• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Penyakit

Gejala penyakit karat puru pada sengon menunjukkan gejala yang khas, yaitu pembengkakan pada bagian tumbuhan yang terserang. Berdasarkan penelitian Anggraeni (2009) gejala penyakit karat puru ini merupakan hiperplasia (pertumbuhan berlebih), gejala penyakit ini diawali dengan adanya pembengkakan lokal (tumefaksi) di bagian tanaman yang terserang. Lama kelamaan pembengkakan tersebut akan berubah menjadi puru. Puru yang ditimbulkan bermacam-macam bentuk dan ukuran. Karat puru ini menyerang seluruh bagian tanaman baik daun, cabang, batang utama, maupun pucuk tanaman. Puru yang masih muda berwarna hijau kecoklatan muda, kemudian akan berkembang dan diselimuti oleh lapisan seperti tepung berwarna agak kemerahan yang merupakan kumpulan dari spora patogen, puru yang tua berwarna cokelat kemerahan sampai hitam dan biasanya puru sudah keropos berlobang serta digunakan sebagai sarang semut. Selain semut, karat puru yang sudah tua juga akan dimanfaatkan oleh penggerek batang sengon sebagai tempat berlindung. Jika tanaman mengalami serangan yang parah, maka seluruh bagian tanaman dipenuhi oleh puru, kemudian daun mengering mengalami kerontokan, diikuti oleh batang dan cabang pohon dan akhirnya tanaman mati.

Gambar 1 Gejala karat puru ((I, II, III) Gejala karat puru yang terjadi pada tanaman yang sudah besar, (A,B,C,D, E) Gejala yang terjadi pada batang utama, cabang, daun, dan pucuk pada tanaman muda)

A B C D E

10

Pengaruh Aplikasi PGPR dan Pupuk Mikro terhadap Penyakit Karat Puru Tingkat serangan patogen pada tanaman dapat diukur secara kuantitatif dengan menghitung kejadian penyakit dan keparahan penyakit. Kejadian penyakit (disease incidence) adalah persentase jumlah tanaman yang sakit yang dibandingkan dengan jumlah seluruh tanaman yang diamati. Pada penelitian ini, kejadian penyakit diamati selama 11 minggu.

Secara umum PGPR 50 dan PGPR 100 berpengaruh nyata dalam menekan kejadian dan keparahan penyakit karat puru. Hal ini ditunjukkan dengan terdapat perbedaan yang nyata secara analisis ragam pada hasil analisis kejadian penyakit, keparahan penyakit, AUDPC, dan laju infeksi. Perbedaan yang nyata dari kejadian penyakit karat puru terjadi pada 3 minggu pengamatan dari 11 minggu pengamatan. Perbedaan yang nyata terjadi pada data pengamatan minggu ke-2, ke-6, ke-8. Pada minggu ke-2 kejadian penyakit yang berbeda nyata terjadi pada semua perlakuan terhadap tanpa perlakuan. Pada minggu ke-6 perbedaan yang nyata hanya terjadi pada perlakuan PGPR 50 terhadap tanpa perlakuan, sedangkan pada minggu ke-8 perbedaan yang nyata terjadi pada perlakuan PGPR 100 terhadap tanpa perlakuan. Selain itu perbedaan yang nyata juga terjadi pada minggu ke-10 dan ke-11 antara perlakuan PGPR 50, PGPR 100, fungisida dengan perlakuan kombinasi PGPR dan pupuk mikro, tetapi semua perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Gambar 2 Kejadian penyakit

Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa terjadi fluktuasi kejadian penyakit pada setiap perlakuan. Akan tetapi pada setiap minggunya kejadian penyakit yang tertinggi hampir selalu terjadi pada tanaman kontrol, sedangkan kejadian penyakit yang terendah terjadi pada perlakuan PGPR 50.

