• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kejadian Sistiserkosis pada Bab

Penelitian dilakukan di sejumlah Tempat Pemotongan Hewan di Kabupaten Flores Timur. Selama kegiatan penelitian dilakukan pemeriksaan post mortem pada 108 ekor babi. Babi yang diperiksa terdiri dari 61 ekor babi jantan dan 47 ekor babi betina dengan kisaran umur 6 bulan-3 tahun dan berasal dari tiga pulau terbesar di wilayah Kabupaten Flores Timur (Tabel 3).

Penyembelihan babi terbanyak diperoleh dari daerah Flores daratan sebanyak 91 ekor, disusul oleh Pulau Adonara dan Pulau Solor masing masing sebanyak 12 dan 5 ekor. Daerah Flores Daratan merupakan daerah pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi di Kabupaten Flores Timur sehingga tingkat konsumsi dagingnya pun lebih tinggi dibandingkan kedua pulau lainnya sehingga jumlah pemotongan jauh lebih banyak dibandingkan kedua pulau lainnya.

Tabel 3 Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Flores Timur Pulau/Kecamatan Jumlah

(ekor)

Kasus Positif

(ekor) Prevalensi Pulau Flores Daratan

Kecamatan Larantuka 89 15

Kecamatan Ile Bura 1 0

Kecamatan Ile Mandiri 1 0

Jumlah 91 15 16,5%

Pulau Adonara

Kecamatan Adonara Barat 1 1

Kecamatan Adonara Timur 5 1

Kecamatan Klubagolit 1 0

Kecamatan Witihama 5 0

Jumlah 12 2 16,7%

Pulau Solor

Kecamatan Solor Barat 5 0

Jumlah 5 0 0%

Gambar 7 Kista (A) yang ditemukan pada hati babi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan post mortem ditemukan adanya kista/sistiserkus pada 17 ekor babi (15,7%) dengan prevalensi : Pulau Flores Daratan 16,5% terbanyak dari Kecamatan Larantuka, Pulau Adonara 16,7% (Kecamatan Adonara Barat dan Adonara Timur) sedangkan pada Pulau Solor tidak ditemukan adanya kasus sistiserkosis. Kista yang ditemukan berukuran antara 0,5-6,5 cm x 0,5-5 cm dengan lokasi pada organ hati dan omentum.

Hasil pengamatan mikroskopik preparat skoleks menunjukkan bahwa skoleks kista ini mempunyai rostelum yang dilengkapi dengan 2 baris kait berjumlah 29-32 kait dan dilengkapi empat buah sucker (alat pengisap). Berdasarkan pengamatan dari bentuk kait maka dapat dinyatakan bahwa jenis kista yang ditemukan adalah Cysticercus tenuicollis. Gambaran mikroskopis dari sistiserkus tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 8. Bentuk kait (A) dan batil hisap (B) Cyticercus tenuicollis.

Tingkat kejadian sistiserkosis yang diakibatkan Cysticercus tenuicollis di Kabupaten Flores Timur (15,7%) mendekati tingkat kejadian sistiserkosis akibat

Cysticercus tenuicollis di Bali sebesar 16,5% (Dharmawan 1990). Cukup tingginya prevalensi Cysticercus tenuicollis di Kabupaten Flores Timur berhubungan dengan tingginya populasi anjing di Kabupaten tersebut yang pada tahun 2007 mencapai 14.895 ekor (Distannak Kab. Flores Timur 2008). Pada umumnya anjing-anjing ini dibiarkan bebas berkeliaran tanpa dikandangkan atau diikat. Anjing merupakan induk semang defenitif dari Taenia hydatigena yakni bentuk dewasa dari Cysticercus tenuicollis (Leviene 1994). Babi akan terinfeksi oleh Cysticercus tenuicollis apabila menelan makanan atau minuman yang tercemar oleh tinja anjing yang mengandung telur dari Taenia hydatigena. Secara normal infeksi dari Taenia hydatigena tidak menimbulkan dampak yang serius pada anjing namun larvanya (Cysticercus tenuicollis) dapat menimbulkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada ternak (Radfar et al. 2005). Migrasi dari sistiserkus pada parenkhim hati dapat menimbulkan perdarahan, pembentukan jaringan ikat di sinusoid hati dan peritonitis (Senlik 2008). Sistiserkosis juga mempunyai dampak ekonomis akibat adanya pengafkiran dari daging maupun organ yang terinfeksi (Radfar et al. 2005). Manusia dapat juga menjadi induk semang antara Taenia hydatigena walaupun hal ini jarang sekali

