• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak adalah lingkungan. Anggorodi (1994) menyatakan bahwa iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan menyebabkan rendahnya konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang rendah pula. Lokasi penelitian berada di Laboratorium Lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja bagian Nutrisi Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Suhu udara pada pagi hari sekitar 22,4oC dengan kelembaban 80% dan pada siang hari mencapai 32,7oC dengan kelembaban 52%.

Manajemen pemberian pakan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pemberian ransum starter dengan cara yang berbeda, yaitu mix dan bebas pilih (cafetaria feeding). Ransum starter mix yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil pengadukan (manual) yang dilakukan di Laboratorium Lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja. Bahan pakan yang digunakan diantaranya adalah jagung, pollard, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dan mineral mix. Komposisi mineral mix terdiri dari garam, CaCO3, dan premix. Bahan pakan tersebut diperoleh dari PT Indofeed Bogor.

Kendala yang dialami selama penelitian ini adalah pada saat pemberian susu kepada pedet. Pemberian susu kepada pedet membutuhkan teknik tersendiri, hal tersebut dikarenakan pemberian susu menggunakan ember dan tidak menggunakan dot susu. Teknik yang digunakan adalah dengan cara memasukkan salah satu jari ke dalam mulut pedet sebagai pengganti ambing. Hal ini dilakukan beberapa hari di awal perlakuan dan mulai ditinggalkan dengan bertambahnya umur pedet.

Konsumsi Ransum Starter

Ransum adalah total bahan makanan yang diberikan pada ternak selama 24 jam sedangkan ransum starter adalah istilah makanan yang diberikan pada ternak di periode awal. Konsumsi merupakan tolak ukur untuk menilai palatabilitas suatu ransum yang diberikan. Tingkat palatabilitas suatu ransum dapat dilihat dari

tingginya tingkat konsumsi ransum tersebut. Rataan konsumsi ransum starter (segar dan bahan kering) dan susu selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Konsumsi Ransum Starter dan Susu Perlakuan

Mix Cafetaria

Konsumsi

Starter Susu Total Starter Susu Total

--- (g/e/hari) ---

Segar 230,00 4110 4340,00±29,59 451,00 4110 4561,00±140,24

BK 196,37 513,75 710,12±13,37 427,08 513,75 940,83±127,28

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan mix dan cafetaria tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum starter segar dan konsumsi bahan kering (BK) (p>0,05). Namun, pada selang kepercayaan 10% (p<0,1) perlakuan pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap konsumsi ransum starter segar dan konsumsi bahan kering. Konsumsi ransum starter segar harian pada perlakuan mix dan cafetaria adalah 230 g/e/hari dan 451 g/e/hari. Konsumsi pakan secara umum akan meningkat seiring dengan meningkatnya bobot badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya bobot badan. Selain dipengaruhi oleh cara pemberian pakan yang berbeda, menurut Parakkasi (1999) konsumsi pakan juga dipengaruhi oleh bobot badan, jenis makanan (bahan makanan yang berdaya cerna tinggi), kondisi ternak, kadar energi dari bahan makanan, dan jenis kelamin.

Konsumsi BK merupakan salah satu penentu ketersediaan zat makanan dalam tubuh ternak yang akan menunjang hidup pokok dan produksi. Perkiraan bahan pakan yang didasarkan BK akan mengarah pada tercapainya tingkat efisiensi penggunaan pakan secara baik. Tillman et al. (1998) mengatakan bahwa konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak atau sekelompok ternak yang mengandung zat makanan didalamnya dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan keperluan produksi ternak tersebut. Menurut Sutardi (1981), kebutuhan BK untuk pedet dengan bobot badan (BB) 30-64 kg dan umur 1-4 bulan adalah sebanyak 480-1800 g/e/hari (1,6%-2,8% BB), sedangkan menurut NRC (2001), kebutuhan BK untuk pedet dengan BB 30-60 kg dan PBB 0,4-0,6 kg adalah 560-1040 g/e/hari (1,4%-1,7% BB). Konsumsi bahan kering kedua perlakuan adalah

710,12 g/e/hari (1,47% BB) (mix) dan 940,83 g/e/hari (2,02% BB) (cafetaria) sehingga telah memenuhi kebutuhan pedet berdasarkan Sutardi (1981) dan NRC (2001).

