• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Awal

Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji Tukey diketahui bahwa tingkat keparahan penyakit berkorelasi positif dengan peningkatan kerapatan NSK (Tabel 3). Kerapatan nematoda terbanyak ditunjukkan oleh tanaman dengan tingkat keparahan penyakit tinggi yaitu 351 391 ekor/100 ml tanah sedangkan kerapatan

nematoda paling sedikit ditunjukkan oleh keparahan penyakit rendah yaitu 152 580 ekor/100 ml tanah.

Tabel 3 Rata-rata kerapatan NSK pada tiga tingkat keparahan penyakit tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng

Keparahan penyakit Rata-rata kerapatan NSK

(ekor/100 ml tanah)1 Rendah Sedang Tinggi 152 580 a 257 279 b 351 391 b 1

Angka selajur yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Tukey, α= 5%)

Hasil analisis terhadap hubungan antara tingkat keparahan penyakit dengan tingkat kerusakan tanaman menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit secara nyata berkorelasi dengan tingkat kerusakan tanaman yang terlihat pada data tinggi tanaman, persentase klorosis dan berat segar tanaman. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa tinggi tanaman dan berat segar tertinggi ditunjukkan oleh keparahan penyakit rendah yaitu 64.6 cm dan 320.3 g namun tidak berbeda nyata dengan tingkat keparahan penyakit sedang, sementara tinggi dan berat segar tanaman terendah ditunjukkan oleh tingkat keparahan penyakit tinggi. Pada tingkat klorosis terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya tingkat keparahan penyakit maka persentase klorosis akan semakin tinggi. Peubah berat umbi yang dihasilkan menunjukkan bahwa tingkat keparahan penyakit yang rendah menghasilkan umbi terberat yaitu 320.0 g dan yang paling ringan terlihat pada tingkat keparahan tinggi yaitu 218.0 g.

Menurut Scurah et al. (2005) gejala kerusakan yang disebabkan oleh infeksi NSK tidak spesifik pada bagian tanaman kentang yang ada di atas permukaan tanah. Namun kerusakan akar menyebabkan tekanan dan berkurangnya penyerapan air dan hara sehingga tanaman menjadi kerdil dan berwarna kekuningan (klorosis). Hal ini berdampak langsung pada parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi, berat segar, berat umbi, klorosis dan populasi nematoda yang ada. Ditambahkan oleh Trudgil et al. (1998), NSK menurunkan hasil umbi kentang dengan mengurangi pertumbuhan tanaman yang ada di atas permukaan tanah. Nematoda mengurangi intersepsi cahaya yang diterima daun dengan mempercepat penuaan (klorosis) sehingga berpengaruh pada menurunnya laju fotosintesis dan efisiensi penggunaan air.

Tabel 4 Rata-rata tinggi tanaman, klorosis, berat segar dan berat umbi tanaman kentang pada tiga tingkat keparahan penyakit di Dataran Tinggi Dieng Keparahan penyakit Tinggi tanaman (cm)1 Klorosis (%) Berat segar (g) Berat umbi (g) Rendah Sedang Tinggi 64.6ax 58.6ab 45.8bx 3.0a 11.0b 47.0c 320.3a 285.4a 137.8b 330.0a 276.0a 218.0a 1

Angka selajur yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Tukey, α= 5%)

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman dengan Kerapatan Populasi NSK

Berdasarkan survei yang telah dilakukan di sentra produksi tanaman kentang yang ada di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl yang meliputi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara diketahui bahwa sebaran kerapatan populasi NSK sangat beragam (jumlah sista NSK di lokasi survai bervariasi dari rendah sampai tinggi).

Kerapatan populasi NSK cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya tempat. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh bahwa populasi terendah berada pada ketinggian 1450 m yaitu 2897 ekor/100 ml tanah yang berada di Desa Serang Kecamatan Kejajar-Wonosobo dan tertinggi pada 1924 m

27 dpl yaitu 563 266 ekor/100 ml tanah di Desa Karang Tengah Kecamatan Batur- Banjarnegara. Pada Gambar 6 disajikan plot hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi nematoda. Populasi NSK yang ditemukan pada areal yang disurvei menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat.

