• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Senyawa 4-[(4’-dimetilaminobenzilidena)-amino]-N-(2-pirimidinil) benzenasulfonamida

Pada tahap sintesis senyawa target, proses reaksi adisi-eliminasi nukleofilik dapat berlangsung maksimal jika starting material larut dalam solven (Reger et al., 2010). Berdasarkan referensi diketahui sulfadiazin lebih larut pada dimetil sulfoksida (DMSO), dibandingkan dalam aseton, metanol, dan etanol (Jouyban, 2010). Sehingga diperlukan kepastian mengenai jumlah maksimal volume DMSO yang akan dipakai sebagai pelarut. Mengingat nilai titik didih DMSO sangat tinggi, yaitu 189℃ (ACS, 2017), maka dari hasil uji KLT, Gambar 1, dapat ditentukan jumlah maksimal volume DMSO yang digunakan dalam sintesis. Adapun total volume tersebut terdiri dari 3 mL untuk melarutkan p-DMAB dan 12 mL untuk melarutkan sulfadiazin.

(a) (b) (c) (d) (e)

Gambar 1. Uji KLT penetapan volume DMSO sebagai pelarut dalam sintesis menggunakan fase gerak kloroform:metanol = 8:2

(a) 0,373 gram p-dimetilaminobenzaldehida dalam 3 mL DMSO (atau metanol). (b) 0,5 gram sulfadiazin dalam 6 mL DMSO.

(c) 0,5 gram sulfadiazin dalam 8 mL DMSO. (d) 0,5 gram sulfadiazin dalam 10 mL DMSO. (e) 0,5 gram sulfadiazin dalam 12 mL DMSO.

5

Pada profil KLT kelarutan 0,5 gram sulfadiazin, terbentuknya tailing spot setelah proses elusi, Gambar 1(b) sampai Gambar 1 (d), menunjukkan tingginya konsentrasi sampel totolan yang terdapat dalam fase diam. Menurut David Dolphin (1978) terbentuknya tailing

spot tersebut dapat dihindari dengan menurunkan konsentrasi larutan sampel, sehingga

ditambahkan 2 mL DMSO setiap pengulangan perlakuan. Selain itu, adanya pelebaran spot pada sampel totolan DMSO, Gambar 1, disebabkan oleh interaksi hidrogen antara gugus hidroksi silanol dengan atom O gugus sulfoksida (Wall, 2005). Menurut Pan et al. (1999), gugus OH silanol fase diam bersifat asam dan dikenal sebagai donor proton, sedangkan atom O gugus sulfoksida dapat terprotonasi. Walaupun secara visual starting material dikatakan telah larut di dalam sejumlah volume DMSO, namun jika konsentrasi larutan tinggi, maka dikhawatirkan akan muncul endapan starting material selama proses reflux.

Reaksi sintesis senyawa target merupakan reaksi adisi-eliminasi nukleofilik antara sulfadiazin dengan p-dimetilaminobenzaldehida. Amina aromatis primer sulfadiazin adalah nukleofil yang baik, karena memiliki sepasang elektron bebas dan atom N amina bersifat elektronegatif lemah (Sarker and Nahar, 2007). Pada awal proses reflux, penambahan katalis buffer asetat 0,2 M pH 3,9 ke dalam larutan p-dimetilaminobenzaldehida bertujuan untuk memprotonasi atom O karbonil supaya meningkatkan muatan parsial positif atom C karbonil, sehingga mempercepat tahap adisi nukleofil dan memudahkan gugus hidroksi tereliminasi dalam bentuk molekul H2O, mengingat gugus hidroksi merupakan gugus pergi yang jelek (bersifat nukleofil kuat). Perlakuan tersebut juga dimaksudkan untuk menghindari amina primer sulfadiazin terprotonasi sempurna. Amina bebas yang terprotonasi kehilangan sifat nukleofilnya karena atom N menjadi bermuatan positif, dan selanjutnya tahap adisi amina akan berjalan lambat (McMurry, 2008). Mekanisme reaksi disajikan padaGambar 14. Apabila proses reflux berjalan pada pH basa, keberadaan anion OH dapat mengambil hidrogen amida sulfon, mengingat atom H yang terikat dengan gugus amida sulfon bersifat asam (Lemke et al., 2008). Sebuah elektron milik atom hidrogen sulfonamida akan disumbangkan kepada atom N, sehingga N sulfonamida bermuatan negatif dan cenderung bersifat lebih nukleofil untuk mengadisi atom C karbonil benzaldehida, jika dibandingkan dengan gugus NH2 aromatis sulfadiazin yang bersifat netral. Kejadian tersebut tidak diharapkan, karena senyawa target sintesis tidak dapat terbentuk (McMurry, 2008).

