• Tidak ada hasil yang ditemukan

Phakopsora pachyrhizi dapat ditemukan di lapangan dengan gejala bercak kecoklatan dan adanya pustul pada daun kedelai. Tanaman kedelai yang terinfeksi P.pachyrhizi akan menunjukkan bercak kecoklatan pada permukaan atas daun dengan dikelilingi oleh halo berwarna kuning terang. Pada daun terinfeksi tersebut menunjukkan adanya pustul yang umumnya bergerombol dan tidak dibatasi oleh tulang daun. Pustul karat tersebut berukuran sekitar 2 mm. Patogen ini melakukan penetrasi ke jaringan daun melalui stomata yang banyak terdapat pada permukaan bawah daun. Gejala ini sesuai dengan pernyataan Hartman et al. (1999) bahwa gejala karat kedelai adalah bercak berwarna kecoklatan dengan uredia yang menonjol pada permukaan bawah daun. Keparahan penyakit yang tinggi dapat menimbulkan gejala pustul karat menyebar pada petiol, polong, dan batang.

Gambar 1 Gejala karat pada permukaan atas daun (a), gejala karat pada permukaan bawah daun (b), kumpulan uredium (c), mikroskopis uredospora P.pachyrhizi dengan perbesaran 40x10

Cendawan P.pachyrhizi yang berasal dari daun kedelai terinfeksi dapat berkecambah pada media PDA da WA (water agar). Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa uredospora P.pachyrhizi berwarna kecoklatan dan berbentuk bulat. Menurut Hartman et al. (1999), uredospora P.pachyrhizi memiliki ukuran 15-24 x 18-34 µm dengan bentuk membulat dan memiliki ketebalan dinding sekitar 1.0 µm, tidak berwarna atau berwarna kuning pucat dan berkecambah pada 3 sampai 6 jam setelah inkubasi pada suhu 14-29 ºC. Hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis serta data pendukung menunjukkan bahwa gejala yang ditemukan pada daun kedelai merupakan gejala infeksi P.pachyrhizi.

Gejala yang ditimbulkan oleh P.pachyrhizi pada daun kedelai dapat berbeda sesuai dengan genotip kedelai dan ras dari patogen. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari warna bercak pustul, jumlah uredia yang muncul, dan periode laten penyakit. Bercak pustul yang timbul umumnya berkorelasi dengan klorosis daun. Jumlah bercak yang tinggi dapat menyebabkan gugur daun prematur dan kematangan dini pada tanaman baik pada fase vegetatif maupun generatif.

Umumnya, kejadian penyakit karat yang tinggi terjadi pada suhu di bawah 28 ºC dan kelembapan udara di atas 80%. Perkecambahan dan penetrasi uredospora membutuhkan film air dan terjadi pada suhu 8-28 ºC. Uredia muncul sekitar 9-10 hari setelah terjadi infeksi dan uredospora muncul 3 minggu setelah

9 infeksi. Seluruh fase penanaman kedelai rentan terhadap infeksi karat, namun biasanya gejala muncul pada pertengahan hingga akhir musim tanam, berkaitan dengan kondisi suhu dan kelembaban tanaman yang mendukung terjadinya infeksi dan sporulasi. Uredospora karat menyebar dengan bantuan angin. P.pachyrhizi bukan merupakan patogen tular benih pada kedelai.

Keefektifan Kitosan dan Agens Antagonis dalam Penghambatan Penyakit Karat Kedelai pada Uji In Planta

Berdasarkan hasil pengujian potensi penghambatan in planta, kitosan, Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. dapat mengendalikan perkembangan penyakit karat kedelai dibandingkan dengan kontrol. Pada awalnya, percobaan mengevaluasi potensi antagonisme Streptomyces sp. secara tunggal terhadap perkembangan penyakit karat. Namun, hasil penelitian Kurniawan (2006) telah menyatakan bahwa filtrat Streptomyces sp. dapat menghambat perkecambahan uredospora Phakopsora pachyrhizi dan menahan perkembangan penyakit pada percobaan in planta. Hasil penelitian tersebut mendorong dilaksanakannya evaluasi potensi kitosan jika dikombinasikan dengan Streptomyces sp. Hasil dari pengujian tersebut dapat memberikan informasi tentang sinergisme kitosan dengan agens antagonis dari golongan aktinomiset dalam pengendalian penyakit karat kedelai.