Cara pemberian pakan pada perlakuan cafetaria menghasilkan komposisi bahan pakan yang berbeda dengan perlakuan mix. Proporsi bungkil kedelai pada perlakuan cafetaria menunjukkan persentase yang lebih tinggi, yaitu 80% daripada perlakuan mix (28,98%), sedangkan proporsi jagung dan pollard pada perlakuan

cafetaria menunjukkan persentase yang lebih rendah, yaitu 15% dan 4% daripada

perlakuan mix (38,65% dan 28,98%). Perbedaan komposisi pakan tersebut berbanding lurus pada komposisi zat makanan yang terkandung didalamnya. Perbedaan komposisi pakan dan zat makanan pada kedua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Komposisi Pakan dan Zat Makanan pada Kedua Perlakuan (berdasarkan As fed) Perlakuan Komposisi pakan Mix Cafetaria --- (%) --- Jagung 38,65 15 Pollard 28,98 4 Bungkil kedelai 28,98 80 Bungkil kelapa - 1 Mineral mix 3,39* ** Zat Makanan BK 85,38 85,66 Abu 5,62 5,68 PK 18,32 37,45 SK 6,45 4,62 LK 3,42 2,56 Beta-N 51,57 35,35 TDN 77,61 82,17 Ca 0,2 0,34 P 0,69 0,70

Keterangan: *) komposisi mineral mix terdiri dari 0,3% garam , 3% CaCO3 , dan 0,2% premix. **) Jagung, pollard, bungkil kedelai, dan bungkil kelapa telah dicampur dengan mineral mix (3,5%) pada perlakuan cafetaria.

Cara pemberian pakan bebas pilih memberikan respon terhadap ternak untuk memilih bahan pakan yang mengandung protein tinggi sehingga bungkil kedelai dikonsumsi lebih banyak daripada jagung, pollard, dan bungkil kelapa yang

mengandung protein lebih rendah. Selain kandungan protein yang rendah pada jagung, pollard, dan bungkil kelapa, bahan pakan tersebut mengandung Beta-N yang lebih tinggi daripada bungkil kedelai. Forbes (1995) menyatakan bahwa kandungan Beta-N yang tinggi pada bahan makanan dapat menurunkan tingkat konsumsi. Hal tersebut dapat menjadi penentu tingkat palatabilitas bahan pakan yang digunakan pada penelitian ini. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa bahan ransum yang mempunyai palatabilitas tinggi akan dikonsumsi lebih banyak. Pola konsumsi penggunaan bahan pakan pada perlakuan cafetaria dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pola Konsumsi Bahan Pakan (BK) Penyusun Ransum Starter pada Perlakuan Cafetaria

Bahan Pakan Minggu

ke- Jagung Pollard Bungkil

Kedelai Bungkil Kelapa Total Konsumsi --- (g (%)) --- I 10 (5,49) 5 (2,75) 161 (88,46) 6 (3,30) 182 (100) II 9 (4,04) 11 (4,93) 202 (90,58) 1 (0,45) 223 (100) III 8 (2,17) 16 (4,35) 344 (93,48) 0 (0,00) 368 (100) IV 103 (16,59) 22 (3,54) 495 (79,71) 1 (0,16) 621 (100) V 222 (29,92) 14 (1,89) 506 (68,19) 0 (0,00) 742 (100) Berdasarkan Tabel 4, konsumsi pada perlakuan cafetaria, yaitu jagung cenderung meningkat dari 5,49% pada minggu ke-1 menjadi 29,92 % pada minggu ke-5 dan bungkil kedelai meningkat sampai minggu ke-3 (93,48%), namun menurun pada minggu selanjutnya menjadi 68,19%. Pollard dan bungkil kelapa menurun bahkan tidak dimakan setelah minggu ke-5, walaupun pollard masih dikonsumsi sebanyak 1,89%. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa bungkil kedelai lebih disukai pada minggu ke-1 daripada bahan pakan lainnya dan selanjutnya menurun setelah minggu ke-3. Seiring dengan penurunan konsumsi bungkil kedelai setelah minggu ke-3, terjadi peningkatan konsumsi pada bahan pakan jagung. Hal ini menurut Parakkasi (1999) disebabkan oleh mulai aktifnya enzim amylase dan maltase atau diduga mulai berkembangnya fungsi rumen (aktivitas mikroba rumen) sehingga diperlukan sumber karbohidrat selain dari bungkil kedelai. Berdasarkan hal tersebut maka Parakkasi (1999) menyarankan bahwa pemberian pati hanya 10 % untuk pedet di bawah umur tiga minggu dan selanjutnya dapat diberi sampai ± 25 %. Siemens (1996) menyarankan konsumsi starter setelah konstan 0,9-1,3 kg/hari dapat

ditambahkan jagung secara ad libitum agar mencapai BB 158 kg pada umur 16-18 minggu. Perubahan pola konsumsi pakan terlihat jelas pada Gambar 3.

