• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Parameter Lahan Kritis

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Wilayah Administras

5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Parameter Lahan Kritis

Pemilihan parameter lahan kritis yang digunakan untuk menilai lahan kritis pada penelitian ini ditentukan berdasarkan: (1) analisis matriks melalui perbandingan parameter dan kriteria-kriteria lahan kritis yang telah dipublikasikan sebelumnya; (2) parameter yang berbasis spasial; dan (3) konsep terjadinya lahan kritis. Untuk yang pertama dipilih berdasarkan kriteria yang telah dipublikasikan sebelumnya yaitu berasal dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997), Kementerian Lingkungan Hidup (2000), Kementerian Kehutanan (2009), Mashudi (2010) dan Barus et al. (2011). Untuk yang kedua diambil dari Kementerian Kehutanan (2009) dan Barus et al. (2011), sedangkan untuk yang ketiga mengacu pada Arsyad (2010). Rincian parameter yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5, adapun matriks perbandingan parameter tersaji pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8 Matriks perbandingan parameter penentu lahan kritis

Parameter penentu lahan kritis Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) Kriteria Kementerian Lingkungan Hidup (2000)

Kementerian Kehutanan (2009) Kriteria lahan kritis semi-detil (Mashudi 2010) Kriteria lahan kritis tingkat Kabupaten (Barus et al. 2011) Kawasan lindung Kawasan budidaya pertanian Kawasan lindung diluar hutan Tutupan/ Vegetasi Bahaya erosi (singkapan batuan) Lereng Sifat-sifat tanah √ √ √ Iklim (curah hujan) √ √ √ Pengelolaan √ √ √ Kedalaman tanah √ Produktifitas

Berdasarkan analisis matriks seperti tersaji pada Tabel 8, dapat diketahui bahwa parameter dominan yang menjadi faktor penentu lahan kritis pada dasarnya

adalah “tutupan lahan/vegetasi”, “bahaya erosi”, dan “lereng”. Adapun melihat dari basis spasial, maka parameter ditambah “iklim (curah hujan)” dan

“pengelolaan”, sedangkan untuk “sifat-sifat tanah” dan “produktifitas” tidak dipilih karena kedua parameter tersebut hanya digunakan untuk kawasan tertentu, dan dari basis konsep terjadinya lahan kritis, parameter ditambah dengan “indeks

penggunaan lahan”, yaitu gambaran adanya penggunaan lahan yang melampaui batas kemampuan lahannya. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya akan mengakibatkan terjadinya “bahaya erosi”, namun, bahaya erosi dapat dikurangi dengan upaya pengelolaan tanah. Parameter pengelolaan dapat didekati dengan adanya “kerapatan tutupan lahan (vegetasi)”, yakni makin rapat vegetasi maka makin efektif melindungi tanah.

Mengingat bahwa untuk penilaian bahaya erosi berbasis pada parameter- parameter tanah, lereng, dan curah hujan, dimana parameter lereng sudah dipakai di dalamnya, maka parameter yang akan digunakan untuk penilaian lahan kritis dalam penelitian ini (skala Meso) meliputi : (1) indeks penutupan/penggunaan lahan; (2) bahaya erosi; dan (3) kerapatan vegetasi. Berdasarkan hal tersebut, maka hasil penilaian terhadap parameter lahan kritis di daerah penelitian diuraikan berikut ini.

Penilaian Parameter Lahan Kritis Indeks Penutupan/penggunaan Lahan

Penilaian indeks penutupan/penggunaan lahan ditentukan dengan cara membandingkan antara kelas kemampuan lahan dengan penutupan/penggunaan lahan eksisting. Metode penilaian untuk indeks penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Bab Metode Penelitian.

Kelas kemampuan lahan

Berdasarkan hasil penilaian kelas kemampuan lahan, didapatkan bahwa 44% kelas kemampuan lahan di daerah penelitian berada pada kelas VI -VII. Luasan masing-masing kelas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 9, sedangkan persebaran spasialnya disajikan pada Gambar 16.

