• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Berpikir

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Penelitian

Kota Jakarta Utara

Sesuai dengan pembagian Kota Administrasi, maka wilayah Kota Jakarta Utara mempunyai batas-batas dengan Kotamadya lainnya sebagai berikut: (1) Utara: Titik Koordinat 106-20 derajat-00 derajat bujur Timur sampai dengan 06-10derajat lintang Selatan; 106-67 derajat-00 derajat Bujur Timur sampai dengan 10 derajat – 00 derajat lintang Selatan; (2) Timur : Kali Blencong – kali Ketapang ( Batas Daerah khusus Ibukota Jakarta), Selatan Padongkelan-Sungai Begong-Selokan Petukangan (Batas Daerah Khusus Ibukota Jakarta), Kali Cakung; dan (3) Selatan: Kali Angke-Rel KA Aling Selatan (Kota Gambir) mengikuti JL. Raya Mangga Dua Utara terus mengikuti pintu KA Gg. Burung Jl. Mangga Dua sampai KA Gambir terus mengikuti rel KA Jl. Mangga Dua sampai rel KA Kota.; dan (4) Barat : Jembatan Tiga-Kali Muara Karang-Kali Muara Angke

Kota Bekasi

Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari empat kewedanaan, 13 kecamatan (termasuk Kec. Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan motto "SWATANTRA WIBAWA MUKTI." Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke Kota Bekasi (Jl. Ir. H Juanda). Kemudian pada tahun 1982, pada saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah gedung perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. A. Yani No.1 Bekasi.

Pesatnya perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif (Kotif) Bekasi yang terdiri atas empat kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1981, yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, yang seluruhnya meliputi 18 Kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982.

Pada perkembangannya Kota Administratif Bekasi terus bergerak dengan cepat. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan roda perekonomian yang semakin bergairah, sehingga status kotif Bekasi pun kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya (sekarang "Kota") melalui Undang- undang Nomor 9 Tahun 1996.

Jumlah Keluarga Miskin

Tahun 2008 angka penduduk miskin di DKI Jakarta Utara sebanyak 379.600 jiwa. Pada 2009 jumlah penduduk miskin turun menjadi 323.200 jiwa. Jumlah keluarga miskin terbanyak berada di wilayah Jakarta Utara sebanyak 54.827 rumah tangga. Jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kota Bekasi tahun 2009 mencapai 37. 744 keluarga atau sebanyak 130.974 jiwa, turun dari sebelumnya 38.109 KK atau sebanyak 160 ribu jiwa (BPS,2009)

Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Strategi penanggulangan kemiskinan yang berlaku di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi saat ini mengacu kepada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang digulirkan oleh pemerintah. SNPK merupakan cara- cara dan tahapan sistematis yang harus ditempuh dan dijalankan oleh pemerintah, swasta, masyarakat dan berbagai pihak dalam upaya mendorong gerakan nasional penanggulangan kemiskinan. Tujuan SNPK adalah:

(1) Menegaskan komitmen lembaga negara, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, lembaga internasional, dan pihak yang peduli untuk memecahkan masalah kemiskinan.

(2) Membangun konsensus bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar dan pendekatan partisipatif dalam perumusan strategi dan kebijakan.

(3) Mendorong sinergi berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, lembaga internasional, dan pihak yang peduli.

(4) Menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (millennium development goal) terutama tujuan penanggulangan kemiskinan.

Karakteristik Individu Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan penambahan kemampuan yang didapatkan oleh seseorang melalui lembaga sekolah/perguruan tinggi resmi, yang meliputi: jenis pendidikan yang diikuti, dan jumlah tahun sukses dalam pendidikan formal.

