• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan

Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna, penemu-kenalan konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan (Suharto, 1997).

Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan mungkin “misteri” mengenai kemiskinan ini. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena masalah ini masih hadir di tengah-tengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Meskipun pembahasan kemiskinan pernah mengalami tahap kejenuhan sejak pertengahan 1980-an, upaya pengentasan kemiskinan kini semakin mendesak kembali untuk dikaji ulang. Beberapa alasan yang mendasari pendapat ini antara lain adalah:

Pertama, konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni “kemiskinan pendapatan” atau “income-poverty” (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakan- akan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun perkotaan Meskipun Indonesia pernah dicatat sebagai salah satu negara berkembang yang

sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali meningkat, melainkan dimensinya pun semakin kompleks seiring dengan menurunnya kualitas hidup masyarakaat akibat terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997.

Ketiga, kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar

(multiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh. Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi sepanjang krisis ekonomi, misalnya, menunjukkan bahwa ternyata persoalan kemiskinan bukanlah semata- mata mempengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat, melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan ketahanan nasional (Suharto, 1997).

Sadar bahwa isu kemiskinan merupakan masalah laten yang senantiasa aktual, pengkajian konsep kemiskinan merupakan upaya positif guna menghasilkan pendekatan dan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah krusial yang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini.

Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing–masing pandangan memiliki cara yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang bahwa kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berprestasi. Menurut Oscar Lewis (1983), orang–orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis, sosial dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai mahluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah mahluk yang kooperatif. Guna menjelaskan lebih lanjut mengenai faktor–faktor yang mempengaruhi terhadap kemiskinan antara lain : (1) Faktor personal, dan (2) faktor situasional.

Faktor Personal

Lewin (Blanchard, et al.1996) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh interaksi faktor personal dan faktor situasional. Faktor persanal antara lain : motif, kebutuhan yang direfleksikan dalam sikap, kemampuan, sikap, kemampuan, perasaan, kepercayaan, kepribadian, sistem nilai dan kecenderungan untuk bertindak (Barata, 2003; Thoha, 1996). Menurut Hipocrates-Galenus terdapat empat tipologi kepribadian, yaitu : (1) kepribadian sanguinis, (2) kepribadian koleris, (3) kepribadian melankolis, dan (4) kepribadian plegmatis.

Faktor personal juga terkait dengan aspek psikologis (Mashoed, 2004). Menurut teori Freud (Suryabrata, 2001), struktur kepribadian terdiri dari: (1) Das Es (the id), yaitu aspek biologis, terkait dengan alam bawah sadar/tidak sadar (kesadaran magis); (2) Das Ich (the ego), yaitu aspek psikologis, terkait dengan alam prasadar (kesadaran naif); dan (3) Das uber ich (the super ego), yaitu aspek sosiologis, terkait dengan alam sadar (kesadaran kritis). Kesadaran magis dan kesadaran naif terkait dengan perspektif berpikir masyarakat di era pra- modern dan modern, sedangkan perspektif berpikir masyarakat post modern cenderung berada pada kesadaran kritis (Maksum dan Ruhendi, 2004).

Faktor Situasional

Faktor situasional adalah lingkungan yang berhubungan dengan faktor pribadi yang mempengaruhi perilaku antara lain: kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan alam/tataruang. Menurut Mubyarto (1998), kemiskinan merupakan persoalan situasional. Faktor situasional berasumsi bahwa kemiskinan yang melanda setiap individu/sekelompok masyarakat lebih diakibatkan oleh faktor yang berasal dari luar individu/sekelompok masyarakat tersebut. Dengan kalimat lain, penyebab kemiskinan terkait dengan faktor kultural, struktural, dan alamiah (Kartasasmita, 1996; Bappenas, 2002)

Paradigma penanggulangan kemiskinan pada saat ini adalah bahwa kebijakan atau program anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila “kaum miskin menjadi aktor utama dalam perang melawan kemiskinan.” Untuk membantu kaum miskin keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi, dan program yang tepat. Diperlukan pula sikap yang tidak memperlakukan orang miskin sebagai obyek, tetapi sebagai

subyek. “Orang miskin bukan orang yang tidak memiliki apa-apa, melainkan orang yang memiliki sesuatu, walaupun serba seadanya” (Mubyarto: 2001).

