• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inner cell mass blastosis yang telah dipisahkan dari trofoblas (Gambar 5) dikultur pada CFL atau MEF (Gambar 6). Inner cell mass selanjutnya mengalami perlekatan pada feeder layer (Gambar 7A) dan bertumbuh menjadi koloni ESC multilayer yang besar (Gambar 7B-7D).

Gambar 5 Proses isolasi ICM untuk kultur pada CFL dan CCM. A: blastosis utuh, B: blastosis tanpa zona pelusida setelah dipaparkan pada antiserum, C: blastosis setelah dipaparkan pada complement, terjadi lisis pada trofoblas, D: ICM hasil isolasi. ZP: zona pelusida, T: trofoblas, BT: blastosul, ICM: inner cell mass. Bar = 60 µm.

T ICM C ZP A ICM T ICM D B BT BT ICM T T

Gambar 6 CFL (A) dan MEF feeder layer (B) yang digunakan untuk kultur ESC. 100 µm.

Gambar 7 Perkembangan ESC dalam kultur: ICM yang melekat pada feeder layer

setelah kultur 2 hari (A) dan 3 hari (B), koloni primer ESC umur 5 hari (C) dan 7 hari (D). Bar: 100 µm.

A B A B D C A B D C

Perhitungan tingkat perlekatan (attachment rate, AR) dilakukan pada kultur hari pertama hingga keempat. Tingkat perlekatan ICM pada CFL dan MEF tidak berbeda (P>0.05) dengan yang dihasilkan pada WFL. Walaupun demikian, dalam kultur selanjutnya, sebagian besar ICM yang dikultur pada WFL tidak berhasil membentuk koloni multilayer yang besar dan menyebabkan tingkat pembentukan koloni primer ESC (the number of primary embryonic stem cell colony, PC) pada WFL lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan yang dikultur pada CFL dan MEF. Selain itu, tidak satupun koloni ESC yang dikultur pada WFL yang bertahan hingga pasase kelima, dan menyebabkan jumlah cell line yang dihasilkan lebih rendah (P<0.05) dari CFL dan MEF (Tabel 3).

Tabel 3 Proliferasi dan pluripotensi embryonic stem cells yang dikultur pada CFL dan MEF

Variabel Penelitian

Jenis feeder layer

CFL MEF WFL Jumlah embrio 46 46 46 AR (%) 43 (93.48±6.65)a 42 (91.30±10.95)a 37 (86.96±4.25)a PC (%) 23 (50.00±8.39)a 24 (52.17±7.90)a 4 (8.70±7.06)b GR (%) 129.23±20.39a 129.98±19.33a 75.03±11.82b DT (jam) 17.06±2.54a 16.91±2.17a 27.27±4.03b Cell line (%) 4 (8.70±2.14)a 5 (10.87±4.48)a 0 (0.00±0.00)b ALP+ (%) 51/67 (76.12±2.72)a 60/73 (82.19±4.36)a td

Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara jenis feeder layer. td = tidak dilakukan pengukuran

Selain itu, juga dilakukan pengukuran tingkat proliferasi dan pluripotensi ESC. Tingkat proliferasi didasarkan pada tingkat pertumbuhan koloni (rata-rata pertambahan diameter koloni ESC harian) dan doubling time (jumlah satuan waktu yang dibutuhkan koloni ESC untuk menggandakan diri). Tingkat proliferasi yang tinggi ditunjukkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan koloni (growth rate, GR) dan pendeknya doubling time (DT). Tingkat pertumbuhan koloni dari koloni ESC yang dikultur pada CFL tidak berbeda (P>0.05) dengan yang dihasilkan pada MEF, dan keduanya lebih tinggi (P<0.05) daripada WFL. Tingkat pertumbuhan koloni ESC yang tinggi pada CFL dan MEF berdampak pada lebih pendeknya doubling time (P<0.05) dibandingkan dengan WFL (Tabel 3).

Tingkat pluripotensi diukur dengan pewarnaan ALP. Koloni yang positif terhadap pewarnaan ALP (warna merah) menunjukkan masih bersifat pluripoten dan belum berdiferensiasi (Gambar 8). Tingkat pluripotensi ESC pada CFL tidak berbeda (P>0.05) dengan MEF (Tabel 3). Pada kultur dengan WFL, tidak dilakukan pengukuran karena tidak satupun koloni ESC yang bertahan hingga

pasase kelima. Morfologi koloni yang telah berdiferensiasi umumnya memiliki bentuk koloni yang flat dan morfologi sel tunggal dapat dibedakan secara individual. Pada ESC mencit, diferensiasi umumnya terjadi pada bagian pinggir (Oh et al. 2005).

