• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini, tanaman yang digunakan untuk pengujian efek hepatoprotektif adalah herba seledri. Herba seledri diperoleh melalui CV. Merapi Farma Herbal Kaliurang, Yogyakarta, dengan kriteria diantaranya berwarna hijau segar, tidak berlubang, tidak busuk, dan berusia sekitar 3-4 bulan.

9

Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Determinasi bertujuan untuk memastikan kebenaran identitas tanaman yang digunakan pada penelitian. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini benar merupakan herba seledri yang termasuk ke dalam suku Apiaceae dengan nama ilmiah Apium graveolens L. Surat hasil determinasi herba seledri dapat dilihat pada Lampiran 2.

Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan alat moisture balance. Alat ini bekerja dengan prinsip gravimetri yaitu dengan menghitung selisih antara bobot serbuk sesudah tahap akhir pengeringan pada Moisture balance dengan yang belum dikeringkan. Tahap akhir pengeringan adalah ketika sampel sudah tidak menunjukkan adanya fluktuasi berat. Setelah dilakukan tiga kali replikasi diperoleh rata-rata kadar air simplisa herba seledri yaitu sebesar 6,62% sehingga serbuk simplisia herba seledri yang dibuat dapat dikatakan sudah memenuhi syarat serbuk simplisia yang baik yaitu memiliki kadar air <10%. Penetapan kadar air serbuk simplisia herba seledri dapat dilihat pada Lampiran 8.

Hasil Uji KLT Sampel DHS

Analisis kualitatif dan identifikasi senyawa dalam DHS dilakukan dengan menggunakan metode KLT (Kromatografi Lapis Tipis). Analisis ini dilakukan untuk melihat apakah apiin dapat tersari dalam sediaan dekokta. Prosedur KLT pada penelitian ini mengacu pada Depkes RI (2010). Fase diam yang digunakan yaitu plat selulosa, fase gerak yang digunakan yaitu Toluene : 1-butanol : asam asetat : akuades (2:2:1:5 v/v), dengan Rf pembanding menggunakan Rf teoritis apiin yaitu 0,30 (Depkes RI, 2010) deteksi menggunakan sitroborat dan lampu UV 365 nm. Apiin yang memiliki kepolaran mendekati fase gerak nantinya akan mengikuti fase gerak yang merambat sehingga senyawa apiin dapat terelusi.

Pada uji KLT dilakukan lima kali penotolan, dimana pada totolan 1,2, dan 3 ditotolkan sampel DHS secara langsung sedangkan pada totolan 4 dan 5

10

ditotolkan sampel DHS yang sudah diencerkan terlebih dahulu. Kelima totolan tersebut ditotolkan pada satu plat yang sama dan dielusi secara bersamaan. Pengenceran sendiri dilakukan karena pada percobaan-percobaan sebelumnya didapatkan tailing yang cukup kuat pada bercak sampel DHS tanpa pengenceran. Tailing sendiri terjadi bisa disebabkan karena dalam ekstrak DHS yang dibuat mungkin mengandung beberapa senyawa lain atau bisa disebabkan pula karena DHS yang terlalu pekat. Hal tersebut cukup menyulitkan dalam penghitungan Rf, sehingga pada totolan ke 4 dan 5 dilakukan penotolan sampel DHS dengan pengenceran. Pengenceran dilakukan untuk mengurangi kepekatan larutan sampel DHS sehingga dapat mengurangi tailing yang terjadi.

