• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis Pada Domba Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis Pada Domba Garut"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN

SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT

BASRIZAL B04103026

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN

SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT

BASRIZAL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Pada

Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis pada Domba Garut.

Nama : Basrizal NIM : B04103026

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D Drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi NIP. 131 664 403 NIP. 132 321 567

Diketahui,

Wakil Dekan FKH IPB

Dr.drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS NIP. 131 129 090

(4)

“Sang pemenang tidak pernah menyerah, dan orang yang menyerah tidak akan pernah menang”

Masalahnya bukanlah apakah anda dijatuhkan, tetapi apakah anda bangkit kembali (Vince Lombardi)

(5)

PRAKATA

Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis pada Domba Garut”. Penelitian ini merupakan penelitian dasar untuk mengetahui sistem reproduksi domba garut jantan.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT dan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang, damai, dan sentosa.

2. Kedua orang tua, kakak serta keluarga besar di rumah atas doa, cinta, dukungan, semangat, kehangatan dan pengorbanannya.

3. Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D dan drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi. sebagai dosen pembimbing skripsi yang tiada lelah memberikan bimbingan, nasehat, dukungan dan bantuan mulai dari awal penelitian hingga skripsi ini selesai dikerjakan.

4. Dr. drh. Arief Boediono dan Dr. R. Iis Arifiantini, MSi sebagai dosen penilai dan penguji yang banyak memberikan masukan dan saran pada skripsi ini.

5. Drh. Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, Ph.D sebagai dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi nasehat selama penulis dibangku kuliah.

6. Gymnolaemata 40, atas kebersamaannya.

7. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1984 di Solok, Sumatera Barat. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Idrus dan Zurni.

Pendidikan formal dimulai dari pendidikan dasar yang diselesaikan pada tahun 1997 di SDN 1 Tanam Batu. Kemudian pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SMPN 4 Lembah Gumanti dan pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 1 Lembah Gumanti.

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR PUSTAKA ………..……… 21

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Domba garut………. 4

Gambar 2 Proses spermatogenesis………. 7

Gambar 3 Tahapan spermatogenesis domba garut 1-4………... 15

Gambar 4 Tahapan spermatogenesis domba garut 5-8... 16

Gambar 5 Frekuensi relatif tahapan spermatogenesi domba garut…... 18

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba Priangan atau yang dikenal dengan domba garut merupakan domba asli Garut, Jawa Barat. Domba garut merupakan hasil persilangan segitiga antara domba asli Indonesia, domba Merino dari Asia Kecil dan domba ekor gemuk dari Afrika. Sebagai plasma nutfah unggul Indonesia, domba garut merupakan salah satu spesies yang wajib kita lestarikan keberadaannya. Untuk itu, usaha peningkatan reproduksi perlu dilakukan. Salah satu faktor utama yang penting dalam mempelajari fisiologi reproduksi adalah proses pembentukan gamet jantan melalui spermatogenesis.

Menurut O’day (2002), spermatogenesis adalah proses perkembangan dari sel germinatif yaitu sel spermatogonia menjadi spermatozoa. Proses spermatogenesis terjadi di dalam testis tepatnya di dalam tubuli seminiferi. Spermatogenesis dibagi ke dalam tiga fase : (1) spermatositogenesis, yaitu proses perubahan spermatogonia menjadi spermatosit, (2) meiosis, tahap masak dari spermatosit yang menghasilkan spermatid dengan jumlah kromosom yang berkurang (haploid), dan (3) spermiogenesis, proses perubahan spermatid menjadi spermatozoa (Dellman & Brown 1976; Ownby 1999).

Proses spermatogenesis terjadi secara berkesinambungan dan terus menerus. Tahapan spermatogenesis ini dapat teridentifikasi secara mikroskopis. Beberapa penelitian menggolongkan tahapan spermatogenesis secara morfologis pada manusia dan beberapa spesies hewan (Kerr & Kretser 1988), misalnya pada manusia terdiri dari 6 tahap, pada kera 12 tahap, tikus 14 tahap, dan babi 8 tahap. Namun demikian sampai saat ini informasi mengenai tahapan spermatogenesis dandurasinya pada domba garut belum terlaporkan.