Berdasarkan referensi diketahui DMSO memiliki nilai flash point 95℃ pada sistem

cup terbuka (ACS, 2017), sehingga suhu selama proses reflux dipertahankan 90℃. Suhu

6

menguap secukupnya untuk membentuk campuran uap yang mudah terbakar jika terkena udara (Kennedy et al., 2004).

Proses reflux senyawa target berjalan selama 20 jam. Untuk memantau jalannya reaksi, dilakukan uji KLT setiap 2 jam, dari jam ke-2 sampai jam ke-6, memakai sistem fase gerak kloroform:metanol = 8:2. Profil KLT selama proses reflux disajikan pada Gambar 16. Dari profil KLT tersebut dapat dilihat bahwa spot senyawa target yang berwarna kuning memiliki nilai Rf sebesar 0,89 dan sudah nampak sejak jam ke-2. Nilai Rf spot senyawa target berbeda dengan nilai Rf spot p-dimetilaminobenzaldehida ataupun sulfadiazin.

Digunakan sistem reflux dengan media cair minyak pada heating bath, untuk mempertahankan suhu reaksi 90℃, selama 20 jam. Apabila proses reflux dijalankan memakai water bath, maka air akan menguap ketika suhu hot plate ≥100℃, dan saat air tersebut menguap, terjadi penambahan air ke dalam water bath, sehingga harus dilakukan pengaturan suhu kembali, mengingat suhu hot plate yang diterapkan sebesar 165℃. Pada perlakuan ini dari termometer, Gambar 15, diketahui suhu minyak konstan, apabila tidak terdapat perubahan suhu ruangan.

Proses sintesis senyawa target tetap memakai metode reflux, walaupun tidak dijalankan pada kondisi suhu titik didih DMSO. Hal itu karena waktu sintesis berlangsung 20 jam dan dipertahankan total volume DMSO 15 mL, tidak dilakukan penambahan pelarut DMSO, sehingga diharapkan allihn condenser dapat mencegah keluarnya uap campuran

reflux. Dari hasil pengamatan selama proses reflux berjalan, terdapat tetesan uap dalam allihn condenser. Rangkaian alat sistem reflux dapat dilihat pada Gambar 15.

Jarak elusi = 4,4 cm Jarak elusi = 4,4 cm

Rf sulfadiazin = 0,79 Rf p-DMAB = 0,93 Rf senyawa x = 0,89 Rf senyawa x = - (a) (b)

Gambar 2. Uji KLT endapan dan filtrat hasil destilasi vakum menggunakan fase gerak kloroform:metanol = 8:2

(a) Sampel endapan hasil destilasi vakum. (b) Sampel filtrat hasil destilasi vakum.

7

Dilakukan pemisahan destilasi vakum untuk mengeringkan larutan hasil reflux, dengan memanfaatkan perbedaan titik didih antara senyawa target sintesis dan pelarut DMSO (Smart, 2002). Proses destilasi vakum berlangsung dalam tekanan hisap 24 mmHg dan suhu 125℃, selama 60 menit. Pada profil KLT endapan hasil destilasi, Gambar 2(a), dapat dilihat endapan hasil destilasi sudah terpisah dari pelarut DMSO, dikarenakan tidak terbentuk pelebaran spot pada spot kuning endapan hasil destilasi. Apabila masih terdapat DMSO maka terjadi pelebaran spot, akibat adanya interaksi hidrogen antara gugus silanol dengan atom O gugus sulfoksida (Wall, 2005). Rendemen kotor produk sintesis 89,25%.