Berdasarkan hasil uji KLT yang dilakukan, didapatkan pada totolan 1,2, dan 3 terdapat bercak yang cukup jelas meskipun terjadi tailing namun bentuk bercak masih cukup terlihat sehingga masih dapat dilakukan penghitungan Rf. Sedangkan pada totolan ke-4 dan ke-5 didapatkan bercak yang lebih jelas. Setelah itu dilakukan penghitungan Rf pada bercak yang terbentuk. Rf dihitung dengan cara membagi antara jarak yang ditempuh oleh senyawa dengan jarak yang ditempuh pelarut. Pada KLT ini jarak yang ditempuh oleh pelarut adalah 10 cm. Berdasarkan penghitungan nilai Rf didapatkan Rf berturut-turut dari totolan 1,2, 3, 4 dan 5 yaitu 0,29; 0,28; 0,29; 0,30 dan 0,30. Sehingga berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa sampel DHS mengandung senyawa flavonoid apiin. Hasil Elusi Sampel DHS pada UV 365 nm ditampilkan pada

Gambar 1. Harga Rf Bercak Hasil Elusi pada UV 365 nm ditampilkan pada

11

Gambar 1. Hasil Elusi Sampel DHS pada UV 365 nm

Keterangan : 1= totolan 1; 2= totolan 2; 3= totolan 3; 4= totolan 4; 5= totolan 5. Fase diam = seluloa, Fase gerak = Toluene : 1-butanol : asam asetat : akuades (2:2:1:5 v/v), Deteksi = pereaksi sitroborat, UV 365 nm, sampel = Dekokta Herba Seledri, Rf teoritis apiin= 0,30 (Depkes RI, 2010).

Tabel I. Harga Rf Bercak Hasil Elusi pada UV 365 nm

Nomor Totolan

Fase

Diam Fase Gerak Deteksi

Warna yang Terlihat Rf sampel Rf Pembanding Teoritis Apiin (Depkes RI, 2010) 1 Seluloa Toluene : 1-butanol : asam asetat : akuades (2:2:1:5 v/v) Pereaksi Sitroborat dan UV 365 nm Hijau kekuningan 0,29 0,30 2 Hijau kekuningan 0,28 3 Hijau kekuningan 0,29 4 Hijau kekuningan 0,30 5 Hijau kekuningan 0,30

Hasil Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan bertujuan untuk menentukan waktu pencuplikan darah yang tepat, yaitu ketika ALT menunjukkan aktivitas tertinggi. Pada uji ini tikus dipejankan CCl4 sebanyak 2ml/kgBB dalam olive oil dengan perbandingan 1:1 secara i.p. mengacu pada penelitian Janakat and Al-Merie (2002). Berdasarkan penelitian tersebut dosis 2ml/kgBB merupakan dosis optimum yang dapat meningkatkan enzim ALT tanpa menyebabkan kematian pada tikus. Pemejanan

12

CCl4 dilakukan secara i.p. karena senyawa akan terabsorbsi dengan cepat melalui mesenteric vessels, kemudian ditransfer oleh vena porta ke hati. Di hati, CCl4 akan dimetabolisme terlebih dahulu sebelum kemudian didistribusikan ke sirkulasi sistemik (Turner et al., 2011).

Pada uji pendahuluan, dilakukan pencuplikan darah tikus pada jam ke-0, 24 dan 48 setelah pemejanan CCl4 pada tikus. Pengukuran jam ke-0 bertujuan untuk melihat aktivitas serum ALT pada keadaan normal. Menurut Dongare et al. (2013) peningkatan aktivitas serum ALT tertinggi terjadi pada 24 jam setelah injeksi CCl4 dan mulai kembali ke keadaan normal pada jam ke-48. Purata aktivitas serum ALT pada jam ke-0, 24 dan 48 dapat dilihat pada Tabel II. Hasil dari uji T berpasangan dapat dilihat pada Tabel III, dan histogram uji pendahuluan dapat dilihat pada Gambar II.

Tabel II. Purata Aktivitas Serum ALT Setelah Pemejanan Karbon Tetraklorida pada Jam ke-0, 24 dan 48.

Waktu Pencuplikan Darah Purata Kadar ALT ± SE

(U/L)

Jam ke-0 42,30 ± 1,76

Jam ke-24 96,50 ± 14,03

Jam ke-48 39,52 ± 5,44

Tabel III. Hasil Uji T Berpasangan Terhadap Aktivitas Serum ALT Setelah Pemejanan Karbon Tetraklorida pada Jam ke-0, 24 dan 48.