Tujuan

(11)

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN

SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT

BASRIZAL B04103026

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(12)

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN

SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT

BASRIZAL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Pada

Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(13)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis pada Domba Garut.

Nama : Basrizal NIM : B04103026

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D Drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi NIP. 131 664 403 NIP. 132 321 567

Diketahui,

Wakil Dekan FKH IPB

Dr.drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS NIP. 131 129 090

(14)

“Sang pemenang tidak pernah menyerah, dan orang yang menyerah tidak akan pernah menang”

Masalahnya bukanlah apakah anda dijatuhkan, tetapi apakah anda bangkit kembali (Vince Lombardi)

(15)

PRAKATA

Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Gambaran Morfologi dan Frekuensi Tahapan Spermatogenesis pada Domba Garut”. Penelitian ini merupakan penelitian dasar untuk mengetahui sistem reproduksi domba garut jantan.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT dan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang, damai, dan sentosa.

2. Kedua orang tua, kakak serta keluarga besar di rumah atas doa, cinta, dukungan, semangat, kehangatan dan pengorbanannya.

3. Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D dan drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi. sebagai dosen pembimbing skripsi yang tiada lelah memberikan bimbingan, nasehat, dukungan dan bantuan mulai dari awal penelitian hingga skripsi ini selesai dikerjakan.

4. Dr. drh. Arief Boediono dan Dr. R. Iis Arifiantini, MSi sebagai dosen penilai dan penguji yang banyak memberikan masukan dan saran pada skripsi ini.

5. Drh. Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, Ph.D sebagai dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi nasehat selama penulis dibangku kuliah.

6. Gymnolaemata 40, atas kebersamaannya.

7. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1984 di Solok, Sumatera Barat. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Idrus dan Zurni.

Pendidikan formal dimulai dari pendidikan dasar yang diselesaikan pada tahun 1997 di SDN 1 Tanam Batu. Kemudian pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SMPN 4 Lembah Gumanti dan pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 1 Lembah Gumanti.

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR PUSTAKA ………..……… 21

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Domba garut………. 4

Gambar 2 Proses spermatogenesis………. 7

Gambar 3 Tahapan spermatogenesis domba garut 1-4………... 15

Gambar 4 Tahapan spermatogenesis domba garut 5-8... 16

Gambar 5 Frekuensi relatif tahapan spermatogenesi domba garut…... 18

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba Priangan atau yang dikenal dengan domba garut merupakan domba asli Garut, Jawa Barat. Domba garut merupakan hasil persilangan segitiga antara domba asli Indonesia, domba Merino dari Asia Kecil dan domba ekor gemuk dari Afrika. Sebagai plasma nutfah unggul Indonesia, domba garut merupakan salah satu spesies yang wajib kita lestarikan keberadaannya. Untuk itu, usaha peningkatan reproduksi perlu dilakukan. Salah satu faktor utama yang penting dalam mempelajari fisiologi reproduksi adalah proses pembentukan gamet jantan melalui spermatogenesis.

Menurut O’day (2002), spermatogenesis adalah proses perkembangan dari sel germinatif yaitu sel spermatogonia menjadi spermatozoa. Proses spermatogenesis terjadi di dalam testis tepatnya di dalam tubuli seminiferi. Spermatogenesis dibagi ke dalam tiga fase : (1) spermatositogenesis, yaitu proses perubahan spermatogonia menjadi spermatosit, (2) meiosis, tahap masak dari spermatosit yang menghasilkan spermatid dengan jumlah kromosom yang berkurang (haploid), dan (3) spermiogenesis, proses perubahan spermatid menjadi spermatozoa (Dellman & Brown 1976; Ownby 1999).

Proses spermatogenesis terjadi secara berkesinambungan dan terus menerus. Tahapan spermatogenesis ini dapat teridentifikasi secara mikroskopis. Beberapa penelitian menggolongkan tahapan spermatogenesis secara morfologis pada manusia dan beberapa spesies hewan (Kerr & Kretser 1988), misalnya pada manusia terdiri dari 6 tahap, pada kera 12 tahap, tikus 14 tahap, dan babi 8 tahap. Namun demikian sampai saat ini informasi mengenai tahapan spermatogenesis dandurasinya pada domba garut belum terlaporkan.