Gambar 8 Koloni embryonic stem cells yang positif terhadap pewarnaan alkaline phosphatase. Bar:50 µm.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer pada kultur ESC mencit sebanding dengan MEF, dan keduanya lebih baik daripada WFL. Hampir semua variabel penelitian pada CFL dan MEF kecuali AR, lebih baik daripada WFL. Tingkat pembentukan koloni primer, GR, jumlah cell line, dan ALP+ mengalami peningkatan masing-masing sebesar 41.30, 54.20, 8.70, dan 76.12%, dan terjadi perpendekan DT 10.21 jam ketika ESC dikultur pada CFL dibandingkan dengan WFL (Tabel 3). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa CFL menghasilkan faktor penunjang atau paling tidak menyediakan lingkungan kultur yang lebih kondusif bagi ICM untuk hidup dan melekat pada cawan kultur yang selanjutnya berkembang membentuk koloni ESC.

Menurut Kane et al. (1992), feeder layer berpengaruh positif terhadap perkembangan sel embrionik melalui tiga cara: 1) feeder layer memproduksi berbagai bahan mitogenik untuk embrio, 2) produk matriks ekstraseluler feeder layer menunjang pertumbuhan dan perkembangan sel embrionik, dan 3) feeder layer dapat meminimalisir pengaruh dari berbagai substansi toksik yang

dihasilkan selama kultur in vitro. Hal tersebut ditunjang oleh Joo et al. (2001), yang menyatakan bahwa kontak langsung antara feeder cell dengan ESC akan memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan tumbuh kembang dari sel-sel yang bersangkutan. Senada dengan itu, Roudebush et al. (1995) menyatakan bahwa penggunaan sistem ko-kultur seperti dengan sel kumulus memiliki beberapa keuntungan yaitu: dapat menghilangkan berbagai substansi yang merugikan dari medium kultur, memiliki aktivitas antioksidan, menghasilkan berbagai agen embriotropik spesifik dan non spesifik seperti growth factor.

Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah penggunaan kumulus sebagai feeder layer mampu menampilkan produksi ESC mencit secara optimal. Hal ini terlihat dari tidak adanya perbedaan AR, PC, GR, DT, jumlah cell line, dan ALP+ yang dihasilkan oleh CFL dengan MEF (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan bahwa sel kumulus menghasilkan berbagai growth factor yang berperan dalam proliferasi dan self-renewal ESC.

Sel kumulus mengekspresikan TGF- tipe 1 dan 2 mRNA (Mulheron et al. 1992), dan activin A (Lau et al. 1999). Konsentrasi activin A dalam medium yang mengandung kumulus berkisar antara 539 ± 107,2 pg/ml hingga 875,5 ± 101 pg/ml (Lau et al. 1999). Peranan activin dalam mempertahankan pluripotensi ESC melalui interaksi dengan reseptor activin tipe II (ActRII/IIB), menyebabkan fosforilasi dan aktivasi reseptor activin tipe I (ALK4 atau ActRIB). ALK4 memfosforilasi Smad2 dan Smad3, membentuk kompleks dengan Co-Smad (Smad4). Kompleks tersebut akan terakumulasi dalam inti dan terikat pada promoter region dari gen target, dan meregulasi ekspresi gen tersebut untuk mempertahankan pluripotensi ESC (Feng & Derynck 2005). Xiao et al. (2006) melaporkan bahwa activin A (10 ng/ml) cukup untuk mempertahankan pluripotensi ESC manusia yang dikultur pada matrigel.

Activin/Nodal signaling mempertahankan pluripotensi ESC manusia (Xiao et al. 2006). Dalam penelitian tersebut, telah dibuktikan bahwa ESC manusia akan berkembang menjadi trofoblas jika activin/Nodal signaling dihambat. Pada morula manusia, sel-sel yang menerima sinyal activin/Nodal membentuk inner cell mass, sementara sel lain yang tidak menerima cukup sinyal activin/Nodal akan berkembang menjadi trofoblas. Hal ini mengindikasikan bahwa activin/Nodal signaling meregulasi kejadian diferensiasi pertama pada perkembangan embrio manusia (Wu et al. 2008).

