• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Konfirmasi Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC

Analisis menggunakan metode HPLC kemudian dilakukan sebagai uji konfirmasi dari analisis menggunakan metode TLC yang dilakukan sebelumnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan HPLC fase normal secara bertahap hingga menemukan kandungan aflatoksin pada sampel dalam range pada kromatogram. Sebelum sampel diinjeksikan standar terlebih dahulu diinjeksikan. Berikut ini merupakan salah satu kromatogram standar (Gambar 15).

 

 

Gambar 15. Kromatogram standar aflatoksin: B1=5 ppb, B2=2,5 ppb, G1=25 ppb, dan G2=7,5 ppb

Sampel ulangan kedua dari media PDB kemudian mengalami proses derivatisasi dengan trifluoroasetat (TFA) sebelum kemudian dianalisis menggunakan HPLC. Data diperoleh dalam bentuk kromatogram seperti dapat dilihat pada Gambar 16

.

 

 

Hasil analisis sampel ulangan kedua yang telah diderivatisasi ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Hasil perhitungan setelah memasukkan variabel faktor pengenceran dan berat contoh sehingga menghasilkan kadar aflatoksin dalam sampel dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil uji HPLCa kadar aflatoksin sampel ulangan 2 pada media PDBb

Sampelc Kadar Aflatoksin (ppb)d

Ulangan Jenis Sampel Kode Sampel B1 B2 G1 G2

ULANG AN 2 Isolat Aspergillus flavus JCM PDB (+) H7 369,1 -nd- --nd-- 3,7 PDB (+) H9 652,6 -nd- --nd-- 7,8 PDB (+) H12 847,7 17,9 --nd-- --nd-- PDB (+) H14 447,7 0,9 --nd-- --nd-- PDB (+) H16 74,7 -nd- --nd-- --nd-- Isolat Aspergillus flavus lokal S.26 PDB H7 290,2 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H9 935,8 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H12 596,2 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H14 148,6 4,7 304,2 --nd-- PDB H16 201,5 82,6 1.772,3 --nd--

aHigh Performance Liquid Chromatography menggunakan fase gerak isokratik metanol:asam asetat

glasial:akubiades (15:20:65), laju alir:1,2 mL/menit, volume injeksi: 20µL, detektor: fluoresen em (425 nm), eks (365 nm), kolom C18µBondapack (3,9x300 mm). Nilai %SBR=0,21-2,00%. Analisis ANOVA

one-variant (fhitung=0.04953) menunjukkan kedua sampel (S.26 dan JCM) tidak berbeda nyata. b

media PDB (Potato Dextrose Broth) dengan pH awal 4.00

cSampel merupakan ulangan kedua dari lima ulangan dpart per billion

Analisis menggunakan HPLC mampu mendeterminasi kandungan aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004). HPLC merupakan alat berbasis-kimia untuk kuantifikasi dan analisis sejumlah komponen kimia dalam suatu campuran kimiawi. Alat tersebut memiliki banyak kegunaan dan dapat diotomatisasi dengan mudah meskipun aplikasi yang lebih luas menjadi terbatas karena prosedurnya yang kompleks dan peralatannya yang mahal. Meskipun demikian, aplikasi pada penelitian yang beragam mampu menjadikan metode HPLC sebagai metode yang paling banyak dilakukan dalri seluruh metode kromatografi (Skoog et al. 2007). Hasil analisis aflatoksin pada kedua sampel dimulai pada sampel H-7 seperti dapat dilihat pada Gambar 17.

 

Gambar 17. Kurva produksi aflatoksin B1 isolat S.26 dan JCM pada media PDB (pH 4,00 dan suhu inkubasi 25°C) dengan interval h7-h21.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua sampel memiliki nilai dan waktu produksi maksimum yang berbeda. Sampel isolat lokal memiliki nilai produksi toksin maksimum sebesar 935,8 ppb yang diperoleh pada H-9 sedangkan sampel isolat JCM memproduksi aflatoksin sebesar 847,7 ppb yang diperoleh pada H-12. Hasil tersebut dapat dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh Aryantha et al. (2007) yang menghasilkan aflatoksin sebesar 1090,1 ppb. Kandungan aflatoksin sampel isolat lokal S.26 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan hasil seleksi yang diperoleh menggunakan teknik ELISA, yakni sebesar 1.212,3 ppb. Hal tersebut mnegindikasikan adanya kemungkinan hasil kesalahan positif pada uji seleksi. Penurunan nilai produksi maksimum aflatoksin juga mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh dari berbagai faktor yang membedakan sampel uji HPLC dengan sampel yang digunakan dalam seleksi. Sampel yang dianalisis menggunakan HPLC telah mengalami penyegaran dalam media padat agar miring dan berbagai serial transfer dalam proses persiapan dan pembiakan. Hal tersebut bisa mempengaruhi kemampuan sampel dalam meproduksi toksin. Strain dari Aspergillus flavus seringkali mengalami degenerasi melalui perlakuan serial transfer pada media berkultur yang menyebabkan perubahan morfologi seperti penurunan sporulasi pada area hifa, serta ketidakmampuan untuk memproduksi sklerotia diiringi penurunan produksi aflatoksin (Horn et al.. 2001).