Tujuan

(21)

Manfaat

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Domba

Domba diklasifikasikan menjadi subfamili Caprinae dan semua jenis domba yang diternakkan (domestikasi) termasuk spesies Ovis aries. Ada empat spesies domba yaitu : domba Moufflon (O. musimon) terdapat di Eropa dan Asia Barat, domba Urial (O. orientalis, O. vignei) terdapat mulai dari Afganistan sampai Asia Barat, domba Argali (O. ammon) terdapat di Asia Tengah, dan domba Bighorn (O. canodensis ) terdapat di Asia Utara dan Amerika Utara. Tiga jenis yang pertama diatas merupakan domba-domba yang membentuk basis genetik dari domba-domba modern sekarang (Payne & Williamson 1993).

Menurut Gatenby (1986), ada tiga bangsa domba Indonesia, diantaranya adalah domba ekor tipis (the Javanese thin tailed sheep), domba Priangan (domba garut), dan domba ekor gemuk (the Javanese fat tailed sheep). Domba ekor tipis yang merupakan domba asli Indonesia, mempunyai tubuh kecil, ekor relatif kecil dan tipis, domba betina umumnya tidak bertanduk sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar (Mulyono 2000). Domba ekor gemuk yang ada di Indonesia kemungkinan berasal dari India atau Asia Barat (Payne & Williamson, 1993). Domba ini mempunyai bentuk ekor yang panjang, lebar, besar, dan semakin keujung semakin mengecil. Ekor ini digunakan sebagai tempat menimbun lemak untuk cadangan energi (Mulyono 2000), domba ekor gemuk mempunyai bentuk badan sedikit lebih besar dari pada domba asli Indonesia, yang jantan bertanduk kecil sedangkan betinanya tidak bertanduk (Dwiyanto 1999).

(23)

memiliki rambut lebih panjang dan halus dari pada domba asli Indonesia. Domba garut ini biasa digunakan untuk aduan (Mulyono 2000; Sugeng 2000).

Gambar 1 Domba Garut Jantan

(Sumber http://www.dombagarut.com/bigger1.html)

Testis

Testis pada hewan mamalia ada sepasang, bentuknya bulat telur atau lonjong, berada di dalam rongga skrotum dan digantung oleh funikulus spermatikus yang terletak di daerah preoubicus. Testis terdiri dari jaringan tubuli seminiferi, sel stroma, sel interstisial dan sel-sel Leydig. Tubuli seminiferi terdiri dari dua macam epitel yang berbeda yaitu : (1) sel germinatif adalah sel yang akan mengalami perubahan selama proses spermatogenesis, sebelum mereka siap untuk mengadakan fertilisasi. (2) sel Sertoli adalah sel yang berbentuk panjang dan kadang-kadang seperti piramid, terletak dekat atau diantara sel-sel germinatif. Fungsi sel ini memberi makan kepada spermatozoa yang masih muda selain itu juga memfagosit sel-sel spermatozoa yang telah mati atau telah mengalami degenerasi. Pada jaringan ini terdapat pembuluh darah, limfe serta saraf dan sel makrofag. Selain itu juga terdapat sel interstitial atau sel Leydig yang menghasilkan hormon testosteron, hormon juga dihasilkan oleh spermatozoa dan kelenjar adrenal (Tomaszewska et al. 1991).

(24)

testis adalah produksi spermatozoa atau sel mani yang dihasilkan di tubuli seminiferi. Bila dibentangkan saluran tubuli seminiferi mempunyai panjang beberapa kilometer. Spermatozoa adalah bentuk akhir sel jantan setelah mengalami proses perkembangan (spermatogenesis).