Sel kumulus juga mengandung 4395 protein, 286 diantaranya termasuk protein membran, dan 185 termasuk protein inti (Memili et al. 2007). Mereka juga

mengidentifikasi 241 receptor-ligand pathway, 18 diantaranya adalah growth factor yang dilibatkan dalam proliferasi dan diferensiasi sel. Sel kumulus juga mengekspresikan beberapa growth factor seperti Endothelial growth factor-D, FGF, EGF, IGF, TGF (Memili et al. 2007). Kumulus juga mengandung laminin receptor yang berfungsi untuk memediasi perlekatan, migrasi, dan organisasi sel, 249 transcription factor diantaranya adalah: 4 signal transducer and activator of transcription (STAT) proteins (Memili et al. 2007), Wnt2 dan -catenin (Wang et al. 2009) yang berperan dalam mempertahankan proliferasi dan pluripotensi ESC (Miyabayashi et al. 2007).

Secara umum, hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya. Hashemi-Tabar et al. (2005) menguji efisiensi rat embryonic fibroblast (REF) dan MEF sebagai feeder layer untuk kultur ESC mencit. Lima belas blastosis yang dikultur pada REF mampu menghasilkan 8 koloni primer (53.33%), tetapi tidak ada yang mampu membentuk cell line. Disisi lain, dari 10 blastosis yang dikultur pada MEF, dihasilkan 4 koloni primer (40%), dan 3 diantaranya membentuk cell line (30%). Selain itu, doubling time ESC mencit pada penelitian ini juga berbeda dengan yang dihasilkan oleh ESC primata, manusia dan kelinci. Doubling time ESC primata pada tiga hari pertama kultur adalah 70 jam dan menurun menjadi 25 jam pada hari keempat dan kelima kultur (Fluckiger et al. 2006). Pada ESC manusia, doubling time lebih panjang yaitu 36.9 hingga 38.7 jam (Chen et al. 2007) dan 30 hingga 40 jam (Park et al. 2008b), sedangkan pada ESC kelinci lebih pendek yaitu 24 jam (Wang et al. 2007).

Dari berbagai data yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan produksi ESC sangat dipengaruhi oleh faktor genetik (Yu & Thomson 2008), misalnya, ESC dapat dengan mudah dihasilkan dari mencit strain 129 tetapi kurang efisien dari strain C57BL/6 (Cheng et al. 2004), metode isolasi, metode kultur, pengalaman dan ketrampilan peneliti, jumlah dan kualitas embrio yang digunakan (Stojkovic et al. 2004). Kriteria seleksi yang digunakan untuk memilih embrio akan menentukan tingkat keberhasilan produksi ESC (Trounson 2006). Diperkirakan bahwa 50 persen embrio manusia memiliki abnormalitas kromosom (Gianaroli 2002) yang akan membatasi tingkat keberhasilan produksi ESC. Produksi ESC juga tergantung pada tipe, sumber dan kualitas feeder layer, dan metode pasase ESC yang digunakan (Hashemi- Tabar et al. 2005).

Profil ESC pada CCM dan CFL dengan Konsentrasi LIF Berbeda

Hasil pengamatan AR pada hari kedua kultur menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi LIF dalam medium kultur tidak diiringi peningkatan AR baik pada CCM, CFL, maupun perlakuan kontrol (P>0.05). Semua kombinasi perlakuan memiliki AR yang tinggi yaitu diatas 80% (Tabel 4). Hasil penelitian ini mungkin mengindikasikan bahwa LIF tidak berperan dalam proses perlekatan sel.

Disisi lain, ada perbedaan level LIF optimal antara CCM dan CFL pada beberapa variabel seperti PC, GR, DT, cell line dan ALP+, dimana level LIF optimal pada CCM dihasilkan pada konsentrasi 20 ng/ml, sedangkan pada CFL dicapai pada level 10 ng/ml. Peningkatan konsentrasi LIF hingga 20 ng/ml pada CCM mampu meningkatkan keberhasilan kultur ESC yang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan yang dihasilkan pada konsentrasi 0 dan 10 ng/ml (Tabel 4).