Waktu Pencuplikan

Darah Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Jam ke-0 BB (p= 0,022) BTB (p= 0,675) Jam ke-24 BB (p= 0,022) BB (p= 0,004) Jam ke-48 BTB (p= 0,675) BB (p= 0,004)

Keterangan : BB = Berbeda Bermakna (p<0,05); BTB = Berbeda Tidak Bermakna (p>0,05).

13

Gambar II. Histogram Purata Aktivitas Serum ALT Setelah Pemejanan Karbon Tetraklorida pada Jam ke-0, 24 dan 48.

Karbon tetraklorida atau CCl4 merupakan senyawa kimia yang dapat membentuk radikal bebas di dalam tubuh. CCl4 akan dimetabolisme oleh enzim CYP2E1 dan membentuk senyawa radikal triklorometil dan triklorometil peroksi. Senyawa radikal tersebut memiliki kereaktifan yang tinggi, namun radius aksinya kecil. Oleh karena radius aksinya yang kecil, mengakibatkan nekrosis yang diinduksi oleh CCl4 keparahannya lebih tinggi pada sel sentrilobular hati yang memiliki isoenzim CYP dengan konsentrasi tertinggi (Hodgson, 2010). Namun kerusakan ini bersifat reversibel karena hati dapat meregenerasi sel kembali (Udayan, 2015).

Adanya akumulasi lemak atau cedera pada hati biasanya dapat menyebabkan perubahan biokimia darah diantaranya peningkatan kadar Alanine Aminotransferase (ALT) (Hodgson, 2010). ALT dianggap sebagai indikator hepatoselular yang spesifik karena merupakan enzim dengan konsentrasi terbesar di hati (Weibrecht et al., 2010). ALT adalah enzim yang berfungsi untuk mengkatalisis transfer gugus amino dari alanin ke alfa-ketoglutarat untuk menghasilkan glutamat dan piruvat sebagai bagian dari metabolisme asam amino dan glukoneogenesis. Kerusakan sel hepatosit akan menyebabkan bocornya ALT ke ruang ekstraseluler dan plasma darah, sehingga kadarnya di darah akan meningkat (Aulbach and Amuzie, 2017).

42.3 96.5 39.52 0 20 40 60 80 100 120

Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Pu ra ta A LT ( U/ L)

14

Pada Tabel II terlihat bahwa pada jam ke-24 terjadi peningkatan aktivitas serum ALT sebesar 2,28 kali dibandingkan dengan jam ke-0. Pada Tabel III ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p= 0,002) antara aktivitas ALT pada jam ke-0 (42,30 ± 1,76 U/L) dengan jam ke-24 (96,50 ± 14,03 U/L). Kenaikan aktivitas serum ALT tersebut mengindikasikan adanya gangguan pada fungsi hati. Untuk memastikan apakah pada jam ke-24 merupakan puncak aktivitas serum ALT, maka dilakukan pengukuran pada jam ke-48. Hasil uji T berpasangan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p= 0,004) yang terjadi antara jam ke-24 (96,50 ± 14,03 U/L) dan jam ke-48 (39,52 ± 5,44 U/L), sedangkan perbedaan yang tidak bermakna (p= 0,675) terjadi antara jam ke 48 (39,52 ± 5,44 U/L) dan jam ke-0 (42,30 ± 1,76 U/L). Hal tersebut membuktikan bahwa puncak kenaikan aktivitas serum ALT terjadi pada jam ke-24 dan pada jam ke 48 aktivitas serum ALT sudah kembali normal.

Berdasarkan hasil analisis statistik yang diperoleh tersebut, ditetapkan waktu pencuplikan darah dari sinus orbitalis mata tikus yaitu 24 jam setelah pemejanan CCl4 secara i.p.