Gambar 6 Hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK. Dengan melakukan analisis regresi (Lampiran 3), hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK dapat dimodelkan sebagai berikut:

Kerapatan NSK = - 812 449 + 581 Ketinggian

Model di atas menunjukkan bahwa kerapatan NSK berkorelasi positif dengan ketinggian tempat (R-Sq= 66.1%; P=0.000). Makin tinggi tempat maka kerapatan NSK juga semakin banyak. Pada ketinggian antara 1450 m dpl sampai 2000 m dpl, penambahan populasi NSK untuk setiap satu meter kenaikan tempat sebesar 581 ekor/100 ml tanah. Menurut Djayadiningrat (1990) ketinggian tempat sangat mempengaruhi iklim, terutama peningkatan curah hujan dan menurunnya suhu (temperatur) udara.

Menurut Lisnawita et al. (2007), temperatur sangat mempengaruhi faktor biologi NSK, seperti jumlah sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, keperidian serta perbanyakan dan di Jawa Tengah kondisi optimum berada pada kisaran antara 15 dan 21 oC. Jumlah sista, daya tahan hidup, keperidian, dan multiplikasi yang akan dihasilkan akan menurun secara nyata pada temperatur di

- 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 K era pa ta n popul as i N S K (ri bu e kor/ 100 m l ta na h) Ketinggian tempat (m dpl) 600 500 400 300 200 100

0 60000 120000 180000 240000 300000 360000 420000 480000 540000 600000 P0 P1 P2 P3 P4

Tingkat keparahan penyakit Lokasi 1

Lokasi 2 Lokasi 3

bawah 15 C dan di atas 21 C. Persentase kematian G. rostochiensis pada suhu 11 oC mencapai 15.2% dan 56.7% pada 22 oC sedangkan G. pallida lebih

signifikan yaitu 45.30% pada temperatur tanah 11 oC dan 79.50% pada 22 oC (Marshall 1998).

Gambar 7 Hubungan kerapatan NSK dengan tingkat keparahan penyakit: (a) pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl, (b) 1750 m dpl

sampai 2000 m dpl. (Tingkat keparahan penyakit: P4, tinggi; P3, agak tinggi; P2, sedang; P1, rendah; 0, tidak bergejala).

Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa tingkat keparahan penyakit berhubungan dengan kerapatan nematoda sedangkan terhadap faktor ketinggian tempat tidak terlihat hubungan yang nyata, tetapi terhadap interaksi antara keduanya menunjukkan hubungan yang nyata (Nilai P < 0.05) (Lampiran 4). Besarnya persentase penyakit yang terjadi pada lahan yang dilakukan survei memberikan indikasi bahwa kehadiran NSK berkorelasi positif dengan munculnya klorosis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerapatan nematoda tertinggi diperoleh pada tingkat keparahan tinggi (P4) dan berturut-turut diikuti oleh

keparahan agak tinggi (P3), keparahan sedang (P2), keparahan rendah (P1) dan

tidak bergejala (P0) yaitu berturut-turut 65 117, 47 351, 36 518, 32 317, dan

220902 ekor/100 ml tanah pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl adalah 378 513, 320 399, 279 863, 258 146, dan 210 098 ekor/100 ml tanah (Gambar 7). Hal ini membuktikan bahwa semakin jauh letak suatu tanaman dari tanaman lain yang menjadi pusat serangan menyebabkan penurunan kerapatan populasi nematoda. Menurut

0 60000 120000 180000 240000 300000 360000 420000 480000 540000 600000 P0 P1 P2 P3 P4 K er ap at an N S K (r ib u e k o r/ 1 0 0 m l ta n ah )

Tingkat keparahan penyakit

a b 600 540 480 420 360 300 240 180 120 60 0

29 Haydock dan Perry (1998), foci seringkali berbentuk lonjong dengan kerapatan populasi yang besar pada pusat gejala infeksi nematoda.