Tabel 9 Luas kelas kemampuan lahan

No. Kelas Kemampuan Lahan Luas

Km2 % 1 Kelas I 910,67 9 2 Kelas II – III 1.231,44 12 3 Kelas IV 3.597,02 35 4 Kelas VI – VII 4.594,88 44 5 Kelas VIII 76,39 1 Jumlah 10.410,40 100

Ciri kelas kemampuan lahan VI-VII yang dominan ini adalah mempunyai faktor pembatas berupa kelerengan. Lereng pada kriteria ini berkisar antara kemiringan 25% hingga 60% dengan luas 4.594,88 Km2 atau 44 % dari luasan lokasi penelitian. Kemampuan lahan terkecil terdapat pada kelas kemampuan VIII yang merupakan bentanglahan pegunungan terjal dan berbatu dengan luas 76,39Km2 (1%) dan mempunyai faktor pembatas berupa kelerengan.

Untuk kelas kemampuan lahan V tidak dimasukkan ke dalam kategori lahan kritis, karena kelas V merupakan lahan yang datar, tidak terancam erosi, sering tergenang air dan selalu mengalami banjir (Hardjowigeno 2007).

Gambar 16 Persebaran kelas kemampuan lahan di lokasi penelitian

Penutupan/penggunaan lahan

Sebaran penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian diperoleh dari data sekunder (BPDAS, 2011) dan data ini selanjutya dilakukan penyederhanaan menjadi 12 (dua belas) kelas, yakni hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, mangrove, kebun campuran, lahan pertanian (ladang/tegalan), permukiman, perkebunan, semak/belukar, sawah, tanah terbuka dan tubuh air (Lampiran Gambar 1). Dari data tersebut didapatkan bahwa kelas penggunaan lahan yang mendominasi di lokasi penelitian adalah lahan pertanian (ladang/tegalan), yang mencakup 3.629,36 Km2 (34.86%) (Tabel 10). Secara keseluruhan sebaran penggunaan lahan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Persebaran penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian (2011)

Tabel 10 Luas penutupan/penggunaan lahan

No. Penutupan/ penggunaan Lahan Luas

Km2 % 1 Hutan Primer 66,28 0,64 2 Hutan Sekunder 756,13 7,26 3 Hutan Tanaman 1.286,67 12,36 4 Mangrove 0,27 0,00 5 Kebun Campuran 1.699,80 16,33

6 Lahan Pertanian (ladang/tegalan) 3.629,36 34,86

7 Permukiman 522,67 5,02 8 Perkebunan 731,13 7,03 9 Semak/Belukar 163,53 1,57 10 Sawah 1.419,84 13,64 11 Tanah Terbuka 91,15 0,88 12 Tubuh Air 43,17 0,41 Jumlah 10. 410,40 100,0

Berdasarkan kelas kemampuan dan penggunaan lahan yang diperoleh, maka peta indeks penutupan/penggunaan lahan dapat dihasilkan dengan cara analisis matriks seperti yang disajikan pada Tabel 11. Hasilnya luasan dari masing-masing kelas indeks dapat dilihat pada Tabel 12, sedangkan peta indeks penggunaan lahan disajikan pada Gambar 18.

Tabel 11Matriks indeks penutupan/penggunaan lahan Penutupan/penggunaan

lahan*

Kemampuan lahan

Kelas I Kelas II-III Kelas IV Kelas VI-VII Kelas VIII

Hutan Primer 1 1 1 1 1 Hutan Sekunder 1 1 1 1 2 Hutan Tanaman 1 1 1 2 3 Perkebunan 1 1 2 3 4 Kebun Campuran 1 2 3 3 4 Permukiman 1 1 3 4 5 Pertanian (ladang/tegalan) 1 2 3 4 5 Sawah 1 2 4 4 5 Semak/Belukar 5 5 5 5 5 Tanah Terbuka 5 5 5 5 5

