• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Pada pengamatan hari pertama setelah aplikasi (HSA), belum ada D. citri yang mengalami kematian akibat infeksi cendawan. Pada 2 HSA, hanya B. bassiana yang menyebabkan mortalitas D. citri yaitu sebesar 6.67%. Pada hari ketiga baru terlihat masing-masing cendawan menyebabkan mortalitas D.citri. Mortalitas D. citri akibat infeksi B. bassiana dan M. anisopliae cenderung sebanding sampai hari ke-4 setelah aplikasi, sedangkan L. lecanii menyebabkan mortalitas tertinggi pada kerapatan 108 konidia/ml sejak 3 HSA. Efek aplikasi cendawan B. bassiana terlihat jelas mulai 5 HSA sebesar 20%, sedangkan untuk keseluruhan mortalitas yang dise-babkan cendawan terlihat jelas setelah 5 HSA. Pada hari 6 dan 7 dengan ke-rapatan konidia yang sama, B. bassiana menyebabkan mortalitas lebih tinggi diban-dingkan M. anisopliae dan L. lecanii (Tabel 1).

Tabel 1 Mortalitas imago D. citri yang mendapat perlakuan cendawan entomo-patogen Hari setelah Aplikasi Cendawan Mortalitas (%) Kerapatan (konidia/ml) Kontrol 103 104 105 106 107 108 2 B. bassiana 0 0 6.67 1.67 3.33 1.67 1.67 L. lecanii 0 0 0 0 0 0 0 M. anisopliae 0 0 0 0 0 0 0 3 B. bassiana 0 3.33 6.67 5.00 3.33 5.00 3.33 L. lecanii 0 0 5.00 1.67 1.67 5.00 11.67 M. anisopliae 0 3.33 5.00 1.67 0 5.00 1.67 4 B. bassiana 0 5.00 8.33 6.67 3.33 10.00 5.00 L. lecanii 0 1.67 6.67 3.33 1.67 13.33 15.00 M. anisopliae 0 3.33 5.00 3.33 3.33 6.67 8.33 5 B. bassiana 0 5.00 8.33 8.33 11.67 15.00 10.00 L. lecanii 0 1.67 6.67 3.33 5.00 13.33 20.00 M. anisopliae 0 6.67 6.67 3.33 3.33 8.33 11.67 6 B. bassiana 0 10.33 10.00 13.33 21.67 23.33 31.67 L. lecanii 0 1.67 6.67 6.67 8.33 13.33 20.00 M. anisopliae 0 6.67 6.67 5.00 3.33 8.33 25.00 7 B. bassiana 0 10.33 15.00 18.33 26.67 33.33 53.33 L. lecanii 0 1.67 6.67 8.33 11.67 13.33 25.00 M. anisopliae 0 6.67 8.33 5.00 6.67 13.33 28.33

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa mortalitas D. citri akibat infeksi B. bassiana sudah mulai terjadi pada hari kedua, sedangkan kematian imago D. citri oleh M. anisopliae dan L. lecanii mulai terjadi pada hari ketiga. Laju mortalitas kumulatif tertinggi D. citri terjadi pada hari ke-7 pada kerapatan 108 konidia/ml.

Gambar 5 Laju mortalitas kumulatif imago D. citri, akibat infeksi B. bassiana (A), L. lecanii (B) dan M. anisopliae (C).

y = 8.095x - 17.38 R² = 0.761 0 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 7 Rat a-rata m or talitas (% )

Hari setelah aplikasi

A Kontrol 10³ 10 10 10 10 10 Regresi (10 ) y = 4.4046x - 4.5229 R² = 0.9275 0 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 7 Rat a -r ata m or talitas (% )

Hari setelah aplikasi

B

Kontrol 10³ 10 10 10 10 10 Regresi (10 ) y = 5.1782x - 9.9986 R² = 0.902 0 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 6 7 Rat a-rata m or talitas (% )

Hari setelah aplikasi

C

Kontrol 10³ 10 10 10 10 10 Regresi (10 )

Tubuh imago D. citri yang telah mati terinfeksi B. bassina dan L. lecanii ter-lihat diselimuti miselia berwarna putih seperti pada Gambar 6A dan 6B, sedangkan bangkai D. citri yang terinfeksi M. anisopliae diselimuti miselia yang awalnya ber-warna putih kemudian berubah menjadi ber-warna hijau (Gambar 6C).