Ukuran Kemiskinan

Beragam alternatif ukuran garis kemiskinan yang diajukan H.Esmara (Sajogyo, 1996 : 1) yang hanya menggunakan ukuan “di bawah rata-rata”, yaitu angka: (a) konsumsi beras (kg per orang), (b) konsumsi 9 bahan pokok, (c) pengeluaran rumah tangga (Rp/orang), dan (d) konsumsi kalori dan protein/orang/hari (secara terpisah) dengan membedakan nilai rata-rata menurut Jawa dan lain daerah, dan desa dan kota.

Sajogyo (1996:2-3) merinci garis kemiskinan dengan ciri-ciri: (a) spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi “nilai ambang

kecukupan pangan” (food threshold); dan (b) menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein).

Penjelasan dari ciri-ciri di atas adalah sebagai berikut: garis kemiskinan ciri pertama dinyatakan dalam Rp/bulan, dalam bentuk “ekuivalen nilai tukar beras” (kg/orang/bulan) agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar-jaman, sesuai dengan harga beras setempat.

Ciri yang kedua, memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena: (a) dalam survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka “penghasilan”; (b) sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, pemberian barang modal yang “dimakan,” mekanisme transfer penghasilan di lingkungan masyarakat tersebut; (c) data dari BPS, mulai banyak tersedia (sampel besar). Dan lebih baik lagi jika mencakup data selama minimal satu tahun penuh.

Menurut Nugroho (1995), Karena ukuran–ukuran obyektif kemiskinan sangat bervariasi, maka perlu hati–hati dan juga bersifat kritis terhadap penggunaan dan pemilihan alat ukur tesebut. Selain ukuran–ukuran yang diajukan itu banyak mendapat kritik tajam karena hanya bersifat ekonomi semata-mata. Pada kenyataannya kebutuhan manusia sangat bervariasi sehingga setiap upaya penentuan garis kemiskinan yang direduksi dalam soal- soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya.

Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam yang juga berkaitan dengan dimensi-dimensi politis, kebudayaan dan sosial, sehingga setiap upaya menentukan garis batas kemiskinan obyektif seyogyanya juga mengacu pada multidimensionalitas tersebut.

Karena sifat multidimensional tersebut maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan sosial (social well–being). Untuk mengejar seberapa jauh seseorang memerlukan kesejahteraan materi dapat diukur secara kuantitatif dan obyektif seperti dalam mengukur kemiskinan absolut yaitu ditunjukkan dengan angka rupiah. Namun untuk memahami besar nya kesejahteraan sosial yang harus dipenuhi seseorang ukurannya menjadi sangat relatif dan kualitatif, Menurut Ellis (Nugroho, 1995), dalam butir ini yang dipersoalkan bukan besarnya ukuran kemiskinan tetapi macam dimensi – dimensi yang terkait dalam gejala kemiskinan tersebut antara lain:

Pertama, yang paling jelas bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung tingkat inflasi itu sendiri.

Kedua, kemiskinan berdimensi sosial budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat digunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukuran sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan berbentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan lain-lain. Untuk itu, serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit ditanggulangi.

Ketiga, Kemiskinan berdimensi struktural atau politik sama artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politik. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural atau politis akan berakibat pula miskin dalam material (ekonomi). Untuk itu langkah

pengentasan kemiskinan apabila ingin efektif juga harus mengatasi hambatan- hambatan yang sifatnya struktural dan politis.

Dimensi kemiskinan ini pada hakekatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam artian ekonomi, tetapi memperhatikan prioritas, namun bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi. Ini sejalan dengan pergeseran strategi pembangunan nasional, bahwa yang dikejar bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi tetapi juga pembangunan kualitas manusia seutuhnya (sosial, budaya dan politik).

Pemahaman terhadap inti dari masalah kemiskinan itu dari pandangan kelompok miskin itu sendiri masih kurang. Di kalangan pakar ilmu sosial yang berusaha memahami hakekat kemiskinan dari sudut pandang orang miskin itu sendiri adalah Robert Chambers, seorang ahli pembangunan pedesaan berkebangsaan Inggris.