Keterangan :1 = Sangat Baik; 2 = Baik; 3 = Sedang ; 4 = Buruk; 5 = Sangat Buruk * Penilaian ini tanpa menilai kelas tutupan Mangrove dan Tubuh Air. Tabel 12 Luas indeks penutupan/penggunaan lahan

No. Indeks penutupan/penggunaan Lahan Luas

Km2 % 1 Sangat baik 2.236,49 21 2 Baik 2.013,06 19 3 Sedang 4.170,69 40 4 Buruk 1.775,18 17 5 Sangat buruk 214,99 2 Jumlah 10.410.40 100

Dengan melihat Tabel 12 maka dapat diketahui bahwa indeks

penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh kelas “sedang”,

yaitu berkisar 4.170,69 Km2 atau 40% dari total luas lokasi penelitian. Indeks

kelas “sedang” ini pada umumnya berisi penggunaan lahan pertanian (ladang/tegalan) yang tersebar di hampir seluruh wilayah penelitian yang berada di lahan-lahan dengan tingkat kemampuan lahan yang beragam.

Indeks penggunaan yang tergolong “sangat baik” terdapat pada punggung

hingga puncak gunung dengan tutupan lahan hutan. Walaupun daerah ini tergolong sangat baik, namun jika penutup lahannya terganggu maka lahan ini akan cepat mengalami proses degradasi karena kelas kemampuan lahannya tergolong kelas VI – VII (diperuntukan sebagai daerah konservasi air, konservasi biodiversitas dan penyedia jasa lingkungan).

Pada indeks penggunaan lahan yang tergolong “baik” mempunyai

penggunaan sawah dan permukiman yang memang sesuai dengan kemampuan dan peruntukannya. Penggunaan lahan sawah termasuk dalam indeks penggunaan

yang “baik” hingga “sangat baik”, karena lahan sawah diusahakan pada lahan- lahan yang umumnya datar sampai landai dengan tingkat kemampuan lahan tergolong kelas I – II. Lahan pertanian (ladang/tegalan) tersebar di seluruh wilayah dengan kelerengan yang beragam, mulai dari 0 % hingga 35% dengan kelas kemampuan lahan I – VI, sehingga indeks penggunaan lahannya tergolong

“baik”, “sedang”, sampai “buruk”. Penggunaan lahan yang berada pada indeks “buruk” inilah yang sangat rawan mengalami lahan kritis, jika lahan tersebut tidak

dikelola dengan baik (seperti menggunakan teknik konservasi lahan).

Gambar 18 Persebaran indeks penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian

Kerapatan Vegetasi

Hasil analisis NDVI menghasilkan nilai yang berkisar antara -1 hingga +1. Dalam hal ini nilai yang mendekati -1 mempunyai warna yang gelap pada citra yang diinterpretasikan sebagai lahan-lahan yang mempunyai penutupan vegetasi sedikit (kerapatan rendah) hingga tidak memiliki vegetasi. Sebaliknya nilai yang mendekati +1 dengan tampilan warna yang terang pada citra diinterpretasikan sebagai lahan yang memiliki vegetasi dengan kerapatan tinggi.

Wahyunto et al. (2007) mengkelaskan tingkat kerapatan vegetasi dengan nilai NDVI menjadi 5 (lima) kelas kerapatan, yakni sangat rapat dengan nilai NDVI >0,35; rapat 0,35 – 0,25; cukup < 0,25 – 0,15; jarang < 0,15 – 0,03; dan sangat jarang < 0,03. Gambaran hasil analisis NDVI dapat dilihat pada Gambar 19 dan Lampiran Gambar 2, adapun luasan tiap kelas NDVI disajikan pada Tabel 13.