Aspergillus flavus diketahui dapat tumbuh secara aseksual dengan baik dalam kondisi laboratorium, meskipun demikian populasinya secara alamiah sangat poliformik (Hedayati et al. 2007). Reddy et al. (1971) menyatakan bahwa produksi aflatoksin pada media sintetis untuk pertumbuhan fungi secara umum lebih rendah dari produksi pada media crude seperti media padat jagung maupun media sintetis dengan ekstrak crude. Bilgrami et al. (1988) memberikan postulasi bahwa penurunan produksi aflatoksin pada kondisi laboratorium bisa disebabkan oleh minimnya paparan terhadap lingkangan kompetitif dan kondisi stres seperti terdapat di alam. Penurunan produksi aflatoksin setelah melalui serial transfer di laboratorium mungkin dapat diartikan pada level populasi dimana seleksi lebih memilih varian Aspergillus yang tidak menghasilkan aflatoksin. Horn et al. (2001) menjelaskan bahwa dalam populasi di alam, kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan cenderung memilih spesies tipe liar (wild type) dan

H7 H9 H12 H14 H16 H19 H21 AFB1 S,26 0,290230 0,935820 0,596220 0,148654 0,201552 0,000000 0,000000 AFB1 JCM 0,369099 0,652630 0,847690 0,447693 0,074684 0,000000 0,000000 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 Jumlah   AFB 1   (ppm)

 

menyingkirkan spesies-spesies yang umumnya hanya dapat diamati di laboratorium. Meskipun demikian, efek yang lebih jelas dari kompetisi dan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Aspergillus flavus seringkali sulit untuk dideteksi karena keberagaman yang tinggi dalam produksi aflatoksin pada tiap sampel.

Produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis, serta faktor-faktor lain meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008).

Selain itu, pengelompokkan gen mengindikasikan bahwa produksi aflatoksin memiliki kaitan dengan fungsi kelangsungan hidup kapang. Meskipun demikian, hal tersebut masih belum sepenuhnya dipahami mengingat tidak semua Aspergillus flavus menghasilkan aflatoksin namun masih tetap dapat bersaing dengan Aspergillus flavus dalam relung yang sama (Yu et al. 2002). Berbeda dengan biosintesis kebanyakan metabolit sekunder lainnya, ekpresi gen aflatoksin terbantu dengan adanya karbohidrat sederhana seperti glukosa, sukrosa, dan maltosa, namun bukan oleh pepton maupun laktosa. Chiou et al. (2002) Melaporkan bahwa dari 18 enzim yang terlibat dalam reaksi biosintesis aflatoksin, gen Afi-J merupakan gen yang menentukan produktivitas aflatoksin. Apabila gen tersebut terganggu atau inaktif, produksi aflatoksin akan menurun dengan sangat signifikan bahkan sampai tidak memproduksi aflatoksin samasekali.

Yu et al. (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa beberapa faktor nutrisi dan lingkungan tersebut dapat mempengaruhi akumulasi aflatoksin dengan mengubah aktivitas dari satu atau lebih enzim yang terlibat dalam biosintesis aflatoksin. Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa aflatoksin hanya diproduksi pada temperatur 12-42˚C dengan temperatur optimal 25-35˚C. Produksi aflatoksin umumnya lebih optimum dalam kelembaban tinggi. Sebagai misal, kelembaban udara maksimum untuk produksi aflatoksin pada jagung adalah 25% pada 30˚C dengan kelembaban relatif bervariasi dari 83-88%. Kandungan O2 dan CO2 juga mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Penurunan kandungan CO2 dalam udara sebesar 20% akan menekan produksi aflatoksin dan pertumbuhan kapang. Penurunan kandungan O2 dalam udara sebesar 10% juga akan menekan produksi aflatoksin. Meskipun demikian, pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin hanya akan benar-benar terhenti pada kandungan O2 dalam udara kurang dari 1% (Ruiqian et al. 2004). Kemampuan Aspergillus untuk memproduksi aflatoksin bergantung pada sistem metabolismenya, terutama metabolisme primer lipida dan enzim-enzim synthetase spesifik untuk memproduksi metabolit sekunder (Martins et al. 2008). Hal tersebut merupakan ciri-ciri spesifik yang unik dari tiap strain sehingga strain- strain yang berbeda dapat memberikan hasil yang berbeda dimana beberapa strain mampu memproduksi aflatoksin, terutama aflatoksin B1 dan B2, dalam jumlah besar sementara beberapa strain yang lain tidak (Hedayati et al. 2007).

