• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 Penelitian Tahap I

Penelitian Tahap II ... 28 SIMPULAN ... 38 DAFTAR PUSTAKA ... 39 LAMPIRAN ... 44

Halaman

1 Spesifikasi Khitosan ………... 8 2 Spesifikasi Khitosan Larut Air ………... 29 3 Hasil Rata-rata Kadar SGOT dan SGPT dalam Darah ………. 32 4 Hasil Rata-rata Kadar Kreatinin dan BUN dalam Darah ………... 34

Halaman

1 Struktur molekul khitin ... 8 2 Struktur molekul khitosan ... 9 3 Struktur khitosan larut air ... 11 4 Diagram proses pembuatan khitin ... 18 5 Diagram proses pembuatan khitosan ... 19 6 Diagram proses pembuatan khitosan larut air ... 19 7 Penampang melintang hati pada perlakuan kontrol (0%) ... 31 8 Penampang melintang hati pada perlakuan 1.5% ... 31 9 Pengaruh CMC terhadap biokimia darah ... 34 10 Penampang melintang ginjal pada perlakuan kontrol (0%) ... 35 11 Penampang melintang ginjal pada perlakuan 2% ... 35 12 Grafik rata-rata berat badan tikus yang diberi CMC selama 21 hari ... 36 13 Grafik rata-rata sisa pakan per hari selama 21 hari... 37

Halaman

1 Hasil rata-rata pengolahan khitosan larut air ………... 45 2 Data hasil analisis biokimia darah tikus percobaan ………... 46 3 Data berat badan harian………... 47 4 Data rata-rata sisa pakan per hari selama 21 hari... 48 5 Spektrum infra merah khitosan larut air (50 oC) dengan deasetilasi

72 jam pada spektrometer infra merah IR-408 ... 49 6 Spektrum infra merah khitosan larut air (70 oC) dengan deasetilasi

72 jam pada spektrometer infra merah IR-408 ... 50 7 Spektrum infra merah khitosan larut air (90 oC) dengan deasetilasi

72 jam pada spektrometer infra merah IR-408 ... 51 8 Analisa ragam terhadap viskositas khitosan larut air ……….... 52 9 Analisa ragam terhadap kelarutan khitosan larut air ………... 53 10 Analisa ragam terhadap nilai pH khitosan larut air ………... 54 11 Analisa ragam terhadap kadar air khitosan larut air …………... 55 12 Analisa ragam terhadap derajat deasetilasi khitosan larut air …... 56 13Analisa ragam terhadap SGOT darah ... 57 14 Analisa ragam terhadap SGPT darah ... 58 15 Analisa ragam terhadap Kreatinin darah ... 59 16 Analisa ragam terhadap BUN darah ... 60 17 Bahan baku dan proses pengolahan khitosan larut air ………….. 61

Latar Belakang

Perairan Indonesia mempunyai potensi perikanan yang cukup besar dengan berbagai jenis ikan dan udang. Udang merupakan salah satu hasil perikanan yang saat ini masih menjadi primadona ekspor hasil perikanan Indonesia, karena disamping mempunyai nilai ekonomis yang cukup baik juga merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi.

Udang merupakan salah satu komoditas yang penting dan sebagai penghasil devisa terbesar bagi negara disamping komoditas lainnya. Permintaan pasar semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia, juga semakin meningkatnya jumlah ekspor udang dari tahun ke tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa komoditas udang mempunyai peranan penting dalam aktifitas ekspor produk perikanan Indonesia.

Udang pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku. Hal ini mendorong para pengusaha perikanan Indonesia untuk mengembangkan industri pembekuan udang. Menurut Suptijah (1992), ada tiga macam produk udang beku yang sudah terkenal yaitu udang yang dibekukan dalam keadaan utuh tanpa dikuliti atau dipotong kepalanya, udang yang telah dipisahkan kepalanya tetapi tidak dikuliti, dan udang yang telah dikupas kulitnya serta dipisahkan kepalanya. Kedua produk udang beku terakhir akan meninggalkan sisa pengolahan (limbah) berupa kepala, kulit atau kepalanya saja.

