• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBELAJARAN PAKEM DALAM PENDIDIKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Paparan Hasil Studi Pendahuluan

Berdasarkan hasil analisis data inventori kematangan emosi remaja pada 194 siswa kelas sebelas Sekolah Menengah Atas Negeri di Kabupaten Sleman Yogyakarta tahun akademik 2008/2009, ditemukan bahwa sebesar 25,38% siswa memiliki tingkat kematangan emosi pada kategori tinggi, 56,17% siswa berada pada kategori sedang, dan 18,45% siswa memiliki tingkat kematangan emosi pada kategori rendah.

Perincian hasil analisis data berdasarkan masing-masing aspek kematangan emosi dijelaskan sebagai berikut:

a. Aspek Pemberian dan Penerimaan Cinta

Aspek pemberian dan penerimaan cinta merupakan kemampuan individu untuk mengekspresikan cinta dan kasih sayang dari orang-orang sekitarnya sebagaimana remaja dapat menerima cinta dari orang-orang yang menyayanginya. Secara deskriptif ditemukan bahwa pada aspek pemberian dan penerimaan cinta terdapat 70 siswa (36,1%) berada dalam kategori tinggi, 69 siswa (35,5%) berada dalam kategori sedang, dan 55 siswa (28,4%) berada dalam kategori rendah.

b. Aspek Pengendalian Emosi

Aspek pengendalian emosi yang matang dimiliki ketika individu menghadapi konflik, menggunakan amarahnya sebagai sumber energi untuk meningkatkan usahanya dalam mencari solusi atau pemecahan masalah. Secara deskriptif ditemukan bahwa pada aspek pengendalian emosi terdapat 31 siswa (16%) berada dalam kategori tinggi, 131 siswa (67,5%) berada dalam kategori sedang, dan 32 siswa (16,5%) berada dalam kategori rendah.

c. Aspek Toleransi terhadap Frustrasi

Kemampuan individu untuk membuat sebuah pertimbangan untuk menggunakan cara-cara atau pendekatan lain, ketika hal yang diinginkan tidak berjalan sesuai keinginan. Secara deskriptif ditemukan bahwa pada aspek toleransi terhadap frustrasi terdapat 48 siswa (24,7%) berada dalam kategori tinggi, 123 siswa (63,4%) berada dalam kategori sedang, dan 23 siswa (11,9%) berada dalam kategori rendah.

d. Aspek Kemampuan Mengatasi Ketegangan

Pemahaman yang baik akan kehidupan menjadikan individu yang matang secara emosi yakin akan kemampuannya untuk memperoleh apa yang diinginkannya sehingga remaja dapat mengatasi ketegangan. Secara deskriptif ditemukan bahwa pada aspek kemampuan mengatasi ketegangan terdapat 48 siswa (24,7%) berada dalam kategori tinggi, 113 siswa (58,3%) berada dalam kategori sedang, dan 33 siswa (17%) berada dalam kategori rendah.

Paparan mengenai profil kematangan emosi remaja pada setiap aspeknya menjelaskan bahwa pada sebagian besar aspek kematangan emosi remaja belum memiliki emosi yang matang, dengan indikasi tingkat kematangan emosi pada masing-masing aspek yang rata-rata tergolong ke dalam kategori sedang dan rendah. Mencermati hal

tersebut maka siswa membutuhkan suatu layanan bimbingan dan konseling untuk meningkatkan emosi menjadi lebih matang.

Model Hipotetik Bimbingan dan Konseling Perkembangan untuk Meningkatkan Kematangan Emosi Remaja

Struktur model bimbingan dan konseling perkembangan untuk meningkatkan kematangan emosi remaja yang dikembangkan meliptui: (a) rasional, (b) tujuan, (c) asumsi dasar dan prinsip-prinsip, (d) populasi sasaran, (e) peranan konselor, (e) prosedur pelaksanaan, dan (f) evaluasi keberhasilan. Penjelasan rincian struktur model dideskripsikan sebagai berikut.

a. Rasional

Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan pendidikan menengah umum sebagai lanjutan pendidikan dasar. Siswa-siswa yang memasuki jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas tergolong pada masa remaja dengan rentang usia 15-19 tahun. Pada masa remaja banyak sekali perubahan yang dialaminya. Perubahan yang terjadi tidak hanya perubahan fisik, namun juga perkembangan intelektual, emosi, sikap, moral, hubungan personal, minat terhadap karir dan ilmu pengetahuan serta keagamaan (Hurlock, 1996).

Mengingat permasalahan-permasalahan emosi remaja, perlu upaya preventif dan beorientasi pada perkembangan dengan pemberian layanan bimbingan kepada siswa untuk meningkatkan kematangan emosinya dari pihak-pihak terkait, baik kepala sekolah, guru, konselor, staf, keluarga, dan masyarakat. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

Dalam hal ini peran konselor menjadi sangat penting dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling di Sekolah Menengah Atas. Menurut perkembangan ilmu bimbingan dan konseling, pada abad 21 ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang beorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan yang dimaksud ialah pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (developmental guidance and counseling). Model bimbingan dan konseling perkembangan pertama kali dikembangkan oleh ASCA (American School

Counselor Association) atau Asosiasi Konselor Sekolah Amerika pada tahun 1997, dan

direvisi pada tahun 2005. ASCA mengartikan bimbingan dan konseling perkembangan sebagai komponen dari keseluruhan layanan bimbingan dan konseling yang meliputi berbagai intervensi yang terencana dalam bidang pendidikan dan program layanan kemanusiaan lainnya yang menyangkut semua lingkup kehidupan manusia untuk menstimulasi dan memfasilitasi perkembangan individu dalam semua area

perkembangannya (personal, sosial, emosi, karir, moral-etika, kognitif, dan estetika) dan memantapkan kesatupaduan area perkembangan ke dalam gaya hidupnya (Myrick, 1993).