Gambar 19 Persebaran kerapatan vegetasi di lokasi penelitian Tabel 13 Luas kerapatan vegetasi

No. Kerapatan Vegetasi Luas

Km2 % 1 Sangat Rapat 658,71 6 2 Rapat 2.384,89 23 3 Sedang 2.768,97 27 4 Jarang 2.303,23 22 5 Sangat Jarang 2.294,60 22 Jumlah 10.410,40 100

Pada Tabel 13 menunjukan bahwa kelas kerapatan vegetasi yang tergolong

terdapat pada puncak-puncak gunung dan bukit dengan jenis tutupan lahan berupa

hutan. Untuk kelas kerapatan “rapat” dan “cukup rapat” tersebar di seluruh

wilayah dengan penggunaan lahan perkebunan, lahan pertanian (ladang/tegalan), kebun campuran, dan sawah, sedangkan untuk permukiman dan tanah terbuka

yang termasuk ke dalam kelas kerapatan “jarang” dan “sangat jarang” (tidak

memiliki vegetasi) mempunyai lokasi yang secara umum memusat di daerah perkotaan.

Nilai NDVI yang tersebar pada nilai -1 hingga +1 mempunyai nilai rataan 0,148 dan standard deviasi 0,152. Nilai NDVI ini kemudian dibagi menjadi 5 kelas, yang didominasi oleh kelas 0,15 hingga 0,25 atau kategori “kelas sedang”. Kelas ini pada umumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian (ladang/tegalan) sehingga sesuai dengan dominasi luas pada peta penutupan/penggunaan lahan (Gambar 17). Sebaran nilai NDVI ini dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20 Persebaran NDVI

Bahaya Erosi

Konsep bahaya erosi merujuk pada besarnya potensi erosi yang terjadi pada suatu kawasan yang dapat diukur berdasarkan tingkat kedetilan pengamatan (Arsyad 2010). Pada tingkat Makro, bahaya erosi dianalisis secara umum (tinjau) berdasarkan faktor iklim, dengan parameter curah hujan yang menggambarkan nilai-nilai erosivitas hujan pada interval kelas tertentu. Pada tingkat Mikro potensi bahaya erosi secara detil dianalisis dengan menggunakan pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equaliton) pada suatu bidang lahan (Wischmeier dan Smith 1978 dalam Hardjowigeno 2007).

Dalam penelitian ini penilaian bahaya erosi dibatasi pada tingkat Meso dan ditentukan dengan pendekatan USLE, yakni dengan mengoverlay data spasial fisik lahan berupa curah hujan, tanah, lereng, dan dengan asumsi bahwa vegetasi dan tindakan konservasi bernilai satu (Arsyad 2010).

Berdasarkan metode analisis tersebut, maka peta bahaya erosi di lokasi penelitian dapat dihasilkan seperti yang disajikan pada Gambar 21 dengan luas masing-masing kelas ditampilkan pada Tabel 14.

Gambar 21 Persebaran bahaya erosi di lokasi penelitian Tabel 14 Luas bahaya erosi

No. Bahaya Erosi Luas

Km2 % 1 Sangat Ringan 303,78 3 2 Ringan 1.635,57 16 3 Sedang 2.897,94 28 4 Tinggi 4.404,02 42 5 Sangat Tinggi 1.169,09 11 Jumlah 10.410,40 100

Menurut Tabel 14, maka lokasi penelitian memiliki tingkat bahaya erosi yang didominasi oleh kelas “tinggi”, yaitu seluas 42% dari seluruh luas wilayah. Jika dilihat dari kondisi fisik wilayah (Bab VI) seperti curah hujan, tanah dan kemiringan lereng, maka lokasi penelitian merupakan wilayah yang memiliki kondisi fisik yang sangat sesuai untuk mendukung laju peristiwa erosi.

