• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN

5.3.   Hasil dan pembahasan model prediksi curah hujan 104

Model prediksi curah hujan disusun berdasarkan pengembangan dari model prediksi yang telah disusun oleh Koesmaryono et al. (2007) dari prediksi bulanan menjadi dasarian dengan maksud untuk melihat prediksi curah hujan dari rata-rata normalnya selama tiga dasarian ke depan. Model menggunakan data series curah hujan, nilai Anomali SPL zona Nino3.4 dan nilai DMI. Model disusun dengan melakukan uji coba (trial and error) dengan menggunakan jumlah simpul dalam lapisan tersembunyi (H) mulai 8 sampai dengan 15 yang dikombinasikan dengan nilai bobot awal (W) antara 0,1-1,0.

Penambahan simpul dilakukan sampai diperoleh nilai R2 yang terbesar atau nilai MSE yang terkecil dan perubahan nilai R2 relatif konstan. Satu kali iterasi menunjukkan satu kali proses penghitungan nilai prediksi. Penyusunan model dilakukan dengan mengulang proses iterasi tersebut.

Nilai bobot awal ditetapkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pramudia (2008), sehingga diperoleh kisaran nilai bobot awal yang diharapkan mampu memberikan hasil terbaik yaitu dalam 4 taraf berbeda yaitu 0.25, 0.5, 0.75 dan 1.0.

5.3. 1 Model prediksi di wilayah Monsunal.

A. Training model

Hasil training di wilayah monsunal baik di Indramayu maupun Cianjur menggunakan model dengan jumlah simpul 15. Penambahan simpul cenderung

105 akan meningkatkan kualitas dan ketelitian model. Akan tetapi penambahan lapisan tersebut juga meningkatkan jumlah iterasi, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama. Jumlah tersebut menghasilkan model lebih baik dibandingkan dengan hasil iterasi menggunakan jumlah simpul yang lebih kecil. Hasil training menunjukkan perbedaan nilai MSE dan R2 pada wilayah yang terkena dampak (Indramayu) dan tidak terkena dampak (Cianjur). Nilai R2 di Indramayu yang yang diwakili Stasiun Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya berkisar antara 0.83 – 0.86 relatif lebih baik dibandingkan dengan di Cianjur yang diwakili Stasiun Warungkondang dan Ciranjang hanya mempunyai nilai R2 antara 0.51 – 0.52 (Tabel 5.1). Hal tersebut menunjukkan bahwa model dengan menggunakan input data ENSO maupun IOD di Indramayu semakin baik dan mampu menerangkan total variabilitas dengan proporsi tinggi. Hasil tersebut diperkuat dengan pola yang ditunjukkan pada Gambar 5.2 yang menunjukkan model yang lentur. Kelenturan model terlihat dengan jelas dibuktikan oleh nilai prediksi mampu mengikuti pola nilai aktual. Hampir semua nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Model yang disusun dengan memasukkan parameter curah hujan, nilai anomali SPL Nino3.4 dan DMI ternyata cukup mampu menggambarkan variabilitas curah hujan di Kabupaten Indramayu. Hal ini diperkuat dengan hasil pengamatan sebelumnya yang menunjukkan bahwa ENSO dan IOD berpengaruh kuat di sebagian besar Kabupaten Indramayu.

Tabel 5.1 Jumlah Iterasi, Nilai MSE, dan R2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Monsun.

Stasiun Hujan Jumlah

Simpul

Nilai Bobot Awal

Jumlah Iterasi MSE R2 (%)

INDRAMAYU Anjatan 15 0.5 30.552 0.028 0.83 Krangkeng 15 0.5 16.378 0.020 0.83 Kertasemaya 15 0.5 24.882 0.095 0.86 CIANJUR Warungkondang 15 0.25 11.950 0.303 0.52 Ciranjang 15 0.75 10.520 0.227 0.51

Hasil yang berbeda diperoleh di Cianjur. Kelenturan model sebagian besar tidak mampu mengikuti nilai aktualnya (Gambar 5.3). Nilai tinggi dan rendah

106 tidak mampu digambarkan seluruhnya oleh model sehingga model tidak disarankan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan di wilayah tersebut.

Gambar 5.2 Hasil training di Stasiun (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya Kabupaten Indramayu.

(a)

(b)

107 (a)

(b)

Gambar 5.3 Hasil training di Stasiun (a) Warungkondang dan (b) Ciranjang Kabupaten Cianjur.