b. Tujuan

Tujuan umum bimbingan dan konseling perkembangan adalah memfasilitasi perkembangan psikologis konseli secara optimal, melalui peningkatan fungsi-fungsi dan aspek-aspek perkembangan ke tahapan yang lebih tinggi, dan menghilangkan berbagai hambatan atau rintangan sehingga mencapai perkembangan selanjutnya.

c. Asumsi Dasar dan Prinsip-Prinsip

Sejumlah asumsi yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan model bimbingan dan konseling perkembangan (Yusuf, 2008), antara lain: (1) Pencapaian tugas-tugas perkembangan merupakan tujuan bimbingan dan konseling; (2) Perkembangan pribadi yang optimal terjadi melalui interaksi yang sehat antara individu dengan lingkungannya; (3) Hakikat bimbingan dan konseling terletak pada keterkaitan antara lingkungan belajar dengan perkembangan individu; (4) Konseli dipandang sebagai individu yang mampu memilih tujuan, membuat keputusan, dan berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam mencapai perkembangan dirinya; (5) Konseli adalah seorang pribadi yang unik dan berharga yang berjuang untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Konseli merupakan anggota kelompok, bagian dari budayanya, dan tidak pernah terisolasi dari lingkungan sosialnya; dan (6) Konselor memiliki nilai-nilai, perasaan, dan komitmen yang teguh terhadap dirinya.

Selanjutnya prinsip-prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan model bimbingan dan konseling perkembangan, ialah: (1) Bimbingan dan konseling perkembangan diperuntukkan bagi semua siswa; (2) Bimbingan dan konseling perkembangan berfokus pada pembelajaran siswa (student’s learning); (3) Bimbingan dan konseling perkembangan mengarahkan kepada penerimaan diri (self-acceptance), pemahaman diri (self-understanding), dan peningkatan diri (self-enhancement); (4) Bimbingan dan konseling perkembangan berfokus pada proses memberikan dorongan agar seseorang memiliki keberanian (the encouragement process); (5) Bimbingan dan konseling perkembangan lebih memahami perkembangan sebagai “proses” daripada “ketentuan akhir” (definitive ends); (6) Bimbingan dan konseling perkembangan berorientasi pada sebuah tim dan memerlukan layanan dari seorang konselor profesional yang terlatih; (7) Bimbingan dan konseling perkembangan dapat mengidentifikasi secara awal kemungkinan perlunya layanan bagi siswa yang berkebutuhan khusus (special

psikologis berdasarkan aspek-aspek psikologi anak, aspek-aspek perkembangan anak, dan teori belajar; dan (9) Bimbingan dan konseling perkembangan bersifat fleksibel dan bertahap.

d. Populasi Sasaran

Model bimbingan dan konseling perkembangan bagi peningkatan kematangan emosi remaja berfungsi sebagai layanan pencegahan (preventive) dan pengembangan

(developmental). Berdasarkan fungsi tersebut maka populasi sasaran layanan bimbingan

dan konseling perkembangan adalah semua individu yang mengalami proses perkembangan potensi diri dengan penekanan pada fungsi preventif dan pengembangan. Pada tataran sekolah, semua peserta didik menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling perkembangan terutama dalam meningkatkan salah satu aspek perkembangan emosi, yaitu aspek kematangan emosi.

e. Peranan Konselor

Konselor berperan sebagai fasilitator dan reflektor dalam pelaksanaan model bimbingan dan konseling perkembangan. Sebagai fasilitator, konselor bertugas memimpin, mengatur, mengarahkan, dan mendorong terciptanya iklim kondusif bagi berlangsungnya kegiatan layanan bimbingan dan konseling perkembangan. Konselor sebagai reflektor, berfungsi untuk memberikan rangsangan terhadap pengalaman pribadi siswa dan membantu menginterpretasikannya. Harapannya, siswa dapat mengalami perubahan perilaku yang diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari dalam rangka mencapai peningkatan kematangan emosi.

f. Prosedur Pelaksanaan

Model bimbingan dan konseling perkembangan bagi peningkatan kematangan emosi siswa dilaksanakan selama enam kali sesi pertemuan. Pada sesi pertama dan sesi ke enam digunakan untuk menggali profil kematangan emosi dari para siswa melalui

pretest dan postest. Layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan sebanyak dua kali

dalam seminggu. Setiap pertemuan berlangsung selama 90 menit. Pada setiap sesi pertemuan terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahap membangun hubungan baik (rapport) dan orientasi materi, tahap penyampaian materi dan diskusi, tahap refleksi, dan tahap pengakhiran.

g. Evaluasi Keberhasilan

Keberhasilan model bimbingan dan konseling perkembangan yang telah dilaksanakan dapat dilihat dari dampak atau pengaruhnya. Keberhasilan dapat dimanifestasikan dari segi kuantitatif yang ditandai dengan angka-angka keberhasilan dan

kualitatif yang ditandai dengan perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan perilaku subjek yang mendapat layanan bimbingan dan konseling perkembangan. Secara komprehensif program intervensi memiliki indikator keberhasilan yaitu meningkatnya kematangan emosi remaja sebagai target intervensi. Teknik yang digunakan untuk mengetahui adanya peningkatan kematangan emosi remaja adalah melalui tes dengan instrumen kematangan emosi remaja.