• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Tahapan Spermatogenesis Domba Garut

Untuk melihat tahapan spermatogenesis, jaringan testis domba garut diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Pada pewarnaan HE unsur yang bersifat asam akan menyerap warna biru sampai ungu, sedangkan unsur yang bersifat basa akan mengambil warna merah muda (Humason 1972; Kiernan 1990). Dengan terwarnainya inti dan sitoplasma sel akan memberikan bentuk yang jelas pada sel Sertoli dan sel germinatif sehingga mempermudah untuk mempelajari morfologinya. Penentuan tahapan-tahapan spermatogenesis berdasarkan pada perubahan morfologi dan komposisi sel-sel spermatogenik. Dengan pengamatan menggunakan mikroskop cahaya akan didapatkan gambaran mikroskopik dari tahapan spermatogenesis pada domba garut.

Secara umum proses spermatogenesis sama pada semua hewan mamalia (Sharpe 1994). Tahapan spermatogenesis dapat dibedakan berdasarkan, ciri khas dari perkembangan spermatogonia dan aspek morfologi dari sel germinatif setiap tahap spermatogenesis. Selain itu, kriteria utama untuk membedakan tahapan spermatogenesis terletak pada karekteristik morfologi spermatid, letak inti dan sistem akrosomik (Russel et al. 1990). Walaupun menggunakan metode yang sama dalam menentukan tahapan spermatogenesis, jumlah tahapan yang ditemukan dapat berbeda-beda antara peneliti.

Pada penelitian ini perubahan bentuk sel germinatif atau tahapan spermatogenesis pada domba garut dapat digolongkan dalam 8 tahap (Gambar 3 dan 4). Tahapan ini berdasarkan morfologi spermatogonia, spermatosit, ukuran dan lokasi dari inti spermatid, adanya tanda pembelahan meiosis, dan komposisi sel-sel epitel tubuli seminiferi secara keseluruhan. Frekuensi tahapan ditentukan dari total 1200 tubuli seminiferus ( Nakai et al. 2004).

Tahap 1 dicirikan dengan adanya spermatogonia tipe A yang berada di lamina basalis. Spermatid yang berinti bulat terdapat dibagian dalam epitel seminiferus yang terdiri dari beberapa lapis. Sementara itu spermatosit primer berada di dekat sel Sertoli. Tahap 2 dicirikan dengan terjadinya perubahan bentuk pada spermatid, yaitu spermatid yang awalnya berbentuk bulat berubah menjadi agak lonjong (pemanjangan). Pada tahap ini juga ditemukan spermatosit

preleptoten. Inti spermatosit preleptoten kelihatan lebih jelas dan besar dibanding pada tahap sebelumnya. Sel Sertoli dan spermatogonia tipe A juga ditemukan serupa dengan tahap 1. Tahap 3 dicirikan dengan adanya dua bentuk spermatosit, yaitu spermatosit zigoten dan spermatosit diploten. Pada tahap ini pemanjangan spermatid (spermatid elongated) sudah semakin jelas. Sel Sertoli terletak di lamina basalis. Tahap 4 dicirikan oleh adanya spermatosit sekunder. Hal ini menandakan bahwa pada tahap ini terjadi pembelahan meiosis pada spermatosit diploten menjadi spermatosit sekunder yang kemudian akan menjadi spermatid yang haploid. Karakteristik utama dari tahap ini yaitu ditemukannya meiotic figures. Sementara itu spermatid yang memanjang (elongated) ditemukan berjajar di daerah permukaan tubuli seminiferi. Tahap 5 dicirikan oleh spermatogonia intermediet, spermatosit zigoten serta spermatid berinti bulat. Spermatid elongated hampir menyerupai sebuah garis yang berjajar di permukaan tubuli seminiferi. Tahap 6 dicirikan oleh spermatosit pakiten dan spermatid bulat. Spermatid panjang (elongated) sudah mengarah ke lumen tubulus seminiferus. Sel Sertoli juga ditemukan seperti tahap sebelumnya. Tahap 7 dicirikan oleh spermatogonia tipe B dan spermatosit pakiten serta terdapat spermatid bulat. Sementara itu, spermatid elongated sudah semakin dekat ke lumen tubulus seminiferus. Tahap 8 dicirikan oleh spermatid elongated sudah meninggalkan epitel seminiferus, juga terlihat spermatogonia tipe B, spermatid bulat dan badan residual. Spermatid panjang (elongated) sudah berada di lumen tubulus seminiferus. Proses selanjutnya adalah transformasi spermatid elongated menjadi spermatozoa.