Dengan membandingkan kedua profil KLT, Gambar 2, dapat dipastikan bahwa p-dimetilaminobenzaldehida (atau p-DMAB) sudah tidak terdapat pada endapan hasil destilasi, karena diketahui residu p-DMAB tersebut berada di dalam filtrat hasil destilasi. Hal itu lantaran p-DMAB memiliki rentang didih di bawah nilai titik didih pelarut DMSO, yaitu 176-177℃ (Adegoke, 2011) sedangkan menurut ACS (2017), DMSO mempunyai nilai titik didih sebesar 189℃. Sementara itu, nilai titik didih sulfadiazin 512,6℃ sehingga residu sulfadiazin masih tertinggal pada serbuk hasil destilasi.

Jarak elusi = 4,4 cm Jarak elusi = 4,4 cm

Rf p-DMAB = 0,93 Rf p-DMAB = 0,93

Rf sulfadiazin = 0,79 Rf sulfadiazin = 0,79

Rf senyawa x = 0,89 Rf senyawa x = -

(a) (b)

Gambar 3. Uji KLT selama proses pemurnian menggunakan fase gerak kloroform:metanol = 8:2

(a) Sampel serbuk hasil pemurnian. (b) Sampel endapan sisa pemurnian.

Endapan hasil destilasi dimurnikan memakai metode rekristalisasi. Berdasarkan

MSDS, sulfadiazin tidak larut dalam kloroform, sedangkan menurut Asiri (2013) diketahui

senyawa sejenis target sintesis larut dalam kloroform, maka prosedur pemurnian dijalankan tanpa pemanasan menggunakan kombinasi sistem solven kloroform:metanol = 8:2 serta kloroform:etanol = 9:1. Dari proses pemurnian diperoleh profil KLT, Gambar 3(a), yang

8

memperlihatkan spot produk sintesis terelusi menjadi satu spot Rf 0,89. Nilai Rf spot tersebut berbeda dengan nilai Rf spot pembanding starting material, sehingga muncul dugaan serbuk hasil rekristalisasi telah murni dan didapatkan rendemen bersih sebanyak 42,2%. Tahap elusi KLT dilakukan memakai sistem fase gerak kloroform:metanol = 8:2.

Dari hasil uji titik lebur dapat dikatakan bahwa sampel produk sintesis telah murni, karena diperoleh jarak lebur ≤ 3℃, dengan nilai 266,3-268,8℃ adapun rentang lebur p-DMAB adalah 72-75℃ (Adegoke, 2011), sementara rentang lebur sulfadiazin 255-256℃ (Ware et al., 2006), sehingga setiap senyawa memiliki perbedaan nilai titik lebur. Hasil uji kelarutan Tabel I, menunjukkan senyawa produk sintesis larut dalam dimetil sulfoksida, kloroform, dan aseton, praktis tidak larut dalam metanol, asetonitril, etanol, dan etil asetat.

Tabel I. Rangkuman Analisis Pendahuluan Produk Sintesis dan Starting Material Pengamatan Produk Sintesis p-DMAB Sulfadiazin

Organoleptis

Bentuk Serbuk Serbuk Serbuk

Warna Kuning Putih Putih

Bau Tidak berbau Khas Tidak berbau

Uji KLT

(Kloroform:Metanol = 8:2)

Rf = 0,89 Rf = 0,93 Rf = 0,79

Single spot dan jarak elusi 4,4 cm

Jarak Lebur 266,3-268,8℃ 72-75℃ 255-256℃

Uji Kelarutan

DMSO Larut Larut Larut

Kloroform Larut Larut Tidak larut

Aseton Larut Larut Tidak larut

Metanol Tidak larut Larut Tidak larut

Asetonitril Tidak larut Larut Tidak larut

Etanol Tidak larut Larut Tidak larut

Etil asetat Tidak larut Larut Tidak larut

Produk sintesis dan starting material dikatakan larut dalam solven, jika larutan terlihat tidak keruh dan tidak terdapat endapan.