Tabel 5 Rata-rata kerapatan NSK pada lima tingkat keparahan penyakit dan dua kisaran ketinggian tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng

Ketinggian tempat (m dpl)

Tingkat keparahan penyakit

P4(1) P3 P2 P1 P0 1250-1500 1750-2000 65 117 378 153 c a 47 351 320 399 cd ab 36 518 279 863 de ab 32 317 258 146 ef ab 22 903 210 098 f b (1)

Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata ( uji Tukey, α= 5%)

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa terdapat perbedaan kerapatan antar tingkat keparahan penyakit antara kisaran ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dengan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl. Perbedaan ini dapat disebabkan karena kondisi iklim dan temperatur pada pada kisaran 1750 m dpl sampai 2000 m dpl lebih sesuai bagi perkembangan NSK. Berdasarkan Lampiran 2 terlihat bahwa pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl suhu tanah berada pada kisaran 18-22 oC sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl antara 15-21 oC. Menurut Lisnawita (2007) keperidian NSK yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah mencapai optimum pada temperatur antara 15-21 oC, dan akan menurun pada temperatur dibawah 15 oC atau diatas 21 oC. Ditambahkan oleh Suwardiwijaya et al. (2007) lokasi Desa Bakal dan Karang Tengah (Kecamatan Batur) yang berada pada ketinggian 1750 m dpl sampai 2000 m dpl merupakan daerah awal terjadinya infestasi NSK di Dataran Tingi Dieng pada tahun 2007 sehingga pada kisaran ketinggian ini jumlah NSK lebih banyak dibandingkan pada pertanaman kentang yang berada pada kisaran 1250 m dpl sampai 1500 m dpl.

Identifikasi Spesies NSK

Sista

Sista merupakan betina dewasa dari Globodera spp. yang terbentuk dari kutikula yang mengeras, di dalamnya berisi telur yang akan menjadi generasi berikutnya. Awalnya sista terlihat berwarna putih atau kuning keemasan ketika akar tanaman

kentang yang sakit dicabut, namun lama-kelamaan berubah menjadi coklat atau coklat kehitaman. Ukuran sista tidak seragam antara satu dengan lainnya dan bentuknya ada yang membulat, sedikit elips atau ovoid. Menurut Flemings dan Powers (1998), sista Globodera spp. berukuran lebih pendek dibandingkan dengan sista Heterodera dan bentuknya lebih membulat (kecuali untuk tonjolan yang ada di bagian anterior) serta tidak memiliki terminal cone (Gambar 8).

Gambar 8 Sista Globodera spp.: (a) sista hasil ekstraksi pada tanaman kentang yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng, (b) sista tanpa terminal cone

(lingkaran kuning).

Pengamatan pola perineal sista NSK dari sampel yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng untuk menentukan spesies dilakukan dengan menghitung rasio granek (jarak antara anus dengan fenestra/ diameter fenestra) dan jumlah tonjolan (cuticular ridge) antara anus dan fenestra. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 5 dan 6.

Dari Gambar 9 terlihat bahwa penelitian yang dilakukan pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dan 1750 m dpl sampai 2000 m dpl ditemukan populasi campuran spesies NSK. Pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl dominasi G. pallida terhadap G. rostochiensis sekitar 63% bahkan pada ketinggian 1750 m dpl sampai 2000 m dpl persentase dominasi mencapai 70%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Inggris yang menunjukkan

bahwa G. pallida merupakan NSK yang dominan dibandingkan dengan

G. rostochiensis pada pertanaman kentang (Bhattarai et al. 2010). Spesies yang dominan dalam populasi NSK campuran dapat disebabkan karena tekanan seleksi lingkungan, kompetisi inter spesifik atau pengaruh penggunaan varietas kentang.

31 Dominasi G. pallida terhadap G. rostochiensis pada seluruh lokasi yang dilakukan survei pada Dataran Tinggi Dieng dapat disebabkan oleh kemampuan persistensi di tanah dan adaptasi terhadap temperatur tanah. Menurut Evans (1993), berdasarkan survei yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa kepadatan G. rostochiensis akan berkurang sebesar 33% per musim/tahun pada saat lahan tidak ditanami dengan inangnya, sedangkan G. pallida hanya turun sebesar 15%.