Gambar 6 Imago D. citri yang terinfeksi cendawan entomopatogen, B. bassiana (A), L. lecanii (B) dan M. anisopliae (C)

Pengamatan mikroskop cendawan yang tumbuh menyerang serangga me-nunjukkan konidia B. bassiana tidak bersepta, berbentuk bundar dan hialin serta tidak berwarna (Gambar 7A). Konidia L. lecanii berbentuk silinder hingga elips, terdiri dari satu sel, tidak bersepta, tidak berwarna. Setiap tangkai menopang 5-10 konidia yang terbungkus dalam kantong lendir (Gambar 7B). Konidia M. anisopliae bersel satu, tidak bersepta, berbentuk silindris, konidia membentuk rantai pararel jika jumlahnya banyak, berwarna hijau terang atau kuning kehijauan (Gambar 7C). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Humber (1997).

Gambar 7 Konidia cendawan yang berada pada tubuh D. citri yang terinfeksi, B. bassiana (A), L. lecanii (B) dan M. anisopliae (C) dengan perbesaran 400x

Hasil uji patogenisitas L. lecanii terhadap telur D. citri menunjukkan bahwa seluruh kerapatan konidia yang digunakan pada penelitian tidak memengaruhi per-kembangan telur D. citri. Analisis statistika menunjukkan bahwa tidak ada perbe-daan yang nyata antara telur D. citri yang diaplikasikan suspensi konidia L. lecanii dengan kontrol. Hampir 100% telur D. citri masih mampu menetas walaupun telah diberi perlakuan suspensi konidia L. lecanii. Semua kerapatan konidia yang diuji

tidak dapat menginfeksi telur D. citri dan telur menetas normal (Tabel 2 dan Gambar 8).

Tabel 2 Telur D. citri yang tidak menetas setelah aplikasi L. lecanii

Kerapatan konidia Telur tidak menetas (%) + SD

0 (Kontrol) 0 + 0 a 104 0 + 0 a 105 2.78 + 2.42 a 106 0.90 + 1.56 a 107 1.28 + 2.22 a 108 2.47 + 2.19 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda diartikan memiliki perbedaan yang nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain pada taraf uji 0.05 menurut uji Duncan.

Gambar 8 Telur D. citri dengan perbesaran 200x, telur belum menetas dan masih menempel pada tanaman (A), telur telah menetas dan masih menempel pada tanaman (B), telur belum menetas (C) dan telur telah menetas (D)

Telur D. citri memiliki tangkai pada bagian pangkal telur yang menancap pa-da jaringan tanaman. Tangkai papa-da telur berfungi untuk mengokohkan posisi telur agar tidak terlepas dari tanaman. Pada bagian ujung, telur D. citri memiliki rongga udara. Nimfa instar I yang menetas keluar melalui sisi lateral telur, dan mening-galkan cangkang telurnya.

Pembahasan

Hasil uji L. lecanii, B. bassiana dan M. anisopliae terhadap imago D. citri menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen mampu menginfeksi dan menye-babkan mortalitas D. citri. Pada 2 HSA cendawan B. bassiana sudah memengaruhi kematian imago D. citri, sedangkan L. lecanii dan M. anisopliae belum dapat me-nyebabkan mortalitas D. citri. Mortalitas akibat infeksi B. bassiana tertinggi pada 2 HSA sebesar 6.67% pada kerapatan 104 konidia/ml. Kematian imago D. citri yang disebabkan oleh infeksi cendawan membutuhkan waktu karena cendawan membu-tuhkan beberapa tahap proses untuk sampai menginfeksi dan mematikan serangga, yaitu penempelan konidia pada tubuh serangga, perkecambahan, penetrasi, invasi, dan kolonisasi dalam hemosel, jaringan dan organ. Waktu untuk masing-masing ta-hap ini bervariasi tergantung pada jenis cendawan, inang dan lingkungan (Neves & Alves 2004). Mortalitas imago D. citri akibat infeksi B. bassiana sudah mulai

ter-jadi pada hari kedua. Hal ini sesuai dengan pernyataan Steinhaus (1999) bahwa B. bassiana mampu berkecambah pada 24-48 jam setelah kontak bila kondisi lingkungan lembab. Kematian serangga akibat cendawan biasanya terjadi 2 hari sampai 14 hari setelah terinfeksi, namun kematian bisa pula terjadi kurang dari 24 jam. Besheli et al. (2006) menyatakan cendawan entomopatogen harus cocok de-ngan inangnya dan menghasilkan kombinasi enzim yang baik untuk dapat melaku-kan penetrasi tergantung kepada beberapa faktor patogenisitas, di antaranya faktor kesesuaian inang dan sifat fisiologis cendawan.

Pada 3 HSA B. bassiana menyebabkan kematian pada imago D. citri dengan mortalitas tertinggi 6.67% pada kerapatan 104 konidia/ml, L. lecanii sebesar 11.67% pada kerapatan 108 konidia/ml dan M. anisopliae sebesar 5% pada kerapat-an 104 dan 107 konidia/ml. Setelah 3 HSA baru terlihat M. anisopliae dan L. lecanii menyebabkan mortalitas terhadap D. citri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Neves dan Alves (2004) yang menunjukkan bahwa penempelan konidia M. anisopliae pada kutikula Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera; Termitidae) ter-jadi sampai 6 jam setelah aplikasi dan perkecambahan mulai terter-jadi antara 6-12 jam setelah aplikasi. Penetrasi terjadi 12-48 jam setelah inokulasi dan kematian serang-ga terjadi antara 72-96 jam setelah inokulasi. Adanya perbedaan patogenisitas terse-but dipengaruhi oleh asal isolat dan genetik dari cendawan terseterse-but. Hal ini sesuai dengan penyataan Trizelia (2005) bahwa sifat genetik dan fisiologi cendawan me-miliki peranan penting dalam patogenitas atau virulensi cendawan terhadap serang-ga hama.

Selanjutnya pada 4-5 HSA kematian imago D. citri terus bertambah namun hasil analisis ragam pada pada 4-5 HSA menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara cendawan yang diuji (Lampiran 4). Perbedaan nyata ditunjukkan oleh perbe-daan kerapatan (Lampiran 4). Akan tetapi pada 6-7 HSA sudah terlihat perbeperbe-daan nyata antara cendawan (DF= 2, F hit= 13.50, P< 0.0001) (Lampiran 6) dan kerapat-an ykerapat-ang digunakkerapat-an (DF= 6, F hit= 14.04, P< 0.0001) (Lampirkerapat-an 6). Mortalitas ima-go D. citri tertinggi disebabkan infeksi B. bassiana yaitu sebesar 53.33% pada kera-patan 108 konidia/ml diikuti oleh M. anisopliae sebesar 28.33% pada kerapatan 108 konidia/ml. L. lecanii menyebabkan mortalitas terendah yaitu sebesar 25% pada ke-rapatan 108 konidia/ml. Hal ini sejalan dengan penelitian Pacheco et al. (2013), B. bassiana dapat menyebabkan mortalitas pada D. citri sebesar 60.66% pada kerapat-an 108 konidia/ml dan M. anisopliae dapat menyebabkan mortalitas pada D. citri sebesar 49.02% pada kerapatan 108 konidia/ml. Persentase mortalitas lebih rendah ditunjukkan hasil penelitian Dwiastuti et al. (2007) bahwa B. bassiana hanya dapat menyebabkan mortalitas pada D. citri sebesar 31.99% pada kerapatan 108 koni-dia/ml dan M. anisopliae hanya dapat menyebabkan mortalitas pada D. citri sebesar 14.41% pada kerapatan 108 konidia/ml.