Hasil Uji Pengaruh Pemberian DHS

Pada penelitian ini terdapat 3 kelompok kontrol yaitu Kontrol Hepatotoksik, Kontrol Negatif, Kontrol DHS dan 3 kelompok perlakuan yaitu DHS dosis 0,5 ; 1 dan 2 g/kgBB. Potensi hepatoprotektif dari DHS diketahui dengan membandingkan ketiga dosis DHS tersebut. Parameter yang diukur untuk melihat potensi hepatoprotektif adalah penurunan aktivitas serum ALT dari 3 kelompok perlakuan, yang berbeda bermakna dengan kontrol hepatotoksik. Purata aktivitas serum ALT dapat dilihat pada Tabel IV. Histogram purata aktivitas serum ALT dapat dilihat pada Gambar III. dan Persen hepatoprotektif kelompok perlakuan DHS dosis 0,5; 1: dan 2 g/kgBB dapat dilihat pada Tabel V.

15

Tabel IV. Purata Aktivitas Serum ALT pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Dosis DHS.

Kelompok

Purata Aktivitas Serum ALT ± SE (U/L) Kontrol Negatif 40,04 ± 2,28 Kontrol Hepatotoksik 86,72 ± 8,70 Kontrol DHS (6 hari) 38,34 ± 2,21 DHS dosis 0,5 g/kgBB (6 hari + CCl4) 54,58 ± 2,01 DHS dosis 1 g/kgBB (6 hari + CCl4) 46,92 ± 1,67 DHS dosis 2 g/kgBB (6 hari + CCl4) 50,98 ± 2,96

Gambar III. Histogram Purata Aktivitas Serum ALT pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Dosis DHS.

Tabel V. Persen Hepatoprotektif Kelompok Perlakuan DHS Dosis 0,5; 1; dan 2 g/kgBB. Kelompok Perlakuan DHS Persen Hepatoprotektif DHS dosis 0,5 g/kgBB 69 % DHS dosis 1 g/kgBB 85 % DHS dosis 2 g/kgBB 77 % 40.04 86.72 38.34 54.58 46.92 50.98 0 20 40 60 80 100 120 Kontrol Negatif Kontrol Hepatotoksik Kontrol DHS DHS Dosis 0,5 g/kgBB DHS Dosis 1 g/kgBB DHS Dosis 2 g/kgBB Pur a ta A LT (U /L)

16

Kadar ALT yaang didapat kemudian dianalisis menggunakan Saphiro Wilk didapatkan bahwa data terdistribusi normal (p>0,05), selanjutnya dianalisis menggunakan Levene Test menunjukkan variasi homogen (p>0,05). Kemudian dilanjutkan dengan uji One Way ANOVA dan Post Hoc Tukey. Hasil uji statistik post hoc Tukey dapat dilihat pada Tabel VI.

Tabel VI. Hasil Uji Post Hoc Tukey pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan DHS. Kelompok Kontrol Negatif Kontrol Hepatotoksik Kontrol DHS DHS 0,5 g/kgBB DHS 1 g/kgBB DHS 2 g/kgBB Kontrol Negatif BB (p= 0,000) BTB (p= 1,000) BTB (p= 0,164) BTB (p= 0,841) BTB (p= 0,437) Kontrol Hepatotoksik BB (p= 0,000) BB (p= 0,000) BB (p= 0,000) BB (p= 0,000) BB (p= 0,000) Kontrol DHS BTB (p= 1,000) BB (p= 0,000) BTB (p= 0,093) BTB (p= 0,683) BTB (p= 0,286) DHS 0,5 g/kgBB BTB (p= 0,164) BB (p= 0,000) BTB (p= 0,093) BTB (p= 0,773) BTB (p= 0,989) DHS 1 g/kgBB BTB (p= 0,841) BB (p= 0,000) BTB (p= 0,683) BTB (p= 0,773) BTB (p= 0,980) DHS 2 g/kgBB BTB (p= 0,437) BB (p= 0,000) BTB (p= 0,286) BTB (p= 0,989) BTB (p= 0,980) Keterangan : BB = Berbeda Bermakna (p<0,05); BTB = Berbeda Tidak Bermakna (p>0,05).