A A

terjadi dan kemungkinan kasus ini pada manusia sering dikelirukan dengan infeksi dari kista Echinococcus sp. (Abduladze 1970).

Manajemen Pemotongan Ternak

Keseluruhan Tempat Pemotongan Hewan (TPH) dimana penelitian ini dilakukan kondisinya sangat memprihatinkan. Hampir semua TPH tidak memiliki bangunan permanen, fasilitas air bersih dan penerangan yang digunakan sangat terbatas, demikian juga dengan peralatan yang dimiliki. Kebanyakan ternak dipotong dalam keadaan terikat di atas tanah dengan hanya beralaskan daun pisang ataupun beberapa lembar seng. Proses pemisahan karkas dan jeroan dilakukan di tempat yang sama sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran terhadap karkas (Gambar 9).

Menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur, TPH yang rutin melakukan pemotongan babi untuk konsumsi berkisar 15 buah, namun data ini hanya mencakup TPH yang berlokasi di Kecamatan Larantuka (Distannak Kab. Flores Timur 2009). Hasil wawancara yang dilakukan terhadap para pemilik TPH dan petugas diketahui rata-rata pemotongan di tiap TPH adalah 1-2 ekor per minggu kecuali pada hari-hari besar keagamaan, pemotongan dapat meningkat hingga mencapai lima kali lipat. Rata- rata babi yang dipotong berasal dari dalam Kabupaten Flores Timur walaupun terkadang berasal dari kabupaten tetangga. Daging hasil pemotongan hanya dipasarkan dalam wilayah Kabupaten Flores Timur. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sejak empat tahun terakhir tidak pernah dilakukan pemeriksaan antemortem maupun post mortem terhadap hewan yang akan dipotong. Seluruh responden juga menyatakan tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai kesehatan dan keamanan daging serta penyakit-penyakit yang dapat ditularkan melalui daging ke manusia.

Gambar 9 Situasi tempat pemotongan hewan babi di Kabupaten Flores Timur. Tempat Pemotongan Hewan merupakan suatu tempat yang berfungsi sebagai tempat pelaksanaan pemotongan hewan dan sebagai tempat pengawasan dan pengendalian penyakit hewan (Deptan RI 2007). Persyaratan TPH/RPH yang baik antara lain adalah memiliki tempat atau bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan dinding. Tempat pemotongan Hewan juga harus memiliki kandang untuk menampung hewan sebelum pemotongan, persediaan air bersih yang cukup dan khusus untuk tempat pemotongan babi dilengkapi dengan air panas. Persyaratan lainnya adalah memiliki sumber cahaya yang memadai, meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai, terdapat saluran pembuangan sehingga lantai tidak digenangi air. Proses pemotongan di TPH harus diawasi oleh dokter

hewan/pemeriksa daging/petugas berwenang dari dinas peternakan (Deptan RI 2007).

Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih sedangkan pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan jeroan, kepala dan karkas setelah disembelih. Kedua pemeriksaan ini harus dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam hal ini adalah dokter hewan atau petugas lain yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pemeriksaan

antemortem dan postmortem serta pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner dibawah pengawasan dokter hewan. Pemeriksaan antemortem dilakukan maksimal 24 jam sebelum hewan dipotong. Pemeriksaan ini merupakan prosedur

yang harus dilaksanakan untuk memastikan hewan dalam kondisi sehat dan layak untuk dipotong. Pemeriksaan postmortem bertujuan untuk menjamin daging yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi oleh masyarakat. Pemeriksaan

postmortem dalam hal ini berupa meat inspection dilakukan dalam tiga tahap yaitu pengamatan secara visual pada seluruh karkas dan organ, palpasi dan insisi bila diperlukan. (BSN 1999; Buncic 2006). Pemeriksaan antemortem dan postmortem

dapat mencegah distribusi daging yang tercemar agen penyakit dan beresiko menimbulkan penyakit pada manusia bahkan dapat mendeteksi adanya suatu penyakit pada populasi ternak (Edwards et al. 1997).