12 11 9 358 6 13 19 25 12 236 401 578 498 1 105 235 336 758 1161 868 120 188 6 0 1 1 64 514 212 260 430 724 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1 2 3 4 5 6 7 minggu ke-ko n su m si ( g )

jagung pollard kedelai

kelapa Mix Cafetaria

Gambar 3. Pola Konsumsi Mingguan Perlakuan Mix dan Cafetaria (As fed)

Konsumsi Zat Makanan

Konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar zat makanan dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi (Parakkasi, 1999). Rataan konsumsi zat makanan ransum starter dan susu tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Konsumsi Zat Makanan Ransum Starter dan Susu Perlakuan

Mix Cafetaria

Konsumsi

Starter Susu Total Starter Susu Total

--- (g/e/hari) --- PK 68,31 127,67 195,98 a±6,42 176,17 127,67 303,84b±54,98 TDN 247,08 419,21 669,29±21,78 323,08 419,21 742,29±103,94 SK 24,05 0 24,01±2,26 21,15 0 21,15±6,87 Ca* 0,68 4,34 6,96±0,08 1,36 4,34 9.65±0,45 P** 2,36 3,53 5,98±0,28 2,75 3,53 6,30±1,03

Keterangan: Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), *) tambahan Ca dari mineral mix, yaitu 1,82 (mix) dan 3,95 (cafetaria), dan **) tambahan P dari mineral mix, yaitu 0,01 (mix) dan 0,02 (cafetaria).

Perlakuan mix dan cafetaria berpengaruh nyata terhadap konsumsi protein

kasar (PK) (p<0,05), namun tidak berbeda pada konsumsi total digestible nutrient (TDN), serat kasar (SK), calcium (Ca), dan phosphor (P). Kebutuhan PK untuk pedet menurut Sutardi (1981) dengan BB 30-64 kg dan umur 1-4 bulan adalah 120-210 g/e/hari, sedangkan menurut NRC (2001), kebutuhan PK untuk pedet dengan BB 30-60 kg dan PBB 0,4-0,6 kg adalah 141-217 g/e/hari. Hasil konsumsi PK pada perlakuan mix menunjukkan telah memenuhi kebutuhan menurut Sutardi (1981) dan NRC (2001), yaitu 195,98 g/e/hari, sedangkan pada perlakuan cafetaria menunjukkan hasil yang melebihi kebutuhan menurut keduanya, yaitu 303,84 g/e/hari. Hasil konsumsi PK yang melebihi kebutuhan pada perlakuan cafetaria disebabkan oleh konsumsi bahan pakan bungkil kedelai yang tinggi. Kandungan PK pada bungkil kedelai adalah 44,04% (Tabel 1). Bungkil kedelai pada perlakuan

cafetaria memberikan sumbangan yang tinggi dalam komposisi ransum starter, yaitu

80% atau mendekati tiga kali lipat dari komposisi ransum starter pada perlakuan mix (28,98%) (Tabel 5). Konsumsi bungkil kedelai yang tinggi pada perlakuan cafetaria

feeding kemungkinan digunakan untuk sumber protein dan sebagian untuk

kompensasi kebutuhan energi akibat dari rendahnya konsumsi jagung dan pollard sebagai sumber energi. Hal ini sesuai dengan NRC (2001) bahwa pada saat pertumbuhan, seekor ternak membutuhkan kadar protein yang tinggi untuk proses pembentukan jaringan tubuh. Ternak muda memerlukan protein lebih tinggi dibandingkan ternak dewasa karena untuk memaksimalkan pertumbuhannya.

Konsumsi TDN merupakan nilai yang menunjukkan jumlah dari zat-zat makanan organik yang dapat dicerna oleh ternak dan merupakan jumlah dari semua zat-zat makanan organik yang dapat dicerna: protein, lemak, serat kasar, dan Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen (Anggorodi, 1994). Kandungan TDN bahan pakan berkisar antara 67,9% sampai 83,2% dan TDN susu sebesar 129% BK (Tabel 1). Kebutuhan TDN untuk anak sapi menurut NRC (2001) dengan BB 30-60 kg dan umur PBB 0,4-0,6 kg adalah 0,82-1,21 kg/e/hari. Konsumsi TDN pada penelitian ini (Tabel 5) adalah 669,29 g/e/hari (mix) dan 742,29 g/e/hari (cafetaria). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan protein ternak di daerah tropis berbeda dengan daerah subtropis. Selain itu, rendahnya konsumsi TDN diduga dipengaruhi oleh cara penyapihan pedet pada penelitian ini.