Gambar 9 Proporsi spesies NSK pada lokasi-lokasi penelitian di Dataran Tinggi Dieng; Gr: Globodera rostochiensis; GP: G. pallida.

Menurut Webley (1981), terdapat perbedaan biologis antara kedua spesies

Globodera spp., yaitu bahwa betina dewasa G. pallida membutuhkan waktu yang lebih pendek dibandingkan dengan G. rostochiensis pada kisaran suhu yang sama untuk memproduksi telur. G. pallida memproduksi telur pada tanaman kentang sekitar 83 hari setelah tanam sedangkan G. rostochiensis membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu antara 89 dan 90 hari (bahkan beberapa telur terbentuk

setelah 91 hari setelah tanam). Suatu lahan yang awalnya didominasi oleh

G. rostochiensis kemudian terjadi infestasi sista G. pallida dalam jumlah sedikit maka beberapa tahun kemudian dominasi tersebut akan berubah. Hal ini dapat terjadi jika petani secara rutin melakukan panen tanaman kentang lebih awal

untuk beberapa musim tanam yang berdampak pada peningkatan spesies

G. pallida yang memiliki waktu untuk memproduksi telur lebih singkat.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Gr Gp Gr Gp Gr Gp Gr Gp Gr Gp Gr Gp

Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

1.250-1.500 m 1.750-2.000 m Jum la h spe si es (e kor) Ketinggian tempat (m dpl)

Telur

Telur berada di dalam sista (gambar 10 a). Penghitungan telur dan juvenil dilakukan dengan mengambil 3 sista secara acak dari tiap lokasi. Sista dipecahkan dalam air dan telur dikeluarkan dengan menggunakan jarum bedah. Jika sista dipecahkan maka akan terlihat massa telur dan J2 sekitar 500 butir sampai 600 butir (Lampiran 7). Secara umum pertumbuhan akar tanaman kentang dapat merangsang terjadinya penetasan telur antara 60% sampai 80% (Turner & Evans 1998) dan tanpa eksudat atau kandungan kimiawi tertentu seperti sodium metavadate hanya sedikit telur G. rostochiensis yang mampu menetas (Bird & Bird 1991). Menurut Ryan dan Devine (2005), percobaan yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa G. pallida lebih sensitif terhadap hatching factor (faktor penetas) dibandingkan G. rostochiensis. Sensitifitas yang berbeda dari 2 species NSK ini berdampak pada perkembangan populasi pada tanaman kentang.

Gambar 10 Sista Globodera spp.: (a) telur yang keluar dari sista yang dipecahkan, (b) telur (panah merah) dan J2 (panah kuning).

Juvenil

Juvenil berbentuk seperti cacing, ada yang sudah menetas serta masih berada di dalam telur (Gambar 10 b dan 11 a). Bagian kepala set off berkembang dengan baik serta bagian knob stylet untuk G. rostochiensis membulat ke arah belakang (Gambar 11 b), sedangkan G. pallida bentuknya agak datar/cekung (Gambar 12).

33

Gambar 11 Bagian anterior NSK: (a) knob stilet G. rostochiensis yang bentuknya membulat kearah posterior (1000 x), (b) knob stilet

G. pallida yang bentuknya agak datar/cekung (10009x).

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Umbi

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Tinggi Tanaman

Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji Tukey diketahui bahwa keparahan penyakit secara nyata menurunkan tinggi tanaman kentang. Semakin tinggi tingkat keparahan penyakit mengakibatkan semakin rendahnya tinggi tanaman kentang (kerdil). Hal ini dapat dilihat pada hasil analisis yang disajikan pada Lampiran 8.

Pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl rata-rata tinggi tanaman secara berturut-turut dari tanaman yang tidak bergejala sampai pada tanaman yang memiliki tingkat keparahan penyakit tinggi adalah: 78.7, 67.7, 57.6, 52.7 dan 32.8 cm sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl adalah: 78.2, 56.3, 52.2, 49.2 dan 26.1. Data tersebut menunjukkan bahwa selisih tinggi antara tanaman yang memiliki tingkat keparahan penyakit yang sama antara 2 ketinggian tempat yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang jauh. Hal ini dapat disebabkan karena pada 2 ketinggian tempat tersebut didominasi oleh spesies yang sama. Sejalan dengan identifikasi spesies NSK pada pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa baik pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl maupun 1750 m dpl sampai 2000 m dpl spesies NSK yang mendominasi adalah G. pallida.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 P0 P1 P2 P3 P4

Tingkat keparahan penyakit

Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

Gambar 12 Hubungan tinggi tanaman dengan tingkat keparahan penyakit: (a) pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl, (b) 1750 m dpl

sampai 2000 m dpl. (Tingkat keparahan penyakit: P4, tinggi; P3, agak tinggi; P2, sedang; P1, rendah; P0, tidak bergejala).

Menurut Haverkort (1994) pada tanah yang terinfestasi oleh NSK tidak tersedia nitrogen pada kedalaman 30 cm sampai 100 cm. Distribusi akar yang tidak merata serta perbedaan ketersediaan nitrogen di tanah berperan penting pada kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman kentang. Unsur N adalah unsur yang cepat terlihat pengaruhnya pada tanaman yang berperan utama dalam merangsang pertumbuhan vegetatif (batang dan daun). Kekurangan unsur N menyebabkan pertumbuhan kerdil, daun menguning dan sistem perakaran terbatas yang berdampak langsung pada tinggi tanaman. Menurut Brodie (1998), tanaman kentang yang tumbuh di lahan yang terinfestasi oleh NSK tingginya tidak lebih dari 20 cm sedangkan yang sehat dapat mencapai 80 cm.

Lambatnya pertumbuhan tinggi tanaman pada awal masa pertumbuhan dan terjadinya penuaan daun (klorosis) yang lebih cepat menjelang akhir musim tanam merupakan gejala kerusakan yang disebabkan oleh infeksi NSK (Trudgill et al.

1998). Menurut Trudgill (1987), kerusakan yang disebabkan oleh infeksi J2 dari NSK dapat mengurangi efektifitas dari sistem perakaran tanaman kentang sehingga terjadi kekurangan asupan satu atau lebih nutrisi dan terlihat pada rendahnya pertumbuhan tanaman yang ada di atas permukaan tanah.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P0 P1 P2 P3 P4 T ing g i ta na m an (c m )

Tingkat keparahan penyakit

35

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Persentase Klorosis Tanaman

Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji Tukey diketahui bahwa semakin tinggi tingkat keparahan penyakit berdampak pada meningkatnya persentase klorosis tanaman sedangkan faktor ketinggian tempat tidak berbeda nyata, tetapi interaksi antara keduanya menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (Nilai P < 0.01). Besarnya persentase penyakit yang terjadi pada lahan yang dilakukan survei memberikan indikasi bahwa kehadiran NSK berkorelasi positif dengan munculnya klorosis. Hasil pengamatan terhadap persentase klorosis tanaman kentang menunjukkan bahwa seluruh tingkat kerusakan tanaman (P4, P3, P2, P1 dan P0)

saling berbeda satu sama lain (Lampiran 9).

Akibat yang ditimbulkan akibat infeksi NSK pada tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng adalah daun berwarna kuning cerah bahkan mengering pada suatu hamparan, terkadang pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan pertumbuhan akar terhambat. Sista NSK akan terlihat dengan jelas menempel pada perakaran tanaman yang terinfeksi (Gambar 13).

