• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan dan Pencirian Natrium silikat

Natrium silikat disintesis melalui dua tahap. Tahap pertama adalah penyiapan silika dan kedua, pelarutan basa dengan NaOH (destruksi) yang diikuti dengan peleburan. Penyiapan silika meliputi, pengabuan sekam pada suhu 600 ºC selama 2 jam, dilanjutkan pencucian dengan HCl. Pencucian dengan HCl bertujuan untuk melarutkan oksida lain selain SiO2 berupa oksida-oksida logam seperti MgO, K2O, dan CaO yang terdapat dalam abu sekam padi (Kalapathy et al

6

2000). Penggunaan HCl dikarenakan SiO2 tidak larut dalam asam apapun selain dalam HF. Selanjutnya, abu sekam padi dilarutkan dalam NaOH, kemudian dilakukan peleburan 500 °C. Peleburan pada suhu 500 °C didasarkan pertimbangan titik leleh NaOH, yaitu 318 °C sehingga pada suhu tersebut NaOH terdisosiasi sempurna membentuk ion Na+ dan OH-. Pelarutan yang diikuti dengan peleburan ini bertujuan agar pada proses perubahan abu sekam menjadi natrium silikat (Na2SiO3) menjadi sempurna (Muljiyanti 2010). Natrium silikat (Na2SiO3) yang diperoleh berwujud padatan berwarna putih kehijauan.

Natrium silikat yang diperoleh dianalisis menggunakan FTIR dan SEM-EDX. Hasil analisis Na2SiO3 dengan FTIR ditunjukkan pada Gambar 1, sementara interpretasi pola serapan ditampilkan pada Tabel 2.

Gambar 1 Spektrum FTIR sampel natrium silikat (Na2SiO3) Tabel 2 Daerah vibrasi sampel natrium silikat (Na2SiO3)

Bil. Gelombang Na2SiO3 (cm-1) Vibrasi Sumber

1500-3700 Hpada gugus Si-OH 2O dan Tekuk -OH Efinov 2003

950-1250 Ulur asimetri Si-O-Si

dan Si-O- Mufrodi 2010

500-800 Tekuk Si-O-Si Macdonald 2000

7

Natrium silikat (Na2SiO3) hasil sintesis juga dianalisis dengan EDX untuk mengetahui unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Hasil EDX natrium silikat (Na2SiO3) ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Hasil EDX sampel natrium silikat (Na2SiO3)

Hasil EDX menunjukkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam Na2SiO3 sintetis, yaitu oksigen 71.89%, natrium 22.63%, dan silikon 5.39%. Berdasarkan data di atas, diperkirakan Na2SiO3 yang disintesis telah menjerap H2O. Hal ini dibuktikan dengan adanya serapan H2O dan vibrasi tekuk gugus Si-OH di bil. gelombang 1500-3700 cm-1 pada spektrum FTIR dan perubahan warna Na2SiO3 dari putih kehijauan menjadi coklat. Hasil EDX juga menunjukkan Na2SiO3 sintetis tidak terdeteksinya pengotor, yaitu berupa atom C atau karbon akibat pembakaran sekam padi pada suhu 600 °C dan logam-logam pengotor seperti MgO, K2O, dan CaO yang menunjukkan bahwa logam-logam tersebut telah larut dalam HCl pada proses pencucian abu sekam padi (Hikmawati 2010). Natrium silikat (Na2SiO3) hasil sintesis kemudian digunakan sebagai sumber silika pada sintesis zeolit X.

Sintesis Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2

Bahan baku yang digunakan mensintesis zeolit adalah kaolin, karena kaolin memiliki komponen utama, silika dan alumina sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembentukan kerangka zeolit. Sintesis zeolit X ini memerlukan nisbah Si/Al sebesar 1.0 – 1.5, namun dari hasil analisis EDX kaolin (Lampiran 2) diperoleh nisbah Si/Al hanya sebesar 0.73, sehingga tidak mencukupi untuk membentuk zeolit X. Oleh sebab itu dilakukan penambahan sumber silika lain, yaitu natrium silikat (Na2SiO3) hasil sintesis dari abu sekam.