Identifikasi Struktur FT-IR terhadap Senyawa Produk Sintesis

9

Gambar 5. Spektrum FT-IR senyawa produk sintesis

Gambar 6. Spektrum FT-IR p-dimetilaminobenzaldehida

10

Sekitar 1 mg serbuk produk sintesis dicampur dengan 200 mg KBr hingga homogen. Campuran tersebut ditekan dalam cetakan menggunakan tekanan tinggi hingga terbentuk pelet KBr transparan. Identifikasi daerah bilangan gelombang serapan dilaksanakan pada rentang 4000-400 cm-1. Spektrum FT-IR senyawa produk sintesis ditampilkan dalam Gambar 5. Sebagai perbandingan, dilakukan interpretasi terhadap spektrum inframerah starting material p-dimetilaminobenzaldehida dan sulfadiazin yang secara berurutan disajikan pada Tabel II.

Spektrum FT-IR memberikan informasi mengenai keberadaan gugus fungsional utama dalam senyawa produk sintesis. Prinsip spektrometer inframerah adalah mengukur energi vibrasi molekul melalui pemancaran radiasi inframerah. Jika suatu molekul tidak menyerap radiasi inframerah pada suatu bilangan gelombang tertentu, maka akan direkam sebagai 100%T, keadaan itu dikenal dengan base line. Selanjutnya, apabila molekul tersebut menyerap radiasi inframerah pada bilangan gelombang tertentu, sehingga intensitas radiasi yang diteruskan berkurang, dan mengakibatkan penurunan %T (persen transmitan), nampak pada spektrum sebagai suatu sumur, yang disebut puncak absorpsi (peak). Dalam hal ini, spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, merekam bilangan gelombang versus %T, dengan base line direkam pada bagian atas spektrum (Pavia et al., 2015; Stuart, 2004). Spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, memperlihatkan adanya pita serapan lemah yang dihasilkan oleh vibrasi ulur asimetri komponen metil dalam gugus dimetilamina pada bilangan gelombang 2941,66 cm-1, sedangkan keberadaan vibrasi ulur simetri fragmen metil dapat diamati dari puncak absorpsi berintensitas lemah 2872,02 cm-1. Selain itu puncak absorpsi medium yang terletak di daerah serapan 1369,92 cm-1 memberikan informasi terdapatnya vibrasi sudut komponen metil. Menurut Pavia et al. (2015), pita absorpsi di sekitar daerah serapan 2962 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi asimetri fragmen metil, sementara keberadaan vibrasi simetri komponen metil diketahui dari kemunculan puncak absorpsi pada bilangan gelombang 2872 cm-1. Sedangkan vibrasi sudut komponen metil ditunjukkan oleh puncak absorpsi di sekitar daerah serapan 1375 cm-1.

Pada spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, terlihat puncak absorpsi lebar dengan intensitas lemah di daerah serapan 3445,95 cm-1, puncak absorpsi itu juga nampak dalam spektrum FT-IR p-dimetilaminobenzaldehida, Gambar 6, di daerah serapan 3446,48 cm-1. Keberadaan puncak absorpsi tersebut memberikan dugaan KBr yang digunakan tidak kering, sehingga perlu dilakukan interpretasi terhadap spektrum FT-IR pelet KBr. Pada spektrum FT-IR KBr, Gambar 4, terlihat puncak absorpsi lebar intensitas medium

11

di daerah serapan 3431,20 cm-1. Puncak absorpsi tersebut dihasilkan dari vibrasi ulur O–H. Selain itu pita absorpsi lemah yang terletak di daerah 1628,63 cm-1 (Gambar 4) memberikan informasi terdapatnya vibrasi sudut molekul H2O(g). Berdasarkan referensi diketahui, bahwa KBr bersifat sangat higroskopik, sehingga pita absorpsi vibrasi ulur O–H dapat muncul pada daerah serapan 3430 cm-1, sedangkan vibrasi sudut molekul H2O(g) terlihat di sekitar daerah serapan 1600 cm-1 (Pavia et al., 2015; Robinson et al., 2005).

Pada spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, terlihat puncak absorpsi dengan intensitas lemah di daerah serapan 1228,20 cm-1. Puncak absorpsi tersebut dihasilkan dari vibrasi ulur C–N amina tersier. Puncak absorpsi itu juga muncul dalam spektrum FT-IR

starting material p-dimetilaminobenzaldehida, Gambar 6, di daerah serapan 1231,20 cm-1. Menurut Stuart (2004), pita absorpsi yang dihasilkan oleh vibrasi ulur C–N amina tersier akan nampak pada daerah serapan sekitar 1220 cm-1.