Tabel 2 Proporsi jumlah daun kedelai terinfeksi karat 60 HST

Galur Perlakuan Proporsi daun terinfeksi

per daun total (%)a Kresna 15 T.harzianum 3.18d B.subtilis 25.39c Kitosan 55.28a Kitosan + Streptomyces 39.34b Kontrol 64.43a Kresna 8 T.harzianum 10.19d B. subtilis 11.53d Kitosan 43.11 b Kitosan + Streptomyces 14.91 cd Kontrol 41.63 b a

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa perkembangan penyakit karat pada perlakuan T.harzianum dan B.subtilis lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dalam satu tanaman. Sementara itu, perlakuan kitosan dan kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. pada galur Kresna 15 dan perlakuan kitosan pada galur Kresna 8 menunjukkan proporsi daun terinfeksi yang sama dengan kontrol. Proporsi daun kedelai yang terinfeksi penyakit karat paling kecil terdapat pada perlakuan T.harzianum pada galur Kresna 15. Proporsi daun terinfeksi tidak dapat memberikan informasi tentang keparahan penyakit pada masing-masing perlakuan. Namun, proporsi daun terinfeksi dapat memberikan informasi tentang potensi

10

penghambatan kitosan dan agens antagonis pada lingkungan mikro dalam hal ini satuan percobaan.

Tabel 3 Kejadian penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST

Galur Perlakuan Kejadian penyakit (%)a

Kresna 15 T.harzianum 20.00d B.subtilis 53.30c Kitosan 100.00a Kitosan + Streptomyces 86.70b Kontrol 100.00a Kresna 8 T.harzianum 40.00d B. subtilis 46.67c Kitosan 80.00b Kitosan + Streptomyces 53.30c Kontrol 100.00a a

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.

Kejadian penyakit karat dapat ditekan oleh aplikasi T.harzianum dan Bacillus subtilis serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces (Tabel 3). Sementara itu, perlakuan kitosan menunjukkan tingkat kejadian yang sama dengan kontrol. Efektivitas kitosan bergantung pada konsentrasi yang digunakan, jenis kitosan (murni atau turunan), derajat polimerasi, inang, komposisi substrat, dan kondisi lingkungan. Aktivitas antimikroba juga meningkat seiring dengan peningkatan bobot molekul dari kitosan tersebut (Hadrami et al. 2010). Spesifisitas dari karateristik kitosan tersebut membutuhkan ukuran parametrik yang tepat dalam aplikasinya terhadap penekanan perkembangan penyakit tanaman. Penggunaan kitosan pada konsentrasi yang berlebihan dapat menurunkan ekfektivitas penghambatan patogen dan juga dapat menyebabkan pengaruh negatif lain pada tanaman.

Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai meningkat relatif pada 50 HST (hari setelah tanam) yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pada 50 HST, tanaman kedelai berada pada awal fase generatif yaitu pembungaan. Intensitas infeksi penyakit karat meningkat pada awal fase pembungaan tersebut. Hal ini sesuai dengan teori dari Hartman et al. (1999) yang menyatakan bahwa seluruh fase perkembangan kedelai reseptif terhadap infeksi P.pachyrhizi namun gejala paling umum ditemukan pada akhir masa vegetatif (awal fase generatif). Hal tersebut berkaitan dengan kondisi lingkungan yang menjadi syarat cukup perkembangan bunga relatif sama dengan syarat cukup perkembangan dan pemencaran dari spora P.pachyrhizi yaitu pada suhu di atas 24 ºC dan kelembaban di atas 70%.