Kontrol Negatif

Pada kelompok kontrol negatif, hewan uji diberikan pelarut karbon tetraklorida yaitu olive oil dengan dosis 2ml/kgBB secara i.p. Tujuan dari perlakuan ini adalah untuk memberikan gambaran terkait kondisi normal hati tikus. Pemberian olive oil diharapkan tidak berpengaruh terhadap kenaikan aktivitas serum ALT, sehingga apabila terjadi peningkatan aktivitas serum ALT adalah dikarenakan efek dari CCl4. Berdasarkan hasil pengukuran serum ALT pada kelompok kontrol negatif didapatkan aktivitas serum ALT sebesar 40,04 ± 2,28 U/L. Gomes (2015) melaporkan bahwa pemberian olive oil 2ml/kgBB pada jam ke-0 dan 24 menunjukkan hasil yang tidak berbeda bermakna, hal ini menujukkan bahwa olive oil sebagai pelarut tidak memberikan pengaruh terhadap kenaikan aktivitas serum ALT. Pelaporan tersebut juga didukung oleh penelitian Feng et al. (2010) dimana pemberian olive oil tidak menyebabkan kenaikan aktivitas serum ALT serta tidak menunjukkan adanya perubahan histopatologi hati.

17

Kontrol Hepatotoksik

Pada kelompok kontrol hepatotoksik, hewan uji dipejankan CCl4 2ml/kgBB dalam olive oil dengan perbandingan 1:1 secara i.p. Kemudian pencuplikan darah dilakukan 24 jam setelah pemejanan. Tujuan dari perlakuan ini adalah untuk memberikan gambaran aktivitas enzim ALT saat terjadi kerusakan hati. Berdasarkan analisis statistik ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p= 0,000) antara aktivitas serum ALT kontrol hepatotoksik (86,72 ± 8,70 U/L) dengan kontrol negatif (40,04 ± 2,28 U/L). Terjadi peningkatan aktivitas serum ALT pada kelompok kontrol hepatotoksik sebanyak 2,2 kali dari kontrol negatif. Hal tersebut kurang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zimmerman (1999), dimana steatosis atau nekrosis yang diakibatkan oleh karbon tetraklorida ditandai dengan naiknya kadar ALT sebanyak 3 kali lipat dari nilai normal. Oleh karena itu untuk melihat apakah hati tikus sudah mengalami tanda steatosis atau kerusakan, diperlukan uji pendukung yaitu uji histopatologi yang merupakan uji standar untuk melihat apakah sudah terjadi kerusakan pada hati (Wu et al., 2018).

Karbon tetraklorida atau CCl4 merupakan senyawa kimia yang dapat membentuk radikal bebas di dalam tubuh. CCl4 akan dimetabolisme oleh enzim CYP2E1 dan membentuk senyawa radikal triklorometil dan triklorometil peroksi (Hodgson, 2010). Senyawa hasil metabolisme inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel hati melalui inisiasi peroksidasi lipid, yang diikuti dengan kenaikan Ca2+ intraseluler, deplesi GSH, dan pelepasan ion besi. (Halliwell and Gutteridge, 2015). Adanya kerusakan pada sel hati, dapat menyebabkan bocornya ALT ke ruang ekstraseluler dan plasma darah, sehingga kadarnya di darah akan meningkat (Aulbach and Amuzie, 2017).

Kontrol DHS

Pada kelompok kontrol DHS, hewan uji diberikan DHS dosis tertinggi yaitu 2 g/kgBB selama 6 hari berturut-turut. Tujuan dari perlakuan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian DHS terhadap aktivitas serum ALT. Berdasarkan analisis statistik pengukuran serum ALT pada kelompok kontrol DHS (38,34 ± 2,21 U/L) didapatkan hasil yang berbeda tidak bermakna (p=

18

1,000) dengan kontrol negatif (40,04 ± 2,28 U/L) dan menunjukkan hasil yang berbeda bermakna (p= 0,000) dengan kontrol hepatotoksik (86,72 ± 8,70 U/L). Hal tersebut menjelaskan bahwa pemberian DHS selama 6 hari tidak memberikan pengaruh terhadap kenaikan aktivitas serum ALT.