Infeksi isolat B. bassiana mengakibatkan mortalitas D. citri yang tinggi yaitu sebesar 53.33%. Beberapa peneliti telah menguji keefektifan B. bassiana dengan isolat yang berbeda terhadap beberapa jenis hama di antaranya Agustin (2014) me-laporkan B. bassiana menyebabkan mortalitas pada O. furnacalis sebesar 61.25% pada kerapatan 108 konidia/ml. Isolat cendawan yang sama juga menyebabkan mor-talitas pada C. formicarius sebesar 44.44% pada kerapatan 108 konidia/ml (Ahdiaty 2013) dan pada hama kubis C. pavonana sebesar 65% pada kerapatan 108 koni-dia/ml (Trizelia 2005).

Hal yang berbeda ditunjukkan oleh infeksi L. lecanii. Pada penelitian ini in-feksi L. lecanii menyebabkan mortalitas yang rendah yaitu sebesar 25%. Kim et al. (2001) melaporkan bahwa L. lecanii menyebabkan mortalitas A. gossypii mencapai 50%. Gindin et al. (2000) juga menyatakan bahwa L. lecanii menyebabkan morta-litas kutu kebul B. argentifolii mencapai 52%. Cuthbertson et al. (2005) bahkan me-nunjukkan bahwa aplikasi cendawan tersebut menyebabkan mortalitas T. palmi di atas 90%.

Hal yang sama ditunjukkan oleh infeksi M. anisopliae. Pada penelitian ini in-feksi M. anisopliae juga menyebabkan mortalitas yang rendah yaitu sebesar 28.33%. Hasyim et al. (2009) melaporkan M. anisopliae dapat mematikan larva C. pavonana sampai 50.83%, Widianti (2010) mendapatkan hasil bahwa M. anisopliae dapat mematikan larva S. litura instar II sampai 47.5%. Hasil penelitian Freed et al. (2012) menunjukkan M. anisopliae menyebabkan mortalitas larva S. exigua sampai 87.5%. Bahkan mortalitas larva C. sacchariphagus diperoleh sampai 100% akibat infeksi M. anisoplie dalam penelitian Sianturi et al. (2014). Secara kumulatif apli-kasi menggunakan B. bassiana, L. lecanii dan M. anisopliae menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia yang digunakan, maka semakin tinggi pula morta-litas imago D. citri. Mortalitas serangga sangat ditentukan oleh kerapatan konidia cendawan yang digunakan. Kerapatan konidia yang optimal untuk mengendalikan hama bergantung pada jenis serangga hama yang akan dikendalikan. Meskipun mortalitas yang diakibatkan M. anisopliae dan L. lecanii yang diteliti rendah, na-mun setelah aplikasi di lapangan serangga yang mati akibat infeksi cendawan dapat menjadi sumber inokulum untuk infeksi selanjutnya. Hal ini yang membedakan de-ngan aplikasi insektisida kimia yang kurang memungkinkan terjadinya akumulasi mortalitas di lapangan.

Namun tingkat mortalitas serangga yang rendah juga dapat ditingkatkan bila aplikasi ditambah menjadi tiga kali berturut-turut selama 3 hari (Prayogo & Suhar-sono 2005). Sehingga hal ini mengindikasikan bahwa aplikasi cendawan entomopa-togen perlu dilakukan lebih dari satu kali, apalagi bila serangga hama mempunyai siklus hidup yang terdiri atas beberapa stadia. Aplikasi berulang diperlukan pula untuk mengantisipasi faktor lingkungan yang kurang mendukung sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Umur biakan saat aplikasi cendawan juga sangat meme-ngaruhi virulensi cendawan. Biakan cendawan yang paling efektif adalah berumur 3-4 minggu. Pada biakan berumur 2 atau 3 bulan, nutrisi dalam media banyak digu-nakan untuk memproduksi konidia sehingga cendawan kehabisan cadangan nutrisi. Sehingga kualitas dan kuantitas nutrisi dari media sangat memengaruhi virulensi cendawan entomopatogen.