11

Gambar 2 Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai berbagai perlakuan pada galur Kresna 15 (A) dan Kresna 8 (B)

Berdasarkan hasil percobaan, diketahu bahwa perlakuan kitosan, T.harzianum, B.subtilis, serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. mampu menekan perkembangan penyakit karat. Gambar 3 menunjukkan bahwa perkembangan keparahan penyakit karat meningkat untuk semua perlakuan selama waktu pengamatan. Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh perlakuan memiliki keparahan penyakit yang lebih rendah dari kontrol. Keparahan penyakit terendah terdapat pada perlakuan T.harzianum baik pada galur Kresna 15 maupun Kresna 8. Penekanan perkembangan keparahan penyakit karat oleh B subtilis sama dengan T.harzianum dan lebih tinggi dari penekanan keparahan penyakit oleh kitosan dan kombinasi antara kitosan dan Streptomyces sp. Peningkatan keparahan penyakit pada keempat perlakuan memiliki slope yang relatif landai. Sementara itu, peningkatan keparahan penyakit pada kontrol memiliki slope yang relatif lebih curam.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 35 40 45 50 55 60 Ke jadia n pe ny akit (% ) T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol A 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 35 40 45 50 55 60 Ke jadia n pe ny akit (% )

Hari setelah tanam

T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan +Streptomyces Kontrol B

12

Tabel 4 Keparahan penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST

Galur Perlakuan Keparahan penyakit

penyakit (%)a Kresna 15 T.harzianum 6.99c B.subtilis 12.72bc Kitosan 17.75b Kitosan + Streptomyces 19.71b Kontrol 39.10a Kresna 8 T.harzianum 9.37c B. subtilis 7.50bc Kitosan 12.52b Kitosan + Streptomyces 9.94b Kontrol 26.19a a

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.

Gambar 3 Perkembangan keparahan penyakit karat kedelai berbagai perlakuan pada galur Kresna 15 (A) dan Kresna 8 (B) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 35 40 45 50 55 60 Ke pa ra ha n pe ny akit (% ) T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan + Streptomyces Kontrol A 0 5 10 15 20 25 30 35 40 35 40 45 50 55 60 Ke pa ra ha n pe ny akit (% )

Hari setelah tanam

T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan +Streptomyces Kontrol B

13 Tabel 5 Laju infeksi penyakit karat kedelai

Galur

Rata-rata laju infeksi pada perlakuan-xa T.harzianum B.subtilis Kitosan Kitosan +

Streptomyces Kontrol

Kresna 15 0.160a 0.274ab 0.413b 0.402b 0.971c

Kresna 8 0.313ab 0.262ab 0.464b 0.366ab 0.751c

a

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.

Perhitungan laju infeksi penyakit karat untuk masing-masing perlakuan pada kedua galur dapat dilihat pada tabel 4. Laju infeksi setiap perlakuan secara signifikan lebih rendah dari kontrol. Nilai rata-rata laju infeksi setiap perlakuan yang lebih rendah dari 0.5 dapat disebabkan karena patogen tidak terlalu agresif, varietas inang tahan, dan faktor lingkungan internal dan eksternal yang tidak mendukung perkembangan patogen (Manengkey dan Senewe 2011). Laju infeksi terendah terdapat pada perlakuan T.harzianum pada galur Kresna 15. Perbandingan antar kontrol menunjukkan bahwa galur Kresna 8 relatif lebih tahan terhadap infeksi penyakit karat.

Berdasarkan data perkembangan kejadian dan keparahan penyakit karat, diketahui bahwa kitosan, T.harzianum, B.subtilis, dan kombinasi antara kitosan dan Steptomyces sp. efektif dalam pengendalian penyakit karat pada tanaman kedelai. Penghambatan Trichoderma harzianum terhadap cendawan patogen secara umum dapat terjadi dengan beberapa mekanisme. Mekanisme tersebut adalah hiperparasitisme dengan cara pelilitan hifa, produksi toksin yang bersifat antibiotik, perusakan sitoplasma yang menyebabkan terganggunya rangkaian sistesis protein cendawan patogen, penguasaan rhizosfer dan nutrisi, dan produksi enzim kitinase sebagai penghancur dinding sel cendawan (Howell 2014). Namun, mekanisme yang terjadi pada percobaan diduga merupakan hasil induksi ketahanan tanaman oleh T.harzianum terhadap patogen karat. Sriram et al. (2009) menyatakan bahwa T.harzianum dapat meningkatkan aktivitas enzim glukanase pada tanaman sebesar 22% dan meningkatkan kandungan fenol. Induksi ketahanan oleh T.harzianum tidak menyebabkan reaksi hipersensitif, nekrosis, dan fitotoksik. Hasil pengamatan agronomi juga menunjukkan bahwa perlakuan T.harzianum memiliki jumlah daun, jumlah bunga, dan jumlah polong yang lebih tinggi dari perlakuan lain.