Keparahan penyakit (disease severity) adalah proporsi luas jaringan tanaman yang terkena penyakit (Agrios 2005). Keparahan ini dinyatakan dalam persen (%).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kej ad ian p en y ak it k ar at p u ru ( %) Pengamatan minggu ke PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA TANPA PERLAKUAN

11 Keparahan penyakit karat puru ini juga diamati selama 11 minggu. Pada pengamatan minggu pertama keparahan penyakit karat puru pada semua tanaman yang diuji menunjukkan nilai 0, ini berarti belum ada tanaman yang terkena penyakit karat puru. Mulai pada pengamatan minggu ke-2, hasil pengamatan menunjukkan keparahan penyakit karat puru yang beragam.

Pada pengamatan keparahan penyakit karat puru ini dapat dilihat bahwa secara umum keparahan penyakit karat puru hampir selalu terjadi peningkatan pada tiap minggunya. Pengaruh yang nyata terhadap keparahan penyakit karat puru terjadi pada perlakuan PGPR 50 dan fungisida, yaitu terjadi pada pengamatan minggu ke-2, ke-8, dan ke-11. Perbedaan yang nyata juga terjadi pada minggu ke-10, tetapi perbedaan tersebut tidak terhadap kontrol. Perbedaan yang nyata pada minggu ke-10 terjadi antara PGPR 50 dan fungisida dengan perlakuan kombinasi.

Gambar 3 Keparahan penyakit karat puru

Perbedaan yang nyata yang terjadi pada pengamatan minggu ke-2, ke-8, dan ke-11 ini membuktikan bahwa, fungisida dan PGPR 50 berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit karat puru (α 5 ).

Berdasarkan hasil pengamatan keparahan penyakit dapat dihitung nilai AUDPC (Area Under Disease Progress Curve). Nilai AUDPC adalah nilai luasan daerah di bawah kurva keparahan penyakit tanaman. Nilai AUDPC menunjukkan nilai akumulasi keparahan penyakit selama beberapa minggu pengamatan. Tingkat keparahan penyakit yang semakin tinggi maka nilai AUDPC semakin tinggi pula.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kep ar ah an p en y ak it k ar at p u ru ( %) Pengamatan minggu ke PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA TANPA PERLAKUAN

12

Tabel 2 Nilai Area Under Disease Progress Curve pada berbagai perlakuan

Perlakuan AUDPC PGPR 50 141.57±63.47 a PGPR 100 144.58±22.72 a PUPUK MIKRO 217.50±13.52 a PGPR + PUPUK MIKRO 223.98±63.87 a FUNGISIDA 149.72±34.46 a KONTROL 244.18±85.88 a

aAngka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Berdasarkan nilai AUDPC pada tabel di atas dapat dilihat bahwa, nilai AUDPC yang terendah adalah pada perlakuan PGPR 50. Secara analisis ragam (α 5 ) nilai AUDPC dari semua perlakuan tidak berbeda nyata dengan nilai AUDPC kontrol. Nilai AUDPC dari perlakuan tunggal PGPR dan pupuk mikro lebih kecil dari pada perlakuan kombinasi PGPR dan pupuk mikro. Hal ini berarti keefektifan dari PGPR dan pupuk mikro dalam menekan penyakit karat puru menurun apabila dikombinasikan.

Selain nilai AUDPC, berdasarkan hasil pengamatan keparahan penyakit, juga dihitung nilai laju infeksi (laju perkembangan) penyakit karat puru. Laju infeksi penyakit pada tanaman inang merupakan jumlah pertambahan infeksi per satuan waktu (Nirwanto 2007).

Laju perkembangan penyakit yang tertinggi terjadi pada tanaman dengan perlakuan kombinasi PGPR + pupuk mikro dan kontrol, sedangkan laju infeksi yang terendah terjadi pada perlakuan fungisida dan PGPR 50. Secara umum perlakuan PGPR 50 dan fungisida berpengaruh nyata terhadap laju perkembangan penyakit karat puru.

