• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat perlekatan dan Pembentukan Koloni Primer ESC

Dari 105 embrio yang berada pada stadium cleavage, hanya 2 embrio (1.90%) yang mampu melekat pada feeder layer, dan tidak satupun dari embrio tersebut yang membentuk koloni primer ESC. Penggunaan morula sebagai penghasil ESC mampu meningkatkan (P<0.05) AR dan PC dibandingkan dengan embrio stadium cleavage. Empat belas (13.86%) dari 101 morula yang digunakan dapat melekat pada dasar cawan, dan 10 (9.90%) diantaranya mampu membentuk koloni primer ESC. Tingkat perlekatan dan PC tertinggi (P<0.05) dicapai ketika blastosis digunakan sebagai sumber ESC. Dari 124 blastosis, 114 (91.94%) dapat melekat dan 18 (14.52%) diantaranya mampu membentuk koloni primer (Tabel 1).

Tabel 1 Profil perkembangan embryonic stem cells yang dihasilkan dari embrio pada stadium berbeda

Cleavage Morula Blastosis Jumlah Embrio 105 101 124

AR (%) 2 (1.90 ± 1.82)c 14 (13.86 ± 2.02)b 114 (91.94 ± 4.58)a PC (%) 0 (0.00 ± 0.00)c 10 (9.90 ± 2.72)b 18 (14.52 ± 4.00)a GR (%) - 115.86 ± 6.27a 84.71 ± 7.34b DT (jam) - 18.48 ± 0.89a 23.02 ± 1.59b

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antar stadium embrio

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa embrio stadium cleavage memiiki AR dan PC yang lebih rendah dari morula dan blastosis. Embrio stadium cleavage (Gambar 1) yang dikultur dalam DMEM-high glucose mengalami kesulitan untuk melekat pada dasar cawan kultur dan juga tidak dapat berkembang ke stadium selanjutnya.

Gambar 1 Embrio stadium cleavage (A), morula (B), blastosis (C), dan blastosis ekspan (D). Bar = 50µm.

Untuk mengetahui apakah hal tersebut disebabkan oleh perlakuan pronase pada saat melisiskan zona pelusida atau karena level glukosa yang tinggi pada DMEM maka dilakukan dua rangkaian eksperimen. Eksperimen pertama, embrio stadium cleavage dengan zona pelusida utuh dikultur dalam DMEM-high glucose, dan hasilnya adalah terdapat sedikit peningkatan (< 20%)

D B A

jumlah embrio yang berkembang ke stadium selanjutnya dibandingkan dengan embrio yang diberi perlakuan pronase, dan tidak satupun yang melekat pada perlakuan pronase. Pada eksperimen kedua, hampir semua embrio stadium cleavage (> 80%) yang dikultur pada KSOM-low glucose dapat berkembang ke stadium berikutnya (empat dan delapan sel) dibandingkan dengan DMEM-high glucose yaitu kurang dari 15%, dan embrio pada kedua medium tersebut tidak ada yang melekat pada dasar cawan kultur.

Dari rangkain eksperimen tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa level glukosa yang tinggi pada DMEM merupakan penyebab utama terhadap hambatan perkembangan embrio stadium cleavage, sementara perlakuan dengan pronase walaupun memiliki kontribusi terhadap hambatan perkembangan sel tetapi pengaruhnya relatif sedikit. Rendahnya AR, tidak disebabkan oleh level glukosa ataupun perlakuan pronase tetapi oleh faktor lain yang belum diketahui secara pasti.