Besarnya produksi udang dewasa ini akan menghasilkan limbah berupa kulit yang besar jumlahnya. Apabila melimpahnya limbah kulit ini tidak diiringi dengan pemanfaatan yang tepat maka akan menjadi masalah yang serius karena limbah udang sama halnya seperti limbah perikanan lainnya akan mudah sekali mengalami pembusukan sehingga akan menimbulkan polusi terhadap lingkungan.

Khitosan merupakan salah satu contoh produk hasil pemanfaatan limbah udang yang mempunyai prospek untuk dikembangkan karena ketersediaan bahan baku (limbah) udang yang besar. Menurut Sandford dalam Knorr (1984), kandungan khitin pada limbah udang sebesar 13–15 % (berat kering) tergantung

jenis spesiesnya, sedangkan limbah udang yang dihasilkan dari produksi udang beku mencapai 50–60 % dari berat utuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada diketahui bahwa khitosan mempunyai manfaat yang cukup banyak pada berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh, khitosan dapat menghilangkan kontaminan, memisahkan petroleum dari air limbah, pelapis benih yang akan ditanam (pertanian), anti kolesterol, anti koagulan dalam darah dan absorben logam berat (Brzeski 1987).

Selama ini limbah udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan terasi, kerupuk udang dan pelet. Pemanfaatan limbah udang lebih lanjut yaitu sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan (Brzeski 1987). Limbah industri pengolahan udang ini mengandung 40–50 % khitin, 25–30 % kalsium karbonat dan 15–20 % protein (Putro 1987).

Penanganan dan pengolahan limbah udang melalui industri pengolahan khitin dan khitosan menjadi perhatian, karena senyawa yang hampir sama dengan selulosa ini ternyata menunjukkan keandalan di berbagai bidang dan mempunyai prospek tinggi sebagai komoditi perdagangan.

Memperhatikan potensi produksi udang dan limbah udang terutama kulitnya yang semakin meningkat dan bisa diandalkan, maka pemanfaatan khitin dan khitosan harus mendapat perhatian yang lebih besar dalam pengembangannya di Indonesia.

Pemanfaatan khitosan banyak digunakan dalam berbagai keperluan industri, baik industri pangan, non pangan, maupun pengolahan limbah industri (koagulasi dan flokulasi), sebagai penstabil dan pengental. Penggunaan khitosan sebagai penurun kadar lemak dikembangkan antara lain sebagai penurun kadar lemak pada tikus putih (Sugano et al. 1980).

Khitosan merupakan turunan khitin yang hanya dapat larut dalam larutan asam organik seperti asam asetat tetapi tidak larut dalam air dan pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfida. Sehubungan khitosan ini harus dilarutkan dulu dalam asam asetat, aplikasinya juga terbatas karena pH rendah, maka para pemakai khitosan harus menyiapkan ruangan khusus asam dan peralatan lainnya termasuk peralatan pengaman untuk menghindari bahaya dari asam asetat terhadap kesehatan dan keselamatan pemakai. Oleh karena itu, pencarian metode

untuk menghasilkan khitosan yang lebih baik perlu dilakukan, salah satu caranya yaitu dengan melakukan pengolahan khitosan larut air atau lebih dikenal dengan karboksimetil khitosan (CMC).

Dengan dihasilkannya CMC ini diharapkan penggunaan khitosan pada berbagai bidang kehidupan bisa lebih ditingkatkan, mengingat CMC lebih praktis dan efektif dibanding khitosan larut asam. CMC selain lebih aman untuk digunakan karena memiliki pH yang netral, juga penggunaan air sebagai pelarut lebih menguntungkan dibandingkan asam, karena air tersedia dimana-mana dan mudah didapatkan sehingga akan mengurangi biaya penggunaan khitosan.