Tabel 3 Laju perkembangan penyakit karat puru pada tanaman sengon

Perlakuan Laju Perkembangan Penyakit

PGPR 50 0.33±0.04 a PGPR 100 0.35±0.03 ab PUPUK MIKRO 0.36±0.03 ab PGPR + PUPUK MIKRO 0.40±0.01 b FUNGISIDA 0.33±0.01 a KONTROL 0.39±0.02 b

aAngka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Nilai AUDPC dan laju perkembangan penyakit ini dihitung untuk mengukur tingkat serangan penyakit pada selang waktu tertentu misalnya serangan penyakit pada selang waktu 3 bulan. AUDPC menunjukkan keparahan penyakit selama 11 minggu pengamatan, sedangkan laju perkembangan penyakit menunjukkan indeks tingkat pertumbuhan penyakit. Laju perkembangan penyakit pada perlakuan PGPR + pupuk mikro justru menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata secara statistik dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan dengan hasil penelitian Munawaroh (2010) bahwa penggunaan filtrat guano, PGPR, dan khamir antagonis terbukti lebih mampu menekan serangan penyakit karat putih yang disebabkan oleh

13 Puccinia horiana dibandingkan dengan heksakonazol dan kontrol. PGPR dan filtrat guano (pupuk mikro organik) mampu menekan keparahan penyakit karat putih paling tinggi.

Banyak faktor yang mempengaruhi aplikasi di alam, faktor lingkungan sangatlah mempengaruhi aplikasi PGPR, pupuk mikro, kombinasi pupuk mikro dan PGPR, serta fungisida pada tanaman; seperti iklim, tingkat virulensi patogen yang tinggi, dan inokulum patogen yang banyak. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Saharan dan Nehra (2011) bahwa penggunaan PGPR telah menjadi praktik umum di banyak wilayah di dunia. Meskipun berpengaruh signifikan untuk mengontrol patogen tanaman telah ditunjukkan oleh PGPR dalam penelitian laboratorium dan rumah kaca, hasil di lapangan tidak konsisten.

Keberhasilan PGPR tergantung pada pembentukan kepadatan populasi yang efektif dari sel aktif dalam rizosfer tanaman. Karena hal ini merupakan prinsip yang sederhana, telah terbukti sulit untuk menentukan pengaruh respon terhadap dosis di mana tingkat peningkatan pertumbuhan tanaman atau penekanan penyakit bisa langsung berkorelasi dengan ukuran populasi PGPR. Secara umum, suspensi bakteri PGPR siap dengan kepadatan 108-109 cfu/ml untuk pencelupan akar dan inokulasi tanah. Setelah inokulasi dengan kepadatan yang tinggi, jumlah sel akan mengalami penurunan dengan cepat tergantung pada steril tidaknya tanah yang digunakan. Pada tanah yang diautoklaf/ disterilkan, inokulum biasanya akan bertahan pada kepadatan sel 107-108 cfu/g tanah selama beberapa minggu. Dalam tanah yang tidak steril di mana terdapat persaingan dengan flora penghuni tanah, pemangsaan oleh protozoa dan nematoda, populasi bakteri akan menurun dengan cepat per minggunya hingga populasi mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Hal ini kemungkinan besar karena perbedaan yang diamati dalam studi laboratorium dan rumah kaca di mana tanah yang disterilkan, dibandingkan di lapangan dimana hasil dari inokulasi PGPR jauh lebih tidak konsisten (Viveros et al. 2010).