Untuk daerah penelitian curah hujan tertinggi (4.000 mm/th) terdapat di Kabupaten Bogor bagian selatan serta Kabupaten Sukabumi bagian utara. Tanah yang umumnya didominasi oleh material piroklastik, terdapat di tengah-tengah lokasi penelitian, adapun wilayah yang memiliki sifat-sifat tanah yang sangat

rentan terhadap erosi menyebar hampir di seluruh wilayah penelitian. Kondisi curah hujan dan tanah yang rentan, tentu saja akan mempercepat peristiwa erosi, keadaan ini diperparah dengan topografi di lokasi penelitian yang berbukit hingga bergunung dengan lereng yang curam. Hal ini tentu saja mengakibatkan bahaya erosi di daerah penelitian tergolong berat, apalagi dengan penggunaan lahan yang umumnya diusahakan untuk areal lahan pertanian (ladang/tegalan) dan perkebunan pada lereng-lereng gunung tanpa tindakan konservasi yang baik.

Pemetaan Lahan Kritis

Berdasarkan hasil overlay di antara parameter-parameter penentu bahaya lahan kritis (indeks penggunaan lahan, kerapatan vegetasi, dan bahaya erosi), maka dapat dihasilkan peta persebaran lahan kritis seperti yang disajikan pada Gambar 22. Adapun luasan dari masing-masing kelas lahan kritis disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Luas persebaran lahan kritis

No. Lahan kritis Luas

Km2 % 1 Tidak Kritis 892,57 9 2 Agak Kritis 3.220,45 31 3 Kritis Sedang 4.307,77 41 4 Kritis 1.774,77 17 5 Sangat Kritis 214,84 2 Jumlah 10.410,40 100

Dari Tabel 15 di atas dapat diketahui bahwa lahan dengan kategori agak kritis memiliki luasan yang paling tinggi, yakni 4.307,77Km2 yang mencapai 41% dari total seluruh lokasi penelitian, sedangkan kategori lahan sangat kritis hanya mencapai 214,84 Km2atau hanya 2% dari seluruh lokasi penelitian.

Berdasarkan hasil pengamatan lapang menunjukan bahwa model pemetaan lahan kritis ini cukup baik, karena dari 15 titik validasi (masing-masing 5 titik sample pada tiga kabupaten) yang diambil secara purposive di lapang, terdapat 13 di antaranya termasuk dalam kategori “agak kritis”, “kritis sedang” dan “kritis” yang tepat dengan hasil pemetaan yang dibuat. Hasil validasi disajikan pada Lampiran Tabel 7 dengan sebaran titik sample (untuk verifikasi dan validasi lapang) disajikan pada Lampiran Gambar 3. Untuk luasan tiap kelas kekritisan pada masing-masing kabupaten pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16 berikut.

Tabel 16 Luas persebaran lahan kritis di setiap kabupaten

Kelas Kritis

Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur Kabupaten Sukabumi Luas Lokasi Penelitian Km2 % Km2 % Km2 % Km2 % Tidak Kritis 352.59 13 249.26 7 290.73 7 892,57 9 Agak Kritis 1063.01 40 1245.94 34 911.51 22 3 220,45 31 Kritis Sedang 950.03 36 1387.90 38 1969.83 48 4 307,77 41 Kritis 265.78 10 643.26 18 865,73 21 1 774,77 17 Sangat Kritis 32.42 1 92.18 3 90,23 2 214,84 2 Jumlah 2 663,83 100 3 618,54 100 4 128,03 100 10 410,40 100 Berdasarkan Tabel 16 di atas, Kabupaten Bogor memiliki kelas bahaya lahan kritis yang didominasi oleh kelas “agak kritis” (36%) dan kelas “kritis sedang” (36%). Kedua kelas lahan kritis ini umumnya berada pada daerah dengan kemiringan lereng 8 – 15%, yang meliputi kelas kemampuan lahan II – III, dimana penggunaan lahannya berupa sawah, lahan pertanian (tegalan/ladang), kebun campuran, dan lahan terbangun; sedangkan untuk kelas kekritisan “sangat kritis”, kabupaten ini memiliki luasan yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua kabupaten lainnya. Kelas “sangat kritis” di Kabupaten Bogor berada di bagian barat dan timur, yang tersebar di lereng-lereng bukit. Kelas kemampuan lahan pada wilayah ini tergolong kelas VI dengan faktor pembatas lereng, serta

memiliki indeks penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan yang tergolong buruk, yakni didominasi oleh penggunaan lahan berupa tanaman pertanian (tegalan/ladang), semak, dan sebagian lahan perkebunan.