Proses Pembentukan Spermatozoa

Proses spermatogenesis secara sempurna baru dimulai setelah hewan mencapai dewasa kelamin (pubertas). Produksi spermatozoa akan bertambah bersamaan dengan meningkatnya umur hewan jantan tersebut. Spermatozoa diproduksi dalam tubuli seminiferi testis. Spermatozoa berasal dari sel spermatogonia pada epitel germinatif dari tubuli seminiferi dengan cara pembelahan. Proses spermatogenesis pada hewan dibagi menjadi empat tahap (Ownby 1999) yaitu :

1. Tahap proliferasi, tahap ini dimulai sejak sebelum lahir sampai beberapa saat setelah lahir. Bakal sel kelamin yang ada pada lapisan basal dari tubuli seminiferi melepaskan diri dan membelah secara mitosis sampai dihasilkan banyak sel spermatogonia.

2. Tahap tumbuh, pada tahap ini spermatogonia membagi diri secara mitosis sebanyak empat kali sehingga dihasilkan 16 sel spermatogonia.

3. Tahap menjadi masak, yaitu sel spermatogonia menjadi sel spematosit. Pada tahap ini terjadi pembelahan meiosis sehingga sel spermatosit primer berubah menjadi sel spermatosit sekunder. Kemudian spermatosit sekunder akan berubah menjadi spermatid bersamaan dengan pengurangan jumlah kromosom dari diploid (2n) menjadi haploid (n).

4. Tahap transformasi, pada tahap ini terjadi proses metamorfosa seluler dari sel spermatid sehingga terbentuk sel spermatozoa.

(25)

selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer akan berkembang menjadi spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder melalui pembelahan meiosis akan menghasilkan spermatid.

(26)

Gambar 2 Proses Spermatogenesis (Sumber : http://images.google.co.id)

Spermatogenesis adalah suatu siklus yang teratur dimana spermatogonia diploid akan berkembang menjadi spermatozoa haploid dewasa. Proses ini terdiri atas tahapan-tahapan yang berbeda (Leblond & Clermont 1952). Menurut Franca et al. (1999), untuk mengetahui tahapan siklus epitel seminiferus dapat dilihat dari keadaan tubuli seminiferi antara lain melalui ukuran inti spermatid, kehadiran pembelahan meiosis dan komposisi epitel seminiferus secara keseluruhan. Pada kambing tahapan spematogenesis sebanyak delapan tahap, dengan frekuensi masing-masing tahapan sebagai berikut: tahap 1 15.8%, tahap 2 12.8%, tahap 3 20.5%, tahap 4 10,7%, tahap 5 11.6%, tahap 6 9.3%, tahap 7 7.6%, tahap 8 11.7%. Sedangkan durasi tiap siklus spermatogenesis adalah 10.6 hari. Dengan total waktu siklus spermatogenesis adalah 4.5 siklus.

(27)

tahap 3 5.4%, tahap 4 12.1% tahap 5 5.9%, tahap 6 17.2%, tahap 7 15.4%, tahap 8 14.3% (Franca & Cardoso 1998).

Sementara itu pada puma, siklus epitel seminiferus terjadi sebanyak delapan tahap. Durasi siklus epitel seminiferus adalah 9.89 hari, sehingga diperkirakan membutuhkan waktu 44.5 hari untuk perkembangan spermatogonia menjadi spermatozoa (Leite et al. 2006). Pada musang, tahapan spermatogenesis juga berlangsung sebanyak delapan tahap. Tahap 1 sampai tahap 8 secara berurutan adalah 10.6%, 2.2%, 7.9%, 13.1%, 22.3%, 21.9%, 14.0%, dan 8.0%. Durasi satu siklus diperkirakan mencapai 13.0 hari. Ini sama dengan karnivora lain ( Nakai et al. 2004).

(28)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Februari 2007 sampai dengan Agustus 2007.

Bahan

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan NaCl fisiologis, larutan pengawet Bouin, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, Xylol, Parafin p.a (56-58%), zat-zat warna Hematoksilin Eosin (HE), dan Entellan®.

Sedangkan alat yang dipakai, antara lain : pisau, skalpel, gunting, label, gelas piala, botol-botol dehidrasi, kertas foto, styrofoam, blok kayu, pinset, bunsen, tutup pagoda, gelas objek, mikrotom dengan pisaunya, kuas bulu kuda, spatula, hot plate.