Berdasarkan hasil pengamatan kejadian dan keparahan penyakit karat puru dapat diketahui keefektifan pengendalian penyakit karat puru dengan bebagai teknik seperti yang terlihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4 Keefektifan pengendalian penyakit karat puru dengan berbagai teknik

Teknik Pengendalian Penekanan kejadian penyakit (%) Ket Penekanan keparahan penyakit (%) Ket PGPR 50 43.48 * 42.28 * PGPR 100 36.23 * 40.61 * PUPUK MIKRO 23.14 ns 14.34 ns PGPR + PUPUK MIKRO 13.81 ns 12.18 ns FUNGISIDA 26.54 * 34.39 * KONTROL 00.00 00.00

Keterangan: * berbeda nyata terhadap kontrol, ns= tidak berbeda nyata

Keefektifan pengendalian karat puru yang paling baik adalah dengan teknik pengendalian menggunakan PGPR 50 yang mempunyai nilai keefektifan yang paling tinggi. Selain PGPR 50, teknik pengendalian dengan PGPR 100 dan

14

fungisida juga efektif dalam mengendalikan penyakit karat puru. Teknik pengendalian yang tidak efektif untuk mengendalikan penyakit karat puru adalah teknik dengan menggunakan pupuk mikro, dan menggunakan perlakuan kombinasi.

Berdasarkan data-data dan hasil analisis di atas, maka PGPR 50, PGPR 100 terbukti efektif dalam mengendalikan penyakit karat puru. Hal ini dibuktikan dengan nilai keefektifan dalam menekan kejadian penyakit dan keparahan penyakit yang berbeda nyata serta nilai r (laju perkembangan penyakit) yang juga berbeda nyata, walaupun nilai AUDPC tidak berbeda nyata. Apabila dibandingkan dengan fungisida pembanding keefektifan PGPR tidak berbeda nyata, sehingga PGPR berpotensi dalam mengendalikan penyakit karat puru. Hal ini dibuktikan dengan nilai kejadian penyakit, keparahan penyakit, AUDPC dan nilai r (laju perkembangan penyakit) dari perlakuan PGPR tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa PGPR mempunyai arti penting dalam pengendalian penyakit karat puru. PGPR efektif dalam mengendalikan penyakit karat puru dengan tingkat penekanan keparahan penyakit sebesar 42.28%. Nilai tersebut lebih besar dari tingkat penekanan penyakit karat puru dengan penendalian menggunakan fungisida yang hanya sebesar 34.39%. PGPR ini dapat menekan penyakit dengan cara menginduksi ketahanan terhadap penyakit. Rhizobacteria akan menginduksi ketahanan pada tanaman melalui mekanisme systemic acquired resistance (SAR) (Raupach et al 1996 dalam Taufik et al. 2010). Mekanisme PGPR dalam menginduksi ketahanan terhadap tanaman adalah menaikkan produksi fitohormon, melawan mikroorganisme patogenik dengan memproduksi siderofor, mengsintesis antibiotik, enzim, dan komponen fungisida, serta melarutkan mineral fosfat dan nutrisi/ mineral lain (Gholami et al. 2009). Induksi ketahanan sistemik akibat perlakuan PGPR ini berspektrum luas. Karena PGPR ini menginduksi ketahanan terhadap bakteri, cendawan, maupun virus. Dengan pengaplikasian PGPR maka tanaman akan lebih tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan, bakteri maupun virus.

Menurut Bakker et al. (2007), Bacillus spp. Sebagai PGPR dapat menghasilkan 2,3 butanadiol yang volatil yang dapat menginduksi ketahanan tanaman. Sedangkan menurut Hariprasad et al. (2011), Pseudomonas fluorescens dapat menghasilkan enzim kitinolitik sebagai anti cendawan. Berdasarkan penelitian tersebut Bacillus spp. dan Pseudomonas fluorescens dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengendalian penyakit.