Secara umum, terdapat kondisi yang cenderung sama berkaitan dengan perbedaan tingkat pendidikan formal bagi setiap responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Selengkapnya sebaran berkaitan dengan tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Tingkat Pendidikan Formal Responden

Kota Jakarta Utara Kota Bekasi

Kategori Pendidikan Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Rendah 88 50,57 83 62,88 Sedang 85 48,85 49 37,12 Tinggi 1 0,58 0 0 Jumlah 174 100 132 100

Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal responden berada dalam kategori rendah. Tingkat pendidikan formal responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki tingkat karagaman yang tidak begitu tinggi. Tingkat pendidikan formal bagi responden menunjukkan pada tingkat pendidikan yang rendah. Sedangkan responden yang memiliki pendidikan sedang dan tinggi masih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi belum secara serius untuk memperhatikan pendidikan. Berdasarkan uraian yang didapatkan dari

wawancara mendalam, terdapat beberapa alasan seorang kepala keluarga tidak memiliki pendidikan formal yang memadai adalah : (1) Mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mementingkan pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai sesuai yang tidak begitu penting dikarenakan tingkat pendidikan yang tinggi dianggapnya tidak memiliki korelasi terhadap pekerjaan seseorang, (2) Mereka berasal dari orang tua dan anak dari keluarga yang tidak memiliki kecukupan ekonomi serta tidak memiliki motivasi untuk mengubah kehidupannya lewat pendidikannya, (3) Dalam keluarganya belum memiliki budaya wajib sekolah bagi anak-anaknya, dan (4) Khusus bagi responden yang perempuan menganggap bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin untuk menjadi sukses, karena pada akhirnya ia akan terjun menjadi ibu rumah tangga.

Hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap salah seorang responden yang hanya lulusan SMP itu ia mengatakan bahwa keadaan ekonomi orang tuanya yang tidak memungkinkan untuk dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Orang tuanya bekerja sebagai kuli bangunan dengan 6 orang bersaudara. Dengan kondisi seperti itu orang tuanya merasa tidak mampu lagi membiayai sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Bagi orang tuanyanya, ia sudah mengenyam pendidikan sudah syukur dan sudah melewati pendidikan SD. Orang tuanya tidak berpikir panjang agar anak-anaknya dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika ia disuruh berhenti sekolah setamat SMP, ia tidak memberontak kepada orang tuanya untuk memohon dapat melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan, awalnya ia merasa senang karena lebih banyak waktu untuk bermain dan tidak disibukkan oleh kegiatan dan kesibukan belajar. Namun lama kelamaan, semakin usia bertambah, ia juga merasa kebingungan apa yang dapat ia kerjakan dengan ijazah SMP yang ia miliki tersebut. Akhirnya ia mencoba bekerja sebagai tenaga kasar misalnya sebagai kuli bangunan dan kerjaan kasar lainnya. Ketika ada tawaran untuk menjadi tenaga satpam di perumahan dekat rumahnya tersebut, ia mencoba untuk masuk dan diterima. Namun dengan pekerjaan sebagai satpam tentunya pendapatannya sangat pas-pasan, apalagi ia sekarang sudah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Keluarganya hidup dalam kondisi yang sangat terbatas.

Tingkat pendidikan formal keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sebagian besar adalah rendah disebabkan mayoritas mereka berasal dari

keluarga yang tidak mampu. Mereka beranggapan bahwa biaya pendidikan sekarang ini sangat mahal mulai dari biaya seragam, buku, uang saku dan tanggungan biaya lainnya yang tidak mampu mereka atasi. Menurut mereka, meskipun di sebagian besar sekolah negeripun sudah terdapat sekolah yang gratis, tetapi masih ada biaya-biaya lain yang harus mereka keluarkan. Di sisi lain mereka tidak memiliki motivasi untuk mengubah hidup dengan pendidikan dan pasrah dengan alasan tidak adanya biaya. Pendidikan bagi mereka sepertinya berlaku turun temurun dikarenakan orang tua mereka juga memiliki pendidikan yang rendah. Kesadaran bagi tiap-tiap keluarga miskin untuk memotivasi anggota keluarga untuk meningkatkan pendidikannya masih sangat rendah. Pada akhirnya tingkat pendidikan yang rerndah tersebut dipersepsikan sebagai kondisi yang menjadi turun temurun.