Peningkatan PC pada CCM dengan konsentrasi LIF 20 ng/ml mencapai 33% dibandingkan dengan 6% pada konsentrasi 10 ng/ml, GR: 44% vs 17%, cell line: 9% vs 2%, ALP+: 77% vs 44%, dan memperpendek DT sekitar 8 jam vs 4 jam. Pada kultur dengan CFL, keberhasilan kultur ESC yang dicapai dengan konsentrasi LIF 10 ng/ml dan 20 ng/ml tidak berbeda nyata (P>0.05), dengan peningkatan PC: 22% vs 27%, GR: 35% vs 41%, cell line: 9% vs 11%, ALP+: 79% vs 83%, dan memperpendek DT sekitar 6 jam vs 6 jam.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperlukan konsentrasi LIF yang lebih rendah pada kultur ESC dengan CFL dibandingkan dengan CCM. Hal ini mungkin diakibatkan oleh beberapa hal: 1) kontak langsung dengan sel kumulus menjamin kontinuitas kebutuhan ESC terhadap growth factor yang berperan dalam proliferasi dan pluripotensi, 2) mitogenic factor yang terekspresi pada CFL tidak dilepaskan secara sempurna kedalam CCM sehingga tidak mencukupi kebutuhan ESC, 3) produk buangan dari hasil sisa metabolime ESC yang dilepaskan ke dalam CCM mengganggu pertumbuhan dan perkembangan ESC.

Tabel 4 Proliferasi dan pluripotensi embryonic stem cells yang dikultur pada CFL dan CCM dengan konsentrasi LIF berbeda

Metode kultur

LIF

(ng/ml) AR (%) PC (%) GR (%) DT (jam) Cell line (%) ALP

+ (%) CCM Tanpa LIF 82.22±8.43a 11.11±9.80cd 75.36±4.00cd 26.81±1.19c 0.00±0.00b td 10 86.67±9.76a 17.78±7.78bc 92.33±8.60b 22.64±1.83b 2.22±0.00b 44.44±0.00b 20 91.11±10.48a 44.44±9.71a 119.17±10.55a 18.08±1.38a 8.89±1.47a 77.42±7.25a CFL Tanpa LIF 91.11±8.08a 24.44±7.65b 86.36±4.93bc 23.90±1.19b 0.00±0.00b td 10 93.33±6.40a 46.67±5.85a 121.17±10.74a 17.82±1.37a 8.89±1.71a 79.37±3.98a 20 88.89±11.90a 51.11±4.83a 127.90±14.20a 17.05±1.78a 11.11±2.06a 83.58±2.79a WFL Tanpa LIF 82.22±8.43a 0.00±0.00e td td td td 10 84.09±4.19a 6.82±6.02de 71.23±3.41d 28.09±1.10c 0.00±0.00b td 20 88.89±11.47a 11.11±2.15cd 87.99±3.81b 23.49±0.88b 2.22±0.00b 41.67±0.00b

Hal lain yang teramati adalah kultur ESC pada CCM atau CFL tanpa LIF menghasilkan keberhasilan ESC yang lebih rendah. Bahkan dari 45 ICM pada masing-masing perlakuan tidak satupun yang membentuk cell line. Hal ini mungkin mengindikasikan bahwa zat aktif yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan proliferasi yang terdapat dalam sel kumulus terkandung dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan dengan kebutuhan ESC sehingga masih diperlukan suplementasi LIF ekstraseluler. Menurut Lau et al. (1999), konsentrasi activin A dalam medium yang mengandung kumulus berkisar antara 539 pg/ml hingga 875,5 pg/ml (Lau et al. 1999), lebih rendah daripada level yang optimal untuk kultur ESC yaitu 10 ng/ml (Xiao et al. 2006).

Hasil yang sama ditampilkan ketika ESC dikultur hanya menggunakan LIF tanpa CFL atau CCM. Semua variabel penelitian kecuali AR pada kondisi kultur yang demikian mengalami penurunan secara drastis, bahkan tidak satupun cell line yang dihasilkan pada kelompok WFL tanpa LIF dan WFL plus LIF 10 ng/ml. Hal ini memberi indikasi bahwa kombinasi zat aktif yang terdapat dalam CFL dan CCM dengan LIF yang ditambahkan ke dalam medium kultur memberikan nilai tambah terhadap proliferasi dan pluripotensi ESC.