Kaolin yang akan digunakan terlebih dahulu dikalsinasi pada suhu 700 °C selama 6 jam untuk menghilangkan gugus hidroksil (-OH) yang terikat secara kimia sehingga terbentuk metakaolin. Metakaolin hasil kalsinasi dianalisis dengan XRD, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

O

Na

8

Gambar 3 Difraktogram sampel metakaolin

Hasil XRD kalsinasi kaolin menjadi metakaolin menunjukan puncak difraktogram yang landai atau dapat dikatakan bahwa metakaolin yang diperoleh berbentuk amorf. Hal ini dikarenakan kalsinasi atau pemanasan yang menguapkan H2O dan melepaskan ikatan -OH pada kaolin sehingga kaolin yang kristalin menjadi lebih amorf (Mitra GB dan Nhattacherjee 1969). Thamavong (2003) menyatakan reaksi kimia dehidroksilasi kaolin menjadi metakaolin adalah sebagai berikut:

Si2O5(OH)4Al2 Al2Si2O7 + 2H2O Kaolin Metakaolin

Selanjutnya, metakaolin yang diperoleh dilarutkan dalam NaOH dan Na2SiO3. Penambahan NaOH ini bertujuan untuk mengaktivasi komponen Si dan Al pada metakaolin menjadi fase mineral yang mudah larut, yaitu natrium silikat dan amorf alumina silikat, dimana lebih lanjut digunakan dalam formasi zeolit selama proses hidrotermal, sedangkan Na2SiO3 sebagai sumber silika lain selain dari kaolin. Sebelum proses hidrotermal, larutan tersebut dipanaskan pada suhu 40 °C selama 24 jam, proses ini disebut proses pemeraman. Pada proses pemeraman terjadi pembentukan inti kristal dan dilanjutkan dengan pembentukan kristal selama proses hidrotermal pada suhu 100 °C selama 24 jam.

Zeolit hasil sintesis dicuci hingga pH netral. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan material yang tidak menjadi bagian dari pembentukan zeolit yang mungkin ada di permukaan dan larut dalam air dan kemudian dikeringkan untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit.

9

Sintesis nanokomposit zeolit/TiO2 dilakukan dengan perbandingan 85% metakaolin:15% TiO2 dengan bobot total 2.0 gram. Penambahan TiO2 ini untuk memanfaatkan sifat fotokatalis TiO2 sehingga dihasilkan material yang bersifat adsorben-fotokatalis. Sintesis nanokomposit zeolit/TiO2 menggunakan NaOH dan Na2SiO3 pada kondisi sintesis sama seperti sintesis zeolit X yang telah dijelaskan diatas.

Pencirian Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2 dengan XRD

Pencirian zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 dengan teknik difraksi sinar-X pada kondisi sebagai berikut: atom target Cu, panjang gelombang 1.5406 Å, voltase 40 kV, dan arus 30 mA. Proses pemindaian pada rentang sudut 5-80º. Difraksi sinar X digunakan untuk mengidentifikasi jenis mineral zeolit yang terkandung dan kristalinitasnya. Puncak difraksi yang didapatkan dari data pengukuran dicocokkan dengan standar difraksi sinar X, yaitu JCPDS ( Joint Commited on Powder Difraction Standards). Hasil XRD sampel zeolit ditunjukkan pada Gambar 4.

Sampel A

Sampel B

Gambar 4 Difraktogram sampel zeolit A dan B

= Zeolit P1 = Zeolit X = Faujasite Zeolit NaP1

10

Hasil XRD sampel A menunjukkan zeolit yang terbentuk merupakan zeolit tipe NaP1, sedangkan sampel B terbentuk campuran zeolit, yaitu zeolit NaP1, faujasite, dan zeolit X. Hasil XRD setiap sampel dianalisis dengan

membandingkan sudut 2θ sampel dengan 2θ pada data JCPDS (Lampiran 3).

Sampel B diperoleh zeolit X dengan pengotor zeolit lain. Hal ini disebabkan oleh zeolit X yang bersifat tidak stabil secara termodinamika dibandingkan zeolit P dan hidroksisodalit (Breck 1974).

Gambar 5 Difraktogram sampel nanokomposit zeolit/TiO2

Sintesis nanokomposit zeolit/TiO2 mengikuti kondisi pada sintesis sampel zeolit A. Hal ini dilakukan karena pada kondisi tersebut menghasilkan zeolit yang lebih murni tanpa adanya campuran zeolit lain, yaitu zeolit NaP1. Pola difraksi sampel nanokomposit zeolit/TiO2 pada Gambar 5 menunjukkan bahwa jenis zeolit yang diperoleh adalah zeolit NaP1 dan sudut 2θ TiO2 di 25.3353. Data sudut 2θ

nanokomposit zeolit/TiO2 dan JCPDS ditunjukkan pada Lampiran 4. Keberadaan TiO2 pada difraktogram di atas dapat disimpulkan bahwa sintesis nanokomposit zeolit/ TiO2 berhasil.

