hal tersebut, tubuh ayam Kampung betina Blitar berukuran besar. Kondisi ayam Kampung jantan dan betina di lokasi pengamatan Blitar mengindikasikan bahwa seleksi lebih mengarah ke sifat pedaging, meskipun ayam Kampung merupakan ayam tipe dwiguna. Menurut Sulandari et al. (2007b) ayam dengan ukuran tubuh besar dikategorikan sebagai ayam penghasil daging.
Berikut ini diuraikan perolehan rataan ukuran linear permukaan tubuh dan koefisien keragaman pada sifat-sifat yang berhubungan dengan daya adaptasi ayam Kampung terhadap lingkungan sebagai akibat tidak langsung dari seleksi alam yang mempengaruhi performa ukuran linear permukaan tubuh. Sifat-sifat tersebut adalah panjang shank (X3), lingkar shank (X3), panjang maxilla (X6), tinggi jengger (X7) dan panjang jari ketiga (X8). Panjang shank (X3) memiliki korelasi positif dengan bobot badan (Kusuma, 2002) Lingkar shank (X4) tidak berhubungan langsung dengan produksi daging dan telur. Lingkar shank (X4) dihubungkan dengan kemampuan unggas menopang tubuh (Mulyono et al., 2009). Maxilla merupakan bagian kepala yang salah satunya berfungsi sebagai alat untuk memasukkan makanan ke dalam tubuh ayam (Rusdin, 2007). Jari ketiga pada ayam salah satunya berperan dalam mengatur posisi ayam pada saat bertengger (McLelland, 1990). Jengger sangat berperan dalam sistem sirkulasi darah karena berfungsi sebagai termoregulator tubuh terhadap suhu lingkungan. Saat suhu lingkungan dingin, aliran anastomoses
Artery-Venous (A-V) mengirimkan darah arteri menuju vena untuk menghangatkan
30 Ayam Kampung jantan dan betina Ciamis memiliki rataan panjang shank (X3) diantara ayam Kampung betina Tegal dan ayam Kampung betina Blitar, meskipun belum terseleksi ketat. Rataan lingkar shank (X4) ayam Kampung jantan Ciamis diantara ayam Kampung betina Tegal dan ayam Kampung betina Blitar, sedangkan ayam Kampung betina Ciamis memiliki rataan tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa belum terjadi seleksi yang mengawah pada sifat produksi tertentu, sehingga ayam Kampung Ciamis merupakan ayam tipe dwiguna (pedaging dan petelur). Ayam Kampung Ciamis jengger (X7) dengan ukuran paling tinggi, baik pada jantan maupun betina, tetapi memiliki ukuran panjang jari ketiga paling rendah (Tabel 4). Ayam Kampung Ciamis telah menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat hidup; berdasarkan ukuran tinggi jengger (X7). Suhu lingkungan Ciamis yang relatif lebih rendah dibanding Tegal menyeleksi ayam Kampung dengan luasan jengger yang besar sebagai upaya ayam Kampung beradaptasi terhadap suhu rendah. Lucas dan Stettenheim (1972) menyatakan bahwa jengger pada ayam berperan dalam sistem termoregulasi.
Panjang jari ketiga (X8) yang ditemukan paling rendah pada ayam Kampung Ciamis, diduga berhubungan dengan jari ketiga yang tidak terlalu berfungsi (Tabel 5). McLelland (1990) menyatakan bahwa jari ketiga berfungsi sebagai penentu posisi tubuh pada saat ayam bertengger. Bertengger paling banyak diperlukan ayam pada saat beristirahat. Ayam Kampung Ciamis melakukan aktivitas istirahat di kandang individu yang tidak dilengkapi dengan tempat bertengger. Ayam Kampung yang memiliki ukuran panjang jari ketiga rendah merupakan ayam hasil seleksi alam yang sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat hidup. Ayam Kampung Ciamis betina dibandingkan dengan ayam Kampung lokasi pengamatan lain memiliki ukuran panjang maxilla (X6) yang paling tinggi (Tabel 5). Hal tersebut diduga berhubungan dengan kebutuhan pakan untuk memberikan peranan pada produsi daging yang diperlihatkan dengan perolehan rataan panjang-panjang tulang seperti panjang femur. Panjang maxilla (X6) ayam Kampung jantan Ciamis ditemukan tidak paling besar, tetapi berukuran sedang (Tabel 5). Hal tersebut diduga berhubungan dengan perolehan panjang tulang-tulang tubuh yang berhubungan dengan produksi daging yaitu panjang tibia (X2) yang ditemukan diantara ayam Kampung jantan Blitar dan Tegal. Seleksi alam telah terjadi pada ayam Kampung Ciamis yang tidak
31 bertentangan dengan seleksi peternak ke arah sifat dwiguna, yaitu produksi daging dan telur. Ayam Kampung menurut Sulandari et al. (2007b) merupakan ayam tipe dwiguna.
Ayam Kampung Tegal memiliki ukuran panjang shank (X3) dan lingkar shank
(X4) yang terendah, baik pada jantan maupun betina (Tabel 5). Ukuran panjang shank (X3) pada Ayam Kampung jantan Tegal sudah terseleksi ketat, sedangkan pada Ayam Kampung betina Tegal terseleksi ketat pada lingkar shank (X4). Hal ini mengindikasikan bahwa ayam Kampung Tegal memiliki ukuran tubuh yang kecil. Ayam Kampung Tegal ukuran panjang maxilla (X6) terkecil, baik pada jantan maupun betina (Tabel 5). Hal ini diduga berhubungan dengan kemampuan ayam tersebut memasukkan makanan ke dalam tubuhnya. Ayam Kampung Tegal berukuran maxilla kecil diduga berhubungan dengan jumlah pakan yang tidak banyak, sehingga bobot badan yang dimiliki berukuran kecil. Alam di lingkungan habitat ayam Kampung Tegal menyediakan sumber pakan yang tidak terlalu melimpah. Menurut Nestor et
al. (2000) ayam berukuran kecil berproduksi telur yang tinggi yang digolongkan
sebagai ayam petelur.