Hasil SDS-PAGE menunjukkan bahwa CCM mencit mengandung empat jenis protein dengan berat molekul secara berturut-turut >203, 75.3, 65.5, dan 30.3 kDa (Gambar 9). Keempat jenis protein tersebut belum diketahui secara pasti karena tidak dilakukan karakterisasi yang lebih spesifik. Namun demikian, dihubungkan dengan beberapa penelitian sebelumnya ada indikasi bahwa protein dengan berat molekul 30.3 kDa hampir sama dengan berat molekul basic fibroblast growth factor (bFGF) yang ditemukan pada testes rodensia (30 kDa) (Mayerhofer et al. 1991). Protein dengan berat molekul 65.5 kDa hampir sama dengan berat molekul activin receptor type I (Alk-2, activin receptor-like kinase-2) (65 kDa) dan protein dengan berat molekul 75.3 kDa berada pada kisaran berat molekul TGF type 1 receptor (70-85 kDa) yang berperan dalam pengikatan BMP (R&D system 1999).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa feeder layer dan conditioned medium kumulus yang disuplementasi dengan LIF dapat digunakan secara optimal untuk kultur ESC mencit. Selain itu, penggunaan conditioned medium kumulus dalam kultur ESC akan memberikan nilai tambah dibandingkan dengan penggunaan feeder layer ataupun gowth factor karena selain harganya murah, ESC yang diproduksi dengan metode ini dapat dihasilkan dalam tingkat

kemurnian yang tinggi karena tidak adanya percampuran dengan feeder layer. Conditioned medium dapat diproduksi secara kontinyu dari hasil kultur feeder layer baik digunakan untuk keperluan sendiri ataupun dapat dijual kepada pihak lain yang membutuhkan.

Gambar 9 SDS-PAGE pada conditioned medium kumulus.

line 1&10: sample buffer line 6: Sampel buffer+ serum line 2: marker line 7: line 3 : PBS = 1 : 1 line 3: supernatan kumulus - serum line8: line 4 : PBS = 1 : 1 line 4: supernatan kumulus + serum line 9: line 5 : PBS = 1 : 1 line 5: supernatan kumulus oosit + serum

Sel kumulus manusia menghasilkan antioksidan yang berfungsi melindungi oosit dari pengaruh negatif reactive oxygen species (Matos et al. 2009). Sel kumulus manusia juga mengekspresikan Wnt/ -catenin (Wang et al. 2009), transforming growth factors- (TGF- ) type 1 and type 2 mRNA (Mulheron et al. 1992), activin A (Lau et al. 1999). Sel kumulus sapi mengandung FGF, epidermal growth factor (EGF), insulin-like growth factor (IGF), dan TGF (Memili et al. 2007). Bahan-bahan aktif tersebut diketahui berperan dalam mempertahankan proliferasi ESC. Wnt signaling bekerja secara sinergis dengan LIF untuk mempertahankan pluripotensi pada ESC mencit dan ESC manusia (Sato et al. 2004, Ogawa et al. 2006). Dalam kehadiran Wnt/ -catenin, LIF

Line 3 Line 4 Line 5 Line 6 Line 7 Line 8 Line 9 Line 10 Line 2 203 118 86 51.6 34.1 29 7.5 19.2 75.3 65.5 30.3 >203

berkonsentrasi rendah dapat mempertahankan proliferasi ESC, dan terjadi peningkatan ekspresi STAT3 sebesar dua hingga tiga kali lipat (Hao et al. 2006). Hasil penelitian Davey et al. (2007) mengindikasikan bahwa Wnt/ -catenin dapat meningkatkan aktivasi STAT3, dan memungkinkan level ligand yang berada dibawah ambang kebutuhan dapat mempertahankan proliferasi ESC. Pada kondisi normal, misalnya level LIF eksogen yang rendah, tingkat aktivasi STAT3 sangat rendah sehingga tidak cukup untuk mempertahankan proliferasi ESC, yang selanjutnya menyebabkan diferensiasi (Davey et al. 2007).