Pencirian Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2 dengan SEM

Hasil mikroskop pemindai elektron (SEM) pada Gambar 6 adalah jenis mikroskop elektron yang gambar permukaan sampel dipindai dengan menggunakan sinar elektron berenergi tinggi dalam pola pemindai pixel. SEM digunakan untuk mengetahui struktur mikro suatu material meliputi tekstur, morfologi, komposisi, dan informasi kristalografi permukaan sampel. Hasil SEM sampel A dan B ditunjukan pada Gambar 6.

TiO2, anatase

11

Sampel A

Sampel B

Gambar 6 Hasil analisis SEM sampel A dan B Zeolit NaP1

Zeolit X/ Faujasite Zeolit NaP1

12

Hasil analisis SEM sampel A dengan perbesaran 2500x menunjukkan bentuk partikel zeolit jenis P1 dengan bentuk partikel yang bulat dan kisaran diameter partikel 1-10 µm, sedangkan sampel B dengan perbesaran 1000x menunjukkan adanya campuran jenis zeolit. Hal ini terlihat dari bentuk partikel yang berbeda-beda. Hasil SEM sampel B sesuai dengan hasil analisis XRD yang menyatakan terdapatnya campuran zeolit pada sampel tersebut seperti zeolit X, zeolit NaP1, dan faujasite. Zeolit X dan faujasite memiliki bentuk partikel/

framework yang sama, sedangkan zeolit NaP1 memiliki bentuk partikel yang bulat.

Gambar 7 Hasil SEM (A) zeolit dan (B) nanokomposit zeolit/TiO2 A

13

Perbedaan hasil SEM sampel zeolit dengan dan tanpa penambahan TiO2 ditunjukan pada Gambar 7. Hasil SEM zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 menunjukkan bahwa dengan penambahan TiO2 mengubah permukaan dan pori-pori zeolit, terlihat dari hasil SEM nanokomposit zeolit/TiO2 yang memiliki pori-pori lebih besar. Hal ini disebabkan oleh pergantian kation logam yang berukuran kecil (Na+) dengan kation logam yang diameternya lebih besar (Ti2+) sehingga pori tersebut mengembang. Melalui teknik ini porositas zeolit akan menjadi besar, dan oksida-oksida logam (TiO2) sebagai agen pemilar dapat digunakan untuk katalis (Desfita 2009). Ukuran partikel dari sampel nanokomposit zeolit/TiO2 yang disintesis ini tidak menunjukkan ukuran nano, yaitu sekitar 9 µm tetapi sampel ini dapat dikatakan sebagai nanokomposit karena TiO2 itu sendiri sudah berukuran nanometer, sekitar 7 nm.

Pengaruh Konsentrasi NaOH terhadap Kristalinitas Zeolit

Sintesis zeolit pada penelitian ini menggunakan pelarut NaOH atau pada pH basa karena pada pH tersebut di dalam larutan akan terjadi polimerisasi ion-ion pembentuk zeolit. Sintesis suatu zeolit dipengaruhi oleh ion-ion yang ada dalam campuran tersebut. Pada pH > 6 terbentuk anion Al(OH4)- atau AlO2- yang merupakan anion pembentuk zeolit yang berasal dari sumber alumina. Hal ini akan berbeda jika larutan dalam keadaan asam, yaitu pada pH 1 sampai pH 4, karena spesies Al yang dominan adalah [Al(H2O)6]3+. Keberadaan kation tersebut akan menghambat pembentukan kerangka aluminosilikat dari zeolit. Kerangka zeolit juga dipengaruhi oleh keberadaan anion dari silikat. Pada pH > 12, akan terbentuk ion Si(OH)4- yang merupakan ion utama dalam pembentukan kerangka zeolit (Hamdan 1992).

Variasi konsentrasi NaOH yang digunakan, yaitu 1.5 N dan 2.5 N. Variasi konsentrasi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan konsentrasi NaOH terhadap kristalinitas zeolit yang diperoleh (Lampiran 5). Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kristalinitas zeolit sintetis ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kristalinitas zeolit

Sampel Perlakuan Kristalinitas (%)

Metakaolin (g) NaOH (N)

Sampel A 2.0 1.5 50.62

Sampel B 2.0 2.5 75.40

Kristalinitas sampel A dengan konsentrasi NaOH 1.5 N, yaitu 50.62% dan 75.40% sampel B dengan konsentrasi NaOH 2.5 N. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi NaOH menyebabkan kristalinitas zeolit yang diperoleh meningkat. Konsentrasi NaOH mempengaruhi laju kristalisasi zeolit. Peningkatan konsentrasi NaOH menyebabkan jumlah Si dan Al terlarut meningkat sehingga laju kristalisasi zeolit juga meningkat (Wijaya 2002).

Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Penentuan panjang gelombang maksimum larutan standar BM (0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5; dan 3.0 mg/l) dilakukan pada konsentrasi 2.0 mg/l agar konsentrasi analat yang kecil dan besar dapat dibaca. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena pada panjang gelombang maksimum respon sinyal/absorbans berada dalam kondisi maksimum sehingga akan memiliki

14

sensitivitas yang baik dan limit deteksi yang rendah serta mengurangi kesalahan dalam pengukuran. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh adalah 664.5 nm (Lampiran 6) dan persamaan garis kurva standar biru metilena adalah y=0.2914x-0.0994 dengan R = 0.9930 R2 = 0.9861.

Uji Adsorpsi Biru Metilena oleh Zeolit dan Nanokomposit Zeolit/TiO2

Zeolit hasil sintesis kemudian diuji kemampuannya sebagai adsorben dalam menjerap zat warna. Zat warna yang digunakan adalah biru metilena. Biru metilena digunakan karena interaksinya dengan air akan menghasilkan ion dari biru metilena yang bermuatan positif, sedangkan zeolit memiliki muatan negatif akibat substitusi ion Al3+ terhadap Si4+ dalam struktur jaringannya dan dinetralkan dengan kation alkali atau alkali tanah. Kation-kation ini dapat dipertukarkan dengan kation biru metilena sehingga biru metilena terjerap. Larutanbiru metilena dibuat dengan berbagai variasi konsentrasi untuk mengetahui kapasitas adsorpsi terbesar dari zeolit. Larutan biru metilena dikocok bersama-sama dengan zeolit, agar adsorben dapat tersebar secara merata disetiap bagian dengan harapan dapat menjerap zat warna dengan sempurna dan dapat menghasilkan daya adsorpsi yang maksimum. Setelah tercapai kesetimbangan, zat yang tidak teradsorpsi dipisahkan dari adsorben dengan sentrifuga, kemudian konsentrasi sisa larutan biru metilena diukur dengan spektrofotometer UV-Vis di λ maksimum 664.5 nm. Data penentuan kapasitas adsorpsi zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 ditunjukkan pada Lampiran 7-9.

Variasi konsentrasi larutan biru metilena yang digunakan untuk uji adsorpsi zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2, yaitu 75. 100, 150, 200, dan 300 mg/l. Konsentrasi biru metilena terbesar yang diadsorpsi oleh zeolit dan nanokomposit zeolit/TiO2 adalah pada konsentrasi awal BM 300 mg/l, yaitu sebesar 152.505 mg/l untuk sampel zeolit A, 149.259 mg/l untuk sampel zeolit B dan nanokomposit zeolit/TiO2 sebesar 143.240 mg/l.

Penentuan kapasitas adsorpsi sampel zeolit A, B, dan nanokomposit zeolit/TiO2 terbesar terjadi pada konsentrasi awal BM 300 mg/l, yaitu berturut-turut sebesar 45.71; 43.14; 43.01 mg/l. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mouzdahir et al. (2007), bahwa kapasitas adsorpsi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal larutan biru metilena. Semakin besar konsentrasi awal biru metilena yang diberikan maka semakin besar pula molekul biru metilena yang terjerap oleh sampel zeolit. Hal ini terjadi apabila keberadaan tapak aktif sampel untuk menjerap zat warna masih memungkinkan untuk menjerap larutan biru metilena.

Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat dalam fluida dan dalam permukaan adsorben pada suhu tertentu. Pada penelitian ini, adsorpsi biru metilena oleh zeolit dan nanokomposit diuji dengan dua persamaan, yaitu persamaan Freundlich dan Langmuir (Lampiran 10-12). Nilai kuadrat terkecil (R2) isoterm adsorpsi yang diperoleh pada zeolit A, B, dan nanokomposit zeolit/TiO2 ditunjukkan pada Tabel 4.

15

Tabel 4 Nilai kuadrat terkecil (R2) isoterm adsorpsi biru metilena

Sampel Isoterm R2

Zeolit A Langmuir 0.9799

Freundlich 0.9890

Zeolit B Langmuir 0.9626

Freundlich 0.9874

nanokomposit Zeolit/TiO2 Langmuir 0.9686

Freundlich 0.9651

Nilai kuadrat terkecil (R2) dari kedua persamaan tersebut, yaitu Langmuir dan Freundlich yang memiliki nilai R2 yang paling besar atau mendekati satu merupakan kurva yang paling sesuai. Berdasarkan nilai kuadrat terkecil (R2), adsorpsi biru metilena oleh sampel zeolit A dan B mengikuti persamaan Freundlich, sedangkan nanokomposit mengikuti persamaan Langmuir (Tabel 4). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa sampel zeolit A dan B memiliki pusat-pusat aktif adsorben heterogen dan adsorbat membentuk lapisan multimolekuler pada permukaan adsorben, sedangkan nanokomposit zeolit/TiO2 mengikuti persamaan Langmuir, dimana proses adsorpsi terjadi membentuk satu lapisan dan memiliki pusat-pusat aktif yang identik (Edwin et al 2005).

Uji Fotodegradasi

Fotodegradasi merupakan proses penguraian suatu senyawa (biasanya senyawa organik) dengan bantuan energi cahaya (foton). Fotodegradasi biasanya memerlukan fotokatalis, yang umumnya merupakan bahan semikonduktor, salah satunya adalah TiO2. Uji fotodegradasi ini dilakukan pada sampel nanokomposit zeolit/TiO2, zeolit, dan TiO2 terhadap zat warna biru metilena dengan perlakuan tanpa dan dengan disinari sinar UV. Serbuk TiO2 yang digunakan adalah titanium oksida anatase P 25. Setiap sampel tersebut disinari lampu UV pada λ 365 nm

selama 6 jam, karena pada panjang gelombang tersebut energi foton mampu mengeksitasi elektron pada pita valensi dari TiO2 anatase yang memiliki bandgap

λ< 385 nm ke pita konduksi yang menyebabkan timbulnya lubang elektron pada

pita valensi dan elektron di pita konduksi. Kemudian hole (H+) bereaksi dengan pelarut membentuk radikal OH yang merupakan oksidator kuat, sedangkan elektron pada pita konduksi akan bereaksi dengan oksigen di lingkungan menghasilkan radikal superoksida (O2-) yang bersifat reduktor. Radikat-radikal tersebut bersifat aktif dan dapat terus terbentuk sehingga bereaksi dan menguraikan senyawa organik target (Fatimah et al 2006). Setelah penyinaran selesai, dilakukan pengukuran serapan filtrat masing-masing sampel tersebut dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ 200-700 nm. Mekanisme reaksi yang terjadi pada proses fotodegradasi dengan TiO2 adalah sebagai berikut:

TiO2 + UV TiO2 (e- + h+)

TiO2 (h+) + H2O TiO2 + ˙OH + H+ TiO2 (e-) + O2 TiO2 + ˙O2

16

Nanokomposit zeolit-TiO2 hasil sintesis dapat berperan sebagai fotokatalis dengan bantuan sinar UV seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Hal ini dibuktikan dari memudarnya warna biru metilena yang teradsorpsi pada sampel nanokomposit zeolit-TiO2 setelah disinari sinar UV, sedangkan pada sampel nanokomposit yang tidak disinari UV, tidak terjadi proses fotodegradasi melainkan hanya terjadi proses adsorpsi, karena TiO2 tidak aktif menguraikan senyawa organik tanpa adanya sinar UV (foton) untuk membentuk radikal (•OH-) atau (•O2-).

A

Zeolit TiO2 Nanokomposit

B

Zeolit TiO2 Nanokomposit

Gambar 8 Hasil uji fotodegradasi (A) tanpa penyinaran UV, (B) dengan penyinaran UV selama 6 jam

Adanya aktivitas fotokatalisis juga dapat dilihat dengan membandingkan serapan sinar UV pada filtrat nanokomposit yang diberi perlakuan dengan dan tanpa penyinaran sinar UV (Gambar 9). Hasil serapan filtrat setiap sampel dalam uji fotokatalis ditunjukkan pada Lampiran 13.

17

Gambar 9 Serapan filtrat nanokomposit zeolit/TiO2 ( ) dengan dan ( ) tanpa penyinaran UV dan ( ) larutan biru metilena

Serapan filtrat nanokomposit tanpa perlakuan penyinaran masih menunjukkan adanya serapan biru metilena yang ditunjukkan dengan λ

maksimum sebesar 663 nm yang merupakan λ khas dari larutan biru metilena, sedangkan serapan filtrat nanokomposit dengan penyinaran UV sudah tidak menunjukkan adanya serapan biru metilena yang ditunjukkan dengan munculnya

puncak baru dengan λ maksimum sebesar 607.5 nm. Maka dapat disimpulkan

bahwa aktivitas fotokatalis ini dapat terlihat dari perubahan warna sampel nanokomposit menjadi tidak berwarna yang menghasilkan senyawa baru yang lebih sederhana dan terjadi penurunan panjang gelombang (λ) serapan. Senyawa baru ini tidak diketahui identitasnya.

Dokumen terkait