Berdasarkan grafik 4 dan 5, kejadian penyakit dan keparahan penyakit yang terjadi sangat fluktuatif, bahkan pada pengamatan minggu ke-9 sampai minggu ke-11, tingkat kejadian dan keparahan penyakit pada perlakuan kombinasi lebih besar dari pada kontrol. Peningkatan kejadian dan keparahan penyakit yang drastis pada perlakuan kombinasi PGPR+pupuk mikro ini terjadi mulai pada pengamatan minggu ke-7. Kejadian dan keparahan penyakit ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu faktor tanaman, faktor lingkungan, dan faktor patogen. Peningkatan kejadian dan keparahan penyakit ini kemungkinan karena ketahanan tanaman yang telah berkurang, inokulum patogen yang banyak dengan tingkat virulensi yang tinggi, lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit. Faktor lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Curah hujan

15 yang tinggi, dan angin mempengaruhi penyebaran penyakit. Kondisi lahan yang terdapat banyak naungan maka kelembaban mikro lebih tinggi, sehingga perkembangan penyakit semakin cepat.

Selain 3 faktor tersebut, terdapat satu faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kejadian dan keparahan penyakit karat puru. Faktor tersebut adalah faktor manusia. Fluktuasi kejadian dan keparahan penyakit ini dipengaruhi oleh pengelolaan tanaman oleh petani. Terdapat karat puru yang dipotong atau dihilangkan oleh petani, sehingga tidak dapat diukur. Pemotongan bagian tanaman yang terkena penyakit karat puru ini tidak dilakukan pada semua tanaman contoh,sehingga nilai keragaman/ standar deviasinya menjadi tinggi.

Pengaruh PGPR dan Pupuk Mikro terhadap Pertumbuhan Tanaman Tanaman akan selalu tumbuh dari waktu ke waktu. Pertumbuhan tanaman ini dapat dilihat dan diukur secara kuantitatif. Dengan pengaplikasian PGPR yang dikombinasikan dengan pupuk majemuk (NPK) secara umum akan dapat meningkatkan pertumbuhan secara optimal. Berdasarkan manfaat dan fungsinya, PGPR dapat menghasilkan hormon IAA, sitokinin dan giberelin serta dapat mengikat N2 dari udara dan melarutkan fosfat (P) dalam tanah, PGPR mampu merangsang dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Sutariati et all (2006), Rizobakteri Bacillus sp. memproduksi IAA dengan kisaran konsentrasi antara 25.99-34.97 mg/ml filtrat, sedangkan kelompok Pseudomonas sp. antara 28.51-100.56 mg/ml filtrat, dan Serratia sp. antara 24.16-27.98 mg/ml filtrat.

Pada penelitian ini, pertumbuhan diamati dan diukur setiap minggu selama sebelas kali pengamatan. Indikator yang digunakan dalam pengukuran pertumbuan tanaman ini adalah tinggi tanaman dan diameter batang tanaman. Selain itu juga dihitung pertambahan tinggi dan diameternya pada setiap minggunya. Pada pengamatan yang telah dilakukan selama 11 minggu terdapat tiga minggu pengamatan yang berbeda nyata, yaitu pada minggu ke- 2, ke-3 dan ke-11.

Gambar 4 Tinggi tanaman sengon 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 T in g g i tan am an ( cm ) Pengamatan minggu ke PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA TANPA PERLAKUAN

16

Secara umum PGPR 50 berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Hal ini dikarenakan tinggi tanaman dengan perlakuan PGPR 50 hampir selalu menjadi tanaman yang tertinggi walaupun secara analisis ragam, hanya 3 minggu pengamatan yang berbeda nyata.

Berdasarkan data tinggi tanaman diatas, dapat juga dilihat perubahan tinggi tanaman yang terjadi pada setiap minggunya. Perubahan tinggi pada minggu pertama hasilnya sama yaitu 0, ini dikarenakan minggu pertama merupakan patokan pertama dalam menghitung perubahan tinggi pada setiap minggunya. Perubahan tinggi yang terjadi pada setiap minggunya hampir secara umum tidak berbeda nyata. Tetapi pada pengamatan minggu ke-2, ke-4, ke-10, dan ke-11 terdapat beberapa perlakuan yang perubahan tinggi tanamannya berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kontrol.