Puncak absorpsi intensitas lemah yang terletak di daerah serapan 3040 cm-1 pada spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, dihasilkan dari vibrasi ulur C–H sp2, sedangkan puncak absorpsi intensitas sedang di daerah serapan 812,26 cm-1 terbentuk dari vibrasi sudut ikatan C–H sp2. Puncak absorpsi vibrasi ulur dan vibrasi sudut tersebut juga muncul dalam spektrum FT-IR starting material p-dimetilaminobenzaldehida, Gambar 6, secara berurutan di daerah serapan 3049,72 cm-1 dan 811,45 cm-1. Berdasarkan referensi, pita absorpsi yang dihasilkan oleh vibrasi ulur C–H sp2 akan terlihat pada rentang daerah serapan 3050-3010 cm-1. Sementara itu, pita absorpsi yang terbentuk dari vibrasi sudut C–H sp2 akan nampak pada rentang daerah serapan 900-690 cm-1 (Pavia et al., 2015).

Pada spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, terdapat dua puncak absorpsi intensitas kuat di daerah serapan 1578,37 cm-1 dan 1495,48 cm-1. Kedua puncak absorpsi tersebut dihasilkan oleh vibrasi ulur C=C cincin aromatis. Berlandaskan referensi, diketahui pita absorpsi vibrasi ulur C=C aromatis biasanya muncul berpasangan di sekitar daerah serapan 1600 cm-1 dan 1475 cm-1 (Pavia et al., 2015).

Ciri khas dari spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, adalah terdapat puncak absorpsi vibrasi ulur C=N di daerah serapan 1605,08 cm-1. Vibrasi ulur C=N menyerap pada rentang daerah yang sama dengan ikatan C=C. Hal ini karena, atom Cimina

memiliki hibridisasi sp2 (Pavia et al., 2015). Keberadaan puncak absorpsi tersebut memberikan bukti bahwa senyawa produk sintesis mempunyai gugus C=N. Selain itu, tidak ditemukan pita absorpsi karbonil (C=O) yang terletak di daerah serapan 1659,52 cm-1 (Gambar 6) dan juga tidak terlihat pita absorpsi duplet amina primer aromatis yang muncul

12

pada daerah serapan 3421,88 cm-1 dan 3353,41 cm-1 (Gambar 7), keadaan ini memberikan dugaan bahwa senyawa target sintesis telah murni dari starting material (Pavia et al., 2015). Untuk memastikan dugaan tersebut, diperlukan analisis spektrum 1H-NMR.

Spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, memperlihatkan pita absorpsi dengan intensitas lemah di daerah serapan 1263,42 cm-1. Pita absorpsi tersebut dihasilkan dari vibrasi ulur N–Caromatis fenilen sulfonamida. Pita absorpsi itu juga muncul dalam spektrum FT-IR starting material sulfadiazin, Gambar 7, di daerah serapan 1262,07 cm-1, dengan intensitas kuat. Menurut Stuart (2004), puncak absorpsi yang dihasilkan oleh vibrasi ulur N–Caromatis fenilen sulfonamida terlihat pada rentang daerah serapan 1360-1250 cm-1.

Dalam spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, keberadaan cincin fenilen sulfonamida ditunjukkan oleh pita absorpsi vibrasi ulur C–H sp2, intensitas lemah, di daerah serapan 3089,26 cm-1. Selain itu pada daerah serapan 684,19 cm-1 terlihat pita absorpsi dengan intensitas sedang yang dihasilkan oleh vibrasi sudut ikatan C–H sp2. Kedua pita absorpsi tersebut juga muncul dalam spektrum FT-IR starting material sulfadiazin, Gambar 7, secara berurutan di daerah serapan 3100,38 cm-1 (vibrasi ulur) dan 681,15 cm-1 (vibrasi sudut). Menurut Stuart (2004), pita absorpsi vibrasi ulur C–H sp2 biasanya nampak di rentang daerah serapan 3100-3000 cm-1. Sedangkan pita absorpsi vibrasi sudut C–H sp2 akan terlihat pada rentang daerah serapan 720-667 cm-1 (Pavia et al., 2015).

Spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, memperlihatkan puncak absorpsi dengan intensitas medium yang terletak di daerah serapan 837,96 cm-1. Keberadaan puncak absorpsi tersebut menunjukkan benzena terdisubstitusi para. Menurut Pavia et al. (2015), terdapatnya overtone (puncak tambahan) pada rentang daerah serapan 850-800 cm-1 menandakan bahwa cincin aromatis terdisubstitusi para.

Spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, memperlihatkan adanya dua puncak absorpsi intensitas kuat yang dihasilkan dari vibrasi ulur ikatan O=S=O (gugus sulfonil) pada bilangan gelombang 1333,39 cm-1 (asimetri) dan 1155,60 cm-1 (simetri). Menurut Stuart (2004), pita absorpsi yang berada di sekitar bilangan gelombang 1325 cm-1 menunjukkan terjadinya vibrasi asimetri ikatan O=S=O, sementara pita absorpsi yang terdapat pada rentang bilangan gelombang 1190-1140 cm-1 menandakan adanya vibrasi simetri yang dihasilkan ikatan O=S=O.

Dalam spektrum FT-IR senyawa produk sintesis, Gambar 5, terlihat pita absorpsi dengan intensitas lemah di daerah serapan 1549,68 cm-1. Pita absorpsi tersebut dihasilkan dari vibrasi sudut N–H sulfonamida sekunder. Menurut Pavia et al. (2015), pita absorpsi

13

yang dihasilkan oleh vibrasi sudut N–H sulfonamida sekunder akan nampak pada daerah serapan sekitar 1550 cm-1.

Tabel II. Perbandingan Interpretasi Spektrum Inframerah Starting Material dengan Senyawa Produk Sintesis

Vibrasi Ikatan p-DMAB (cm-1) Sulfadiazin (cm-1) Senyawa Produk Sintesis (cm-1) Pavia, 2015 Stuart, 2004 (cm-1) Vibrasi ulur asimetri

C-H sp3 - - 2941,66 (w) ~2962

Vibrasi ulur simetri

C-H sp3 2903,03 (m) - 2872,02 (w) ~2872 Vibrasi sudut C-H sp3 1369,96 (s) - 1369,92 (m) ~1375 Vibrasi ulur C-N amina tersier 1231,20 (vs) - 1228,20 (w) ~1220 Vibrasi ulur C-H sp2 3049,72 (w) 3036,99 (m) 3040 (w) 3050-3010 - 3100,38 (w) 3089,26 (w) 3100-3000 Vibrasi sudut C-H sp2 811,45 (vs) - 812,26 (m) 900-690 - 681,15 (s) 684,19 (m) 720-667 Vibrasi ulur C=C aromatis 1590,15 (vs) 1579,91 (vs) 1578,37 (vs) ~1600 - 1492,67 (vs) 1495,48 (s) ~1475 Vibrasi ulur C=N - - 1605,08 (s) ~1600 Puncak tambahan cincin aromatis terdisubstitusi para 825,24 (vs) 823,46 (m) 837,96 (m) 850-800 Vibrasi ulur N-Caromatis

fenilen sulfonamida - 1262,07 (s) 1263,42 (w) 1360-1250 Vibrasi ulur asimetri

O=S=O - 1324,92 (vs) 1333,39 (s) ~1325

Vibrasi ulur simetri

O=S=O - 1156,45 (vs) 1155,60 (s) 1190-1140

Vibrasi sudut N-H

sulfonamida sekunder - 1653,48 (s) 1549,68 (w) ~1550

Vibrasi C=O 1659,52 (vs) - - 1700-1660

Vibrasi ulur C-Haldehida 2713,78 (m) - - ~2750

Vibrasi ulur N-H

amina primer aromatis -

3353,41 (s)

- ~3300

3421,88 (s) ~3400

14

Elusidasi Struktur 1H-NMR terhadap Senyawa Produk Sintesis

Berdasarkan pengamatan selama proses sintesis diketahui senyawa produk sintesis mudah larut dalam DMSO, selanjutnya ditimbang 5 mg sampel untuk dilakukan uji 1 H-NMR. Spektrum 1H-NMR yang diperoleh ditampilkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Spektrum 1H-NMR senyawa produk sintesis