Persamaan regresi mortalitas D. citri akibat infeksi B. bassiana pada kerapat-an konidia 108 konidia/ml adalah y = 8.095x – 17.380 dengan R2 = 0.761. Nilai ke-miringan yang terbentuk sebesar 8.095. Semakin besar nilai R2, maka tanggap po-pulasi terhadap perlakuan semakin homogen. Setiap individu memiliki kepekaan yang relatif sama jika populasi homogen (Himawati 2003). Data mortalitas D. citri akibat infeksi L. lecanii (y = 4.405x – 4.523, R2 = 0.928) dan M. anisopliae (y = 5.178x – 9.999, R2 = 0.902) memiliki homogenisitas lebih tinggi dibandingkan de-ngan B. bassiana. Persamaan regresi ini berguna untuk memperkirakan persentase mortalitas (y) yang didapatkan pada hari tertentu (x). Hasil dari persamaan didapat-kan dengan memasukdidapat-kan nilai x (hari ke-) pada persamaan regresi. Jika nilai y

(per-sentase mortalitas) bernilai minus maka dianggap nol, karena belum ada kematian dan kematian tidak benilai minus.

Menurut Goettel dan Inglis (1997) kemampuan patogen untuk bisa menim-bulkan infeksi pada serangga ditentukan oleh tiga faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan cara aplikasi akan memengaruhi mortali-tas serangga, sedangkan dari segi inang, berbagai faktor fisiologi dan morfologi inang memengaruhi kerentanan serangga terhadap cendawan entomo-patogen. Se-lanjutnya Neves dan Alves (2004) menambahkan bahwa waktu infeksi sampai ke-matian serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari isolat. Cendawan entomopatogen biasanya menyebabkan kematian pada serangga inang dengan satu atau beberapa cara seperti toksinasi, defisiensi nutrisi, dan merusak jaringan. Kema-tian serangga biasanya terjadi karena toksinasi yang disebabkan cendawan, selan-jutnya rusaknya jaringan-jaringan tubuh serangga karena dipenuhi miselia yang me-nyebar dengan cepat dan memenuhi hemosel serangga inang, semua cairan inang digunakan untuk multipikasi cendawan sehingga menyebabkan serangga inang ma-ti dengan tubuh mengeras (Trizelia 2005). Toksin yang dihasilkan cendawan me-nyebabkan kenaikan pH hemolimfa, penggumpalan dan terhentinya peredaran he-molimfa serangga inang. Menurut penelitian Vey et al. (2001) toksin juga dapat menimbulkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan dan pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Be-berapa toksin yang dihasilkan oleh B. bassiana adalah bassianin, beauvericin, bassianolide, beaverolides dan tenellin. Sedangkan yang dihasilkan L. lecanii ada-lah dipcolonic acid, hydroxy carboxylic acid dan cyclosporin. Selanjutnya toksin yang dihasilkan M. anisopliae adalah destruxin, viridoxin dan cyclic peptide toxin.

Tingkat patogenisitas cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh perbedaan genetik, asal isolat dan faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Ketiga fak-tor di atas memengaruhi kemampuan cendawan entomopatogen untuk tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan inang. Secara umum isolat yang memiliki fisiologi yang baik (daya kecambah konidia dan sporulasi yang ting-gi) akan lebih virulen. Selain faktor virulensi, kemampuan patogen yang untuk bisa hidup dan bertahan di lingkungan merupakan salah satu faktor penting dalam keber-hasilan pengendalian hayati. Beberapa cendawan entomopatogen bersifat virulen dan membunuh serangga inang dalam waktu yang singkat dan yang lainnya menye-babkan infeksi kronik yang lama (Tanada & Kaya 1993).

Daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari fase pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integumen serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan keberhasilan cenda-wan dalam pertumbuhan selanjutnya. Faktor lingkungan (sinar matahari, kelembab-an, dan temperatur) sangat menentukan keberhasilan proses infeksi di samping fak-tor ganti kulit (moulting) dari serangga (Luz et al. 1998). Tubuh serangga yang ter-infeksi dan mati, bisanya akan mengalami mumifikasi dan terlihat diselimuti mise-lia cendawan. Imago D. citri yang telah mati yang terinfeksi B. bassina dan L. lecanii terlihat diselimuti miselia berwarna putih, sedangkan yang terinfeksi M. anisopliae diselimuti miselia berwarna putih kemudian berubah menjadi warna hi-jau. Menurut laporan Jaurhalina (1999) hifa muncul menembus integumen yang pa-ling lunak, yaitu di antara ruas-ruas tubuh serangga dan alat mulutnya. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa tidak semua bangkai imago D. citri yang ter-infeksi cendawan akan muncul miselia keluar dari tubuhnya. Hal ini terjadi karena

kondisi lingkungan yang kurang sesuai untuk perkembangan miselia cendawan di luar tubuh inangnya (Trizelia 2005).