Kelompok Perlakuan Jangka Panjang DHS

Pada kelompok perlakuan DHS, hewan uji diberikan DHS dosis 0,5;1 dan 2 g/kgBB selama 6 hari berturut-turut kemudian pada hari ke 7 dipejankan karbon tetraklorida dan pada hari kedelapan dilakukan pencuplikan darah. Hasil yang diperoleh dari pengukuran aktivitas serum ALT pada DHS dosis 0,5g/kgBB yaitu sebesar 54,58 ± 2,01 U/L. Berdasarkan analisis statistik didapatkan bahwa DHS dosis 0,5 g/kgBB memiliki efek hepatoprotektif yang ditunjukkan dengan hasil aktivitas serum ALT yang berbeda bermakna (p= 0,000) dengan kelompok kontrol hepatotoksik (86,72 ± 8,70 U/L), dan sudah mampu mengembalikan fungsi hati ke keadaan normal yang ditunjukkan dengan hasil aktivitas serum ALT yang berbeda tidak bermakna (p= 0,164) dengan kelompok kontrol negatif (40,04 ± 2,28 U/L). Hasil perhitungan persen hepatoprotektif yang didapat pada dosis 0,5 g/kgBB adalah sebesar 69 %.

Pada pemberian DHS dosis 1 g/kgBB didapatkan hasil aktivitas serum ALT sebesar 46,92 ± 1,67 U/L. Berdasarkan analisis statistik didapatkan bahwa DHS dosis 1 g/kgBB memiliki efek hepatoprotektif yang ditunjukkan dengan hasil aktivitas serum ALT yang berbeda bermakna (p= 0,000) terhadap kelompok kontrol hepatotoksik (86,72 ± 8,70 U/L) , dan sudah mampu mengembalikan fungsi hati ke keadaan normal yang ditunjukkan dengan hasil aktivitas serum ALT yang berbeda tidak bermakna (p= 0,841) terhadap kelompok kontrol negatif (40,04 ± 2,28 U/L). Hasil perhitungan persen hepatoprotektif yang didapat pada dosis 1 g/kgBB adalah sebesar 85 %.

Pada pemberian DHS dosis 2 g/kgBB didapatkan hasil aktivitas serum ALT sebesar 50,98 ± 2,96 U/L. Berdasarkan analisis statistik didapatkan bahwa DHS dosis 2 g/kgBB memiliki efek hepatoprotektif yang ditunjukkan dengan hasil aktivitas serum ALT yang berbeda bermakna (p= 0,000) terhadap kelompok kontrol hepatotoksik (86,72 ± 8,70 U/L), dan sudah mampu mengembalikan

19

fungsi hati ke keadaan normal yang ditunjukkan dengan hasil aktivitas serum ALT yang berbeda tidak bermakna (p= 0,437) terhadap kelompok kontrol negatif (40,04 ± 2,28 U/L). Hasil perhitungan persen hepatoprotektif yang didapat pada dosis 2 g/kgBB adalah sebesar 77 %.

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga peringkat dosis DHS memiliki efek pencegahan kenaikan aktivitas serum ALT dan sudah mampu mengembalikan fungsi hati ke keadaan normal. DHS Dosis 0,5 g/kgBB (54,58 ± 2,01 U/L) memiliki hasil aktivitas serum ALT yang berbeda tidak bermakna (p= 0,773) terhadap DHS dosis 1 g/kgBB (46,92 ± 1,67 U/L) dan berbeda tidak bermakna (p= 0,989) terhadap DHS dosis 2 g/kgBB (50,98 ± 2,96 U/L). Begitu pula dengan dosis 1 g/kgBB (46,92 ± 1,67 U/L) yang memiliki hasil aktivitas serum ALT yang berbeda tidak bermakna (p=0,980) dengan dosis 2 g/kgBB (50,98 ± 2,96 U/L). Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa tidak terdapat kekerabatan antara dosis pemberian DHS dengan efek pencegahan kenaikan aktivitas serum ALT, dimana peningkatan dosis tidak memberikan perbedaan bermakna terhadap peningkatan efek.