Sampel yang digunakan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel organ testis yang berasal dari tiga ekor domba garut jantan dewasa dan sehat yang berumur + 2 tahun. Pengambilan sediaan organ testis dilakukan sesaat setelah domba dipotong di rumah potong hewan (RPH) kabupaten Garut.

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan preparat histologi, dengan cara membuat preparat histologi yang diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE).

◦ Pembuatan preparat histologi

(29)

Dehidrasi adalah proses penarikan air dari jaringan dan mencegah pengerutan sel yang diperiksa. Dehidrasi dilakukan dengan cara merendam di dalam alkohol bertingkat (Alkohol 70%, 80%, 90%,95%, dan alkohol absolut). Untuk alkohol dengan konsentrasi 70% sebagai stoping point maka waktu perendaman bisa lama, namun untuk alkohol dengan konsentrasi 80% - 95% lama perendaman adalah 24 jam. Sedangkan untuk alkohol absolut dilakukan sebanyak tiga kali dengan masing-masing waktu perendaman selama satu jam.

Clearing (penjernihan) adalah proses intermediet antara proses dehidrasi dan proses embedding dengan parafin. Tujuan dari clearing adalah menghilangkan sisa alkohol dalam jaringan agar parafin dapat berpenetrasi ke dalam jaringan. Penghilangan sisa alkohol didalam jaringan dilakukan dengan menggunakan xylol. Proses dilakukan sebanyak tiga kali masing-masing selama satu jam.

Infiltrasi parafin dilakukan secara bertahap dan semua proses dilakukan dalam inkubator yang bersuhu 60 – 70 oC (karena bahan yang digunakan adalah parafin cair). Perendaman dilakukan sebanyak tiga kali dengan waktu perendaman masing-masing selama satu jam.

(30)

Sectioning atau pemotongan jaringan dilakukan dengan alat khusus, yaitu mikrotom. Blok parafin yang telah dipotong hingga berupa lembaran-lembaran jaringan setebal 5µm, dan ditempatkan pada gelas obyek, kemudian disimpan dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 24 jam sampai jaringan menempel sempurna pada gelas obyek.

Staining atau pewarnaan dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Staining dilakukan untuk mempermudah pengamatan jaringan dibawah mikroskop. Setelah pewarnaan selesai dilakukan, maka dilakukan mounting dengan cara menempatkan gelas obyek pada kertas tissue di tempat datar, tetesi gelas obyek dengan bahan mounting yang sudah diencerkan dengan xylol, kemudian menutupnya dengan gelas penutup dengan hati-hati agar tidak terbentuk gelembung udara.

Pengamatan dan pemotretan sediaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera (Nikon E600, Japan) dengan lensa obyektif 40X. Pengamatan dititikberatkan pada perubahan morfologi sel germinatif dalam tubuli seminiferi sehingga dapat dibedakan masing-masing tahapan spermatogenesis yang terjadi pada domba garut. Selanjutnya masing-masing tahapan dihitung pada 400 tubuli seminiferi dari setiap sampel. Total yang diamati berjumlah 1200 tubuli. Dari semua tubuli yang diamati, dibedakan tahapan-tahapan spermatogenesis. Jumlah tiap tahapan dipersentasekan, kemudian untuk mengetahui durasi tiap tahapan, hasil persentase dikalikan dengan durasi total spermatogenesis domba yaitu 10,6 hari (Franca et al. 1999; Franca & Cardoso 1998).

Frekuensi Tahapan dan Durasi Siklus Tahapan Spermatogenesis 1. Frekuensi tahapan (%)

= Jumlah tubuli pada masing-masing tahapan X 100 Jumlah total tubuli

2. Durasi siklus spermatogenesis

(31)

◦ Rancangan Percobaan dan Evaluasi Data

Penelitian ini menggunakan desain percobaan eksploratif. Data yang dikoleksi dipaparkan secara deskriptif dan dikomparasikan dengan data dari hewan lain yang pernah dilaporkan.