Manajemen Peternakan

Sistem Peternakan babi di Kabupaten Flores Timur rata-rata merupakan peternakan semi intensif. Ternak umumnya dipelihara sebagai usaha sampingan untuk memperoleh pendapatan tambahan maupun sebagai persiapan guna memenuhi kebutuhan adat dalam upacara pernikahan, kematian maupun keagamaan.

Pengamatan dan wawancara pada 75 responden peternak menunjukkan bahwa sebagian besar responden (97,3%) telah mengandangkan babinya dan 80% diantaranya cukup memperhatikan kebersihan kandangnya dengan membersihkan

kandang minimal dua hari sekali dengan menggunakan air dan sabun (Gambar 10).

Gambar 10 Sistem dan kondisi perkandangan pada peternakan babi di Kabupaten Flores Timur.

Pemeliharaan babi biasanya dilakukan di halaman rumah maupun di kebun. Ternak ditempatkan pada kandang semi permanen yang terbuat dari kayu dan bambu atau diikat pada tonggak kayu (Gambar 11). Sistem perkandangan yang diterapkan oleh para peternak babi di kabupaten Flores Timur biasa dipakai di

beberapa wilayah yang menerapkan sistem peternakan semi intensif. Menurut Williamson dan Payne (1993) beberapa tipe kandang sederhana yang

sering dipergunakan pada peternakan semi intensif antara lain:

- Kandang yang dibuat dari kayu atau bambu dengan atap alang-alang dan alas tanah. Rumput kering, jerami atau sekam digunakan sebagai litter. - Kandang dari kayu atau bambu dengan atap alang- alang dengan alas semen. - Kandang panggung, terbuat dari kayu atau bambu dengan atap alang-alang. Beberapa syarat dalam pembuatan kandang adalah kandang harus cukup mendapat sinar matahari dengan sistem pertukaran udara yang baik, lantai kandang bila terbuat dari semen harus dibuat sedikit miring dan tidak terlalu licin dan terdapat saluran untuk membuang kotoran (LPTP Koya Barat 1996).

Hasil wawancara menunjukkan biasanya babi diberikan pakan berupa sisa- sisa makanan dari rumah tangga maupun rumah makan yang dicampur dengan umbi-umbian dan daun-daunan yang telah dicincang (96%). Pakan ini biasanya dimasak terlebih dahulu (74,7%) walaupun ada beberapa petenak yang langsung memberikannya tanpa dimasak (25,3%). Babi merupakan hewan omnivora yang bisa memakan segala jenis makanan. Untuk pemeliharaan secara sederhana pada peternakan skala kecil biasanya babi diberikan makanan berupa campuran biji- bijian seperti jagung, beras, dedak padi ditambah umbi-umbian, daun-daunan serta sisa-sisa makanan restoran. Makanan sebaiknya diberikan 2-3 kali sehari,

sedangkan air disediakan secara tak terbatas dalam kandang (Williamson & Payne 1993).