Embryonic stem cells memerlukan growth factor dari luar untuk mempertahankan pluripotensi selama kultur in vitro. Hal ini memberikan suatu indikasi bahwa pluripotensi merupakan suatu tahapan sel yang tidak stabil dan sangat sensitif terhadap faktor-faktor penyebab diferensiasi. Secara umum, ESC dikultur pada feeder layer yang terbuat dari sel-sel fibroblas fetus yang sebelumnya telah diinaktivasi untuk menghambat pertumbuhannya tetapi masih mampu menghasilkan growth factor yang diperlukan untuk menunjang proliferasi dan mempertahankan pluripotensi ESC. Salah satu faktor yang dihasilkan oleh sel-sel fibroblas fetus yang berperan dalam mempertahankan proliferasi dan pluripotensi ESC adalah LIF, suatu sitokin yang pada awalnya dikenal berfungsi dalam menginduksi diferensiasi sel-sel leukemia, tetapi kemudian diketahui dapat menghambat diferensiasi pada ESC.

Leukemia inhibitory factor adalah anggota interleukin-6 (IL-6) cytokine family yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan proliferasi ESC mencit. Leukemia inhibitory factor menstimulasi ESC mencit melalui gp130, yang berfungsi sebagai heterodimer bersama dengan LIF receptor. Aktivasi gp130 menyebabkan teraktivasi-nya janus-associated tyrosine kinase (JAK) dan signal transducer and activation of transcription 3 (STAT3). STAT3 masuk ke dalam inti sel dan mengaktivasi sejumlah gen seperti c-myc (Cartwright et al. 2005), nanog (Chambers et al. 2003, Darr et al. 2006), eed (Ura et al. 2008), jmjd1a (Ko et al. 2006) dan GABP , yang berfungsi untuk mempertahankan ekspresi Oct4 (Kinoshita et al. 2007), dan berbagai faktor transkripsi lainnya yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan proliferasi ESC.

Tiga faktor transkripsi, Oct4, Nanog dan Sox2, adalah protein-protein pertama yang diidentifikasikan esensial untuk mempertahankan pluripotensi pada ESC (Mitsui et al. 2003). Pluripotensi ESC mencit dapat dipertahankan jika ekspresi Oct4 dipertahankan dalam range yang tepat. Ekspresi yang berlebihan

atau kurang dapat menyebabkan diferensiasi (Niwa et al. 2000). Begitu juga dengan ekspresi Sox2, pada konsentrasi yang berada diluar range menyebabkan diferensiasi ESC (Fong et al. 2008; Kopp et al. 2008). Berlawanan dengan yang terjadi pada Oct4 dan Sox2, ekspresi yang berlebihan dari Nanog pada ESC mencit menyebabkan pluripotensi dan proliferasi dapat dipertahankan tanpa ketergantungan pada LIF/STAT3 (Chambers et al. 2003).

Selain Oct4, Nanog, dan Sox2, faktor lain yang diperlukan untuk mempertahankan pluripotensi adalah Sall4, Dax1, Essrb, Tbx3, Tcl1, Rif1, Nac1, dan Zfp281 (Loh et al. 2006). Faktor-faktor pluripotensi ini saling bekerjasama dan membentuk jaringan pengatur transkripsi pada ESC (Zhou et al. 2007). Sel- sel pluripoten juga mengekspresikan pluripotency factor yang tidak hanya berfungsi sebagai marker untuk sel-sel pluripoten, tetapi juga secara fungsional penting untuk mempertahankan pluripotensi (Chen & Daley 2008).

Cartwright et al. (2005) menunjukkan bahwa STAT3 memediasi proliferasi melalui aktivasi ekspresi c-myc. Dalam ketidak hadiran LIF selama 36 jam, ekspresi c-myc akan hilang dan menyebabkan terjadinya diferensiasi. Diferensiasi tersebut terjadi secara permanen walaupun setelah periode waktu tersebut diberikan LIF kembali (Boeuf et al. 2001). ESC yang dikultur tanpa kehadiran LIF akan menyebabkan kehilangan kemampuannya untuk berkontribusi menjadi kimera (Burdon et al. 1999).

Pluripotensi juga dapat diinduksi pada sel yang telah berdiferensiasi atau sel non-pluripotent dengan memaparkan inti sel terhadap faktor-faktor eksternal. Pemasukan inti sel somatik kedalam oosit enukleasi menyebabkan sel tersebut memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi semua tipe sel yang menyusun jaringan organisme hidup (Gurdon & Byrne, 2004). Metode lain adalah penggunaan empat specific transcription factor, c-myc, Sox2, Oct4, dan Klf4, telah menunjukkan dapat menginduksi pluripotensi pada sel somatik mencit dan manusia (Lowry et al. 2008, Park et al. 2008a). Oct4, Sox2, c-Myc, dan Klf4 bersama-sama dapat memprogram kembali sel fibroblas dewasa dari status unipotent ke status pluripotent (Takahashi & Yamanaka 2006, Takahashi et al. 2007). Grup peneliti lain telah menunjukkan bahwa Oct4, Sox2, Nanog, dan Lin28 dapat menginduksi sel pluripoten dari sel somatik manusia (Yu et al. 2007).