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahapan Spermatogenesis Domba Garut

Untuk melihat tahapan spermatogenesis, jaringan testis domba garut diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). Pada pewarnaan HE unsur yang bersifat asam akan menyerap warna biru sampai ungu, sedangkan unsur yang bersifat basa akan mengambil warna merah muda (Humason 1972; Kiernan 1990). Dengan terwarnainya inti dan sitoplasma sel akan memberikan bentuk yang jelas pada sel Sertoli dan sel germinatif sehingga mempermudah untuk mempelajari morfologinya. Penentuan tahapan-tahapan spermatogenesis berdasarkan pada perubahan morfologi dan komposisi sel-sel spermatogenik. Dengan pengamatan menggunakan mikroskop cahaya akan didapatkan gambaran mikroskopik dari tahapan spermatogenesis pada domba garut.

Secara umum proses spermatogenesis sama pada semua hewan mamalia (Sharpe 1994). Tahapan spermatogenesis dapat dibedakan berdasarkan, ciri khas dari perkembangan spermatogonia dan aspek morfologi dari sel germinatif setiap tahap spermatogenesis. Selain itu, kriteria utama untuk membedakan tahapan spermatogenesis terletak pada karekteristik morfologi spermatid, letak inti dan sistem akrosomik (Russel et al. 1990). Walaupun menggunakan metode yang sama dalam menentukan tahapan spermatogenesis, jumlah tahapan yang ditemukan dapat berbeda-beda antara peneliti.

Pada penelitian ini perubahan bentuk sel germinatif atau tahapan spermatogenesis pada domba garut dapat digolongkan dalam 8 tahap (Gambar 3 dan 4). Tahapan ini berdasarkan morfologi spermatogonia, spermatosit, ukuran dan lokasi dari inti spermatid, adanya tanda pembelahan meiosis, dan komposisi sel-sel epitel tubuli seminiferi secara keseluruhan. Frekuensi tahapan ditentukan dari total 1200 tubuli seminiferus ( Nakai et al. 2004).

(33)
(34)

P

Gambar 3 Tahapan 1 sampai tahapan 4. Tahap 1 (a) Spermatogonia tipe A; Spermatosit primer

(P); Spermatid bulat (R); Sel sertoli (S). Tahap 2 (b) Spermatogonia tipe A (A); Spermatosit

preleptoten (P I); Spermatosit primer pakiten (P); Spermatid panjang/elongated (E); Sel Sertoli

(S). Tahap 3 (c) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit diploten (D); Spermatid panjang/ elongated

(E); Sel Sertoli (S). Tahap 4 (d) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit diploten (D); Spermatosit

sekunder (II); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang (E); Sel Sertoli (S). Pewarnaan HE. Garis

(35)

S

Gambar 4 Tahapan 5 sampai tahapan 8. Tahap 5 (e) Spermatosit zigoten (Z); Spermatosit primer

(P); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang/ elongated (E); Sel sertoli (S). Tahap 6 (f)

Spermatogonia intermediet (In); Spermatosit primer (P); Spermatid bulat (R); Spermatid panjang

(E); Sel Sertoli (S). Tahap7 (g) Spermatogonia tipe B (B); Spermatid bulat (R); Spermatid

panjang (E); Sel Sertoli (S). Tahap 8 (h) Spermatogonia tipe B (B); Spermatid panjang di lumen

(36)

Pada domba garut spermatogenesis dapat dibagi menjadi 8 tahap. Hal ini sama dengan yang telah dilaporkan pada kambing (Franca et al. 1999). Namun ada juga beberapa spesies lain yang memiliki tahap spermatogenesis yang berbeda seperti dilaporkan. Misalnya pada monyet 12 tahap, babi 8 tahap, sapi 12 tahap, dan tikus 14 tahap (Ross et al. 1995; Kerr & Krestser 1988). Perbedaan dari tahapan spermatogenesis disebabkan oleh perbedaan spesies, karakteristik fisilogi reproduksi masing-masing hewan dan perbedaan pola perkawinan.