Spektrum 1H-NMR senyawa produk sintesis, Gambar 8, memperlihatkan sembilan sinyal proton utama dan satu sinyal proton residu yang berasal dari deuterated solvent DMSO. Berdasarkan teori, sinyal proton residu tersebut, akan mucul di daerah pergeseran 2,50 ppm dan berbentuk quintet. Splitting quintet terbentuk karena adanya pertukaran proton pada deuterated solvent DMSO, sehingga DMSO-d6 mengalami perubahan rumus molekul menjadi HD2C-S(=O)CD3. Adapun bentuk splitting quintet dapat diperkirakan memakai persamaan 𝑚𝑢𝑙𝑡𝑖𝑝𝑙𝑖𝑐𝑖𝑡𝑦 = 2𝑛I + 1; dimana n = 2 (proton tunggal HD2C dikoplingkan terhadap 2 atom deuterium), sedangkan nilai Ideuterium = 1 (Silverstein et al., 2005; Pavia et

al., 2015). Perbesaran daerah δ 2,4-3,5 ppm spektrum 1H-NMR senyawa produk sintesis disajikan pada Gambar 30.

15

Sinyal proton singlet, integrasi 6, pada pergeseran kimia 3,016 ppm, Gambar 30, dihasilkan oleh HA. Berlandaskan jurnal referensi untuk senyawa sejenis golongan imina, diketahui sinyal proton metil dalam gugus dimetilamina (DMSO-d6) terletak di pergeseran 2,95 ppm (Kumar et al., 2010). Menurut Silverstein et al. (2005), sinyal proton metil yang berikatan dengan atom N pada gugus fenilamina (M-NPhR) umumnya terlihat di daerah δ 2,6 ppm. Dalam suatu R alkil, atom C (skala Pauling 2,5) lebih bersifat elektronegatif dibandingkan proton (skala Pauling 2,1) sehingga urutan munculnya sinyal absorpsi 1 H-NMR ialah metil (R-CH3→ δ = 2,6 ppm), metilen (R2-CH2→ δ = 3,05 ppm), dan metin (R3-CH→ δ = 3,6 ppm). Disamping itu terdapat selisih posisi δ antara teori dengan hasil analisis sinyal 1H-NMR senyawa target sintesis, hal tersebut diduga karena perbedaan konsentrasi sampel analisis, jenis pelarut deuterated dan perbedaan substituen pada cincin aromatis.

Sinyal proton duplet, integrasi 2, pada pergeseran kimia 6,781 ppm, Gambar 31, dihasilkan oleh HI. Berdasarkan jurnal referensi bagi senyawa sejenis golongan imina, diketahui sinyal proton aromatis HI dan HL dalam pelarut DMSO-d6 terletak pada rentang δ 7,23-7,56 ppm (Kumar et al., 2010). Sedangkan menurut Supuran et al. (1996), dengan menggunakan pelarut DMSO-d6 sinyal HI dan HL berada pada rentang δ 7,10-7,39 ppm. Perbesaran daerah δ 6,6-8,6 ppm spektrum 1H-NMR senyawa produk sintesis disajikan dalam Gambar 31.

Posisi δ kedua sinyal HI dan HL, menunjukkan lebih terperisainya HI dibandingkan HL. Hal tersebut karena HI berada di posisi ortho terhadap gugus –N(CH3)2 dan terletak meta terhadap atom C gugus azometin –CH=NPh. Terdapatnya substituen dimetilamina –N(CH3)2

menyebabkan posisi ortho pada benzena lebih terperisai (stabil) dibandingkan posisi meta (Silverstein et al., 2005). Keadaan ini mampu dijelaskan dari proses delokalisasi pasangan

e- bebas N oleh sistem elektron 𝜋 cincin aromatis. Bentuk resonansi cincin aromatis, Gambar 33(a), memperlihatkan kerapatan elektron yang lebih tinggi di sekitar atom H cincin aromatis pada posisi ortho terhadap –N(CH3)2 (McMurry, 2008).