Pada penelitian ini efek hepatoprotektif dari tinggi ke rendah didapatkan pada pemberian DHS dosis 1; 2 dan 0,5 g/kgBB, dengan persen efek 85%, 77%, dan 69%. Dosis menengah atau dosis 1 g/kgBB memiliki efek yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua peringkat dosis lainnya. Pada dosis tertinggi yaitu dosis 2 g/kgBB justru terjadi penurunan efek, hal ini mungkin terjadi karena flavonoid dalam konsentrasi yang tinggi dapat memicu terbentuknya senyawa pro-oxidant (Ling et al. 2010). Senyawa pro-oxidant dapat terbentuk dari flavonoid yang teroksidasi setelah menangkap radikal bebas. Senyawa tersebut dapat memicu terjadinya oksidasi dan kerusakan sel (Halliwell and Gutteridge 2015), yang dalam hal ini adalah sel hati. Diduga hal tersebut yang menyebabkan terjadinya penurunan efek hepatoprotektif DHS pada dosis tertinggi yang diberikan.

Senyawa tetraklorida adalah senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hati. Mekanisme perusakan oleh CCl4 diawali dari perubahan CCl4

menjadi radikal triklorometil (CCl3•), kemudian melalui reaksi dengan oksigen akan terbentuk senyawa radikal triklorometil peroksi (CCl3O2•). (Hodgson, 2010).

20

Senyawa hasil metabolisme inilah yang menyebabkan kerusakan pada hati melalui inisiasi peroksidasi lipid, yang diikuti dengan kenaikan Ca2+ intraseluler, deplesi GSH, dan pelepasan ion besi (Halliwell and Gutteridge 2015)

Flavonoid merupakan salah satu senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Musarofah, 2015) Sifat antioksidan yang dimiliki oleh flavonoid disebabkan oleh adanya gugus fenolik hidroksil yang melekat pada struktur cincin, gugus ini memiliki beberapa mekanisme diantaranya dapat bertindak sebagai agen pereduksi, donator hidrogen, penstabil oksigen singlet, penangkap radikal superoksida, pengkelat logam dan pengaktif enzim antioksidan (Carocho and Ferreira, 2013).

Salah satu contoh senyawa flavonoid yang ditemukan dalan tanaman seledri adalah apiin (Al-snafi, 2017; Kooti et al., 2014). Efek apiin sebagai antioksidan secara in vivo sebelumnya pernah diteliti oleh Li et al. (2013), pada penelitian tersebut dilakukan perlakuan dan pengukuran terhadap kadar MDA, SOD, GSH-Px dan CAT. MDA merupakan salah satu indikator terjadinya lipid peroksidasi dan kerusakan membran sel, sedangkan SOD, GSH-Px dan CAT adalah antioksidan enzimatis yang dimiliki oleh tubuh untuk menangkal radikal bebas. Berdasarkan uji tersebut didapatkan bahwa pemberian apiin pada tikus mampu menurunkan konsentrasi MDA 24% dibandingkan dengan kontrol. Selain itu apiin juga terbukti mampu meningkatkan aktivitas dari antioksidan enzimatis SOD, GSH-Px dan CAT secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Beberapa mekanisme tersebut yang kemudian diduga sebagai mekanisme apiin dalam menurunkan aktivitas triklorometil yang dapat menyebabkan steatosis dan kerusakan pada hati.

KESIMPULAN

Dekokta Herba Seledri (DHS) dosis 0,5; 1 dan 2 g/kgBB memiliki efek hepatoprotektif dengan menurunkan aktivitas serum ALT pada tikus terinduksi karbon tetraklorida. Dosis efektif DHS sebagai hepatoprotektor adalah 1 g/kgBB.

21

SARAN

Perlu dilakukan uji pendukung yaitu uji histopatologi hati untuk melihat perubahan serta kerusakan hati yang terjadi.

Dokumen terkait