Frekuensi Tahapan Spermatogenesis Domba Garut

Frekuensi relatif masing-masing tahapan spermatogenesis ditunjukkan pada Gambar 3. Tahapan frekuensi yang paling tinggi terdapat pada tahap 3 (19.58%), sedangkan tahapan frekuensi yang paling rendah terdapat pada tahap 4 (7.58). Perbedaan tinggi atau rendahnya frekuensi ini disebabkan oleh lamanya waktu sebuah sel dalam membelah. Misalnya terjadi pada tahap 4, sel spermatosit sekunder akan segera membelah setelah pembentukannya sehingga jarang dapat dilihat. Tahapan pre-meiosis terjadi pada tahap 1 sampai tahap 3 dengan jumlah total 47.83%, pembelahan meiosis ditunjukkan oleh tahap 4 dengan frekuensi 7.58%. Tahapan post-meiosis terjadi pada tahap 5 sampai tahap 8 dengan total frekuensi 44.58%.

Hasil perhitungan frekuensi dan durasi tahapan spermatogenesis domba garut disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Frekuensi dan Durasi Tahapan Spermatogenesis pada domba garut

(37)

Dari Tabel 1, frekuensi tahapan spermatogenesis domba garut dapat disajikan dalam bentuk grafik dan diperoleh gambaran sebagai berikut:

15.25

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8

Tahapan Spermatogenesis

Gambar 5 Frekuensi relatif tahapan spermatogenesis domba garut

Jangka waktu dari satu siklus spermatogenesis adalah waktu total dari seluruh tahap spermatogenesis. Pada babi jantan (Franca & Cardoso 1998) satu siklus spermatogenesis membutuhkan waktu selama + 9 hari dan terjadi 4.5 siklus dalam keseluruhan spermatogenesis, sehingga lamanya spermatogenesis diperkirakan selama + 40.6 hari. Sementara itu pada kambing jangka waktu setiap siklus spermatogenesis adalah 10.6 + 0.5 hari dengan 4.5 siklus, sehingga spermatogenesis diperkirakan membutuhkan waktu 47.7 hari (Franca et al. 1999).

(38)

1.62

Gambar 6 Durasi masing-masing tahapan spermatogenesis pada domba garut

(39)

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan perubahan bentuk sel germinatif, spermatogenesis pada domba garut dapat digolongkan dalam delapan tahap. Tahapan frekuensi yang paling tinggi terdapat pada tahap 3 (19.58%), sedangkan tahapan frekuensi yang paling rendah terdapat pada tahap 4 (7.58%).

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan berbagai pewarnaan yang lebih spesifik untuk mengetahui karakteristik sel-sel germinatif dan sel pendukung serta peranannya dalam proses spermatogenesis pada domba garut.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai lamanya proses spermatogenesis pada domba garut.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2007. Developmental stages of spermatogenesis.

http://images.google.co.id.

_________ 2007. Domba Garut. http://www.dombagarut.com/bigger1.html. Dellman HD, Brown EM. 1976. Textbok of Veterinary Histology. Lea and Fibiger.

Philadelphia.

Djuwita I, Boediono A, Mohamad K. 2000. Bahan Kuliah Embriologi. Laboratorium Embriologi. Bagian Anatomi. Fakultas kedokteran Hewan. Institut pertanian Bogor. Bogor.

Dwiyanto M. 1999. Penanganan Domba dan Kambing. Cetakan Ke-3. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. 83 Hal.

Franca LR, Silva SCB, Garcia HC. 1999. The length of the cycle of seminiferous epithelium in goats (Capra hircus). Tissue & Cell 31 (3) 274-280.

Franca LR, Cardoso FM. 1998. Duration of spermatogenesis and sperm transit time through the epididymis in the piau boar. Tissue & Cell 30 (5) 573-582.

Gatenby RM. 1986. Sheep Reproduction in The Tropics. Longman. London and New York.

Hardjosubroto W, Astuti M. 1979. Animal Genetics Resources in Indonesia Workshop on Animal Genetics Resources. Tsukuba. Japan.

Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. Ed ke-3. San Fransisco : WH Freeman & Company.