Ternak ruminansia mempunyai kemampuan untuk mencerna serat dengan bantuan mikroba, akan tetapi pada pedet fungsi rumen belum berkembang dengan sempurna sehingga kemampuan untuk mencerna serat masih cukup rendah. Hasil penelitian Boga (2009) menunjukkan bahwa pedet yang diberi perlakuan cafetaria akan membuat makanan yang mengandung protein tinggi dan rendah serat. Kapasitas rumen pada pedet periode pra-sapih hanya mencapai 25% dari keseluruhan kapasitas perut pedet (Heinrichs dan Jones, 2003). Pada penelitian ini, konsumsi SK yang tinggi menurunkan daya cerna makanan. Hal ini dibuktikan dengan pertambahan bobot badan (PBB) yang lebih rendah pada pedet yang mendapat perlakuan mix dibandingkan pedet yang mendapat perlakuan cafetaria. Konsumsi SK pada perlakuan mix mencapai 24,01 g/e/hari dengan PBB 418,97 g/e/hari sedangkan konsumsi SK pada perlakuan cafetaria adalah 21,15 g/e/hari dengan PBB 553,76 g/e/hari.

Menurut Sutardi (1981), kebutuhan Ca dan P untuk pedet dengan BB 30-64

kg adalah 6,14-10,8 g/e/hari dan 4,09-7,22 g/e/hari. Kedua perlakuan menunjukkan hasil yang memenuhi kebutuhan Ca dan P, yaitu pada perlakuan mix ialah 6,96 g/e/hari dan 5,98 g/e/hari dan pada perlakuan cafetaria ialah 9,65 g/e/hari dan 6,30 g/e/hari. Selain itu, Parakkasi (1999) menambahkan bahwa kebutuhan Ca dan P untuk ternak ruminansia menjadi unsur yang penting diperhatikan pada hampir semua kondisi pemberian pakan. Thompson (1978) merekomendasikan kadar Ca dalam ransum untuk pertumbuhan pedet perah jantan sebesar 4,32 g/e/hari pada taraf awal dan 2,16 g/e/hari pada taraf akhir pemberian, sedangkan kadar P dalam ransum sebesar 3,33 g/e/hari pada taraf awal dan 1,62 g/e/hari pada taraf akhir pemberian.

Waktu Sapih

Penyapihan adalah penghentian pemberian air susu pada pedet baik dari susu induk sendiri maupun induk lain. Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu yang pertama dengan melihat umur dari pedet tersebut, kedua dengan cara melihat BB yang telah dicapai oleh pedet, dan yang ketiga adalah dengan melihat banyaknya konsumsi BK dari pakan starter (Parakkasi, 1999). Penyapihan pada pedet dapat dilakukan saat konsumsi starter mencapai 0,5-0,7 kg/ekor/hari (Jones dan Heinrichs, 2007; Imran, 2009).

Dalam penelitian ini penyapihan dilakukan berdasarkan konsumsi (segar) ransum starter sebanyak 750 g per hari selama 3 hari berturut-turut. Perlakuan

cafetaria memberikan lama sapih yang lebih cepat dari perlakuan mix, yaitu hari

ke-31 vs 44 (Tabel 6). Perlakuan cafetaria memberikan pengaruh terhadap pedet untuk memilih bahan pakan yang disukai untuk dikonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa faktor yang perlu diperhatikan dalam proses penyapihan cepat, diantaranya adalah tipe/bentuk starter dan sumber protein yang digunakan. Pada penelitian ini, bahan pakan yang digunakan dalam bentuk giling dan bungkil serta sumber protein yang digunakan berasal dari bungkil kedelai dan bungkil kelapa. Waktu sapih yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penyataan Nicol (1997) bahwa pemberian pakan dengan cara bebas pilih atau

cafetaria feeding akan memberikan kesempatan kepada pedet untuk membuat

makanannya sendiri sehingga mendukung perkembangan rumen dan memberikan kenyamanan. Konsumsi ransum starter oleh pedet di usia dini sangat penting untuk pengembangan organ pencernaan yang berfungsi untuk mencapai pertumbuhan yang optimal.

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Sapih, Bobot Sapih, PBB, Konsumsi Susu, dan Efisiensi Penggunaan Pakan

Keterangan: Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).