P

b

P I S E P A R A S

a

Z S II Z M D R E S E D

c d

Gambar 3 Tahapan 1 sampai tahapan 4. Tahap 1 (a) Spermatogonia tipe A; Spermatosit primer

(P); Spermatid bulat (R); Sel sertoli (S). Tahap 2 (b) Spermatogonia tipe A (A); Spermatosit

preleptoten (P I); Spermatosit primer pakiten (P); Spermatid panjang/elongated (E); Sel Sertoli

(S). Tahap 3 (c) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit diploten (D); Spermatid panjang/ elongated

(E); Sel Sertoli (S). Tahap 4 (d) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit diploten (D); Spermatosit

sekunder (II); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang (E); Sel Sertoli (S). Pewarnaan HE. Garis

S P R E

f

In E B S R

h

R A E S P Z

e

P S R E B

g

Gambar 4 Tahapan 5 sampai tahapan 8. Tahap 5 (e) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit primer

(P); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang/ elongated (E); Sel sertoli (S). Tahap 6 (f)

Spermatogonia intermediet (In); Spermatosit primer (P); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang

(E); Sel Sertoli (S). Tahap7 (g) Spermatogonia tipe B (B); Spermatid bulat (R); Spermatid

panjang (E); Sel Sertoli (S). Tahap 8 (h) Spermatogonia tipe B (B); Spermatid panjang di lumen

Pada domba garut spermatogenesis dapat dibagi menjadi 8 tahap. Hal ini sama dengan yang telah dilaporkan pada kambing (Franca et al. 1999). Namun ada juga beberapa spesies lain yang memiliki tahap spermatogenesis yang berbeda seperti dilaporkan. Misalnya pada monyet 12 tahap, babi 8 tahap, sapi 12 tahap, dan tikus 14 tahap (Ross et al. 1995; Kerr & Krestser 1988). Perbedaan dari tahapan spermatogenesis disebabkan oleh perbedaan spesies, karakteristik fisilogi reproduksi masing-masing hewan dan perbedaan pola perkawinan.

Frekuensi Tahapan Spermatogenesis Domba Garut

Frekuensi relatif masing-masing tahapan spermatogenesis ditunjukkan pada Gambar 3. Tahapan frekuensi yang paling tinggi terdapat pada tahap 3 (19.58%), sedangkan tahapan frekuensi yang paling rendah terdapat pada tahap 4 (7.58). Perbedaan tinggi atau rendahnya frekuensi ini disebabkan oleh lamanya waktu sebuah sel dalam membelah. Misalnya terjadi pada tahap 4, sel spermatosit sekunder akan segera membelah setelah pembentukannya sehingga jarang dapat dilihat. Tahapan pre-meiosis terjadi pada tahap 1 sampai tahap 3 dengan jumlah total 47.83%, pembelahan meiosis ditunjukkan oleh tahap 4 dengan frekuensi 7.58%. Tahapan post-meiosis terjadi pada tahap 5 sampai tahap 8 dengan total frekuensi 44.58%.

Hasil perhitungan frekuensi dan durasi tahapan spermatogenesis domba garut disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Frekuensi dan Durasi Tahapan Spermatogenesis pada domba garut

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8 Total

Domba 1 61 52 78 31 34 45 42 57 400 Domba 2 58 54 74 33 36 47 39 59 400 Domba 3 64 50 83 27 32 41 48 55 400 Total 183 156 235 91 102 133 129 171 1200 Rata-rata 61.00 52.00 78.33 30.33 34.00 44.33 43.00 57.00 SD 3.00 2.00 4.51 3.06 2.00 3.06 4.58 2.00 Frekuensi (%) 15.25 13.00 19.58 7.58 8.50 11.08 10.75 14.25 100.00 Durasi Spermatogenesis 1.62 1.38 2.08 0.80 0.90 1.17 1.14 1.51 10.60

Dari Tabel 1, frekuensi tahapan spermatogenesis domba garut dapat disajikan dalam bentuk grafik dan diperoleh gambaran sebagai berikut:

15.25 13.00 19.58 7.58 8.50 11.08 10.75 14.25 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 Frekuensi (%)

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8

Tahapan Spermatogenesis

Gambar 5 Frekuensi relatif tahapan spermatogenesis domba garut

Jangka waktu dari satu siklus spermatogenesis adalah waktu total dari seluruh tahap spermatogenesis. Pada babi jantan (Franca & Cardoso 1998) satu siklus spermatogenesis membutuhkan waktu selama + 9 hari dan terjadi 4.5 siklus dalam keseluruhan spermatogenesis, sehingga lamanya spermatogenesis diperkirakan selama + 40.6 hari. Sementara itu pada kambing jangka waktu setiap siklus spermatogenesis adalah 10.6 + 0.5 hari dengan 4.5 siklus, sehingga spermatogenesis diperkirakan membutuhkan waktu 47.7 hari (Franca et al. 1999).

Jika data penelitian Franca et al. (1999) tersebut diaplikasikan pada penelitian ini, maka berdasarkan hasil perhitungan persentase yang diperoleh untuk tiap tahapan, maka pada domba garut waktu yang diperlukan untuk masing-masing tahapan spermatogenesis adalah : tahap1, 1.62 hari; tahap 2, 1.38 hari; tahap 3, 2.08 hari; tahap 4, 0.80 hari; tahap 5, 0.90 hari; tahap 6, 1.17 hari; tahap 7, 1.14 hari; tahap 8, 1.51 hari (Gambar 6).

1.62 1.38 2.08 0.80 0.90 1.17 1.14 1.51 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 Lamanya Tahapan Spermatogenesis (Hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 Tahapan Spermatogenesis

Gambar 6 Durasi masing-masing tahapan spermatogenesis pada domba garut

Pengaturan spermatogenesis dilakukan oleh hormon. Hormon-hormon yang penting untuk spermatogenesis adalah, Folicle Stimulating Hormon (FSH), Luteinizing Hormon (LH) yang disekresikan oleh hipofise dan hormon testosteron yang dihasilkan oleh sel-sel Leydig. Hormon-hormon ini berpengaruh pada sel sel spermatogenik dan sel Sertoli dalam tubuli seminiferi maupun sel-sel Leydig di daerah interstitial dan menstimulasi terjadinya spermatogenesis. Sel-sel Leydig distimulasi oleh LH akan menghasilkan testosteron dan memicu munculnya tanda kelamin sekunder pada organ lain. Sementara itu sel-sel Sertoli distimulasi oleh FSH untuk menghasilkan androgen binding protein (ABP) yang berfungsi mengikat dan mengkonsentrasikan testosteron. Kedua hormon inilah yang menginisiasi proses spermatogenesis pada testis. Jika terjadi peningkatan jumlah spermatozoa maka sel Sertoli memproduksi inhibin yang bersama dengan testosteron berperan sebagai negatif feedback pada sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus (Tomaszewska et al. 1991). Perbedaan frekuensi dan lamanya waktu yang dibutuhkan pada masing-masing tahap spermatogenesis kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain spesies hewan, fisiologi reproduksi, kesuburan hewan, lamanya waktu yang dibutuhkan hewan dalam mencapai dewasa kelamin serta pola perkawinan. Dewasa kelamin dan proses spermatogenesis pada hewan jantan adalah dua hal yang berlangsung hampir bersamaan (Toelihere 1979).

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan perubahan bentuk sel germinatif, spermatogenesis pada domba garut dapat digolongkan dalam delapan tahap. Tahapan frekuensi yang paling tinggi terdapat pada tahap 3 (19.58%), sedangkan tahapan frekuensi yang paling rendah terdapat pada tahap 4 (7.58%).

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan berbagai pewarnaan yang lebih spesifik untuk mengetahui karakteristik sel-sel germinatif dan sel pendukung serta peranannya dalam proses spermatogenesis pada domba garut.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai lamanya proses spermatogenesis pada domba garut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2007. Developmental stages of spermatogenesis.

http://images.google.co.id.

_________ 2007. Domba Garut. http://www.dombagarut.com/bigger1.html. Dellman HD, Brown EM. 1976. Textbok of Veterinary Histology. Lea and Fibiger.

Philadelphia.