Khitosan larut air dapat diaplikasikan pada berbagai bidang seperti kosmetika, pengawetan makanan, kesehatan dan agrikultur. Pada buah-buahan dapat ditingkatkan waktu simpannya dan tetap segar setelah dikeluarkan dari pendingin dengan menggunakan lapisan tipis (film) khitosan larut air. Selain itu khitosan larut air juga berguna sebagai pengkhelat tembaga (Cu) pada air limbah, antikoagulan dan juga sebagai zat antimikroba (Angka dan Suhartono 2000).

Tikus putih sebagai hewan percobaan merupakan hewan yang sengaja dipelihara untuk dipakai sebagai hewan model, guna mempelajari dan mengembangkan fisiologi, farmatologi, biokimia, patologi dan kadang-kadang digunakan untuk diagnostika dalam dunia kedokteran. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tikus putih sudah diketahui mempunyai sifat respon biologik dan adaptasi mendekati manusia (Hanum 1996).

Tikus atau rat (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian antara lain; penelitian tentang manfaat vitamin, alkoholisme metabolisme lemak dan tingkah laku. Sudah banyak informasi tentang fisiologi, anatomi genetik dan tingkah laku dari tikus putih sehingga dapat diinterpretasikan dan diektrapolasikan ke manusia (Waynforth 1980).

Tikus secara luas digunakan untuk penelitian di laboratorium, terutama tikus putih yang berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya dengan Norwegia seperti yang diduga dari namanya. Seperti halnya mencit terdapat tikus

germ free, gnotobiotic, dan spesifik pathogen free disamping yang biasa (conventional). Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki

kekhususan tertentu antara lain galur sprague-dawley: berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya; galur wistar

ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan galur long-evans

yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989).

Tikus putih merupakan hewan percobaan yang banyak digunakan dalam penelitian laboratorium. Dalam pemanfaatannya tikus adalah hewan yang mudah didapat, harganya murah dan dalam pengujian secara patologis sangat mudah dilakukan. Melalui pengujian patologis/hispatologis akan dapat diketahui adanya perubahan-perubahan pada fungsi organ seperti, perubahan fungsi hati (SGOT, SGPT) dan fungsi ginjal (Kreatinin, BUN) akibat pengaruh metabolisme bahan.

Tujuan Penelitian

Selama ini khitosan dikenal sebagai salah satu produk yang tidak beracun, oleh karena itu maka penelitian ini mempunyai tujuan umum adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian dan toksisitas CMC tarhadap gangguan hispatologik pada hati dan ginjal tikus percobaan.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

- Mempelajari cara pengolahan CMC dengan karakteristiknya.

- Mengetahui pengaruh toksisitas CMC melalui perubahan kadar SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transferase), SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transferase), Kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen) darah serta jaringan hati dan ginjal hewan percobaan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemungkinan adanya efek toksin dari CMC dan gangguan hispatologis yang ditimbulkan.

TINJAUAN PUSTAKA

Khitosan

Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara maksimal.

Saat ini budidaya udang di tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang mengandung protein (25–40 %), kalsium karbonat (45–50 %), dan khitin (15–20 %), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15.60–23.90 %), kalsium karbonat (53.70–78.40 %), dan khitin (18.70– 32.20 %). Hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al. 1992).

Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30 % –75 % dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolah udang cukup tinggi (Anonim 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim 1994).

Selama ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan. Manfaatnya diberbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta turunannya

mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang 1995).

Khitosan adalah polimer linier berberat molekul tinggi dari 2-deoksi 2-amino-glukosa, merupakan produk deasetilasi dari khitin dengan alkali kuat, bersifat polimer kationik sehingga tidak larut dalam air atau alkali pada pH di atas 6.5, tetapi dapat larut cepat dalam asam organik cair seperti asam formiat, asam sitrat dan asam mineral kecuali sulfur. Khitosan disebut juga dengan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura 1995).

Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam

H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat

polietrolitik (Hirano 1989). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan (Muzarelli 1986).

Sumber Khitosan

Sumber utama khitin dan khitosan yang dapat digunakan dalam pengembangan lebih lanjut di perairan Indonesia adalah limbah udang. Suptijah

et al. (1992) menyatakan bahwa limbah udang dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis pengolahannya, yaitu :

a. Kepala udang yang biasanya merupakan hasil sampingan dari industri pembekuan udang tanpa kepala.

b. Kulit udang yang biasanya merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang atau industri pengalengan udang.

c. Campuran keduanya yang biasanya berasal dari industri pengalengan udang.

Johnson dan Peniston (1982) menyatakan bahwa kulit udang dan rajungan merupakan limbah pengolahan udang dan rajungan yang mencapai 50–60 % dari berat utuh. Kandungan khitin pada limbah udang sebesar 20–30 % (berat utuh).

Sifat-sifat Fisikokimia Khitin dan Khitosan

Menurut Ornum (1992), khitin adalah suatu polimer linier yang tersusun oleh 2.000-3.000 monomer N-asetil D-glukosamin dalam ikatan β (1-4). Khitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, dan asam-asam organik tetapi larut dalam dimetil asitamida dan lithium klorida.

Knorr (1982) menyatakan bahwa khitosan merupakan polimer rantai panjang glokosamin (2-amino-2 deoksiglukosa). Menurut Ornum (1992), khitosan mempunyai sifat-sifat tertentu yaitu: struktur molekulnya dalam keadaan cair sensitif terhadap kekuatan ion tinggi, daya refulsif antara fungsi amin menurun sesuai dengan fleksibelitas rantai khitosan, dan pendekatannya dalam ruang distabilkan oleh ikatan hidrogen menghasilkan suatu molekul resisten yang tahan terhadap stres mekanik dan kemampuan berkembang bertambah.

Khitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya pada posisi C2. Hal ini menyebabkan khitosan bermuatan positif yang

berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ornum 1992). Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan khitosan berbentuk ion netral (Sandford 1989).

Khitin dan khitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofobik (tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam), memiliki reaktivitas tinggi (karena mengandung gugus –OH dan gugus NH2)

untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna dan penukar ion). Disamping itu, khitosan tidak larut dalam basa atau media campuran asam basa dan posisi silang khitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan khitin (Muzarelli, 1977

dalam Zeng 1997).

Menurut Austin (1984), khitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH di atas 6.5 dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat, dan asam mineral lain kecuali sulfur. Sifat kelarutan khitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi dan rotasi spesifik yang dapat bervariasi dan tergantung dari sumber dan metode isolasinya.

Pernyataan di atas didukung oleh Ornum (1992) yang menyatakan bahwa khitosan dapat larut dalam suatu larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6.5. Pelarut khitosan yang baik adalah asam format dengan konsentrasi 0.2–1.0 %, sedangkan pelarut yang umum digunakan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1–2 %.

Khitosan memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi, menyebabkannya mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, khitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987).

Menurut Sandford dan Hutchings (1987), khitosan berbentuk tepung, serpihan maupun larutan. Pada umumnya mutu khitosan terdiri dari beberapa parameter yaitu bobot molekul, kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat deasetilasi (Ornum 1992).

Tabel 1 Spesifikasi Khitosan

Parameter Nilai Ukuran partikel Kadar air Kadar abu Derajat deasetilasi Warna larutan Viskositas (Cps) Rendah Medium Tinggi Ekstrak tinggi

Serpihan sampai bubuk < 10 % < 2 % > 70 % Jernih 1% khitosan (Cps) < 200 200 - 779 800 – 2.000 > 2.000 Sumber: Protan Laboratories (1987)

Ekstraksi Khitosan

Khitosan adalah produk deasetilasi dari khitin dengan menggunakan larutan alkali (Johnson dan Peniston 1982), khitin di alam tidak berada dalam keadaan murni tetapi bergabung dengan unsur-unsur lain seperti: protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Khitin berikatan kovalen dengan sebagian protein dan berasosiasi dengan unsur mineral membentuk mokopolisakarida yang berfungsi sebagai material pelindung pada udang. Oleh sebab itu untuk mendapatkan khitin dalam keadaan murni perlu dilakukan ekstraksi dengan

perlakuan yang sesuai dengan karakter asosiasi khitin dengan protein dan mineral.