Berdasarkan gambar 5, secara umum perubahan tinggi tanaman pada setiap minggunya mengalami fluktuasi. Flukuasi perubahan tinggi ini terjadi di semua perlakuan. Fluktuasi perubahan tinggi tanaman yang terjadi ini kemungkinan dikarenakan kondisi lingkungan pada tiap tanaman contoh itu berbeda-beda. Menurut Cumming (2009), terdapat banyak jenis PGPR yan dapat mengfiksasi N2 sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Pengaplikasian PGPR diharapkan dapat meningkatkan tinggi dan diameter tanaman, sehingga tanaman akan lebih cepat tumbuh.

Gambar 5 Perubahan tinggi tanaman sengon

Selain ketinggian tanaman dan perubahan tinggi tanaman tiap minggunya, juga diukur besar diameter dan perubahan diameter tiap minggunya sebagai indikator pertumbuhan tanaman. Secara umum rata-rata diameter batang tanaman yang di ukur pada setiap minggu tidak berbeda nyata secara analisis ragam. Hanya terdapat 2 minggu dari 11 minggu pengamatan yang hasilnya berbeda nyata, yaitu pada pengamatan minggu ke-2, dan pada minggu ke-11.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 P er u b ah an tin g g i tan am an ( cm) Pengamatan minggu ke PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA TANPA PERLAKUAN

17

Gambar 6 Diameter batang tanaman sengon

Berdasarkan analisis ragam, semua perlakuan yang dilakukan ini tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata diameter batang tanaman karena hampir semua perlakuan tidak berbeda secara nyata dengan kontrol. Perbedaan yang nyata yang terjadi pada minggu ke-2 dan 11 ini tidak cukup untuk membuktikan bahwa perlakuan PGPR 50 berpengaruh terhadap besar diameter tanaman, tetapi berdasarkan grafik 7 di atas, dapat di ketahui bahwa tanaman dengan perlakuan PGPR 50 mempunyai diameter yang terbesar pada hampir pada semua minggu sedangkan diameter batang tanaman kontrol hampir selalu menjadi diameter yang terendah.

Dari pengamatan diameter ini dapat dihitung perubahan diameter tiap minggunya. Dari 11 minggu pengamatan hanya terdapat 2 minggu pengamatan saja yang berbeda nyata. Perbedaan yang nyata ini terjadi pada pengamatan pada minggu ke-2 dan ke-6. Pada pengamatan perubahan diameter pada minggu ke-2 berdasarkan analisis ragam terdapat perbedaan yang nyata antara semua perlakuan dengan kontrol.

Secara umum, semua perlakuan ini tidak berpengaruh terhadap besar diameter dan perubahan diameter tanaman walaupun terdapat 2 minggu pengamatan yang berbeda nyata hasilnya. Menurut Sutariati et al. (2006), peningkatan produksi IAA oleh rizobakteri tidak selalu berakibat pada peningkatan tinggi tanaman. Ini dibuktikan oleh Sutariati et al. (2006), bahwa isolat Seratia sp. yang menghasilkan IAA 24.16-27.98 g/ml dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, sedangkan isolat Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. yang memproduksi IAA lebih banyak daripada Serratia sp. tidak mampu memacu pertumbuhan seperti halnya Serratia sp.

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Diam eter b atan g ( cm) Pengamatan minggu ke PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA TANPA PERLAKUAN

18

Gambar 7 Perubahan diameter batang tanaman sengon

Tingkat perubahan tinggi dan perubahan diameter pada minggu ke-2 ini bernilai besar dikarenakan pengamatan dilakukan 2 minggu setelah perlakuan dilakukan. Pengaplikasian PGPR di tanaman tidak selalu berpengaruh pada pertumbuhan tanaman. PGPR mengkolonisasi akar tanaman dan memberikan efek yang menguntungkan pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan berbagai macam mekanisme. Untuk menjadi efektif PGPR, bakteri harus mampu mengkolonisasi akar karena bakteri perlu populasi yang cukup untuk menghasilkan efek yang menguntungkan (Ashrafuzzaman et al. 2009). Ketidakefektifan PGPR di lapangan disebabkan ketidakmampuannya untuk mengkolonisasi akar. Aspek penting dari kolonisasi adalah kemampuan bersaing dengan mikroba yang telah ada di dalam tanah dan rizosfer.