Potensi T.harzianum dalam pengendalian patogen-patogen tular tanah telah banyak diketahui. Potensi T.harzianum tersebut berkaitan dengan produksi toksin (trichodermin). Beberapa cendawan tular tanah yang dapat dikendalikan oleh T.harzianum adalah Rhizoctonia solani, Sclerotinia americana, Pythium ultimum, dan Macrophomia phaseolina (Howell 2014). Potensi antifungi T.harzianum dapat dioptimalkan dengan stimulasi tertentu. Penelitian terkini tentang pemanfaatan toksin dari T.harzianum adalah penambahan gen mutan untuk peningkatan efektivitas dari toksin tersebut.

T.harzianum diketahui memiliki berbagai mekanisme yang memberikan pengaruh positif terhadap tanaman. T.harzianum dapat melakukan penetrasi ke jaringan epidermis dan korteks akar tanaman yang terinfeksi tanpa memberikan

14

pengaruh negatif jaringan tanaman yang tidak terinfeksi. T.harzianum memiliki dua jenis enzim kitinase, yaitu endokitinase dan eksokitinase. Endokitinase T.harzianum dapat meningkatkan ketahanan tanaman tembakau dan kentang terhadap patogen dalam spektrum yang luas, sementara eksokitinase dapat meningkatkan ketahanan tanaman apel terhadap penyakit kudis (Venturia inaequalis). Penelitian tentang peningkatan efektivitas T.harzianum juga dilakukan oleh Limon et al. (1999) dengan peningkatan ekspresi dari 33-kda kitinase. Perlakuan T.harzianum yang memiliki tingkat kejadian dan keparahan penyakit paling rendah pada percobaan ini didukung oleh peningkatan ketahahan tanaman. Peningakatan ketahanan tanaman tersebut terjadi dengan peningkatan kandungan enzim peroksidase dan peningkatan kandungan kalosa pada dinding sel tanaman. Peningkatan enzim peroksidase dan kalosa dapat menjadi penghalang fisik dan kimia terhadap penetrasi patogen pada bagian akar maupun daun (Howell et al. 2014).

Penekanan penyakit karat kedelai juga dapat dilakukan oleh Bacillus subtilis. Kejadian dan keparahan penyakit karat pada perlakuan B.subtilis relatif rendah dan perkembangan penyakit pada perlakuan B.subtilis relatif tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat aktivitas antagonisme yang tinggi dari B.subtilis terhadap P.pachyrhizi. Selain sering digunakan sebagai agens biokontrol, beberapa strain B.subtilis juga digunakan sebagai pemicu pertumbuhan tanaman dengan memicu peningkatan produksi asam salisilat pada tanaman (Saharan dan Nehra 2011).

Umumnya, mekanisme kerja bakteri sebagai agens biokontrol adalah produksi antibiotik. Produksi antibiotik bakteri memiliki aktivitas antifungi pada spektrum yang luas. Beberapa antibiotik yang dapat dihasilkan oleh bakteri dan patogenik terhadap cendawan adalah asam sianida, hidrogen sianida, mutan negatif sianida. Setiap bakteri antagonis memiliki antibiotik spesifik yang dapat berspektrum sempit maupun luas terhadap cendawan patogen. B.subtilis dapat menghasilkan mikosubtilin yang dapat mengendalikan Saccharomyces cerevisiae, Pythium sp., (Leclare et al. 2005) dan basicubin yang dapat mengendalikan Pyricularia oryzae, Sclerotinia scleotiorum, Rhizoctonia solani, Alternaria oleracea, A.brassicae, dan Botrytis cinerea (Yongfei et al. 2006).