Perlakuan Peubah

Mix Cafetaria

Lama sapih (hari) 44a±1 31b±1

Bobot awal (kg) 39±3 38±2

Bobot sapih (kg) 57±4 55±1

PBB (g/e/hari) 418,97a±0,06 553,76b±0,05

Konsumsi susu (liter/ekor) 168a±2 115b±2

Efisiensi penggunaan pakan 0,60±0,01 0,61±0,09

Pertambahan Bobot Badan

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan (PBB) suatu ternak adalah konsumsi dan kualitas pakan. Hal ini sangat terkait dengan kandungan zat makanan dalam pakan dan tingkat kecernaan pakan tersebut (Parakkasi, 1999). Pertambahan bobot badan pada penelitian ini diperoleh dari hasil penimbangan ternak pada awal perlakuan dan waktu sapih atau akhir perlakuan. Bobot awal dan sapih pada perlakuan mix adalah 39±3 dan 57±4 kg sedangkan pada

perlakuan cafetaria adalah 38±2 dan 55±1 kg. Pertambahan bobot badan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Boga (2009) menyatakan bahwa pedet yang diberi perlakuan cafetaria memiliki PBB yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan mix. Dari hasil konsumsi kedua perlakuan menunjukkan PBB berbeda nyata (p<0,05), yaitu lebih tinggi pada perlakuan cafetaria daripada perlakuan mix, yaitu 553,76 vs 418,97 g/e/hari (Tabel 6). Pertambahan bobot badan yang lebih tinggi pada perlakuan cafetaria disebabkan oleh proporsi konsumsi bungkil kedelai sebagai sumber protein yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan mix, yaitu 80% vs 28,98% (Tabel 3). Konsumsi PK yang lebih banyak pada perlakuan cafetaria daripada perlakuan mix, yaitu 303,84 vs 195,98 gram/ekor/hari (Tabel 5) nyata mempengaruhi PBB. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Parakkasi (1999) bahwa kandungan protein yang tinggi di dalam ransum dapat meningkatkan PBB sedangkan pertambahan SK dalam ransum akan menurunkan BB.

Efisiensi Penggunaan Pakan

Efisiensi penggunaan pakan adalah perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Semakin tinggi nilai efisiensi ransum maka semakin banyak pertambahan bobot badan yang dihasilkan dari satu kilogram pakan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa nilai efisiensi penggunaan pakan didefinisikan sebagai jumlah produk (PBB, daging, karkas, dll.) yang diproduksi dari setiap unit bahan makanan yang dikonsumsi. Nilai efisiensi pada kedua perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05), yaitu 0,60 (mix) vs 0,61 (cafetaria) (Tabel 6). Hasil tersebut diduga karena nilai kecernaan pada bahan pakan jagung dan bungkil kedelai tidak berbeda. Perlakuan cafetaria menunjukkan konsumsi susu yang berbeda nyata lebih sedikit daripada perlakuan mix, yaitu 115 vs 168 liter (p<0,05) (Tabel 6). Hasil tersebut dipengaruhi oleh lama sapih yang lebih cepat pada perlakuan cafetaria daipada perlakuan mix.

Dari kedua perlakuan (mix dan cafetaria) pada penelitian ini dapat dilakukan analisis pendapatan guna melihat perlakuan yang lebih memiliki nilai ekonomis. Analisis pendapatan berdasarkan biaya pakan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Analisis Pendapatan Berdasarkan Biaya Pakan

Perlakuan Hal yang diamati

Mix Cafetaria

Harga pedet lepas kolostrum (Rp) 1.700.000 1.700.000

Bobot badan (kg) 39 38

Konsumsi ransum starter (kg) 10,144 13,981

Harga ransum starter (Rp) 4.700 6.950

Biaya ransum starter (Rp) 47.676 97.167

Konsumsi susu (liter) 168 115

Harga susu (Rp) 4.000 4.000

Biaya susu (Rp) 672.000 460.000

Total biaya pemberian pakan (Rp) 2.419.676 2.257.167

Bobot sapih (kg) 57 55

Harga jual pedet sapih (Rp) 2.500.000 2.500.000

Pendapatan (Rp) 80.323 242.832

Keterangan: Harga (Rp/kg) jagung 8.000; pollard 2.700; b. Kedelai 8000; b. Kelapa 2.400; CaCO3 600; garam 1500; premix 15.000.

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pendapatan yang lebih banyak ditunjukkan pada perlakuan cafetaria, yaitu Rp 242.832,00 atau tiga kali lipat lebih banyak dari perlakuan mix yang hanya mendapat Rp 80.323,00. Konsumsi air susu yang lebih sedikit pada perlakuan cafetaria mengakibatkan biaya susu yang rendah yaitu Rp 460.000,00 untuk 115 liter susu segar, sedangkan pada perlakuan mix mencapai Rp 672.000,00 untuk 168 liter susu segar.

Dokumen terkait