Djuwita I, Boediono A, Mohamad K. 2000. Bahan Kuliah Embriologi. Laboratorium Embriologi. Bagian Anatomi. Fakultas kedokteran Hewan. Institut pertanian Bogor. Bogor.

Dwiyanto M. 1999. Penanganan Domba dan Kambing. Cetakan Ke-3. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. 83 Hal.

Franca LR, Silva SCB, Garcia HC. 1999. The length of the cycle of seminiferous epithelium in goats (Capra hircus). Tissue & Cell 31 (3) 274-280.

Franca LR, Cardoso FM. 1998. Duration of spermatogenesis and sperm transit time through the epididymis in the piau boar. Tissue & Cell 30 (5) 573-582.

Gatenby RM. 1986. Sheep Reproduction in The Tropics. Longman. London and New York.

Hardjosubroto W, Astuti M. 1979. Animal Genetics Resources in Indonesia Workshop on Animal Genetics Resources. Tsukuba. Japan.

Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. Ed ke-3. San Fransisco : WH Freeman & Company.

Kerr JB, Kretser DM. 1988. The Cytology of The Testis. The Physiology of Reproduction. Raven Press. New York.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemicals Methods: Theory and Practice. Ed ke-2. Departement of Anatomy, The University of Western Ontario. Pergamon Press, Canada. Pp: 96-186.

Leblond CP, Clermont Y. 1952. Definition of the stages of the cycle of the seminiferous epithelium in the rat. Ann NY Acad Sci 55: 548–573.

Leite FLG. 2006. Cycle and duration of the seminiferous epitheliumin puma (Puma concolor).Anim Rep Sci 91: 307–316.

Mulyono S. 2000. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Cetakan ke-3. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. 88 Hal.

Nakai M, Van Cleeff JK, Bahr JM. 2004. Stages and duration of spermatogenesis in the domestic ferret (Mustela putorius furo). Tissue and Cell 36 (2004) 439–446.

O’Day DH. 2002. Formation of Male Sex Cells : Spermatogenesis. University of Toronto. Mississauga.

Ownby C. 1999. Spermatogenesis [media onlline]. http://www.cvm.okstate.edu/ intruction/mm_curr/histology/mR/HimRP4.htm.[28 Maret 2007].

Payne WJA, Williamson G. 1993. An Introduction to Animal Husbandary in The In reply Tropics. Edisi Indonesia : Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Ed ke-3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Ross HM, Romrell LJ, Kaye GI. 1995. Histology: A Text and Atlas 3th. Williams and Wilkins. Maryland. USA.

Russell LD, Ettlin RA, Hikim SAP, Clegg ED. 1990. Histological and Histopathological Evaluation of The Testis. Cache River Press, Clearwater Florida.

Segatelli TM et al. 2002. Kinetics of spermatogenesis in the mongolian gerbil (Meriones unguiculatus). Tissue & Cell 34 (1) 7-13.

Sharpe RM. 1994. Regulation of spermatogenesis. In: Knobil, E. and Neil, J.D. (eds), The physiology of reproduction. Raven Press. New York. Pp: 1363– 1434.

Sugeng B. 2000. Beternak Domba. Cetakan ke-13. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. 72 Hal.

Toelihere MR 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa. Bandung. Tomaszewska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TD. 1991. Reproduksi

Tingkah Laku dan Produksi Ternak Di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Pp: 4-38.

Lampiran 1 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Xylol I, 2 menit

Xylol II, 2 menit

Xylol III, 2 menit

Alkohol absolut, 2 menit

Alkohol bertingkat (95%-70%), 2 menit

Cuci dengan air kran dan akuades, @ 5menit

Mayer`s Haematoksilin, 8 detik

Cuci dengan air kran, 3 menit

Cuci dengan air akuades, 5 menit Eosin 2-3 menit

Cuci dengan akuades, 5 menit

Alkohol bertingkat (95%-70%), @10 celupan

Alkohol absolut, @ 2 menit

Xylol I, II dan III, @ 5 menit

Lampiran 2 Komposisi Larutan Bouin Lamanya fiksasi 24 jam (sehari)

- Larutan asam pikrat jenuh (1 liter air + 20 gr pikrat) 75 ml (15) - Formalin (37/39 – 40%) 25 ml (5) - Acetic acid glacial 100% 5 ml (1) (dicampur dalam keadaan segar – fresh prior to use)

Dokumen terkait