Tinggi jengger (X7) dan panjang jari ketiga pada ayam Kampung Tegal berukuran sedang, yaitu diantara ayam Kampung Ciamis dan Blitar, baik pada jantan maupun betina (Tabel 5). Suhu lingkungan Tegal relatif paling tinggi dibandingkan Ciamis dan Blitar. Ayam-ayam Kampung dengan luasan jengger sedang diperlukan pada lingkungan seperti itu. Alam mempertahankan ukuran jengger seperti itu. Lucas dan Stettenheim (1972) menyatakan bahwa sistem termoregulasi pada ayam diatur jengger. Jengger dengan luasan sedang pada ayam Kampung Tegal dibandingkan dengan ayam Kampung Ciamis dan Blitar; ukuran tubuh ayam Kampung Tegal yang relatif kecil. Panjang jari ketiga pada ayam Kampung Tegal berukuran sedang dibandingkan dengan ayam Kampung Ciamis dan Blitar (Tabel 5). Hal tersebut diperlukan karena aktivitas ayam Kampung Tegal tidak banyak digunakan untuk bertengger. Tenggeran tidak melengkapi kandang tempat ayam Kampung Tegal yang sebagian menghabiskan waktunya untuk beristirahat. Seleksi ukuran panjang jari ketiga (X8) berperanan dalam hal ini. Sifat petelur dengan lingkungan tempat hidup ayam Kampung di Tegal mengarahkan ayam Kampung Tegal merupakan ayam tipe
32 dwiguna yang lebih cenderung ke sifat petelur. Menurut Sulandari et al. (2007b) menyatakan bahwa ayam Kampung merupakan ayam tipe dwiguna.
Ayam Kampung jantan Blitar memiliki rataan panjang shank (X3) tertinggi dan telah terseleksi ketat. Lingkar shank (X4) pada ayam Kampung jantan Blitar memiliki ukuran terbesar (Tabel 5). Ayam Kampung betina Blitar memiliki rataan panjang shank (X3) yang tertinggi, meskipun belum terseleksi ketat. Lingkar shank (X4) pada ayam Kampung betina Blitar memiliki diantara ayam Kampung betina Ciamis dan ayam Kampung betina Tegal dan telah terseleksi ketat (Tabel 5). Panjang
shank (X3) memiliki korelasi positif dengan bobot badan (Kusuma, 2002), sehingga dapat diduga bahwa ayam Kampung Blitar memiliki ukuran tubuh yang besar. Lingkar shank yang besar dibutuhkan untuk menopang tubuh yang besar.
Tinggi jengger (X7) dan panjang jari ketiga (X8) pada ayam Kampung Blitar, baik jantan maupun betina memiliki kecenderungan yang sama (Tabel 5). Tinggi jengger (X7) ayam Kampung Blitar memiliki ukuran terendah dibandingkan dengan ayam Kampung Ciamis dan Tegal. Menurut Lucas dan Stettenheim (1972) termoregulasi tubuh ayam diatur luasan jengger. Suhu lingkungan tempat ayam Kampung Biltar hidup relatif paling rendah dibanding Ciamis dan Tegal. Ayam Kampung dengan jengger berukuran luasan kecil merupakan jengger yang paling bertahan pada lingkungan tersebut. Panjang jari ketiga (X8) ayam Kampung Blitar berukuran tertinggi, yang mengindikasikan bahwa tenggeran baik di kandang, kayu-kayu bekas, pagar maupun lingkungan liar tempat tinggal ayam Kampung seperti pepohonan merupakan hal yang banyak ditemukan di Blitar. Alam mempertahankan sifat ukuran panjang jari ketiga (X8) yang tinggi pada ayam Kampung Blitar. Menurut McLelland (1990) panjang jari ketiga (X8) pada ayam berperanan dalam menentukan posisi tubuh saat bertengger, sehingga ayam tidak mudah jatuh saat bertengger. Ayam Kampung jantan Blitar tidak hanya terseleksi ketat pada sifat tinggi jengger
(X7) dan panjang jari ketiga (X8), tetapi juga pada panjang maxilla. Panjang maxilla
(X6) ayam Kampung jantan Blitar paling terseleksi dengan ukuran tertinggi, sedangkan pada betina diantara ayam Kampung betina Ciamis dan Tegal, atau memiliki ukuran sedang (Tabel 3). Rusdin (2007) menyatakan bahwa panjang paruh atau maxilla berperanan dalam upaya ayam memasukkan pakan ke dalam tubuh. Hal tersebut berakibat ukuran ayam Kampung jantan Blitar besar, sedangkan betina tidak
33 terlalu kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa ayam Kampung Blitar memiliki potensi sebagai ayam pedaging, meskipun dikategorikan sebagai ayam tipe dwiguna. Sulandari et al. (2007b) menyatakan bahwa ayam kampung merupakan ayam tipe dwiguna.
Hasil Uji T2-Hotelling
Perbedaan ukuran-ukuran linear permukaan tubuh jantan dan betina ayam Kampung ditemukan pada masing-masing lokasi pengamatan (P<0,01). Hal tersebut