Khitin didapat dengan jalan ekstraksi bahan baku untuk memisahkan komponen-komponen mineral, protein, lemak dan lain-lain sebagai komponen pengotor. Proses-proses demineralisasi dan deproteinasi sangat perlu dilakukan dalam pemurnian khitin. Proses demineralisasi dapat dilakukan dengan menambahkan HCl 1 N dengan perbandingan bobot bahan dan volume pengekstrak 1:7 (b/v) dipanaskan pada suhu 70-75 oC selama satu jam (Suptijah et al. 1992). Pemisahan mineral bertujuan untuk menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada limbah tersebut. Mineral utama yang terdapat pada kulit udang adalah kalsium dalam bentuk CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)3 (Purwatiningsih

1993).

Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan protein dari limbah udang. Keefektivan proses tersebut tergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Menurut Suptijah et al. 1992, bahwa penggunaan NaOH 3.5 % dengan pemanasan 60 oC selama dua jam dapat dilakukan sebagai alternatif deproteinasi. Penghilangan gugus asetil (-COCH3) dari khitin dilakukan dengan

menggunakan larutan NaOH pekat (50 %) dengan perbandingan 1:20 b/v dipanaskan pada suhu 120-140 oC selama satu jam.

Gambar 1 Struktur molekul khitin

Gambar 2 Struktur molekul khitosan HO O OH NH C O CH3 HO O OH NH C O CH3 O HO O OH NH C O CH3 O O HO O OH NH2 HO O OH NH2 O HO O OH NH2 O O

Aplikasi Khitin dan Khitosan

Khitosan digunakan di dalam berbagai industri, antara lain sebagai perekat kualitas tinggi, pemurnian air minum (mempunyai daya koagulasi/daya penghilangan partikel koloid), sebagai senyawa pengkelat, meningkatkan zat warna dalam industri kertas, tekstil dan pulp karena sifatnya yang baik untuk mencegah pengerutan. Khitosan juga dapat digunakan sebagai pengangkut (carrier) obat dan komponen alat-alat operasi seperti sarung tangan, benang operasi, membran pada operasi plastik (Angka dan Suhartono 2000).

Dalam bidang pertanian, kompleks khitin dengan protein dapat dicampurkan ke dalam tanah untuk mengurangi resiko serangan cacing parasit terhadap tanaman dan dapat meningkatkan sekresi enzim khitinase pada tanaman. Dalam industri kosmetika, khitin dapat digunakan sebagai pengemulsi, bahan pelembab dan juga sebagai pencahar (Ditjen Perikanan 1989).

Pada bidang industri pangan, senyawa komplek micro chrystalin chitin (mcc) merupakan salah satu turunan khitin yang banyak digunakan dalam industri pangan sebagai bahan pengental (pembentuk gel) yang sangat baik dan juga bermanfaat sebagai pengikat, penstabil, pembentuk tekstur, enkapsulasi dan film formatin (Stand dan Ali 1982).

Dalam bidang industri, manfaat khitin dan khitosan paling luas dalam pengolahan limbah cair. Menurut Knorr (1984), terdapat tiga hal penting untuk aplikasi khitin dan khitosan dimasa yang akan datang, yaitu sebagai bahan fungsional yang digunakan dalam proses water treatment, sebagai bahan fungsional dalam industri pangan, dan sebagai polimer hasil turunan baru yang digunakan dalam bidang teknologi polimer.