Kerr JB, Kretser DM. 1988. The Cytology of The Testis. The Physiology of Reproduction. Raven Press. New York.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemicals Methods: Theory and Practice. Ed ke-2. Departement of Anatomy, The University of Western Ontario. Pergamon Press, Canada. Pp: 96-186.

Leblond CP, Clermont Y. 1952. Definition of the stages of the cycle of the seminiferous epithelium in the rat. Ann NY Acad Sci 55: 548–573.

Leite FLG. 2006. Cycle and duration of the seminiferous epitheliumin puma (Puma concolor).Anim Rep Sci 91: 307–316.

(41)

Nakai M, Van Cleeff JK, Bahr JM. 2004. Stages and duration of spermatogenesis in the domestic ferret (Mustela putorius furo). Tissue and Cell 36 (2004) 439–446.

O’Day DH. 2002. Formation of Male Sex Cells : Spermatogenesis. University of Toronto. Mississauga.

Ownby C. 1999. Spermatogenesis [media onlline]. http://www.cvm.okstate.edu/ intruction/mm_curr/histology/mR/HimRP4.htm.[28 Maret 2007].

Payne WJA, Williamson G. 1993. An Introduction to Animal Husbandary in The In reply Tropics. Edisi Indonesia : Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Ed ke-3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Ross HM, Romrell LJ, Kaye GI. 1995. Histology: A Text and Atlas 3th. Williams and Wilkins. Maryland. USA.

Russell LD, Ettlin RA, Hikim SAP, Clegg ED. 1990. Histological and Histopathological Evaluation of The Testis. Cache River Press, Clearwater Florida.

Segatelli TM et al. 2002. Kinetics of spermatogenesis in the mongolian gerbil (Meriones unguiculatus). Tissue & Cell 34 (1) 7-13.

Sharpe RM. 1994. Regulation of spermatogenesis. In: Knobil, E. and Neil, J.D. (eds), The physiology of reproduction. Raven Press. New York. Pp: 1363– 1434.

Sugeng B. 2000. Beternak Domba. Cetakan ke-13. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. 72 Hal.

Toelihere MR 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa. Bandung. Tomaszewska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TD. 1991. Reproduksi

(42)

Lampiran 1 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Xylol I, 2 menit

Xylol II, 2 menit

Xylol III, 2 menit

Alkohol absolut, 2 menit

Alkohol bertingkat (95%-70%), 2 menit

Cuci dengan air kran dan akuades, @ 5menit

Mayer`s Haematoksilin, 8 detik

Cuci dengan air kran, 3 menit

Cuci dengan air akuades, 5 menit

Eosin 2-3 menit

Cuci dengan akuades, 5 menit

Alkohol bertingkat (95%-70%), @10 celupan

Alkohol absolut, @ 2 menit

Xylol I, II dan III, @ 5 menit

(43)

Lampiran 2 Komposisi Larutan Bouin Lamanya fiksasi 24 jam (sehari)

(44)
(45)

Gambar

Gambar 1 Domba Garut Jantan (Sumber http://www.dombagarut.com/bigger1.html)
Gambar 2 Proses Spermatogenesis (Sumber : http://images.google.co.id)
Gambar 3 Tahapan 1 sampai tahapan 4. Tahap 1 ((P); preleptoten (P I);  Spermatosit primer pakiten (P); (E); Sel Sertoli (S)
Gambar 4 Tahapan 5 sampai tahapan 8. Tahap 5 ((P); Spermatid bulat (R); Spermatogonia intermediet (In); Spermatosit primer (P); (E); Sel Sertoli (S)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Secara simbolis pola tata ruang Desa Adat Penglipuran secara makro dibagi menjadi tiga ruang dengan tingkat kesucian yang berbeda ( Konsep Tri Mandala ), yaitu : 1). Utama Mandala

Pelaporan hasil penelitian dibagi ke dalam tiga bahasan utama, yaitu karakteristik pasien yang diuraikan menjadi jenis kelamin dan usia, derajat anemia pasien,

Secara simbolis pola tata ruang Desa Adat Penglipuran secara makro dibagi menjadi tiga ruang dengan tingkat kesucian yang berbeda (Konsep Tri Mandala), yaitu : 1). Utama Mandala