Fiddaman dan Rosall (1993) melakukan deteksi terhadap antibiotik volatil yang diproduksi oleh B.subtilis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas produksi antibiotik B.subtilis sangat bervariasi tergantung dari media dan suhu inkubasi yang digunakan. Media yang paling baik dalam menunjang produksi antibiotik tersebut adalah media potato dextrose agar (PDA) dan produksi antibiotik tidak optimal pada media nutrient agar (NA) dan tryptic soy agar (TSA). Untuk suhu inkubasi, produksi senyawa antibiotik volatil tersebut optimal pada suhu 30 ºC dan produksi tidak dapat berlangsung di bawah suhu 25 ºC. Aktivitas penghambatan B.subtilis terhadap cendawan patogen adalah kombinasi akumulasi toksin dan enzim pendegradasi sel cendawan. Dua kelas cendawan yang dapat dikendalikan secara efektif oleh B.subtilis adalah oomycetes dan basidiomycetes. B.subtilis dapat mengganggu pembentukan hifa dan mengganggu metabolisme di dalam vakuola.

Streptomyces sp. merupakan bakteri berfilamen gram positif yang berasal dari golongan aktinomiset. Banyak spesies dan strain Streptomyces sp. yang sering dimanfaatkan sebagai agens biokontrol. Streptomyces sp. memiliki

peran-15 peran fisiologis yang bermanfaat untuk tanaman. Peran-peran tersebut di antaranya adalah peningkatan fungsi fisiologis tanaman inang, peningkatan toleransi tanaman terhadap kekeringan, dan penekanan populasi mikrob patogen dengan antibiosis dan kompetisi. Streptomyces sp. memproduksi berbagai senyawa bioaktif yang patogenik terhadap fungi, seperti novobiosin, alnomisin, munumbisin, kakadumisin, dan coronamisin.

Mekanisme kerja dari Streptomyces sp. adalah mendegradasi dinding sel cendawan penyebab penyakit karat. Proses penghancuran tersebut merupakan aktivitas dari enzim kitinase. Penelitian Kim et al. (2003) menyatakan bahwa enzim kitinase dari Streptomyces sp. bekerja apaling optimal pada pH 5.0 sampai pH 6.0 dan suhu 30 ºC. Pada pH di bawah 4.0 dan suhu mencapai 60 ºC, enzim kitinase Streptomyces sp. kehilangan aktivitas antagonismenya. Pada kondisi optimal, enzim kitinase dapat digunakan untuk menghidrolisis kitin, kitotriosa, dan kitooligosakarida yang digunakan untuk pembentukan dinding sel cendawan patogen. Penelitian lain menunjukkan bahwa metabolit sekunder dari S.aureofaciens CMUAc 130 dapat mengendalikan Colletotrichum musae dan Fusarium oxysporum dengan produksi metabolit sekunder 5,7-dhimethoxy-4-p-methoxylphenilcoumarine yang dalam uji in vitro menyebabkan pengacauan sinyal pembentukan hifa sehingga terjadi penggumpalan metabolit pada pertumbuhan hifa cendawan (Taechowisan et al. 2005). Aktivitas antifungi pada aktinomiset lain (S.campsonii) terjadi karena adanya produksi antibiotik poliene yang dapat menyebabkan hidrolisis pati, kasein, gelatin, dan reduksi nitrat (Jain dan Jain 2007).

Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam pengendalian cendawan patogen. Komponen utama kitosan dalam aktivitas antagonismenya adalah polikationik. Aasetil amino dan glukosamin pada kitosan yang bermuatan positif akan berikatan dengan bagian negatif dari makromolekul cendawan sehingga pertumbuhan cendawan terganggu. Selain menghambat pertumbuhan cendawan, kitosan juga dapat menyebabkan gangguan pada morfologi, struktur sel, dan molekuler cendawan patogen (Banos et al. 2006). Perubahan morfologi cendawan patogen yang disebabkan oleh kitosan adalah percabangan miselia yang terlalu banyak, bentuk miselia yang abnormal, dan reduksi ukuran hifa. Mekanisme ini terjadi pada cendawan Fusarium oxysporum, Rhizopus stolonifer, dan Slerotinia sclerotiorum yang diberi perlakuan kitosan.