Pada morula perlakuan level glukosa yang tinggi atau pronase tidak mempengaruhi kemampuan tumbuh embrio-embrio tersebut, dimana hampir semuanya berkembang ke stadium berikutnya atau melekat pada dasar cawan. Pola perkembangan yang teramati dari embrio stadium morula ada dua macam yaitu: 1) sebagian morula langsung melekat pada dasar cawan kultur tanpa membentuk rongga (blastosul) (Gambar 2A), 2) dan pada sebagiannya lagi, proses perlekatan baru terjadi setelah mencapai stadium blastosis (Gambar 2E). Morula pada kelompok pertama mengalami perlekatan pada hari pertama hingga hari kedua kultur. Perkembangan selanjutnya ditandai oleh adanya inner core yang dikelilingi oleh suatu lapisan sel yang berbentuk seperti cincin, tetapi tidak terdapat kavitasi (rongga) antara inner core dan sel-sel yang berada di bagian luarnya (Gambar 2B). Ukuran core tersebut bervariasi, mungkin mencerminkan jumlah sel yang menyusunnya pada saat perlekatan. Saat pembentukan core bervariasi antar individu morula yaitu berkisar 3 hingga 4 hari. Yang menarik adalah walaupun morula memilki AR yang rendah yaitu hanya sekitar 13% namun sebagian besar (71%) dari embrio-embrio tersebut berkembang membentuk koloni primer. Hal ini mengindikasikan bahwa kegagalan utama pada morula disebabkan oleh ketidak mampuan sel-sel tersebut untuk melekat pada dasar cawan.

Disisi lain, morula yang tidak langsung melekat pada dasar cawan, berkembang ke stadium blastosis yang ditandai oleh adanya pembentukan

blastosul (suatu rongga yang berisi cairan), yang ukurannya semakin bertambah seiring dengan kemajuan pembelahan sel, dan memisahkan sel menjadi dua bagian yaitu trofoblas pada bagian luar dan ICM pada bagian dalam. Perlekatan pada dasar cawan baru terjadi ketika embrio tersebut telah mencapai blastosis, yangmana telah terbentuk ICM yang dikelilingi oleh sel-sel trofoblas pada bagian luarnya pada hari ke-3 hingga ke-4 kultur (Gambar 2E). Perkembangan selanjutnya akan menyerupai embrio blastosis, dimana sel-sel trofoblas yang berada pada bagian luar akan menyebar membentuk monolayer, sementara ICM membentuk penonjolan multilayer yang berbentuk seperti bola dan terletak pada bagian tengah. Pola pertumbuhan yang kedua ini tidak diperhitungkan berasal dari morula karena masih mengalami proses diferensiasi menjadi blastosis sebelum melekat pada dasar cawan.

Gambar 2. Perkembangan ESC yang dihasilkan morula (A-C), dan Blastosis (D-F). A: morula tanpa zona pelusida, B: morula yang telah melekat pada dasar cawan kultur, C: koloni primer ESC yang dihasilkan morula, D: blastosis tanpa zona pelusida, E: blastosis yang telah melekat pada dasar cawan kultur, F: koloni primer yang dihasilkan blastosis. Bar = 50µm.

Kegagalan perlekatan pada blastosis relatif lebih rendah yaitu hanya sekitar 9%, dimana lebih dari 90% blastosis telah melekat pada dasar cawan pada dua hari pertama kultur. Walaupun demikian, hanya sebagian kecil dari

B A

E F

D

blastosis tersebut yang dapat membentuk koloni primer (< 15%). Hal ini berarti bahwa sekitar 85% dari blastosis yang melekat pada dasar cawan mengalami kematian atau degenerasi setelah perlekatan pada dasar cawan. Walaupun demikian, PC yang dihasilkan blastosis masih lebih tinggi daripada yang dihasilkan embrio stadium cleavage dan morula. Penyebab utama rendahnya PC dari embrio stadium morula dan cleavage adalah ketidak-mampuan embrio- embrio tersebut untuk melekat pada dasar cawan (Tabel 1). Hal ini mungkin ada kaitannya dengan perbedaan kandungan molekul adesi yang berperan dalam perlekatan sel. Menurut Alpin (1997), blastosis lebih banyak mengekspresikan molekul adesi dibandingkan dengan embrio pada stadium morula dan cleavage.

Sejumlah molekul adesi sel yang diekspresikan oleh trofoblas mencit telah dilaporkan terlibat dalam proses perlekatan, termasuk trophinin, tastin, dan bystin (Susuki et al. 1998, Aoki & Fukuda 2000) dan heparin sulfat proteoglikan (Carson et al. 1993, Smith et al. 1997). Selain itu, molekul adesi yang lain yang dilibatkan dalam proses perlekatan adalah integrin.