Untuk Kabupaten Cianjur umumnya didominasi oleh kelas bahaya “kritis sedang” (38%) yang umumnya terdapat di Kabupaten Cianjur Selatan dan “agak kritis” (34%) yang penyebarannya sebagian besar meliputi wilayah utara. Di wilayah ini mempunyai indeks penggunaan lahan yang cenderung “baik” sampai sedang. Pada bagian utara hingga bagian tengah kabupaten ini, penggunaan lahan umumnya berupa lahan sawah dan lahan pertanian (tegalan/ladang), sedangkan pada bagian tengah dan selatan yang cenderung bergelombang dan berbukit digunakan sebagai lahan pertanian (tegalan/ladang), kebun campuran, dan perkebunan. Kelas “kritis” (18%) dan kelas “sangat kritis” (3%) tersebar di wilayah bagian tengah hingga ke selatan dan sebagian di utara yang memiliki kelas kemampuan lahan VI dengan faktor pembatas lereng, selanjutnya lahan yang berlereng ini digunakan untuk lahan pertanian (tegalan/ladang) maupun kebun campuran dengan kerapatan vegetasi dari cukup rapat hingga jarang, lahan ini teridentifikasi memiliki tingkat pengelolaan lahan yang kurang baik.

Untuk Kabupaten Sukabumi memiliki kelas bahaya kritis yang didominasi oleh kelas “kritis sedang” (48%). Kabupaten ini secara umum memiliki kondisi fisik wilayah yang berombak hingga bergunung, dengan kelas kemampuan lahan berkisar III – VI dengan faktor pembatas kelerengan. Seperti halnya penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur bagian tengah – selatan, Kabupaten Sukabumi memiliki penggunaan lahan yang umumnya didominasi oleh lahan pertanian (tegalan/ladang) dan perkebunan. Kelas “sangat kritis” tersebar di bagian utara, tepatnya berada pada lereng-lereng gunung yang dijadikan sebagai areal lahan pertanian(tegalan/ladang), namun karena wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi, maka daerah ini tergolong memiliki bahaya erosi yang tinggi, serta masih banyak terdapat semak belukar dan tanah terbuka yang mengakibatkan kabupaten ini memiliki kelas kritis yang tinggi.

Deskripsi tiap kelas bahaya lahan kritis berdasarkan wilayah kabupaten dapat dilihat pada Lampiran Tabel 8, adapun gambaran keadaan di lapang dapat dilihat pada Lampiran Gambar 4, 5, dan 6. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa lahan-lahan yang tergolong berbahaya untuk menjadi kritis meliputi daerah yang mempunyai lereng curam, curah hujan tinggi, dan tanah yang relatif rentan terhadap erosi, sedangkan penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Sebagai contoh : dataran tinggi yang diusahakan untuk tanaman hortikultura berada pada lahan berlereng curam (>25%), dengan metode penanaman memotong garis kontur. Kegiatan ini menggambarkan alih fungsi lahan dari bervegetasi rapat (hutan) menjadi lahan dengan vegetasi yang jarang (ladang/tegalan) hingga tidak bervegetasi (Lampiran Gambar 6).

Faktor fisik lahan tidak dapat dikendalikan atau bersifat relatif permanen, namun usaha pengendalian tentu saja dapat dilakukan. Salah satunya adalah dengan cara memprediksi penutupan/penggunaan lahan ke depan, agar lahan- lahan yang tergolong berbahaya menjadi lahan kritis dapat diketahui sedini mungkin.