Sesudah melakukan penelitian di kalangan orang miskin di beberapa Negara Asia Selatan dan Afrika, Chambers menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada sesuatu yang disebut sebagai deprivation trap atau jebakan kekurangan (Chambers, 1983). Selanjutnya dikatakan bahwa deprivation trap itu terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin itu adalah : (1) Kemiskinan itu sendiri, (2) Kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidakberdayaan. Lima ketidakberuntungan itu saling berkait satu sama lain sehingga merupakan deprivation trap ini. Dari lima jenis ketidakberuntungan ini, Chambers menganjurkan agar dua jenis ketidakberuntungan yang dihadapi keluarga miskin diperhatikan, yaitu: (1) Kerentanan, dan (2) Ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis ketidakberuntungan itu sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin.

Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan dari keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu untuk menghadapi suatu darurat seperti datangnya bencana alam atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga tersebut. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau “roda penggerak kemiskinan” yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda berharga sehingga keluarga itu semakin dalam memasuki lembah kemiskinan.

Ketidakberdayaan keluarga miskin tercermin dalam kasus yakni elit dari komunitas dengan sengaja memfungsikan diri sebagai jaring yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin juga dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu oleh orang yang mempunyai kekuasaan baik dalam bidang politik dan ekonomi, dan lemahnya keluarga miskin to bargaining. Ketidakberdayaan keluarga miskin inipun dapat menjadikan keluarga miskin secara cepat menjadi lebih miskin.

Ada satu masalah yang belum dijelaskan oleh Chambers yakni mengapa deprivation trap muncul ?. Adakah faktor eksternal yang menyebabkan timbulnya deprivation trap itu ?. Di sinilah pentingnya penggabungan studi tentang kebijaksanaan pembangunan pemerintah dan peranannya dalam menciptakan deprivation trap di kalangan keluarga miskin.

Dimensi Kemiskinan

Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002 : 3). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Menurut SMERU (Suharto dkk, 2004), secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2002).

Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Menurut Friedman (Suharto, dkk.,2004:6), basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto, dkk, 2004). David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi: (a) Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan

pemenang dan pengalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Di negara-negara berkembang seringkali orang yang miskin semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

(b) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

(c) Kemiskinan sosial: Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

(d) Kemiskinan konsekuensial: Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut SMERU (Suharto, 2004), kemiskinan memiliki berbagai dimensi: (1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang

dan papan).

(2) Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

(3) Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

(4) Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. (5) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. (6) Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.

(7) Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

(8) Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

(9) Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Kemiskinan di Perkotaan

Masalah kemiskinan di perkotaan disebabkan kedudukan kota-kota dalam masyarakat negara tersusun dalam jaringan yang bertingkat-tingkat dan merupakan pusat-pusat penguasaan atau pendominasian bagi pengaturan kesejahteraan, kehidupan masyarakat Negara. Sistem pendominasian yang berpusat di kota-kota bukan hanya melibatkan aspek–aspek ekonomi, sosial dan komunikasi, dan kebudayaan, namun dalam kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat manapun di dunia ini, manusia cenderung untuk berorientasi ke kota atau dengan kata lain bahwa orang desalah yang berorientasi ke kota dan bukan orang kota yang berorientasi ke desa (Suparlan, 1995). Karena adanya orientasi pada kota, kota cenderung untuk tumbuh terus dan menjadi semakin kompleks karena kota mempunyai potensi atau kemampuan untuk menampung pendatang- pendatang baru dari pedesaan atau kota-kota dan tempat-tempat lainnya.

Adams (Suparlan, 1995) mengemukakan bahwa penambahan jumlah penduduk yang pesat dan tidak disertai dengan pesatnya peningkatan kemajuan ekonomi, telah menyebabkan tumbuhnya kemiskinan. Beban yang terlalu berat untuk dipikul di daerah pedesaan, yang alternatif-alternatifnya untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan ekonomi guna menyambung hidup amat terbatas, telah menyebabkan adanya penyerbuan-penyerbuan ke kota secara besar- besaran oleh penduduk desa untuk mencari nafkah dan hidup di kota.

Kemampuan atau potensi kota untuk menampung pendatang-pendatang baru untuk dapat hidup dalam wilayahnya karena corak sistem ekonomi di daerah perkotaan yang lebih menekankan pada pekerjaan-pekerjaan dalam bidang industri saja dan produksi barang jadi atau setengah jadi. Walaupun alternative-alternatif untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan, namun kemiskinan di perkotaan tetap ada atau laten karena potensi-potensi yang ada (lingkungan fisik dan alam,

sistem sosial, dan kebudayaan), tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat memberikan nafkah yang cukup memadai bagi sebagian besar para warganya. Kebudayaan yang ada dalam masyarakat perkotaan tersebut tidak mendorong untuk adanya kemungkinan-kemungkinan bagi pengembangan tingkat pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya yang secara obyektif dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi dan sosial pada warga masyarakatnya (Suparlan, 1995).

Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan adalah sebuah kata yang bersifat emotif dan menarik bagi beberapa orang. Istilah pemberdayaan mengandung suatu kekuatan yang diyakini oleh sebagian orang mampu mengubah kondisi menjadi lebih baik. Orang tertarik kepadanya karena tampaknya menawarkan sesuatu yang pada saat sekarang tidak ada tetapi mampu mengubah kehidupannya. Kata ini mengandung ide bahwa orang berada dalam pengendalian diri sendiri dan lingkungan mereka, yang memperluas kemampuan dan wawasan dan mengevaluasi diri sendiri sampai pada tingkat prestasi dan kepuasan yang lebih besar.

Akhir-akhir ini, istilah pemberdayaan sering digunakan sebagai terjemahan dari kata empowerment. Berdasarkan penelitian kepustakaan, terdapat beberapa definisi pemberdayaan baik dalam arti yang sempit maupun dalam arti yang luas. Terhadap pengertian konsep pemberdayaan tersebut, terjadi tindakan saling korektif dengan upaya mencari definisi pemberdayaan yang lebih aplikatif dan dapat diterima secara umum.

Pemberdayaan menunjukkan dimensi proses dan dimensi hasil (outcome) pada subyek yang diberdayakan. Dimensi proses dari pemberdayaan merupakan berbagai upaya yang dilakukan terhadap subyek yang diberdayakan. Dimensi hasil menunjukkan sejauhmana tingkat keberdayaan dari subyek tersebut. Pemberdayaan pada hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan, kelompok, atau komunitas lokal kurang mampu agar memiliki kemampuan, kekuatan, pengaruh, kontrol, penguasaan dan akses yang lebih besar terhadap sumberdaya sehingga meningkatkan kualitas kehidupannya secara mandiri.

Guna memperjelas dan memaknai konsep pemberdayaan ini dapat dilihat dari beberapa sumber yang ada pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Definisi tentang Konsep Pemberdayaan

No. Sumber Definisi

1. Dharmawan (2002) Pemberdayaan adalah suatu proses pemenuhan energi yang cukup, sehingga masyarakat mampu untuk mengembangkan kemampuannya, memperoleh bargaining power yang lebih besar, membuat keputusan mereka sendiri, dan memperoleh akses yang lebih mudah terhadap sumber daya dalam rangka menuju kehidupan yang lebih baik

2. Bookman dan Morgen

(1988: 4)

Pemberdayaan sebagai konsep yang mengacu pada usaha usaha menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke atas, serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya.

3. Freire (1992) Konsep pemberdayaan sebagai metode yang mengubah persepsi sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya.

4. Soemodiningrat (1999) Pemberdayaan masyarakat mempunyai arti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata- pranata sosialnya.

5. Molyneux (1986 : 280 ) Empowerment is a capacity in thought and action to address the condition and position of marginalization

6. Moeljarto dalam Prijono dan Pranarka (1996)

Pemberdayaan merupakan proses pematahan atau breakdown dari hubungan atau relasi antara subyek dengan obyek. Proses ini mementingkan adanya “pengakuan” subyek akan “kemampuan” atau “daya” (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya mengalirnya daya (flow of power) dari subyek ke obyek

7. Jim Ife (1995) Pemberdayaan mengacu kepada kata

“empowerment”, yang berarti memberi daya, memberi “power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat menekankan kemandirian masyarakat itu sebagai suatu system yang mampu mengorganisir dirinya

Dari beberapa konsep pemberdayaan yang telah disampaikan di atas, menurut penulis bahwa konsep pemberdayaan adalah sebuah proses yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan di dalam menumbuhkan dan mengembangkan kekuatan dan kekuasaan (power) bagi individu maupun kelompok sehingga tercipta kemandirian individu dan kelompok tersebut di dalam berprakarsa dan mengornisir dirinya dan kelompoknya serta terlibat secara langsung guna memecahkan permasalahan dirinya, keluarga, serta kelompoknya sehingga tercipta kondisi yang lebih baik.

Menurut Ife (1995), dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep daya (power) dan konsep ketimpangan (disadvantage). Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep daya dapat ditelusuri dari beberapa perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-strukturalis:

Dokumen terkait