Integrin adalah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel, dan telah dilaporkan terdapat pada embrio dan endometrium saat implantasi. Integrin terdiri dari transmembrane glycoprotein receptors yang memediasi diferensiasi, motilitas dan perlekatan sel. Peranan utamanya adalah berinteraksi dengan matriks ekstraseluler untuk melakukan tranduksi sinyal pada sel-sel epitel uterus dan trofoblas konseptus. Pengikatan integrin dengan matriks ekstraseluler menyebabkan reorganisasi sitoskeleton, perlekatan, dan memediasi migrasi, proliferasi dan diferensiasi sel melalui sejumlah signaling (Sutherland et al. 1993, Illera et al. 2000).

Integrin v 3 merupakan salah satu protein yang dideteksi pada permukaan trofoblas mencit. Injeksi antibodi terhadap integrin v atau 3 dapat mengurangi tingkat implantasi pada mencit. Berdasarkan bukti tersebut, v 3 adalah merupakan integrin utama yang berfungsi untuk memediasi adesi dan migrasi sel trofoblas (Illera et al. 2000). Sub unit integrin lainnya yang berperan dalam memediasi perlekatan embrio adalah adalah v 5, terutama pada saat diferensiasi trofoblas berlanjut (Schultz et al. 1997). Integrin v 5 mengikat fibronectin, vitronectin dan fibrinogen, sementara v 3 juga mengikat laminin dan sejumlah molekul matriks ekstraseluler yang lain. Molekul-molekul ini semuanya ditemukan pada trofoblas (Kimber & Spanswick 2000), lamin terdapat pada epitel endometrium dan trofoblas (Carson et al. 1993). Secara teoritis, matriks ekstraseluler dapat bertindak sebagai molekul perantara yang mengikat trofoblas pada permukaan uterus.

Blastosis mencit mengekspresikan integrin 1 1, 2 1, 3 1, 5 1, 6 1, 7 1, 6 4, v 3, IIb3, dan v 5 (Sutherland et al. 1993, Aplin 1997, Klaffky et al. 2001). Integrins 1, 3, 5, IIb, v, 1 dan 3 telah dilaporkan terdapat pada sel trofoblas yang dikultur in vitro (Sutherland et al. 1993, Yelian et al. 1995). Pemaparan embrio mencit terhadap fibronectin menyebabkan translokasi integrin 1dan 3 ke permukaan apeks trofoblas (Schultz et al. 1997), yang mengindikasikan peranan kedua molekul ini dalam proses perlekatan.

Pada mencit, integrin subunit 5, 6B, v, 1 and 3 terkspresi secara kontinyu selama perkembangan embrio praimpantasi. Subunit 3 terekspresi sejak stadium delapan sel dan blastosis, sementara 2, 6A and 7 terdeteksi pertama pada stadium blastosis ekspan (Sutherland et al. 1993). Integrins 1, 3, 5, IIb, v, 1 dan 3 telah dilaporkan terdapat pada sel trofoblas yang dikultur in vitro (Sutherland et al. 1993, Yelian et al. 1995). Selama periode periimplantai pada domba, integrin (v,4,5) dan (1,3,5) diekspresikan pada trofoblas dan endometrium (Spencer et al. 2004).

Selain integrin, terdapat sejumlah molekul adesi lain yang terdapat pada blastosis atau ICM seperti heparan sulfat, laminin, dan thrombospondin, PECAM- 1 (Platelet/endothelial cell adhession molecule-1) . Heparin sulfat terdapat pada permukaan luar blastosis mencit (Carson et al. 1993), dan core proteinnya dapat berfungsi sebagai ligand untuk integrin v 3. Thrombospondin yang ditemukan pada trofoblas berfungsi sebagai ligand untuk v 3. Platelet/endothelial cell adhession molecule-1 yang terdapat pada ICM dan epiblas (Robson et al. 2001), selain berperan sebagai molekul adesi sel (Sun et al. 2000), juga dilibatkan dalam tranduksi sinyal karena dapat berikatan dengan sejumlah molekul sinyal seperti SHP-2, b-catenin, and g-catenin (Ilan et al. 2000, Jackson et al.1997).

