• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Karakterisasi bakteri dan produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae Isolat 3 dan isolat 5 yang diperoleh dari koleksi BBRPAT Bogor di identifikasi sebelum digunakan sebagai bakteri uji. Hasil pengujian karakteristik bakteri Streptococcus agalactiae secara biokimia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik bakteri Streptococcus agalactiae isolat 3 dan isolat 5

Pengujian Karakteristik

Isolat 3 Isolat 5

Gram positif positif

Katalase negatif negatif

Oksidase negatif negatif

Oksidatif-Fermentatif fermentatif fermentatif

Motilitas non motil non motil

Morfologi kokus kokus

Produksi asam dari D-mannitol negatif negatif Aktivitas hemolitik non hemolitik non hemolitik

Berdasarkan Tabel 1 diatas, karakteristik bakteri S. agalactiae adalah Gram positif yang artinya dinding bakteri tersebut mengandung peptidoglikan sehingga mampu menahan warna kristal violet. Bentuk bakteri tersebut adalah kokus dengan susunan sel berantai mulai dari diplococcus hingga rantai panjang. Bakteri ini tidak memiliki enzim katalase yang mampu memecah H2O2 menjadi O2 dan juga tidak memiliki enzim intraseluler oksidase. Keberadaan oksigen untuk proses metabolisme bakteri tidak mutlak diperlukan oleh bakteri ini karena memiliki sifat fermentatif yang artinya bakteri tersebut mampu memecah gula sebagai sumber energinya tanpa melibatkan oksigen dalam reaksi pemecahan gula. Bakteri ini tidak memiliki organ untuk mobilitasnya seperti flagel sehingga cenderung non motil. Produksi asam sebagai hasil dari fermentasi mannitol tidak bisa dilakukan oleh bakteri ini. Pengujian aktivitas hemolitik dilakukan untuk melihat kemampuan bakteri melisis eritrosit. Dari hasil pengamatan, diketahui

13

bahwa bakteri S. agalactiae yang digunakan adalah bakteri tipe non hemolitik (Gambar 4).

(a) (b) (c) Gambar 4 Morfologi Streptococcus agalactiae isolat 3 (a), isolat 5 (b) dan uji

hemolisin isolat 3 dan isolat 5 (c)

Berdasarkan perhitungan kepadatan bakteri S. agalactiae dengan metode cawan sebar atau total plate count (TPC) yang dibiakkan selama 72 jam diperoleh kepadatan bakteri isolat 3 adalah 2 x 109 CFU/ml dan isolat 5 adalah 6 x 108

Penentuan identitas protein ECP diawali dengan menentukan konsentrasi protein terlarut di ECP. Penentuan konsentrasi protein terlarut yang terkandung dalam ECP bakteri dihitung berdasarkan nilai absorbansi yang terukur kemudian di interpolasi pada persamaan y = 0,004x + 0,073 yang diperoleh dari kurva standar (Gambar 5). Konsentrasi protein terlarut untuk isolat 3 yang memiliki nilai absorbansi 0,3 adalah 56,75 ppm sedangkan untuk isolat 5 yang memiliki nilai absorbansi 0,4 adalah 81,75 ppm. Selanjutnya pengukuran identifikasi berat molekul protein ECP bakteri dengan analisa SDS-PAGE yang menggunakan perwarnaan perak memberikan hasil bahwa isolat 3 memiliki 7 jenis protein dan isolat 5 memiliki 3 jenis protein. Untuk mengetahui berat molekul yang terdapat di ECP, dilakukan perhitungan masing-masing protein dengan membandingkan jarak antar pita pada marker. Perkiraan berat molekul protein isolat 3 adalah 57,3 KDa; 66,2 KDa; 67,6 KDa; 78,9 KDa; 82,2 KDa; 92,8 KDa dan 106,2 KDa. CFU/ml. Sedangkan perhitungan kepadatan bakteri S. agalactiae dengan metode kepadatan optik atau optical density (OD) yang dibaca pada panjang gelombang 595 nm diperoleh kepadatan optik isolat 3 adalah 0,426 sedangkan kepadatan optik isolat 5 adalah 0,392.

14

Sedangkan perkiraan berat molekul protein isolat 5 adalah 21,9 KDa; 53 KDa dan 76,3 KDa (Gambar 6).

Gambar 5 Kurva standar pengukuran konsentrasi protein produk ekstraseluler bakteri Streptococcus agalactiae

Gambar 6 Berat molekul protein produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae isolat 3 dan isolat 5 pada gel acrylamide (SDS-PAGE) dengan pewarnaan perak.