Model Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan

Jenis penggunaan lahan sangat berperan terhadap proses degradasi lahan, karena terkait dengan tutupan lahan yang berfungsi mengurangi energi kinetik air hujan terhadap tanah (Sitorus et al. 2011). Selain pentingnya jenis penggunaan lahan, kemampuan dan peruntukan lahan juga berpengaruh terhadap proses degradasi lahan (Baharuddin 2010). Dengan kata lain penggunaan lahan yang berada pada kemampuan lahan yang baik dan sesuai dengan peruntukan lahannya, maka tergolong sangat baik dalam menjaga lahan dari proses degradasi. Untuk melihat potensi lahan menjadi kritis, analisis perubahan penggunaan lahan perlu dilakukan dengan asumsi bahwa kejadian lahan kritis sangat dipengaruhi oleh perubahan penutupan/penggunaan lahan, dalam hal ini kerapatannya, yaitu dari lahan yang bervegetasi rapat ke lahan yang bervegetasi jarang. Sebagai contoh adalah dari lahan hutan (primer, sekunder ataupun hutan tanaman, dan perkebunan) berubah menjadi lahan pertanian (tegalan/ladang), permukiman, semak belukar, atau bahkan menjadi lahan terbuka. Secara spasial perubahan penutupan/penggunaan lahan dapat dianalisis dengan tiga tahapan menggunakan aplikasi Land Change Modeler dan menggunakan data multi-temporal.

Data penutupan/penggunaan lahan multi-temporal yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari lima titik tahun, yakni tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011. Berdasarkan data penutupan/penggunaan lahan tersebut dapat diketahui luas masing-masing penutupan/penggunaan pada seperti tersaji pada Tabel 17 berikut.

Tabel 17 Luas penggunaan lahan lokasi penelitian pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 Penggunaan lahan 2000 2003 2006 2009 2011 Km2 % Km2 % Km2 % Km2 % Km2 % Hutan Primer 66.28 1 66.28 1 66.28 1 66.28 1 66.28 1 Hutan Sekunder 887.39 9 887.39 9 765.35 7 760.20 7 756.13 7 Hutan Tanaman 1297.60 12 1297.60 12 1243.65 12 1179.51 11 1286.67 12 Mangrove 0.27 0 0.27 0 0.27 0 0.27 0 0.27 0 Perkebunan 925.98 9 922.99 9 900.09 9 889.13 9 731.53 7 Pertanian (ladang/ tegalan) 2334.76 22 2175.00 21 1875.00 18 1898.24 18 3629.36 35 Kebun Campuran 2200.00 21 2255.57 22 2700.00 26 2723.06 26 1699.80 16 Sawah 1900.00 18 1900.00 18 1800.00 17 1830.24 18 1419.84 14 Permukiman 202.77 2 316.06 3 398.48 4 398.14 4 522.67 5 Semak/ Belukar 314.55 3 316.17 3 344.02 3 346.71 3 163.53 2 Tanah Terbuka 237.63 2 229.90 2 274.08 3 275.46 3 91.15 1 Tubuh Air 43.18 0 43.18 0 43.18 0 43.18 0 43.18 0 Jumlah 10410.40 100 10410.40 100 10410.40 100 10410.40 100 10410.40 100

