• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Bahan Kering

Konsumsi bahan kering dapat dihitung dengan cara menghitung selisih jumlah pakan yang diberi dengan pakan sisa yang dikonsumsi oleh domba berdasarkan kandungan bahan keringnya.

Tabel 7 Rataan konsumsi bahan kering (g/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Rataan 1 2 3 4 5

P0 842.98 895.36 805.62 805.62 799.83 839.09± 38.73B P1 895.16 987.69 1042.14 1091.05 943.58 991.92± 77.56A P2 896.62 897.79 911.79 815.68 982.53 900.94± 59.30B

Ket. A →B= berpengaruh sangat nyata

Tabel 7 dapat dilihat bahwa rataan total konsumsi pakan dalam bahan kering yang tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 991.92 (g/ekor/hari), kemudian diikuti perlakuan P2 sebesar 900.94 (g/ekor/hari) dan perlakuan P0 sebesar 839.09 (g/ekor/hari).Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antar perlakukan (P<0.01).

Tingkat konsumsi bahan kering dapat dipengaruhi olehpalatabilitas pakan itu sendiri. Menurut Paramita(2008) palatabilitas merupakan faktor utama yang menjelaskanperbedaan konsumsi bahan kering antara pakan danternak-ternak yang berproduksi rendah. Konsentrat yang dicampur dengan limbah sawit yang sudah difermentasikan dengan bakteri Bacillus YL B1 dan mikroba rumen sp. memiliki kandungan serat yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Kemampuan kedua bakteri tersebut mampu mensekresi berbagai enzim, terutama enzim selulase untuk mendegradasi serat kasar pada limbah sawit berupa selulosa dan hemiselulosa menghasilkan protein sel tunggal (PST), merupakan protein murni untuk meningkatkan kandungan protein pada limbah sawit.

Zakaria (2013) menyatakan keberhasilan proses fermentasi ditentukan oleh kemampuan dan kesanggupan mikroba beradaptasi dengan substrat untuk digunakan sebagai nutrisi pertumbuhan dan perkembangan mikroba.

Kandungan serat kasar dari perlakuan P1 (14,17%) yang difermentasikan dengan bakteri Bacillus YL B1 dan perlakuan P2 (15,07%) yang difermentasikan mikroba rumen sp. menjadi lebih rendah sehingga kualitas konsentrat menjadi lebih baik. Konsentrat yang palatabilitas pakan tinggi terdapat pada perlakuan P1, karena keseimbangan pakan serta serat kasar yang lebih rendah dari perlakuan P2 menjadikan tingkat konsumsi bahan kering pada perlakuan P1 semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan Fharhandani (2006) menambahkan bahwa serat kasar yang tinggi dapat mempengaruhi proses pencernaan dimana pakan yang mempunyai serat yang tinggi akan sulit untuk dicerna sehingga mempengaruhi konsumsi pakan dan ketersediaan nutrisi untuk ternak.

Konsumsi Bahan Organik

Data konsumsi pakan ternak domba yang dihitung dalam bentuk bahan organik.

Tabel 8 Rataan konsumsi bahan organik (g/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Rataan 1 2 3 4 5

P0 784.91 829.51 749.22 749.78 785.74 779.83±33.04 B P1 807.05 888.19 936.62 979.78 849.63 892.25±68.41 A P2 809.45 808.50 821.18 734.61 885.63 811.87±53.65 B

Ket. A →B= berpengaruh sangat nyata

Tabel 8 menunjukkan bahwa rataan konsumsi bahan organik yang tertinggi terdapat perlakuan P1 sebesar 892.25 (g/ekor/hari), lalu diikuti perlakuan P2 sebesar 811.87 (g/ekor/hari) dan perlakuan P0 sebesar 779.83 (g/ekor/hari).

Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antar perlakukan (P<0.01).

Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Sama halnya dengan perhitungan konsumsi bahan kering, perhitungan konsumsi bahan organik berdasarkan kandungan bahan organik ransum yang dikalikan dengan total konsumsi ransumnya, dilihat dari rataan konsumsi bahan organik ransum domba, konsumsi bahan organik ransum tertinggi diperoleh dari perlakuan P1 sebesar 892.25 kg/ekor/hari. Hasil konsumsi bahan organik ransum tertinggi yang diperoleh dari perlakuan P1 ini sama dengan hasil konsumsi bahan keringnya yang juga menunjukan tingkat konsumsi bahan kering tertinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980) yang menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering.