Selain penekanan terhadap patogen, kitosan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan peningkatan ketahanan tanaman terhadap patogen. Banos et al. (2006) juga menyatakan bahwa aktivitas kitinase dan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kedelai lebih bergantung pada periode pemaparan kitosan dibandingkan denhan konsentrasi dari kitosan tersebut. Kelebihan kitosan dibandingkan dengan agens pengendali lainnya adalah dapat dimanfaatkan pada setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan berbagai organ tanaman. Contoh dari pernyataan tersebut adalah kitosan dapat memperlambat munculnya gejala busuk akar pada tanaman hortikultura dan menekan perkembangan penyakit tular tanah pada perbenihan (Banos et al. 2006), menekan perkembangan penyakit busuk buah pada jambu kristal (Kusumawardhany 2013) dan pepaya (Barus 2013). Selain dapat diaplikasikan secara tunggal, aktivitas kitosan juga sinergis dengan agens antagonis lain sepertiaktinomiset. Hal ini dibuktikan oleh

16

Amallia (2013) bahwa kombinasi kitosan dengan aktinomiset dapat mencegah penyakit antraknosa dan meningkatkan daya simpan buah cabai sampai 10 hari.

Fitotoksisitas adalah potensi terjadinya keracunan pada tanaman pokok akibat aplikasi dari input eksternal baik input fisik, input kimia, dan input biologi. Fitotoksisitas pada tanaman dapat disebabkan karena adanya interaksi negatif dari input eksternal dengan ekosistem mikro tanaman. Fitotoksisitas merupakan salah satu rangkaian pengujian kelayakan dalam penggunaan bahan dan agens yang akan digunakan sebagai pengendali hayati penyakit tanaman. Gejala fitotoksik yang dapat ditemui akibat aplikasi input biologi diantaranya adalah daun menguning, layu, kerdil, bercak, dan mosaik dengan sebaran yang relatif merata baik dalam satu bagian tanaman maupun dalam satu tanaman.

Gambar 4 Tanaman dengan gejala yang diduga fitotoksik dari perlakuan Bacillus subtilis (a dan b), kitosan (c)

Perlakuan T.harzianum serta kombinasi kitosan dan Streptomyces sp. tidak menunjukkan gejala fitotoksik. Tanaman yang diduga mengalami gejala fitotoksik ditemui pada perlakuan B.subtilis dan kitosan. Gambar 4 menunjukkan beberapa contoh tanaman yang diduga mengalami gejala keracunan akibat aplikasi kitosan dan agens antagonis yang digunakan. Pada perlakuan B.subtilis ditemukan 6 dari 15 tanaman yang pada bagian daunnya terdapat bercak berwarna merah kecoklatan. Bercak tersebut berbentuk bulat beraturan, menyebar pada permukaan atas daun, dan memiliki ukuran yang relatif sama. Hasil isolasi dan uji gram dengan larutan KOH 3% menunjukkan bahwa bercak tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif dengan ciri terdapat lendir pada saat pengujian gram.

Gejala lain pada perlakuan B.subtilis yang awalnya diduga merupakan gejala fitotoksik adalah layu. Gejala tersebut ditemui pada 4 dari 15 tanaman pada galur Kresna 15 dan 2 dari 15 tanaman pada galur Kresna 8. Tanaman pada gejala tersebut berwarna coklat terang merata pada keseluruhan bagian tanaman. Hasil isolasi dan uji gram juga menunjukkan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif.