Berdasarkan hasil pengamatan tinggi dan diameter tanaman, dapat dihitung tingkat kemampuan PGPR, pupuk mikro, dan fungisida dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tabel 5 ini membuktikan bahwa hanya aplikasi PGPR 50 yang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman (meningkatkan tinggi dan diameter tanaman), sedangkan aplikasi PGPR 100 hanya berpengaruh dalam meningkatkan tinggi tanaman saja, tetapi aplikasi PGPR 100 tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan diameter tanaman.

Tabel 5 Peningkatan pertumbuhan tanaman dengan berbagai perlakuan Perlakuan Peningkatan tinggi (cm) Keterang an Peningkatan Diameter (cm) Keterang an PGPR 50 27.51 * 2.38 * PGPR 100 26.38 * 1.96 ns PUPUK MIKRO 19.59 ns 1.65 ns PGPR + PUPUK MIKRO 13.30 ns 1.20 ns FUNGISIDA 08.98 ns 0.82 ns KONTROL 00.00 0.00

Keterangan: * berbeda nyata, ns= tidak berbeda nyata 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 P er u b ah an d ia m ete r b ata n g ( cm ) Pengamatan minggu ke PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA TANPA PERLAKUAN

19 Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa PGPR 50 dan PGPR 100 dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, baik tinggi maupun diameter tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman ini terjadi pada umur muda. Hal ini dikarenakan pertumbuhan tanaman secara umum membentuk kurva sigmoid karena di alam terdapat faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan tanaman dan mementukan daya dukung bagi pertumbuhan tanaman tersebut.

Fluktuasi yang terlihat pada grafik pertumbuhan tanaman (grafik tinggi, perubahan tinggi, diameter, dan perubahan diameter) ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan, contohnya angin yang terlalu besar menyebabkan tanaman menjadi patah,sehingga mengurangi ketinggian tanaman, hujan, patahnya batang tanaman karena terkena pohon yang roboh. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor manusia (pengelolaan tanaman), misalnya pemotongan pucuk tanaman oleh petani, pembumbunan tanaman sengon sehingga tinggi tanaman menjadi berkurang, dan juga penanaman tanaman sengon yang terlalu dalam, karena dengan penanaman yang terlalu dalam justru tanaman tidak dapat berkembang secara maksimal, dan terdapat serangan kutu putih pada bagian batang yang tertimbun tanah.

Pengaplikasian pupuk mikro pada penelitian ini diharapkan dpat menekan perkembangan penyakit. Akan tetapi aplikasi pupuk mikro tidak berpengaruh nyata pada kejadian dan keparahan penyakit,serta pertumbuhan tanaman. Selain itu perlakuan kombinasi antara PGPR dan pupuk mikro diharapkan lebih efektif dalam mengendalikan penyakit karat puru, akan tetapi pelakuan kombinasi ini tidak berpengaruh terhadap kejadian dan keparahan penyakit, bahkan lebih tidak efektif daripada perlakuan tunggal. Hal ini terdapat kemungkinan karena adanya kompetisi antara agen biokontrol yang ada pada pupuk mikro dengan PGPR. Kompetisi yang terjadi ini adalah kompetisi dalam mendapatkan ruang untuk tumbuh, dan kompetisi dalam mendapatkan nutrisi. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian Wardani (2012) bahwa aplikasi kombinasi antara PGPR dan

Dokumen terkait