Tingkat pertumbuhan koloni dan Doubling Time

Tingkat pertumbuhan koloni (GR) dan DT merupakan gambaran kasar kecepatan pertumbuhan ESC. Mengingat embrio stadium cleavage tidak mampu menghasilkan koloni ESC maka pengukuran GR dan DT hanya dilakukan pada koloni ESC yang dihasilkan oleh morula dan blastosis. Dari hasil pengukuran ternyata embrio stadium morula menghasilkan koloni ESC dengan GR yang lebih tinggi dan DT yang lebih pendek (P<0.05) daripada yang dihasilkan blastosis (Tabel 1).

Ketika terjadi proses perlekatan dan koloni sel mulai tumbuh, ICM blastosis berada pada bagian tengah dan dikelilingi oleh sel trofoblas yang berada pada bagian luar. Seiring dengan bertambahnya lama kultur, kedua jenis sel tersebut mengalami perkembangan dimana ICM akan bertumbuh dalam bentuk koloni multilayer yang semakin membesar sedangkan trofoblas bertumbuh dalam bentuk monolayer yang semakin meluas. Walaupun demikian, tingkat pertumbuhan koloni dari ICM yang bertumbuh bersama dengan trofoblas tidak signifikan, yang berdampak pada kecilnya ukuran koloni ESC yang dihasilkan oleh blastosis (Gambar 2F). Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan sel-sel trofoblas pada embrio blastosis dapat menghambat pertumbuhan ICM.

Beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya tingkat pertumbuhan koloni dan panjangnya doubling time pada kultur blastosis utuh adalah terjadinya persaingan zat nutrisi antara sel-sel ICM dengan trofoblas, dimana nutrisi yang tersedia didalam medium kultur selain digunakan untuk pertumbuhan ICM, juga dimanfaatkan oleh sel trofoblas untuk menunjang proliferasinya. Penyebab lainnya adalah terjadinya persaingan ruang antara sel ICM dengan trofoblas. Keberadaan sel trofoblas di sekeliling ICM menyebabkan koloni ICM yang terbentuk tidak dapat dengan leluasa untuk bertumbuh, dan berdampak pada kecilnya koloni ESC yang dihasilkan. Selain itu, ada dugaan bahwa kultur ICM bersama dengan trofoblas akan menyebabkan sejumlah faktor yang dilepaskan oleh trofoblas dapat menginduksi diferensiasi pada ICM, yang selanjutnya berdampak pada rendahnya tingkat proliferasi ICM (Li et al. 2003). Tentunya beberapa hal yang dikemukakan diatas baru berupa dugaan yang tentunya perlu dibuktikan melalui suatu penelitian yang komprehensif di masa yang akan datang.

Pola pertumbuhan koloni ESC yang dihasilkan morula berbeda dengan yang dihasilkan blastosis. Sebagian dari morula membentuk koloni multilayer dan tidak teramati adanya pertumbuhan sel-sel trofoblas di sekelilingnya. Tidak terbentuknya trofoblas pada koloni ESC dari morula mengindikasikan bahwa sifat totipotensi yang dimiliki masih tetap dipertahankan. Disisi lain, koloni yang dihasilkan oleh blastosis tersusun oleh dua tipe sel yang berbeda, sel trofoblas yang berbentuk oval memanjang membentuk monolayer pada bagian pinggir koloni dan ICM dengan bentuk sel yang bulat membentuk koloni multilayer pada bagain tengah koloni.

Beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwa blastomer embrio pra-blastosis (cleavage, morula) bersifat totipotensi dan masih memiliki kemampuan untuk menghasilkan individu baru (Edwards & Beard 1997). Pada mencit, blastomer tunggal dari embrio stadium dua dan empat sel dapat berkembang menjadi blastosis dan implan (Tarkowski et al. 2001). Kedua blastomer dari embrio domba stadium dua sel dapat berkembang hingga lahir (Willadsen & Godke, 1984), dan tidak ada perbedaan potensi antara embrio dua, empat dan delapan sel dalam produksi embrio kembar (Wiladsen 1979). Blastomer embrio manusia stadium empat sel juga dapat menghasilkan blastosis yang tersusun oleh ICM dan trofoblas (Van de Velde et al. 2008).

Dari beberapa penelitian tersebut mengindikasikan bahwa hingga stadium delapan sel (morula tidak kompak), embrio masih belum berdiferensiasi atau bersifat totipotensi, dan dengan demikian masih memiliki kemampuan untuk diarahkan menjadi semua tipe sel termasuk trofoblas. Dengan kemampuan yang demikian, ESC yang dihasilkan oleh embrio pra-blastosis memliki kelebihan dibandingkan dengan yang dihasilkan blastosis, karena selain dapat mengahasilkan semua tipe sel tubuh dan sel germinal, juga dapat menghasilkan sel trofoblas yang dapat digunakan untuk studi perkembangan embrio khususnya dalam kaitan dengan proses implantasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa embrio stadium morula dapat menghasilkan ESC dengan tingkat perlekatan dan pembentukan koloni primer yang lebih rendah, tetapi doubling time dan tingkat pertumbuhan koloni yang lebih tinggi daripada blastosis; sedangkan embrio stadium cleavage tidak mampu menghasilkan ESC.

KESIMPULAN

Kemampuan tumbuh ESC mencit yang dihasilkan oleh embrio pada stadium cleavage dan morula lebih rendah dari yang dihasilkan blastosis.

DAFTAR PUSTAKA

Aoki R, Fukuda MN. 2000. Recent molecular approach to elucidate the mechanism of embryo implantation: trophinin, bystin, and tastin as a molecules involved in the initial attachment of blastocysts to the uterus in humans. Semin Reprod Med 18:265-271.

Aplin JD. 1997. Adhesion molecules in implantation. Reviews of Reproduction 2: 84–93.

Carson DD, Tang JP, Julain J. 1993. Heparan Sulphate proteoglycan (perlecan) expression by mouse embryos during acquisition of attachment competence. Dev Biol 155:97-106.

Cowan A et al. 2004. Derivation of embryonic stem-cell lines from human blastocysts. N Engl J Med 350:1353-1356.

Delhaise F, Bralion V, Schuurbiers N, Dessy F. 1996. Establishment of an embryonic stem cell line from 8-cell stage mouse embryos. EJM 34:237 (Abstr.)

Edwards RG, Beard HK. 1997. Oocyte polarity and cell determination in early mammalian embryos. Mol Hum Reprod 3:863–905.

Ilan N, Cheung L, Pinter E, Madri JA. 2000. Plateletendothelial cell adhesion molecule-1 (CD31), a scaffolding molecule for selected catenin family members whose binding is mediated by different tyrosine and Serine/Threonine phosphorylation. J Biol Chem 275:21435–21443.

Illera MJ et al. 2000. Blokade of the alpha (v) beta (3) integrin adversely affect implantation in the mouse. Reprod Biol 62:1285-1290.

Jackson DE, Kupcho KR, Newman PJ. 1997. Characterization of phosphotyrosine binding motifs in the cytoplasmic domain of platelet/endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1) that are required for the cellular association and activation of the protein-tyrosine phosphatase, SHP-2. J Biol Chem 272:24868-24875.

Jones JM, Thomson JA. 2000. Human embryonic stem cell technology. Semin Reprod Med 18:219-223.

Kimber SJ, Spanswick C. 2000. Blastocyst implantation: the adhesion cascade. Semin Cell Dev Biol 11:77-92.

Klaffky E et al. 2001. Trophoblast-specific expression and function of the integrin alpha (7) subunit in the peri-implantation mouse embryos. Dev Biol 239:161-175.

Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine blastocysts. Mol Reprod Dev 65:429-434.

Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21:152-161.

Robson P et al. 2001. Inner cell mass-specific expression of a cell adhesion molecule (PECAM-1/CD31) in the mouse blastocyst. Dev Biol 234:317- 329.

Rossant J. 1995. Development of the extraembryonic lineages. Semin Cell Dev Biol 1995;6:237–247.

Rossant J. 2001. Stem cells from the mammalian blastocyst. Stem Cells 19:477- 482.

Schultz JF, Mayernik L, Rout UK, Armant DR. 1997. Integrin trafficking regulates adhession to fibronectin during differentiation of mouse periimplantation blastocysts. Dev Genet 21:31-43.

Smith SE et al. 1997. Expression of heparan sulfate proteoglycan (perlecan) in the mouse blastocyst is regulated during normal and delayed implantation. Dev Biol 184:38-47.

Spencer TE, Johnson GA, Bazer FW, Burghardt RC. 2004. Implantation mechanisms: insights from the sheep. Reproduction 128:657–668.

Stojkovic M et al. 2004. Derivation of human embryonic stem cells from day-8 blastocysts recovered after three-step in vitro culture. Stem Cells 22:790– 797.

Sun J et al. 2000. Contributions of the extracellular and cytoplasmic domains of platelet-endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1/CD31) in regulating cell-cell localization. J Cell Sci 113:1459-1469.

Sutherland AE, Calarco PG, Damsky CH. 1993. Developmental regulation of integrin expression at the time of implantation in the mouse embryo. Development 119:1175–1186.

Suzuki N et al. 1998. A cytoplasmic protein, bystin, interacts with tropinin mediated cell adhesion between trophoblast and endometrial epithelial cells. Proc Natl Acad Sci USA 95:5027-5032.

Tarkowski AK, Ozdzenski W, Czolowska R. 2001. How many blastomeres of the 4 cell embryo contribute cells to the mouse body? Int J Dev Biol 45:811– 816 (Abstr).

Tesar PJ. 2005. Derivation of germ-line-competent embryonic stem cell lines from preblastocyst mouse embryos. Proc Natl Acad Sci USA 102:8239- 8244.

Tielens S et al. 2006. Generation of embryonic stem cell lines from mouse blastocysts developed in vivo and in vitro: relation to Oct-4 expression. Reproduction 132 59–66.

Van de Velde H, Cauffman G, Tournaye H, Devroey P, Liebaers I. 2008. The four blastomeres of a 4-cell stage human embryo are able to develop individually into blastocysts with inner cell mass and trophectoderm. Hum Reprod 23:1742-1747.

Willadsen SM. 1979. A method for culture of micromanipulated sheep embryos and its use to produce monozygotic twins. Nature 277:298–300 (Abstr). Willadsen SM, Godke RA.1984. A simple procedure for the production of

identical sheep twins. Vet Rec 114:240-243 (Abstr).

Yelian FD, Yang Y, Hirata JD, Schultz JF, Armant DR.1995. Molecular interactions between fibronectin and integrins during mouse blastocyst outgrowth. Mol Reprod Dev 41:435–448.

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan metode isolasi inner cell mass (ICM) blastosis yang lebih murah dan sederhana untuk produksi embryonic stem cell (ESC) mencit. Inner cell mass blastosis diisolasi dengan metode enzimatik,

immunosurgery, atau kultur utuh (tanpa isolasi), dan selanjutnya dikultur in vitro. Variabel yang diamati adalah tingkat keutuhan ICM, tingkat perlekatan (attachment rate, AR), tingkat pembentukan koloni primer (the number of primary embryonic stem cell colony, PC), tingkat pertumbuhan koloni (growth rate, GR), dan doubling time (DT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keutuhan ICM dan AR pada metode enzimatik dan