4.1.2 Toksisitas produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae

Pengujian toksisitas produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae dilakukan secara in vitro dan in vivo. Pada pengujian in vitro dilakukan pengamatan kerusakan sel limfosit yang terpapar ECP. Hasil pemisahan limfosit dari sel darah lainnya yang menggunakan gradient density (Percoll) disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7, limfosit ditemukan pada lapisan ke tiga dengan nilai gradient density 1,061 SG. Kerusakan sel limfosit yang terpapar ECP dapat dilihat pada Gambar 8.

y = 0,004x + 0,073 R² = 0,969 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 0 100 200 300 400 A bs o rba nc e pa da 5 9 5 nm

15

Gambar 7 Pemisahan limfosit dengan menggunakan Percoll. Darah ikan nila(a), percoll dengan konsentrasi 30%; gradient : 1,061SG(b), percoll dengan konsentrasi 40%; gradient : 1,064 SG(c), percoll dengan konsentrasi 50 %; gradient : 1,066 SG(d), lapisan I; gradient : 1,054 SG(A), lapisan II; gradient : 1,061 SG (Limfosit) (B), lapisan III; gradient : 1,050 SG(C), lapisan IV (sel darah merah) (D)

Isolat 3 Isolat 5

Gambar 8 Perubahan morfologi sel limfosit dari 0 menit (a), 30 menit (b), 60 menit (c) dan 180 menit (d)

Berdasarkan Gambar 8 diatas, kerusakan secara bertahap terjadi terhadap struktur limfosit akibat pemaparan ECP dari isolat 3 dan isolat 5. Kekompakan struktur limfosit berdasar pada inti dan sitoplasmanya masih terlihat bagus pada pemaparan ECP selama 0 dan 30 menit. Berbeda halnya dengan pengamatan limfosit setelah 60 menit pemaparan, mulai terjadi kerusakan sitoplasma limfosit. Kerusakan pada inti sel serta sitoplasma terjadi setelah pemaparan 180 menit. Persentase kerusakan limfosit akibat terpapar produk ekstraseluler S. agalactiae dapat dilihat pada Tabel 2.

16

Tabel 2 Kerusakan limfosit setelah pemaparan produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae (%)

Persentase kerusakan (%)

Waktu pemaparan (menit)

30 60 180

Isolat 3 1,1 5,1 7,6

Isolat 5 0,75 5,05 10,5

Pengujian toksisitas produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae yang dilakukan secara in vivo pada ikan nila dilihat dari pola kematiannya setelah infeksi. Pola kematian ikan nila yang diamati selama 14 hari menunjukkan pola kematian kronis seperti yang tersaji pada Gambar 9 dan Gambar 10. Sedangkan penentuan nilai LD50 disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Gambar 9 Pola kematian ikan nila setelah di infeksi produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae isolat 3

Tabel 3 Persentase kematian dan nilai LD50 Dosis (µg/Kg)

Streptococcus agalactiae isolat 3 Jumlah ikan Persentase kematian (%)

LD50 mati hidup total

709 8 7 15 53,33 633,9 µg/Kg 567 7 8 15 46,67 425 2 13 15 13,33 283 1 14 15 6,67 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 3 5 7 9 11 13 15 Mo rt al it y r at e ( % )

Waktu pemeliharaan (hari ke-)

709 µg/Kg 567 µg/Kg 425 µg/Kg 283 µg/Kg kontrol

17

Gambar 10 Pola kematian ikan nila setelah di infeksi produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae isolat 5

Tabel 4 Persentase kematian dan nilai LD50 Dosis (µg/Kg)

Streptococcus agalactiae isolat 5 Jumlah ikan Persentase

kematian (%)

LD50 mati hidup total

1021 11 4 15 73,33

685,4 µg/Kg

817 9 6 15 60

613 6 9 15 40

408 2 13 15 13,33

Berdasarkan hasil pengamatan persentase dan pola kematian ikan setelah infeksi dengan ECP pada konsentrasi tertentu terlihat bahwa kematian ikan terjadi secara bertahap. Kematian akut tidak terjadi selama penelitian, sedangkan persentase kematian yang paling tinggi terjadi pada konsentrasi tertinggi protein ECP yaitu 14,19 µ g/ekor untuk isolat 3 dan 20,44 µg/ekor untuk isolat 5. Nilai LD50 yang dihitung dengan menggunakan metode Reed dan Muench (1938) untuk isolat 3 adalah 633,9 µg/Kg dan isolat 5 adalah 685,4 µ g/Kg.

4.1.3 Imunogenisitas produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae

Pengujian imunogenisitas produk ekstraseluler Streptococcus agalactiae dilakukan secara in vitro dan in vivo. Berdasarkan pengujian secara in vitro yang dianalisa dengan metode imunodifusi, terlihat bahwa ECP S. agalactiae bersifat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 3 5 7 9 11 13 15 Mo rt al it y r at e ( % )

Waktu pemeliharaan (hari ke-)

1021 µg/Kg 817 µg/Kg 613 µg/Kg 408 µg/Kg kontrol

18

imunogenik. Sifat imunogenisitas ECP hanya berlaku untuk isolat yang sama dan tidak berlaku untuk isolat yang berbeda. (Gambar 11).

Gambar 11 Analisa immunodifusi produk ekstraselular Streptococcus agalactiae. (a) anti serum ikan nila dari S. agalactiae isolat 3, (b) produk ekstraseluler S. agalactiae isolat 3, (c) produk ekstraseluler S. agalactiae isolat 5 , (d) PBS dan (e) anti serum ikan nila dari S. agalactiae isolate 5.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa produk ekstraseluler S. agalactiae bersifat imunogenik dan spesifik. Endapan putih antara sumur yang terbentuk pada gel merupakan ekspresi dari kompleks antigen-antibodi yang menunjukkan bahwa ECP bersifat imunogenik. Sifat spesifik dari ECP terlihat dari tidak terbentuknya endapan putih antara antiserum yang berasal dari isolat 3 dengan ECP yang berasal dari isolat 5, begitu juga sebaliknya tidak terbentuk endapan putih antara antiserum yang berasal dari isolat 5 dengan ECP yang berasal dari isolat 3.

Berdasarkan pengujian secara in vivo diperoleh nilai perlindungan relatif (relative percent survival/RPS) yang berbeda untuk isolat 3 dan isolat 5 (Tabel 5). Uji tantang yang dilakukan pada perlakuan menggunakan bakteri sejenis dengan kepadatan 2 x 105 CFU/ml. Nilai RPS untuk isolat 3 adalah 60% dan isolat 5 adalah 68%. Sebagai data pendukung terhadap perubahan status kesehatan ikan sebelum dan setelah divaksin, maka dilakukan analisa gambaran darah yang disajikan pada Gambar 12.

a

19

Tabel 5 Nilai RPS ikan yang divaksin dengan Streptococcus agalactiae Jumlah ikan total Jumlah ikan yang mati Persentase kematian (%) RPS (%) Isolat 3 32 9 28 60 Isolat 5 33 8 24 68 Kontrol isolat 3 33 23 70 Kontrol isolat 5 33 25 76

20

Berdasarkan Gambar 12, perubahan jumlah total eritrosit terjadi setelah 7 hari infeksi. Untuk ikan yang telah divaksin maupun ikan kontrol baik isolat 3 dan isolat 5 secara umum mengalami penurunan jumlah eritrosit. Pada hari ke 14 setelah infeksi ikan yang telah divaksin mengalami peningkatan jumlah eritrosit dibandingkan pada pengamatan hari ke7, sedangkan ikan kontrol (+) sebaliknya dimana jumlah eritrosit tetap lebih kecil dari pada hari ke-7. Perubahan jumlah total leukosit juga terjadi secara fluktuatif dimana trend yang ditunjukkan merupakan kebalikan dari jumlah total eritrosit. Pada hari ke-7 setelah infeksi, terjadi peningkatan jumlah total leukosit secara keseluruhan dibandingkan pada hari ke-0. Perbedaan terjadi setalah 14 hari infeksi, dimana total leukosit pada ikan yang divaksin mengalami penurunan sedangkan pada ikan kontrol (+) jumlah total leukosit masih tinggi dibandingkan dengan hari ke-7. Kadar hemoglobin dan kadar hematokrit juga memiliki trend yang berkebalikan untuk ikan kontrol (+), penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit pada hari ke-7 dan peningkatan kembali nilai keduanya setelah hari ke-14 pada ikan yang telah divaksin tidak diikuti oleh ikan kontrol (+). Pada ikan kontrol (+), terus terjadi penurunan nilai hemoglobin dan kenaikan hematokrit pada hari ke-14 setelah uji tantang.

Dokumen terkait