Hasil uji patogenisitas L. lecanii terhadap telur D. citri menunjukkan bahwa seluruh kerapatan konidia yang digunakan pada penelitian tidak memengaruhi perkembangan telur D. citri. Hampir 100% telur D. citri masih mampu menetas wa-laupun telah diberi perlakuan suspensi konidia L. lecanii. Semua kerapatan konidia yang diuji tidak dapat menginfeksi telur D. citri dan telur menetas normal. Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa telur D. citri yang telah diaplikasi dengan L. lecanii tidak memperlihatkan adanya gejala infeksi L. lecanii. Hal ini me-nunjukkan bahwa L. lecanii tidak bisa menginfeksi telur D. citri. Tidak terjadinya infeksi pada telur mungkin disebabkan oleh sifat fisik dan kimia telur D. citri yang diduga menghalangi tabung kecambah konidia menembus ke bagian dalam telur. Selain itu masa inkubasi telur D. citri hanya selama 2-3 hari sehingga konidia L. lecanii tidak memiliki waktu yang cukup untuk menembus dan menginfeksi ke ba-gian dalam telur karena pada penelitian tahap pertama, L. lecanii mampu meng-infeksi dan mematikan imago D. citri mulai hari ke-3 setelah aplikasi. Jadi telur te-lah menetas sebelum L. lecanii mampu menginfeksi telur. Hasil penelitian Del Prado et al. (2008) menunjukkan L. lecanii belum dapat menginfeksi telur Aleurodicus cocois (Hemiptera: Aleyrodidae) sampai hari ke-2 setelah aplikasi dan kematian te-lur tertinggi pada hari ke-7 setelah aplikasi yaitu sebesar 82.5% pada kerapatan 108 konidia/ml.

Penelitian lain menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Del Prado et al. (2008) di antaranya hasil penelitian Park et al. (2010) menunjukkan bahwa apli-kasi beberapa strain Lecanicillium dapat mematikan lebih dari 70% telur Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) pada kerapatan 106 konidia/ml, lama inkubasi te-lur B. tabaci adalah 5.8 hari. Hasil penelitian Prayogo (2009) menunjukkan bahwa aplikasi L. lecanii pada kerapatan 108 konidia/ml dapat mematikan telur Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae) sebesar 91% dimana lama inkubasi telur R. linearis adalah 6.37 hari (Mawan et al. 2011). Solikhah (2013) melaporkan dalam hasil penelitiannya bahwa aplikasi L. lecanii pada kerapatan 109 konidia/ml dapat mema-tikan telur Helopeltis sp. sebesar 70% dan pada kerapatan 108 konidia/ml sebesar 57.50% dimana lama inkubasi telur Helopeltis sp. adalah 10.5 hari (Srikumar et al. 2013).

Dos-Santos dan Gregorio (2003) mengemukakan bahwa telur serangga terdiri dari tiga lapisan, yaitu (1) eksokorion yang mengandung karbohidrat, (2) endoko-rion tersusun dari protein, dan (3) lapisan kristalin paling dalam yang mengandung protein. Lapisan ini mempunyai banyak fungsi di antaranya melindungi embrio dari serangan mikroba. James et al. (2003) mengemukakan bahwa lapisan lilin pada se-rangga dapat menghambat perkecambahan konidia cendawan. Selanjutnya Smith dan Grula (1982) mengemukakan bahwa beberapa jenis asam lemak seperti caprylic acid yang ada pada permukaan tubuh serangga dapat menghambat perke-cambahan konidia cendawan. Meeks et al. (2002) mengemukakan cendawan gagal menginfeksi telur karena cangkang telur menunjukkan adanya senyawa anti cenda-wan yang menghambat perkecambahan konidia. Dengan demikian, calon embrio dapat melepaskan diri dari infeksi dari dalam telur.

Dokumen terkait