Pendidikan Non formal

Pendidikan non formal merupakan penambahan kemampuan yang didapatkan oleh seseorang melalui lembaga yang terorganisasi secara resmi, yang meliputi : jumlah pelatihan yang diikuti, jumlah workshop yang diikuti, dan jumlah penyuluhan yang pernah diikuti.

Sebaran mengenai pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh responden ternyata menunjukkan kondisi yang seragam. Sebanyak 2-8 persen responden sangat sedikit untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formalnya. Hanya sedikit dari responden yang pernah mengikuti kegiatan pendidikan non formal. Pendidikan non formal bagi keluarga miskin bukan menjadi kebutuhan yang penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota keluarga. Mereka sepertinya tidak terbiasa untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formal. Secara umum mereka tidak memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan. Kondisi tersebut tidak saja berkaitan dengan keikutsertaan mereka dalam pendidikan non formal, melainkan juga terjadi pada perhatian mereka terhadap pendidikan formal. Khusus terkait dengan sebaran keterlibatan responden dalam kegiatan pendidikan non formal, dapat disajikan pada Tabel 15 .

Tabel 15. Kondisi Tingkat Pendidikan Non Formal Responden Kota Jakarta Utara Kota Bekasi

Kategori Pendidikan* Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Rendah 145 83,33 110 83,33 Sedang 25 14,37 12 9,09 Tinggi 4 2,30 10 7,58 Jumlah 174 100 132 100

Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan non formal responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk kategori rendah. Rendahnya keterlibatan responden dalam pendidikan non formal tersebut disebabkan oleh beberapa alasan : (1) Responden sangat bergantung kepada pihak-pihak terkait mengenai keberadaan pendidikan non formal tersebut baik yang diadakan oleh pihak pemerintah, pihak swasta, LSM dan lembaga-lembaga yang lain. Ketika tidak ada lembaga yang berinisiatif memberikan pendidikan non formal secara gratis, mereka tidak tergerak untuk mengikutinya; (2) Responden tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membiayai keterlibatannya untuk mengikuti pendidikan non formal seperti kursus, pelatihan, sosialisasi dan sebagainya. Mereka selalu mengandalkan bentuk-bentuk pendidikan non formal yang sifatnya gratisan, khususnya yang diadakan oleh pemerintah atau LSM; (3) Responden tidak memiliki informasi dan tidak mau mencari tahu tentang pendidikan non formal yang dapat ia ikuti; dan (4) Responden tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk secara sadar mengikuti pendidikan non formal, sehingga ketika ada kegiatan pelatihan, sosialisasi yang diadakan oleh lembaga pemerintah khususnya justru mereka harus dibujuk bahkan dipaksa oleh orang lain untuk mengikutinya.

Bagi responden yang pernah mengikuti pendidikan non formal, sebagian besar pendidikan non formal yang diikuti adalah jenis keterampilan seperti pertukangan, kesehatan, kerajinan tangan dan sebagainya, sedangkan untuk jenis pendidikan di bidang kewirausahaan, berdagang masih sangat sedikit.

Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang responden yang bekerja sebagai tukang jual buah, terungkap bahwa ia hanya sekali mengikuti pelatihan, yaitu pelatihan menganai keamanan yang diadakan oleh kelurahan, sedangkan untuk pendidikan non formal lainnya khususnya yang berkaitan dengan usaha sama sekali belum pernah ia ikuti. ia mengatakan bahwa jangankan mengikuti pendidikan non formal, untuk makan saja ia masih kekurangan. Kalau misalnya ada sosialisasi dan pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga lainnya, ia sendiri masih mikir-mikir untuk mengikutinya karena pasti ia tidak bias berdagang buahnya itu sehingga tidak ada pendapatan yang ia terima dalam beberapa waktu pelatihan tersebut. Dulu ketika ia ikut pelatihan keamanan tersebut, dikarenakan dipaksa oleh Pak RT dan dikasih uang transport yang tidak seberapa itu. Ia berpendapat, dibandingkan ikut pelatihan atau sosialisasi yang hanya dapat uang transport yang menurutnya tidak seberapa itu, lebih baik berdagang buah saja. Ia merasa bahwa pelatihan pada dasarnya bermanfaat, tetapi karena ia lebih mengutamakan kepentingan usahanya sehingga ia malas untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formal yang lain.