immunosurgery lebih rendah (P<0.05) daripada hasil kultur blastosis utuh. Tingkat keutuhan ICM dan AR pada metode enzimatik masing-masing adalah 85.15% dan 83.72%, metode immunosurgery adalah masing-masing 88.68% dan 87.23%; dan blastosis utuh: 100% dan 97.35%. Sebaliknya, PC, GR, dan DT yang dihasilkan pada metode enzimatik dan immunosurgery lebih baik (P<0,05) daripada hasil kultur blastosis utuh; dimana PC, GR, dan DT yang dihasilkan pada metode enzimatik: 41.86%, 108.05%, dan 19.70 jam, metode immunosurgery secara berturut-turut adalah 47.87%, 117.13%, 18.44 jam, dan blastosis utuh: 25.66%, 85.57%, 24.13 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ICM yang diisolasi dengan metode enzimatik dapat menghasilkan ESC dengan profil perkembangan yang setara dengan yang dihasilkan metode

immunosurgery, dan lebih tinggi dari hasil kultur blastosis utuh.

ABSTRACT

The objective of the research was to develop the simple and cheaper isolation method of inner cell mass of blastocyst to derive mouse embryonic stem cells. Inner cell mass was isolated by enzymatic or immunosurgery method, and as control group was intact blastocyst. They were cultured in ESC medium in CO2 incubator, 37

o

C. The variables of the research were the number of intact ICM, attachment rate (AR), the number of primary ESC colony (PC), growth rate (GR), and doubling time(DT). The result showed that the number of intact ICM and AR on enzymatic and immunosurgery method were lower (P<0.05) than yielded from culture of intact blastocyst. The number of intact ICM and AR yielded by enzymatic method were 85.15% and 83.72%, respectively; immunosurgery method were 88.68% and 87.23%, respectively; and intact blastocyst: 100% and 97.35%, respectively. On the contrary, PC, GR, and DT yielded by enzymatic and immunosurgery methods were higher (P<0.05) than culture of intact blastocyst, that were 41.86%, 108.05% and 19.70 hours, respectively, on enzymatic method; 47.87%, 117.13%, and 18.44 hours, respectively, on immunosurgery method; and 25.66%, 85.57%, and 24.13 hours, respectively on intact blastocyst. This research concluded that ESC derive from enzymatic method was similar with the immunosurgery, and was higher than intact blastocyst.

PENDAHULUAN

Efisiensi produksi embryonic stem cells (ESC) sangat tergantung pada sistem kultur yang digunakan. Salah satu sistem kultur yang telah dikembangkan adalah dengan mengkultur blastosis utuh (tanpa pemisahan inner cell mass dari trofoblas) (Heins et al. 2004) dan selanjutnya dilakukan pemisahan ketika sudah terbentuk koloni primer ESC. Walaupun sistem kultur yang demikian tergolong sederhana namun efisiensi produksi ESC rendah.

Hasil eksperimen sebelumnya menunjukkan bahwa kultur blastosis utuh menghasilkan tingkat pertumbuhan koloni yang lebih rendah dan doubling time yang lebih panjang daripada yang dihasilkan morula. Penelitian Li et al. (2003) menunjukkan bahwa ESC babi yang dihasilkan dari kultur blastosis utuh memiliki jumlah koloni primer yang lebih rendah (28%) dibandingkan dengan kultur inner cell mass (68%). Keberadaan sel trofoblas dalam kultur ESC diduga sebagai penyebab utama rendahnya profil perkembangan ESC tersebut.

Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, beberapa peneliti melakukan isolasi atau pemisahan inner cell mass (ICM) dari sel-sel trofoblas dengan metode immunosurgery (Chen & Melton 2007) menggunakan whole serum (Reubinoff et al. 2000, Park et al. 2003, Pickering et al. 2003, Hwang et al. 2004, Stojkovic et al. 2004) atau sel darah merah (Cowan et al. 2004). Walaupun demikian, antiserum dan complement yang digunakan pada metode tersebut memiliki harga yang mahal dan proses isolasi yang lebih lama, serta membatasi aplikasi klinis ESC yang dihasilkan khususnya pada manusia (Wang & Sun 2005, Martin et al. 2005, Skottman et al. 2006, Strom et al. 2007). Selain itu,

Dokumen terkait