Sinyal HL, berbentuk duplet memiliki nilai integrasi 2 dan terletak di pergeseran kimia 7,740 ppm, Gambar 31. Kerapatan elektron disekitar HL lebih rendah (kurang terperisai) dibandingkan HI. Kondisi tersebut karena HL berada di posisi meta terhadap gugus -N(CH3)2 dan terletak ortho terhadap atom C gugus azometin –CH=NPh. Terdapatnya

electron-withdrawing group –CH=NPh menyebabkan posisi ortho pada benzena kurang

terperisai (tidak stabil) dibandingkan posisi meta (Silverstein et al., 2005). Hal itu dapat dijelaskan melalui sirkulasi donor elektron 𝜋 cincin aromatis menuju substituen –CH=NPh

16

yang bersifat menarik elektron secara resonansi dan induktif. Bentuk resonansi cincin aromatis, Gambar 33(b), menunjukkan efek tarikan elektron terasa paling kuat di posisi ortho (HL) maupun para terhadap gugus –CH=NPh, sehingga atom HI yang terletak meta pada cincin aromatis cenderung lebih stabil dan terperisai (McMurry, 2008).

Dalam spektrum 1H-NMR senyawa produk sintesis, Gambar 8, tidak terlihat sinyal singlet proton karbonil benzaldehida HT yang terletak di pergeseran kimia 9,98 ppm (Silverstein et al., 2005). Hal tersebut memunculkan dugaan bahwa senyawa target sintesis telah murni dari starting material 4-dimetilaminobenzaldehida. Dugaan ini diperkuat dengan adanya kelainan letak δ proton aromatis pada hasil spektrum 1H-NMR senyawa produk sintesis terhadap molekul 4-dimetilaminobenzaldehida. Perbedaan nilai δ H aromatis menunjukkan bahwa substituen yang terikat pada cincin aromatis tidak sama.

Gambar 9. Kedudukan proton pada 4-dimetilaminobenzaldehida

Sinyal proton benzena tak tersubstitusi biasanya nampak di daerah pergeseran 7,27 ppm, sedangkan dengan adanya chemical shift (δ) increments untuk proton cincin benzena terdisubstitusi maka posisi δ HH molekul 4-DMAB dapat diprediksi memakai perhitungan 7,27 + (-0,57) + 0,23 = 6,93 ppm. Nilai -0,57 merupakan δ increments untuk proton benzena yang berada pada posisi ortho terhadap gugus –N(CH3)2, sementara nilai 0,23 adalah δ

increments bagi proton benzena yang terdapat di posisi meta terhadap gugus aldehida.

Selanjutnya memakai perhitungan tersebut juga diprediksi letak δ HQ yaitu 7,27 + (-0,12) + 0,68 = 7,83 ppm. Nilai -0,12 merupakan δ increments untuk proton benzena yang berada di posisi meta terhadap gugus –N(CH3)2, sedangkan nilai 0,68 adalah δ increments bagi proton benzena yang terdapat di posisi ortho terhadap gugus aldehida (Silverstein et al., 2005).

Sinyal HKK’, integrasi 2, terletak pada pergeseran kimia 7,297 ppm (Gambar 31). Berdasarkan jurnal referensi untuk senyawa sejenis golongan imina, diketahui sinyal proton fenilen sulfanilamida HKK’ dan HMM’ memiliki nilai δ 7,50 ppm dalam pelarut DMSO-d6

(Kumar et al., 2010). Sedangkan menurut Supuran et al. (1996), dengan menggunakan pelarut DMSO-d6 sinyal HKK’ dan HMM’ mempunyai nilai δ 7,05 ppm. Intensitas sinyal

17

multiplet yang dihasilkan oleh HKK’ dan HMM’ tidak membentuk pola persebaran segitiga

Pascal (bukan first-order spectra). Keadaan itu karena nuclei HK dan HK’ berada pada lingkungan kimia serupa (chemical-shift equivalent protons di dalam sebuah multiplet yang sama) tetapi berbeda secara magnetik (non magnetically equivalent). Hal tersebut disebabkan oleh jenis substituen sulfonamida sekunder pada cincin aromatis. Proton yang terikat pada atom N gugus amida sekunder HX akan menjalani pertukaran proton dengan laju

Dokumen terkait