Pada uji fitotoksisitas dengan menggunakan kitosan, ditemukan 7 dari 15 tanaman pada galur Kresna 15 yang batang bagian bawahnya terkelupas. Terkelupasnya batang bagian bawah tersebut ditunjukkan dengan kulit batang yang mengering dan jaringannya terpisah seperti serabut. Batang bagian bawah yang mengalami gejala tersebut merupakan area aplikasi kitosan pada 2 dan 4 MST. Penelitian Hadrami et al. (2010) menyatakan bahwa konsentrasi kitosan mempengaruhi aktivitasnya terhadap tanaman. Pernyataan lanjutan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa jika diaplikasikan pada konsentrasi yang terlalu tinggi, kitosan dapat menyebabkan gejala seperti gosong pada buah, kering pada

17 daun dan batang tanaman, serta penggumpalan. Konsentrasi kitosan minimal yang dapat digunakan untuk menekan perkembangan cendawan patogen adalah 1 000 sampai 5 000 ppm sedangkan percobaan ini menggunakan konsentrasi 20 000 ppm. Hasil pengamatan terhadap gejala terkelupasnya batang bagian bawah kedelai diduga disebabkan oleh konsentrasi aplikasi kitosan yang terlalu tinggi, yaitu 1%. Gejala terkelupasnya batang bagian bawah juga terjadi pada tanaman dalam uji antagonisme namun dalam jumlah yang lebih sedikit dari tanaman dalam plot uji fitotoksisitas. Gejala tersebut diduga juga dapat disebabkan oleh aktivitas asam asetat yang konsentrasinya relatif tinggi dalam larutan kitosan, yaitu 20%.

Perbandingan Karakter Agronomi Tanaman Kedelai dari Perlakuan Kitosan dan Agens Antagonis

Perlakuan kitosan dan ketiga agens antagonis tidak hanya memberikan pengaruh terhadap penekanan perkembangan penyakit, tetapi juga memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Parameter yang diamati pada pengamatan karakter agronomi kedelai adalah ukuran daun, jumlah tanaman berbunga dan jumlah tanaman berpolong pada awal fase generatif. Menurut Balitkabi (2013), awal fase generatif tanaman kedelai adalah pada 35 HST.

Ukuran daun terbesar terdapat pada perlakuan T.harzianum. Ukuran daun yang besar dapat meningkatkan kapasitas penerimaan cahaya matahari untuk fotosintesis. Proses fotosintesis yang optimal akan mendukung perkembangan tanaman yang dapat diukur dari keragaan tanaman dan hasil panen yang tinggi. Hasil tersebut merupakan interaksi antara potensi kitosan agens antagonis yang diaplikasikan dengan karakter genetik dari masing-masing galur.

Tabel 6 Jumlah daun kedelai galur Kresna 15 dan Kresna 8 dengan perlakuan kitosan dan agens antagonis

Galur Perlakuan Rata-rata jumlah daun

a

Uji antagonisme Uji fitotoksisitas Kresna 15

T.harzianum 21a 16a

B.subtilis 10ab 12ab

Kitosan 11ab 10ab

Kitosan + Streptomyces 12ab 9bc

Kontrol 9bc 13ab

Kresna 8

T.harzianum 14ab 19a

B. subtilis 11ab 11ab

Kitosan 11ab 12ab

Kitosan + Streptomyces 11ab 13ab

Kontrol 10ab 11ab

a

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.

Jumlah daun kedelai pada aplikasi T.harzianum lebih tinggi daripada kontrol sedangkan perlakuan lain memiliki jumlah daun yang sama dengan kontrol (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa T.harzianum memiliki peran penting dalam peningkatan pertumbuhan tanaman selain memberikan sifat antagonis terhadap patogen. Sementara itu, tanaman pada uji fitotoksisitas galur

18

Kresna 15 serta data pada Kresna 8 memiliki jumlah daun yang sama pada pada kedua uji dan pengaruh perlakuan tidak ada yang berbeda dengan kontrol. Jika dibandingkan dengan jumlah daun usia tanaman 8 MST yang ditanam di lapangan, jumlah daun pada perocobaan ini relatif sedikit pada seluruh perlakuan kecuali perlakuan T.harzianum. Pada usia 8 MST, jumlah daun normal dalam keadaan optimum adalah 14 daun (Naibaho 2006).

Jumlah daun yang relatif sedikit pada berbagai perlakuan ini diakibatkan oleh cekaman lingkungan. Cekaman lingkungan yang dialami oleh tanaman kedelai pada perlakuan ini adalah tanaman tidak terpapar cahaya matahari secara

Dokumen terkait