Berdasarkan Tabel 17 lahan pertanian (ladang/tegalan) dan kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang dominan di lokasi penelitian, walaupun dengan luasan yang cenderung berubah-ubah tiap tahunnya, namun kedua kelas penggunaan lahan ini tetap merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terdapat di lokasi penelitian. Untuk hutan primer dan mangrove memiliki luasan yang cenderung tetap, sedangkan hutan sekunder dan perkebunan memiliki trend perubahan lahan yang cenderung menurun dari yang semula 9% pada tahun 2000 menjadi 7% pada tahun 2011. Penggunaan lahan sawah juga memiliki trend yang terus menurun tiap tahunnya, dari 18% pada tahun 2000 menjadi 14% pada tahun 2011; sedangkan untuk penggunaan lahan yang cenderung meningkat adalah permukiman (lahan terbangun), dengan luasan yang mula-mula hanya 2% pada tahun 2000, namun pada tahun 2011 terus meningkat mencapai 5%. Secara grafis, dinamika perubahan penutupan/penggunaan lahan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2000 – 2011 Berdasarkan data di atas, model perubahan lahan (land change modeler) dijalankan dengan metode Artificial Neural Network (ANN) dengan 3 (tiga) tahap analisis. Tahap (1) analisis perubahan lahan, (2) potensi transisi, dan (3) prediksi perubahan lahan. Pada penelitian ini, perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian disimulasi dari tahun 2000 hingga 2011 yang selanjutnya akan digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan pada tahun 2022.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2000 2003 2006 2009 2011 Tubuh Air Tanah Terbuka Semak/ Belukar Pemukiman Sawah Kebun Campuran Pertanian kering Perkebunan Hutan Mangrove Hutan Tanaman Hutan Sekunder Hutan Primer Luas Tahun

Analisis perubahan lahan (Change analysis)

Hasil pemodelan perubahan penutupan/penggunaan lahan antara tahun 2000 hingga tahun 2011 di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 24 berikut.

Gambar 24 Perubahan penutupan/penggunaan lahan antara tahun 2000 dan 2011 (Km2)

Dari Gambar 24 di atas, dapat dilihat bahwa kebun campuran mengalami pengurangan luas lahan yang cukup besar, selanjutnya sawah, lahan pertanian (ladang/tegalan), hutan tanaman, perkebunan dan hutan sekunder; namun disisi lain lahan pertanian (ladang/tegalan) dan permukiman mengalami penambahan luas yang sangat besar. Hutan sekunder cenderung menurun dan mengalami kehilangan luas yang cukup signifikan tanpa adanya penambahan luasan. Selain itu, tanah terbuka dan semak belukar pun mengalami pengurangan luas; sedangkan untuk tutupan lahan hutan primer dan tubuh air, tidak mengalami perubahan atau tetap.

Lahan pertanian (ladang/tegalan) dan kebun campuran, merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terdapat di lokasi penelitian, dengan luasan lahan yang cenderung berubah-ubah. Hal ini dikarenakan lahan pertanian (ladang/tegalan) dan kebun campuran memiliki sifat perubahan yang dapat balik (reversible). Hutan sekunder dan sawah, memiliki perubahan lahan yang cenderung menurun dengan sifat perubahan yang tidak dapat balik (irreversible), yakni jika hutan sekunder dan sawah telah beralih fungsi, maka sulit untuk dikembalikan pada penggunaan semula; sedangkan permukiman, tentu saja memiliki kecenderungan yang terus meningkat tiap tahunnya akibat bertambahnya populasi penduduk.

Simulasi perubahan penutupan/penggunaan lahan ini sesungguhnya juga ditunjang oleh faktor-faktor pendorong yang mengakibatkan perubahan penutupan/penggunaan lahan. Beberapa faktor pendorong perubahan penutupan/penggunaan lahan, berasal dari faktor ekonomi, sosial/budaya, dan

lingkungan (lahan), yakni dengan akses jalan, sungai, permukiman, kepadatan penduduk, kesuburan tanah, iklim serta topografi lahan (Wijaya 2011). Dari beberapa faktor yang menyebabkan perubahan penutupan/penggunaan lahan, faktor pendorong yang dimasukan dalam model ini hanya meliputi akses jalan, permukiman, kepadatan penduduk, dan kemiringan lereng sesuai dengan data yang didapatkan.

Akses jalan merupakan faktor pendorong perubahan dari segi ekonomi. Daerah yang memiliki banyak akses jalan pada umumnya cenderung mendorong perubahan penutupan/penggunaan lahan pada daerah tersebut. Hal ini disebabkan

Dokumen terkait