Di bidang kesehatan, khitin dan khitosan telah dimanfaatkan sebagai bahan anti tumor, sebab mempunyai kemampuan penggumpalan sel-sel leukemia dan mempunyai sifat anti bakterial dan anti koagulasi dalam darah. Khitosan dapat digunakan untuk membuat lensa dari polimer khitin, dan sebagai bahan anti kolesterol. Selain itu khitosan juga dapat digunakan sebagai pengganti tulang rawan, untuk bahan pembuat membran ginjal buatan (Brzeski 1987).

Khitosan Larut Air

Khitosan larut air adalah suatu senyawa turunan khitosan yang dapat larut dalam air, dan memiliki banyak potensi untuk diaplikasikan pada pembuatan obat- obatan, kosmetik, pengawetan makanan dan kesehatan (Davies et al. 1989). Selanjutnya Davies et al. (1989) juga menyatakan bahwa khitosan larut air merupakan senyawa yang secara kimia lebih stabil, larut dalam air,

biodegradable, biocompatible, non tosik dan dapat menyerap logam berat.

Isolasi khitosan larut air dapat dilakukan dengan metode Bader dan Birkholz (1997) melalui penambahan monokloroasetat terhadap khitosan dalam suasana alkali. Proses tersebut disebut proses karboksimetilasi, yaitu proses pengubahan khitosan ke sifat basa, dimana khitosan dilarutkan dalam larutan asam asetat, diendapkan dengan penambahan natrium hidroksida dan terakhir direaksikan dengan asam monokloroasetat yang bertujuan untuk mengganti ion hidrogen (ion H) pada gugus hidroksil (OH) dan gugus amin (NH2).

Pada kondisi alkali reaksi khitosan dengan monokloroasetat akan menghasilkan khitosan dengan reaksi sebagai berikut:

a. Tahap pertama

Khitosan dengan natrium hidroksida bereaksi membentuk alkoksida.

ROH + NaOH RO-Na+ + H2O

ROH = Khitosan

Gugus hidroksil pada struktur khitosan merupakan asam lemah, sehingga apabila konsentrasi natrium hidroksida yang digunakan semakin tinggi, maka akan semakin tinggi pula produksi alkoksida dan hasil reaksi.

b. Tahap kedua

Subsitusi klorida dari asam monokloroasetat ke dalam bentuk alkoksida khitosan menjadi khitosan larut air.

RO-Na+ + CH2COOH CH2COOH + NaCl

Disamping reaksi tersebut terjadi kompetisi reaksi subsitusi dari OH- pada asam monokloroasetat.

2NaOH + CH2COOH CH2COOH + NaCl + H2O

Cl OH

Walaupun RO- merupakan alkali kuat jika dibandingkan dengan OH-, rantai R sangat panjang dan menyebabkan sulit bereaksi (Doan 2001).

Khitosan larut air dapat diaplikasikan pada berbagai bidang seperti kosmetika, pengawet makanan, kesehatan dan agrikultur. Pada buah-buahan dapat ditingkatkan umur simpannya dan tetap segar setelah keluar dari pendingin dengan menggunakan lapisan tipis (film) khitosan larut air. Selain itu, khitosan larut air juga berguna sebagai pengkhelat tembaga (Cu) pada air limbah, antikoagulan dan juga sebagai zat antimikroba (Angka dan Suhartono 2000).

Gambar 3 Struktur khitosan larut air

Hewan Percobaan

Tikus putih sangat baik sebagai hewan percobaan, karena tikus dapat berkembangbiak sama seperti mencit. Dalam beberapa percobaan tikus lebih menguntungkan terutama karena tubuh tikus yang lebih besar bila dibandingkan dengan mencit. Tikus memiliki metabolisme tubuh tertentu yang membedakannya dengan mencit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Pada kenyataannya bila dibandingkan dengan tikus liar, tikus percobaan

Dokumen terkait