Gambar 13 Gejala NSK: (a) pada pertanaman kentang, (b) pada individu tanaman, (c) sista NSK yang ada di perakaran tanaman kentang. Menurut Rehman et al. (2008) nematoda sista mampu menimbulkan kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan Root-knot Nematode ketika melakukan perpindahan dalam jaringan tanaman. Hal ini disebabkan karena sistem cellulolytic yang dimiliki oleh nematoda sista belum ‘maju’ dan hanya

mengandalkan kemampuan fisik melalui tusukan stiletnya yang mensekresikan

suatu protein untuk memperlemah struktur kimia dari dinding sel agar bisa berpindah secara intraseluler. Pelepasan enzim untuk menghancurkan dinding sel (misalnya selulase, lyases pectate, polygalacturonases dan endoxylanases) dari lumen stilet yang terhubung ke tiga sel kelenjar esofagus memfasilitasi pergerakan nematoda. Tanaman kentang yang terinfeksi berat oleh NSK memiliki sistem perakaran yang pendek dengan jumlah akar lateral/serabut yang sangat sedikit dibandingkan dengan tanaman yang hanya terinfeksi ringan (Trudgil et al. 1998).

Penggunaan benih kentang yang berkualitas pada saat ini masih terbatas sehingga berdampak pada tingkat produksi yang tidak optimum serta inkonsistensi kualitas, kuantitas serta kontinyuitas produk yang dihasilkan. Namun yang terjadi di lapangan saat ini, benih unggul cukup sulit diperoleh dengan tingkat harga yang relatif mahal di tingkat petani. Bibit yang digunakan oleh para petani kentang yang ada di Dataran Tinggi Dieng sebagian besar merupakan hasil penangkaran sendiri, walaupun ada beberapa yang mendatangkan dari wilayah lain seperti dari Pangalengan (Jawa Barat). Bibit hasil penangkaran sendiri oleh petani merupakan hasil penyortiran yang dilakukan petani sendiri pada musim tanam sebelumnya sehingga dapat dipastikan bahwa bibit yang mereka gunakan telah terinfeksi oleh NSK. Menurut CABI (2007), jika varietas tanaman kentang yang ditanam tergolong rentan maka kerusakan yang diakibatkan oleh NSK pada populasi yang cukup tinggi akan segera terlihat. Pada varietas resisten, juvenil yang menetas dari sista akan menyerang akar tanaman namun tidak berhasil membentuk syncytium sehingga gejala tidak langsung muncul.

Tabel 6 Rata-rata persentase klorosis pada lima tingkat keparahan penyakit dan dua kisaran ketinggian tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng

Ketinggian Tempat

Tingkat keparahan penyakit

P4(1) P3 P2 P1 P0 T1 T2 98.79 98.33 a a 80.15 80.45 a a 46.97 45.64 b b 17.88 26.97 d c 0e 0e (1)

Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Tukey, α= 5%)

Kombinasi ketinggian tempat dan tingkat keparahan penyakit terlihat bahwa P4 dan P3 pada semua ketinggian tidak berbeda nyata satu sama lain sedangkan

37 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P0 P1 P2 P3 P4

Tingkat keparahan penyakit Lokasi 1

Lokasi 2 Lokasi 3

persentase klorosis terendah ditunjukkan T1P0 dan T2P0 (Tabel 6). Menurut

Haverkort (1994) pada tanah yang tidak terinfestasi oleh NSK, Nitrogen tersedia sampai kedalaman 1 m di bawah permukaan tanah sedangkan pada pada tanah dengan populasi NSK yang tinggi tidak terdapat ketersediaan Nitrogen pada kedalaman 30 cm sampai 100 cm. Distribusi akar yang tidak merata serta perbedaan ketersediaan Nitrogen di tanah berperan penting pada kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman kentang.

Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa tingkat keparahan penyakit berkorelasi positif terhadap persentase klorosis. Semakin tinggi tingkat keparahan penyakit maka persentase klorosis tanaman akan semakin meningkat. Pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl rata-rata persentase klorosis tanaman secara berturut-turut dari tanaman yang tidak bergejala sampai pada tanaman yang memiliki tingkat keparahan penyakit tinggi adalah: 0%, 17.88%, 46.97%, 80.15% dan 98.76% sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl adalah: 0%, 26.97%, 45.64%, 80.45% dan 98.33%.

Gambar 14 Hubungan persentase klorosis dengan tingkat keparahan penyakit: (a) pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl, (b) 1750 m dpl

sampai 2000 m dpl. (Tingkat keparahan penyakit: P4, tinggi; P3, agak tinggi; P2, sedang; P1, rendah; 0, tidak bergejala).

Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada 2 ketinggian tempat yang berbeda persentase klorosis antara 2 tanaman yang memiliki tingkat kerusakan sama tidak memiliki perbedaan yang jauh. Hal ini dapat disebabkan karena pada

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P0 P1 P2 P3 P4 K loros is (%)

Tingkat keparahan penyakit

0 100 200 300 400 500 600 P0 P1 P2 P3 P4

Tingkat keparahan penyakit

Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

2 ketinggian tempat tersebut didominasi oleh spesies NSK yang sama. Sejalan dengan identifikasi spesies NSK pada pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa baik pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl maupun 1750 m dpl sampai 2000 m dpl spesies NSK yang mendominasi adalah G. pallida.

Menurut Turners dan Evans (1998), menguningnya (klorosis) daun yang terjadi lebih cepat pada tanaman kentang yang terinfeksi oleh NSK berhubungan dengan stress air. Pada awal pertumbuhan, tanaman merespon stress air dengan cara menutup stomata daun untuk menghemat air namun pada akhirnya terjadi adaptasi dan membuka stomatanya secara terus-menerus. Menurunnya kemampuan tanaman yang terinfeksi untuk menyerap air disebabkan gagalnya sistem perakaran tanaman untuk menyimpan hasil fotosintesis yang dilakukan oleh daun yang pada akhirnya menyebabkan tanaman mati.

Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Berat Segar Tanaman

Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji Tukey menunjukkan bahwa keparahan penyakit secara nyata menurunkan berat segar tanaman kentang (nilai P < 0.001) (Lampiran 10).

Gambar 15 Hubungan berat segar tanaman dengan tingkat keparahan penyakit: (a) pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl, (b) 1750 m dpl sampai 2000 m dpl. (Tingkat keparahan penyakit: P4, tinggi; P3, agak tinggi; P2, sedang; P1, rendah; P0, tidak bergejala).

Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa keparahan penyakit berkorelasi negatif terhadap berat segar tanaman. Semakin meningkat keparahan penyakit

0 100 200 300 400 500 600 P0 P1 P2 P3 P4 B era t s eg ar (g )

Tingkat keparahan penyakit

a

39 maka berat segar tanaman akan semakin rendah. Berat segar tanaman tertinggi terdapat pada tanaman yang tidak bergejala (P0) sedangkan berat segar terendah

terdapat pada tanaman dengan tingkat keparahan penyakit tinggi. Pada ketinggian 1250 m dpl sampai 1500 m dpl rata-rata berat segar tanaman secara berturut-turut dari tanaman yang tidak bergejala sampai pada tanaman yang memiliki tingkat keparahan penyakit tinggi adalah: 448 g, 244 g, 202 g, 158 g dan 71 g sedangkan pada 1750 m dpl sampai 2000 m dpl adalah: 525 g, 261 g, 164 g, 119 g dan 47 g.

Pada tingkat keparahan penyakit tinggi (P4) perakaran yang dihasilkan oleh

tanaman kentang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak bergejala (P0)

dimana populasi NSK lebih rendah. Secara tidak langsung pertumbuhan dan perkembangan akar ini akan berpengaruh pada berat segar tanaman. Menurut Smith (1998), pengaruh utama dari NSK adalah terhambatnya pertumbuhan akar. Pada lahan yang tidak terinfeksi, di kedalaman 10 cm panjang akar maksimum akan tercapai pada 60 hari setelah tanam sedangkan pada kedalaman 45 cm tercapai setelah 80 hari. Namun pada lahan yang terinfestasi oleh NSK (2, 5, 10 dan 40 juvenil per gram tanah) panjang maksimum akar akan lebih lambat 20 hari tergantung pada populasinya. Pada kedalaman 45 cm, populasi NSK yang tinggi akan menyebabkan akar menjadi lebih pendek sedangkan pada 10 cm diameter akar agak lebih besar. Rendahnya serapan air dan nutrisi akibat pertumbuhan akar

Dokumen terkait