Dalam beberapa kesempatan jenis pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh sebagian responden dirasa tidak berhubungan dengan kemampuan berusaha, melainkan bidang-bidang yang lain seperti pelatihan keamanan, pelatihan rukun kematian, pelatiha pemadam kebakaran dan sebagainya.

Usia Responden

Usia Responden merupakan sejumlah tahun yang menunjukkan pengalaman hidup yaitu akumulasi jumlah tahun sejak lahir. Sebaran usia responden sebagai kepala keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menyebar pada tiga kategori yaitu kategori usia 20-35 tahun, 36-50 tahun, dan 50 tahun ke atas. Meskipun demikian dari sebaran yang ada menunjukkan bahwa responden lebih banyak berada pada usia 36-50 tahun, dilanjutkan dengan usia 20-35, dan yang terakhir usia 50 tahun ke atas. Secara lebih jelas sebaran usia responden tersebut secara lebih jelas pada Tabel 16 .

Tabel 16. Usia Responden

Kota Jakarta Utara Kota Bekasi

Kategori Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Rendah 66 37,93 24 18,18 Sedang 104 59,77 92 69,70 Tinggi 4 2,30 16 12,12 Jumlah 174 100 132 100

Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa usia responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil penelusuran secara mendalam melalui wawancara mendalam bahwa tingginya usia responden yang berada pada usia 36-50 menunjukkan bahwa pada usia tersebut merupakan usia yang produktif dan matang. Responden yang berada pada usia tersebut merasa bahwa mereka merasa secara fisik masih sangat kuat dan produktif untuk bekerja khususnya untuk bekerja kasar. Responden yang berada pada usia 56 ketas sudah merasa usianya sudah tidak produktif lagi baik secara tenaga maupun mental. Mereka lebih banyak menunggu bantuan dari anak-anaknya. Kalaupun mereka berusaha, mereka berusaha pada kategori yang sederhana saja.

Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga merupakan sejumlah orang yang tergolong tidak produktif yang harus dihidupi dan dibiayai dalam keluarga tersebut, yang meliputi : jumlah isteri yang menjadi tanggungan, jumlah anak yang menjadi tanggungan, dan jumlah anggota keluarga lainnya yang menjadi tanggungan.

Terdapat pola yang sama diantara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Secara umum sebaran jumlah tanggungan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Sebesar 91,39 % persen keluarga miskin di Kota Jakarta Utara memiliki

tanggungan sebanyak 3-6 orang, sedangkan di Kota Bekasi sebesar 68,18 % yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak 3-6. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Kota Jakarta Utara Kota Bekasi

Kategori Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Rendah 8 4,60 39 29,55 Sedang 159 91,38 90 68,18 Tinggi 7 4,02 3 2,27 Jumlah 174 100 132 100

Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah. Terdapat beberapa alasan bagi sebagian besar keluarga miskin yang tidak menginginkan jumlah tanggungan lebih dari 6 orang adalah : (1) Beban ekonomi keluarga yang sudah sangat berat, sehingga sangat membatasi jumlah tanggungan keluarga. Dengan jumlah beban keluarga kurang dari 6 orang saja mereka menganggap sudah berat apalagi dengan jumlah tanggungan keluarga yang lebih dari 6 orang maka akan semakin membebani keluarga tersebut, dan (2) Menginginkan jumlah tanggungan sedikit karena tidak menginginkan kerepotan dan menyediakan keperluan sehari-hari seperti makan, pendidikan, pakaian dan sebagainya.