Peternakan babi merupakan potensi unggulan dari wilayah Kabupaten Flores Timur bila dapat dikembangkan dengan lebih baik apalagi NTT sendiri merupakan propinsi dengan populasi babi yang cukup besar mencapai + 1,3 juta ekor pada tahun 2006 (Disnak Propinsi NTT 2006). Pemeliharaan ternak ini dapat dilakukan secara sederhana namun tetap harus memperhatikan sistem pemeliharaan yang baik dan benar sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang

nyata bagi para peternak. Peningkatan produksi dan mutu babi dapat dilakukan melalui usaha perbaikan pada tata laksana peternakan. Melalui manajemen peternakan yang baik maka ternak babi dapat menghasilkan keuntungan yang relatif cepat (LPTP Koya Barat 1996).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Sistiserkosis Beberapa faktor terkait manajemen peternakan, sanitasi lingkungan dan higiene personal yang diduga mempengaruhi kejadian sistiserkosis dipelajari melalui wawancara dan pengisian kuisioner serta pengamatan langsung di lapangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode regresi logistik untuk menentukan nilai odds ratio (OR). Odds ratio merupakan suatu ukuran dalam statistik yang sering digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi faktor-faktor terhadap frekuensi kejadian penyakit (Westergren

et al. 2001). Dari hasil analisis ternyata faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis akibat Cysticercus tenuicollis di Kabupaten Flores Timur adalah pengolahan pakan, kebersihan kandang dan tempat pakan serta kebiasaan mencuci tangan (Tabel 4).

Tabel 4 Faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis di Kabupaten Flores Timur Faktor Kasus Positif (n= 17) Kasus Negatif (n=58) p OR* 95%CI** Jumlah % Jumla h % Manajemen Peternakan

Kandang dan tempat pakan kotor

9 52,9 6 10,3 0,002 5,8 1,045-32,210 Pakan tidak diolah

(dimasak) 11 64,7 8 13,8 0,0044 14,0 2,703-72,761 Higiene Personal Kebisaan mencuci tangan 13 76,5 15 25,9 0,0044 5,5 1,045-28,495 *OR : Odds Ratio, **CI : Confidence Interval

Hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor pengolahan pakan paling berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis dimana babi yang diberi pakan tanpa diolah (dimasak) terlebih dahulu mempunyai risiko 14 kali lebih besar terkena sistiserkosis bila dibandingkan dengan pakan yang telah diolah (dimasak). Faktor

kebersihan kandang dan tempat pakan mempunyai nilai odds ratio sebesar 5,8 yang berarti bahwa babi dengan kondisi kandang dan tempat pakannya jarang dibersihkan memiliki risiko 5,8 kali lebih besar terkena sistiserkosis bila dibandingkan dengan kandang dan tempat pakan yang rutin dibersihkan. Higiene personal peternak juga mempengaruhi kejadian penyakit. Babi yang dipelihara oleh peternak yang jarang mencuci tangan memiliki risiko 5,5 kali lebih besar terkena sistiserkosis dibanding babi yang dipelihara peternak yang rutin membersihkan tangannya.

Pakan babi di Kabupaten Flores Timur umumnya berupa sisa-sisa makanan rumah tangga ataupun restoran dicampurkan dengan umbi-umbian dan daun-daunan. Ternak yang diberikan pakan tanpa pengolahan (dimasak) mempunyai peluang lebih besar untuk terinfeksi sistiserkosis sebab kemungkinan adanya cemaran telur Taenia hydatigena yang dikeluarkan bersama feses anjing. Cemaran ini mungkin terjadi terutama pada umbi-umbian yang dijadikan sebagai bahan pakan. Secara umum telur dari Taenia sp dapat bertahan cukup lama di lingkungan sehingga berpotensi untuk mengkontaminasi bahan pakan. Babi yang diberikan pakan yang telah diolah/dimasak, kecil kemungkinannya untuk terinfeksi sebab walaupun ada cemaran telur cacing pada pakannya namun dengan adanya pemanasan maka telur cacing tersebut menjadi tidak infektif. Telur dari cacing pita biasanya akan rusak pada pemanasan 100 ºC (Gajadhar et al. 2006). Banyaknya populasi anjing yang berkeliaran membuat kontaminasi telur Taenia hydatigena juga terjadi di sekitar lingkungan rumah dan kandang sehingga buruknya kebersihan kandang dan tempat pakan meningkatkan potensi babi untuk terinfeksi Cysticercus tenuicollis. Edwards et al. (1997) mengemukakan bahwa beberapa faktor seperti adanya anjing yang berkeliaran di padang penggembalaan, ternak yang tidak dikandangkan merupakan faktor yang signifikan menyebabkan adanya pengafkiran pada organ hati di rumah potong akibat dari infeksi

Cysticercus tenuicollis.

Anjing merupakan hewan yang sangat dekat dengan manusia. Fakta itu juga didukung oleh budaya masyarakat Flores Timur yang gemar memelihara anjing baik sebagai teman, penjaga rumah dan kebun bahkan untuk dikonsumsi. Hampir semua rumah tangga di wilayah ini pasti memelihara anjing, tidak hanya

satu ekor bahkan dapat mencapai lebih dari lima ekor di dalam satu rumah, akibatnya apabila penerapan sanitasi dan higiene personal dari keluarga peternak tersebut kurang baik maka ia dapat menjadi perantara penularan sistiserkosis pada babi yang dipelihara misalnya saja melalui tangan yang terkontaminasi oleh telur cacing dari anjing peliharaan.

Hasil wawancara menunjukkan 82,6% responden memelihara anjing dengan jumlah kepemilikan bervariasi antara 1-4 ekor. Analisis data dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan tid ak ada hubungan antara jumlah kepemilikan anjing pada peternak dengan kejadian sistiserkosis pada babi yang ia pelihara. Fakta ini tidak mengherankan bila melihat sistem pemeliharaan anjing di Flores Timur. Di daerah ini anjing umumnya dibiarkan berkeliaran tanpa diikat/dikandangkan. Babi yang dipelihara oleh peternak yang tidak memiliki anjing dapat tertular sistiserkosis melalui anjing- anjing yang dipelihara oleh masyarakat disekitar peternakan tersebut. Siklus dari Taenia hydatigena terus berlanjut akibat banyaknya anjing yang berkeliaran di sekitar TPH. Anjing-anjing ini akan terinfeksi Taenia hydatigena bila memakan sisa-sisa pemotongan yang tidak dibuang dengan baik.

Faktor-faktor lain seperti kepemilikan jamban dan sarana air bersih juga dipelajari melalui wawancara dan pengisian kuisioner. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 75 responden yang diwawancara kesemuanya (100%) telah memiliki jamban/toilet di rumahnya. Sebanyak 97,3% responden memiliki sumber air bersih sendiri dan 2,7% walaupun tidak memiliki sumber air bersih sendiri namun bisa memperoleh sumber air bersih dari tetangga terdekat (Gambar 12). Defekasi yang dilakukan di jamban dapat memutus siklus Taenia solium sehingga kemungkinan hal ini yang menyebabkan tidak ditemukannya kasus sistiserkosis cellulose di Flores Timur.

Gambar 12. Kepemilikan toilet/jamban dan sumber air bersih.

Sistem pemeliharaan hewan yang baik dan benar perlu lebih disosialisasikan pada masyarakat setempat seperti pemberian obat cacing secara rutin pada anjing dan ternak peliharaan. Pendidikan kesehatan masyarakat terutama terkait dengan sanitasi dan higiene personal juga perlu ditingkatkan sehingga faktor resiko dari penyebaran sistiserkosis akibat Cysticercus tenuicollis

ini dapat ditekan. Suatu penelitian di Mexico menunjukkan bahwa dengan penerapan sistem peternakan yang baik serta perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene personal secara signifikan menurunkan kasus sistiserkosis di daerah tersebut (Flores et al. 2001). Pemerintah Daerah harus lebih mensosialisasikan dan menegakkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Flores Timur Nomor 17 Tahun 2001 tentang Perlindungan Masyarakat Terhadap Bahaya Hewan Penular Rabies (HPR) dimana pada Perda ini diatur pembatasan pemeliharaan anjing dan kewajiban untuk mengandangkan atau mengikat anjing di setiap rumah tangga. Hal ini tidak saja terkait penyebaran sistiserkosis namun juga karena wilayah ini merupakan daerah endemis rabies yang populasi anjingnya harus dapat dikendalikan.

Dokumen terkait