Perbanyakan ESC dengan Pasase Mekanis

Pasase adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menyediakan zat nutrisi dan ruang yang cukup untuk tumbuh kembangnya sel dalam kultur in vitro. Pada kultur ESC, cara ini biasanya dilakukan dengan membagi koloni sel multilayer yang besar menjadi sejumlah subkoloni kecil atau sel tunggal dan selanjutnya dikultur kembali pada beberapa cawan petri baru yang mengandung medium kultur segar, demikian seterusnya.

Salah satu metode pasase yang sering digunakan untuk perbanyakan ESC adalah metode enzimatik. Metode ini biasanya menggunakan collagenase atau tripsin yang sangat efektif untuk produksi ESC skala besar. Walaupun demikian, penggunaan metode ini menimbulkan berbagai masalah seperti ukuran koloni ESC yang dihasilkan sangat bervariasi yang berdampak pada ketidak-konsistensi antara kultur. Selain itu, perbanyakan ESC dengan metode ini menyebabkan trauma seluler yang dihubungkan dengan peningkatan ketidak- stabilan genetik.

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan metode pasase mekanis. Metode ini dilaksanakan dengan menggunakan pisau bedah untuk memotong secara manual koloni ESC menjadi sejumlah sub koloni kecil (Gambar 10), dan selanjutnya dikultur kembali pada cawan petri yang mengandung medium segar hingga terbentuk sejumlah koloni ESC yang baru (Gambar 11). Kelebihan metode mekanis adalah menurunkan tingkat trauma seluler dan transfer secara selektif koloni ESC yang belum berdiferensiasi.

Gambar 10 Pasase ESC dengan metode mekanis. A: Koloni ESC sebelum pasase, B: Sub-koloni ESC setelah pasase. Bar: 100 µm.

Gambar 11 ESC line yang terbentuk setelah pasasekelima.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cell line yang dihasilkan oleh kedua metode pasase tidak berbeda (P>0.05). Dari 32 koloni primer pada masing-masing kelompok dihasilkan lima cell line (15.63%), dengan jumlah koloni mencapai 97 pada pada metode enzimatik, sedangkan pada metode mekanis dihasilkan tujuh cell line (21.88%), dengan jumlah koloni mencapai 158 (Gambar 11). Tingkat pertumbuhan koloni dan ALP+ mengalami peningkatan masing-masing 23 dan 10%, dan terjadi pemendekkan DT 4 jam (P<0.05) ketika dilakukan pasase ESC dengan metode mekanis dibandingkan dengan metode enzimatik (Tabel 5).

Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab rendahnya profil ESC pada metode enzimatik adalah: 1) pemaparan yang dilakukan secara kontinyu terhadap tripsin dapat menyebabkan kerusakan sel secara menyeluruh yang berdampak pada rendahnya tingkat proliferasi sel, 2) pasase secara enzimatik menyebabkan terjadinya percampuran antara sel yang sudah berdiferensiasi dengan yang belum, yang selanjutnya berdampak pada lambatnya perkembangan ESC dan terjadi induksi diferensiasi pada sel-sel yang belum berdiferensiasi, 3) ukuran koloni ESC yang dihasilkan dengan metode enzimatik sangat beragam yaitu dari sel tunggal hingga koloni yang berukuran 300 µm.

Tabel 5 Pengaruh metode pasase terhadap proliferasi dan pluripotensi embryonic stem cells

Variabel Penelitian Metode Pasase

Enzimatik Mekanis Jumlah Koloni primer 32 32

Cell line (%) 5/32 (15.63±3.27)a 7/32 (21.88±4.18)a ALP+ (%) 69/97 (71.13±5.99)a 128/158 (81.01±3.95)b GR (%) 103.05±26.77a 126.94±12.49b DT (jam) 19.43±3.53a 15.90±1.28b

Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara metode pasase

Pasase ESC dengan metode mekanis mampu mempertahankan

Dokumen terkait