Bagi keluarga yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang lebih dari 6 orang, terdapat beberapa alasan: (1) Masih terdapatnya nilai-nilai budaya yang terdapat dalam keluarga yang senang dengan adanya keluarga yang besar. Mereka merasa sangat senang berkumpul dengan keluarga besarnya tersebut. Masih terdapat prinsip banyak anak banyak rezeki di sebagian keluarga miskin, meskipun pada dasarnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang masih sangat kekurangan dan apa adanya; (2) Adanya nilai yang mewajibkan anak- anaknya untuk mengurus orang tuanya, terutama ketika orang tuanya tersebut sudah tua; (3) Mereka senang dengan jumlah anak yang benyak tersebut karena

dengan anak yang banyak tersebut dapat membantu mengerjakan pekerjaan keluarga penanaman budaya untuk saling tolong menolong diantara anggota keluarga. Harapannya adalah ketika ada anggota keluarga yang berhasil maka dapat membantu bagi anggota keluarga yang tidak berhasil.

Dalam kegiatan wawancara mendalam dengan salah seorang yang menjadi pekerja rendahan di sebuah instansi swasta yang gajinya jauh di bawah UMP Propinsi DKI Jakarta memiliki 2 orang anak dan memiliki rumah yang ukurannya hanya 40 m2, terungkap bahwa Ia sangat khawatir memiliki anak lebih dari 2 orang meskipun sebenarnya ia menginginkan untuk manambah anak lagi. Karena alasan ekonomi yang sangat terbatas maka ia tidak mau mengambil resiko untuk menambah anak lagi. Menurutnya, jangankan untuk menambah anak, untuk membiayai 2 orang anak dan 1 orang istri saja ia merasa kesulitan. Ia sendiri merasa malu dengan keluarga dan anggota keluarga lainnya untuk memiliki anak lebih dari 2 orang.

Karakteristik Kelompok Kepemimpinan Kelompok

Kepemimpinan kelompok dalam penelitian ini lebih menekankan kepada kegiatan pimpinan di dalam mengelola dan menggerakkan anggota dalam kumpulan yang terorganisasi untuk mencapai tujuan bersama, yang meliputi: tingkat kemampuan pemimpin di dalam menggerakkan anggotanya, tingkat kemampuan pemimpin dalam melakukan hubungan interpersonal dengan anggota, tingkat kemampuan pemimpin di dalam memberikan informasi kepada seluruh anggota, dan tingkat kemampuan pemimpin dalam pengambilan keputusan.

Secara umum kepemimpinan kelompok yang dilakukan oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan pada kategori yang rendah. Rendahnya kepemimpinan kelompok usaha yang diikuti oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi didasarkan kepada jenis kelompok yang diikuti. Penjelasan mengenai sebaran persepsi responden mengenai kepemimpinan dalam kelompok dapat secara jelas tergambar pada Tabel 18.

Tabel 18. Kepemimpinan Kelompok

Kota Jakarta Utara Kota Bekasi

Kategori* Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Rendah 9 5,17 18 13,64 Sedang 159 81,38 102 77,27 Tinggi 6 3,45 12 9,09 Jumlah 174 100 132 100

Rataan sebesar 63 dengan kategori rendah**

Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 4

**interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)

Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa kepemimpinan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan rataan sebesar 63. Pada kelompok yang termasuk dalam kategori kelompok usaha yang diikuti oleh keluarga miskin menunjukkan tingkat kepemimpinan kelompoknya termasuk dalam ketegori rendah. Rendahnya kepemimpinan kelompok disebabkan oleh beberapa alasan: (1) Pemimpin kurang memiliki tanggung jawab baik secara moral maupun secara material untuk menjaga, menyelamatkan dan mengembangkan modal ekonomi menjadi lebih besar. Tanggung jawab secara moral berkaitan dengan tingkat kepercayaan terhadap modal yang dikembangkan dalam usaha kelompok tersebut. Berkaitan dengan tanggung jawab materiil adalah bahwa adanya kekurangan yang terjadi pada modal usaha yang disebabkan karena kelalaian ketuanya, namun ketua kelompok tidak secara otomatis bertanggung jawab untuk mengganti modal tersebut; (2) Di dalam kelompok yang di dalamnya terdapat kegiatan usaha, tidak memberikan inspirasi kepada para anggotanya untuk ikut membesarkan kelompok. Motivasi yang tinggi dari anggota sebenarnya hanyalah didasarkankan oleh seberapa besar ia mendapatkan keuntungan dari kelompok usahanya tersebut secara teratur tetapi tidak untuk membesarkan kelompok; (3) Aspek lainnya yang melemahkan motivasi anggota kelompok adalah tidak adanya kejelasan dan keteraturan anggota untuk melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan keuntungan bagi keluarganya. Bagi keluarga miskin, adanya motif ekonomi menjadi pendorong utama bagi tiap-tiap anggota keluarga untuk terlibat dalam kegiatan kelompok; dan (4) Pimpinan kelompok tidak mau belajar untuk mengatur kelompoknya, baik dalam hal

kemampuan dalam menggerakkan anggotanya, melakukan hubungan interpersonal, memberikan informasi kepada anggotanya, ataupun kemampuan untuk mengambil keputusan yang menguntungkan kelompoknya, sehingga keberadaan kelompok tidak mengalami kemajuan yang signifikan.

Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang pegawai rendahan yang memiliki 3 orang anak, menjadi anggota memiliki kelompok usaha bersama dari satu alumni SD yang ada di Jakarta utara dalam bentuk pengumpulan modal bersama untuk diusahakan bersama dengan jumlah anggota ada 21 orang, terungkap bahwa modal awal yang dikumpulkan masing-masing anggota adalah sebesar Rp. 300.000 dengan maksud untuk membuka usaha yang menjual mie bakso. Pada awalnya pengelolaan usaha tersebut agak tersendat karena kurangnya pengalaman. Namun lama kelamaan pengelolaan usaha tersebut berjalan lancar mulai dari bulan pertama sampai dengan sekarang. Ketika ada keuntungan, meskipun kecil setiap anggota masih mendapatkan hasilnya. Di samping itu laporan keuangannya berjalan dengan baik. Meskipun laporan keuangannya dibuat secara sederhana, namun tidak terdapat kejelasan bagi semua anggota berkaitan dengan jumlah modal yang ada, jumlah pengeluaran yang termasuk dalam biaya operasional, ataupun jumlah keuntungan yang didapat oleh kelompok usahanya. Di samping itu juga modal usaha semakin lama semakin tidak jelas perkembangan modalnya, apakah semakin bertambah atau semakin berkurang. Pimpinan kelompok jarang sekali mengajak untuk bertemu membicarakan usaha. Pimpinan kelompok juga jarang sekali mengontrol perkembangan usaha. Sekarang usaha kelompok usaha yang ada tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan.

Kelompok yang bergerak di luar bidang usaha ternyata juga menunjukkan soliditas kelompok dan kepemimpinnya yang rendah. Kepemimpinan kelompok yang ada pada kelompok yang bergerak di bidang sosial menunjukkan kategori yang rendah. Beberapa kelompok yang bergerak dalam bidang sosial antara lain: kelompok pengajian, karang taruna, dan sebagainya. Terdapat beberapa alasan yang memperkuat rendahnya kepemimpinan kelompok : (1) kelompok usaha yang bergerak di bidang sosial dipersepsikan tidak memiliki keuntungan ekonomi, sehingga sebagian dari mereka tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk ikut dalam kelompok tersebut; (2) Kelompok sosial tersebut dipersepsikan hanya diikuti oleh orang-orang tertentu yang memang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang banyak terlibat

dalam kelompok tersebut. Ketika kelompok tersebut sudah ada yang terlibat, maka bagi orang lain tidak menjadi kewajiban untuk terlibat dalam kelompok tersebut; dan (3) Karena bergerak dalam bidang sosial, kepemimpinan yang

Dokumen terkait