Kecernaan Bahan Kering (KcBK)

Kecernaan bahan kering pakan pada domba jantan lokal dihitung dari selisih konsumsi bahan kering pakan yang dikurangi dengan feses domba (dalam bahan kering) yang dikeluarkan dibandingkan dengan konsumsi bahan kering. Tabel 9 Rataan kecernaan bahan kering (KcBK) (%)

PERLAKUAN Ulangan RATAAN 1 2 3 4 5 P0 57.92 54.62 54.88 61.60 46.19 58.30 +3.67 B P1 72.77 65.69 79.87 65.56 70.11 70.79 +5.92 A P2 64.24 61.02 58.98 56.49 61.66 60.47 + 2.91B

Ket. A →B= berpengaruh sangat nyata

Berdasarkan Tabel 9 menunjukan bahwa rataan kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan P1 (fermentasi Bacillus BL Y1) 70.79%, kemudian diikuti dengan perlakuan P2 (fermentasi mikroba rumen sp.) 60.47%,

dan perlakuan P0 (konsentrat tanpa fermentasi) 58.30%.Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antar perlakukan (P<0.01).

Perbedaan nilai kecernaan bahan kering pada penelitian ini disebabkan oleh perbedaan kualitas pakan setiap perlakuan. Kandungan serat kasar perlakuan P1 (14,17 %) diketahui cenderung lebih rendah dibandingankan dengan perlakuan P2 (15,07%). Penambahan bakteri fermentasi yang menggunakanBacillus YL B1 dan mikroba rumen sp. berperan meningkatkan kandungan protein serta menurunkan kandungan serat kasar sehingga penyediaan energi (Suplai N) bagi mikroba dalam rumen dalam merombak pakan untuk menghasilkan nilai cerna yang berbeda. Diketahui bahwa bakteri Bacillus YL B1 dan mikroba rumen sp. mensekresi enzim selulase yang dapat mendegradasi serat kasar pada limbah sawit berupa selulosa dan hemiselulosa menghasilkan protein sel tunggal (PST), merupakan protein murni untuk meningkatkan kandungan protein pada limbah sawit. Jika diketahui pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi akan sulit dicerna ternak ruminansia untuk melakukan proses penyerapan energi.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Batubara (2003) yang menyatakan bahwa pemanfaatan limbah sawit dapat dilakukan dengan memanfaatkan probiotik yang dapat menurukan kandungan serat kasar, sehingga meningkatkan daya cerna pakan.

Kecernaan Bahan Organik (KcBO)

Kecernaan bahan organik pakan pada domba jantan dihitung dari selisih konsumsi bahan organik pakan pada domba yang dikurangi dengan feses domba (dalam bahan organik) yang dikeluarkan dibandingkan dengan konsumsi bahan organik domba.

Tabel 10. Rataan kecernaan bahan organik PERLAKUAN Ulangan RATAAN 1 2 3 4 5 P0 65.37 69.34 62.52 62.50 68.80 65.71 +3.29B P1 76.69 70.37 83.34 70.25 74.38 75.01 +5.40A P2 69.68 66.81 64.87 63.79 66.80 66.39 + 2.25B

Ket. A →B= berpengaruh sangat nyata

Tabel 10 menunjukan bahwa rataan kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 75.01%, dan kemudian diikuti perlakuan P2 sebesar 66.39%, lalu perlakuan P0 sebesar 65.71%. Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antar perlakukan (P<0.01).

Adanya perbedaan kecernaan bahan organik dalam penelitian ini diduga karena pada pakan perlakuan, dilakukan fermentasi dengan mikroba yang berbeda mencerna bahan organik menghasilkan kecernaan yang berbeda pula. Penurunan serat kasar dari perlakuan P1 dan P2 cenderung lebih rendah dibanding dengan perlakuan P0. Perlakuan P1 fermentasi dengan Bacillus YL B1 dan perlakuan P2 fermentasi dengan mikroba rumen sp. mampu mendegradasi kandungan serat kasar pada limbah sawit sehingga meningkatnya daya cerna terhadap bahan organik pakan. Rahmawati (2001) juga menambahkan Apabila kandungan serat kasar semakin tinggi maka bahan organik yang tercerna akan semakin rendah karena pencernaan serat kasar sangat tergantung pada kemampuan mikroba dalam rumen.

Kecernaan bahan organik yang tinggi sejalan dengan tingginya kecernaan bahan kering.Jika koefisien cerna bahan kering sama, maka koefisien cerna bahan organiknya juga sama. Hal ini sesuai dengan Sutardi (1980) yang menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Kandungan bahan organik ransum yang

tinggi disebabkan dari pemberian konsentrat pada domba dan berdampak pada koefisien cerna bahan organiknya yang semakin tinggi. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kandungan mikroorganisme yang menyebabkan tingginya daya cerna ransum.

Dokumen terkait