B. Validasi model

Validasi hanya dilakukan terhadap model terbaik hasil proses training dengan cara menggunakan data aktual yang dibandingkan dengan hasil prediksinya pada periode 2004-2009. Hasil validasi untuk Kabupaten Indramayu ditampilkan dalam Gambar 5.4. Dari gambar terlihat bahwa model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya.

108 Gambar 5.4. Hasil validasi di Stasiun (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c)

Kertasemaya Kabupaten Indramayu.

(b) (a)

109

C. Prediksi model

Analisis model prediksi pada wilayah curah hujan monsun hanya dilakukan di Indramayu karena berdasarkan hasil training pengembangan model prediksi tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik bila dilakukan di Cianjur. Hal tersebut dapat difahami mengingat Kabupaten Cianjur tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD.

Hasil analisis untuk kabupaten Indramayu yang diwakili oleh Stasiun Anjatan, Krangkeng dan Kertasemaya menunjukkan bahwa di wilayah tersebut saat memasuki periode September - November tahun 2010 diperkirakan curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya (Gambar 5.5). Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Desember 2010 – Februari 2011. Namun pada saat memasuki periode Maret 2011 – Mei 2011, curah hujan di Anjatan dan Krangkeng diperkirakan berada di bawah normalnya, tepatnya setelah memasuki Maret III.

Dengan kondisi curah hujan tersebut di atas baik di Anjatan, Krangkeng maupun Kertasemaya diperkirakan indeks kecukupan air akan berada di atas batas kritis indeks saat memasuki Oktober II sehingga awal tanam padi lahan tadah hujan dapat dilakukan pada periode tersebut. Potensi masa tanam di Anjatan dan Kertasemaya relatif lebih panjang 3 sampai 4 dasarian dibandingkan dengan di Krangkeng (Gambar 5.6).

Untuk lahan sawah irigasi memasuki September III/ Oktober I diperkirakan defisit ketersediaan air relatif rendah sampai dengan sedang sehingga awal tanam padi dapat dilakukan pada awal Oktober, lebih awal dibandingkan dengan lahan tadah hujan. Potensi waktu tanam pada lahan irigasi lebih panjang 3 sampai 5 dasarian dibandingkan dengan lahan tadah hujan (Gambar 5.7).

Pada kondisi basah, potensi waktu tanam lebih cepat satu dasarian di lahan tadah hujan dan dua dasarian di lahan irigasi dibandingkan pada kondisi normal. Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di bawah rata- rata dan indeks kecukupan air untuk palawija maka disarankan rotasi tanam di lahan tadah hujan adalah Padi-Padi-Bera. Untuk lahan irigasi karena fluktuasi defisit ketersediaan air relatif rendah maka disarankan Padi-Padi-Palawija.

110

Gambar 5.5 Prediksi di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya. (c)

) (b) ) (a)

111

Gambar 5.6. Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya.

(c) (b)

112

Gambar 5.7. Fluktuasi defisit ketersediaan air pada lahan irigasi di (a) Anjatan, (b) Krangkeng dan (c) Kertasemaya.

(c) ) (c) ) (b) ) (a)

113 5.3.2 Model Prediksidi Wilayah Equatorial.

A. Training model

Seperti halnya pada pola hujan monsun, hasil training di wilayah pola hujan Equatorial baik di Pesisisir Selatan maupun Solok menggunakan model dengan jumlah simpul 15. Hasil training menunjukkan perbedaan nilai MSE dan R2 pada wilayah yang terkena dampak (Pesisir Selatan) dan tidak terkena dampak (Solok).

Nilai R2 di Pesisir Selatan yang yang diwakili Stasiun Tarusan dan Batang Kapas berkisar antara 0.71 – 0.76. Nilai tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan di Solok diwakili Stasiun Sumani yang hanya mempunyai nilai R2 antara 0.52 (Tabel 5.2). Model dengan menggunakan input data ENSO maupun IOD di Pesisir Selatan lebih mampu menerangkan total keragaman dengan proporsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Solok. Pola yang ditunjukkan Gambar 5.8 memperkuat presisi model yang dibuktikan dengan kelenturan pola prediksi yang mampu mengikuti pola nilai aktualnya. Sebagian besar nilai-nilai esktrim tinggi dapat dijangkau oleh model dengan baik, demikian juga dengan nilai yang rendah. Variabilitas curah hujan di Pesisir Selatan dapat digambarkan dengan baik dengan menggunakan model yang disusun dengan memasukkan parameter curah hujan, nilai anomali SPL Nino3.4 dan DMI. Berbeda dengan Pesisir Selatan, hasil analisis di Solok menunjukkan kelenturan model sebagian besar tidak mampu mengikuti nilai aktualnya (Gambar 5.8). Sebagian besar nilai tinggi dan rendah tidak mampu digambarkan oleh model sehingga model tidak disarankan untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan di wilayah tersebut.

Tabel 5.2. Jumlah iterasi, Nilai MSE, dan R2 di beberapa stasiun hujan wilayah pola hujan Equatorial.

Stasiun Hujan Jumlah Simpul Nilai Bobot Awal Jumlah Iterasi MSE R 2 (%) PESISIR SELATAN Tarusan 15 0.5 34.391 0.100 0.76 Batang Kapas 15 0.5 23.077 0.048 0.71 SOLOK Sumani 15 0.25 11.950 0.303 0.52

114 (b)

(a)

Gambar 5.8. Hasil training di Stasiun (a) Tarusan, (b) Sutera di Kabupaten Pesisir Selatan dan (c) Sumani di Kabupaten Solok

115

B. Validasi model

Sama halnya dengan di wilayah pola hujan monsun, validasi hanya dilakukan terhadap model terbaik hasil proses training. Hasil validasi untuk Kabupaten Pesisir Selatan ditampilkan dalam Gambar 5.9. Dari gambar terlihat bahwa model mampu memprediksi nilai-nilai curah hujan dengan fluktuasi acak yang seirama dengan nilai aktualnya.

Gambar 5.9. Hasil validasi di Stasiun (a) Tarusan, dan (b) Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan.

(a) )

(b) )

116

C. Prediksi model

Analisis model prediksi pada wilayah curah hujan Equatorial hanya dilakukan di Pesisir Selatan karena berdasarkan hasil training pengembangan model prediksi tersebut tidak menunjukkan hasil yang baik bila dilakukan di Solok. Hal tersebut didukung dengan hasil karakterisasi wilayah yang menunjukkan bahwa Kabupaten Solok tidak terpengaruh baik oleh ENSO maupun IOD.

Hasil analisis untuk kabupaten Pesisir Selatan yang diwakili oleh Stasiun Tarusan menunjukkan bahwa di wilayah tersebut saat memasuki periode September - November tahun 2010 diperkirakan curah hujan sebagian besar berada di atas rata-rata normalnya. Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan periode Maret 2011 – Mei 2011. Curah hujan di Batang Kapas untuk periode September – November berada di bawah rata-rata normalnya saat memasuki September II/III, namun tidak berlangsung lama karena memasuki Oktober I kembali berada di atas rata-rata normalnya hingga Akhir November. Pada periode Desember – Februari, kondisi di bawah normal rata-ratanya terjadi saat memasuki Februari I/II. Pada periode Maret- Mei, curah hujan pada umumnya berada dalam kondisi normal kecuali pada Maret II dan April III, curah hujan di bawah normal rata-ratanya (Gambar 5.10)

Dengan kondisi curah hujan tersebut di atas baik di Tarusan maupun di Batang Kapas, diperkirakan indeks kecukupan air akan berada di atas batas kritis indeks saat memasuki September III. Kondisi tersebut tidak menunjukan pergeseran potensi tanam pada umumnya sehingga awal tanam padi lahan tadah hujan dapat dilakukan pada Akhir September sampai awal Oktober dan berlangsung hingga Maret I/II (Gambar 5.11).

Untuk lahan sawah irigasi memasuki Agustus III/ September I diperkirakan defisit ketersediaan air relatif rendah sampai dengan sedang sehingga awal tanam padi dapat dilakukan pada awal September, lebih awal 1-2 dasarian dibandingkan dengan lahan tadah hujan. (Gambar 5.12).

Karena pada periode Maret – Mei 2011 diperkirakan curah hujan di arata- rata dan indeks kecukupan air lebih dari 0.65 maka disarankan rotasi tanam di lahan tadah hujan maupun irigasi adalah Padi-Padi-Palawija.

117 (b)

Gambar 5.10. Prediksi di (a) Tarusan, dan (b) Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan.

Gambar 5.11. Potensi tanam berdasarkan Fluktuasi indeks kecukupan air pada lahan tadah hujan di (a) Tarusan, (b) dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan (b) ) (a) ) (a)

118 (b)

(a)

Gambar 5.12. Potensi tanam berdasarkan defisit ketersediaan air pada lahan tadah hujan di (a) Tarusan, (b) dan Batang Kapas kabupaten Pesisir Selatan.

Dokumen terkait