Hasil pengamatan dengan TLC dan HPLC menunjukkan bahwa kadar aflatoksin dapat turun bahkan sampai tidak terdeteksi pada beberapa ulangan. Secara alami produsen aflatoksin, yakni beberapa strain Aspergillus sp. tertentu mampu melakukan proses biodegradasi dari aflatoksin. Ciegler et al. (1966) menyatakan bahwa degradasi aflatoksin merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan beberapa parameter. Beberapa penulis menyatakan bahwa toksin digunakan sebagai sumber energi ketika karbohidrat yang tersedia sudah habis. Meskipun demikian hal tersebut nampaknya kurang tepat ketika Ciegler et al. (1966) melaporkan bahwa

 

penambahan karbohdrat setelah produksi maksimum toksin tercapai tidak mencegah degradasi toksin.

Ciegler et al. (1966) lebih lanjut menyatakan bahwa lisis miselia diperlukan untuk terjadinya degradasi aflatoksin. Beberapa strain Aspergillus flavus yang tidak menunjukkan kemampuan mendegradasi aflatoksin sebelumnya bisa diinduksi untuk melakukan degradasi dengan melakukan fragmentasi pada miselianya. Sementara itu, strain yang mampu mendegradasi toksin dapat dicegah dengan menempatkan strain tersebut dalam kondisi dimana miselia lisis sulit untuk terjadi. Pengamatan lebih lanjut menyimpulkan adanya sebuah reaksi non-spesifik pada miselia yang telah lisis.

Sementara itu, Hamid dan Smith (1987) menyatakan bahwa terhambatnya degradasi toksin pada miselia yang utuh dan tidak lisis mengindikasikan adanya sejenis sistem enzim cytochrome P-450 monooxygenase dalam proses biodegradasi aflatoksin. Meskipun demikian, peranan spesifik enzim tersebut dalam lajur degradasi aflatoksin masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Penelitian lainnya juga menunjukkan keberadaan sistem enzim tersebut pada Aspergillus flavus, meskipun demikian lokasi yang tepat dari aktivitas enzim tersebut dalam jalur degradasi toksin masih belum diketahui. 

Azab et al. (2005) menyatakan bahwa fragmentasi miselia sangat penting untuk biodegradasi aflatoksin, dimana fragmentasi akan melepaskan faktor intraselular yang bertanggung jawab untuk proses biodegradasi aflatoksin. Hasil biodegradasi fungi mengungkapkan bahwa laju degradasi tercepat diasosiasikan dengan miselia fungi berusia sembilan hari baik pada spesies Aspergillus flavus maupun Aspergillus parasiticus. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi dapat dilihat pada Gambar 18.

 

Gambar 18. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang mengalami fragmentasi miselium (Sumber: Azab et al. 2005)

 

Hasil pengamatan pada kromatogram sampel juga menunjukkan adanya komponen- komponen lain baik yang tidak teridentifikasi maupun komponen aflatoksin selain aflatoksin B1 yang berasal dari reaksi silang yang mungkin terjadi selama proses seleksi. Hal tersebut menjadikan kemurnian aflatoksin dalam sampel belum mencukupi untuk dijadikan standar. Proses purifikasi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mencapai kemurnian standar yang diinginkan.

Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh Reddy et al. (2009). Hasil penelitian Reddy et al. (2009) menunjukkan bahwa dari 85 strain Aspergillus flavus yang diseleksi, hanya 51% strain yang mampu menghasilkan aflatoksin B1 sebesar 200-40000 pbb dalam uji ELISA dari isolat yang ditumbuhkan pada medium YES. Hasil tersebut secara komparatif menunjukkan potensi yang jauh lebih besar dibandingkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yakni sebesar 17,7-1213,3 ppb. 5 sampel dengan nilai produksi aflatoksin tertinggi ditumbuhkan pada media padat beras dan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dalam kisaran 13000-415000 ppb. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Reddy et al. (1971) yang menyatakan bahwa produksi aflatoksin pada crude media umumnya lebih tinggi dari media sintetis.

Reddy et al. (2009) juga menemukan adanya medium yang tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada isolat yang ditumbuhkan, yakni medium AFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar). Seperti halnya medium GAN termodifikasi yang tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada penelitian ini, diduga medium AFPA tidak cocok untuk mendukung produksi aflatoksin dari isolat yang digunakan. Secara umum penelitian yang dilakukan Reddy et al. (2009) mampu menghasilkan produksi aflatoksin yang jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian ini. Produksi aflatoksin B1 yang tinggi dari strain Aspergillus flavus potensial bisa membantu menghasilkan standar murni untuk analisis kontaminasi aflatoksin pada beras di pasar domestik dan ekspor (Reddy et al. 2009).

 

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait