Kadar Awal Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi
Sampel minyak akar wangi diperoleh dari salah satu penyulingan di Kab. Garut. Analisis kadar ion Fe(III) dan Cu(II) dalam minyak akar wangi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS) pada panjang gelombang 248,3 dan 324,7 nm secara berturut-turut. Hasilnya didapat bahwa sampel minyak akar wangi mengandung ion logam Fe(III) sebesar 2,1724 ppm dan ion logam Cu(II) sebesar 0,3937 ppm.
Kontaminasi ion Fe(III) dan Cu(II) ini diduga berasal dari mineral dalam tanah, alat penyulingan, serta drum penyimpanan minyak akar wangi. Supriyanto dan Zainul (2006) telah melaporkan bahwa kandungan besi dan tembaga dalam tanah dapat mencapai 360,59 dan 0,355 ppm secara berturut-turut. Unsur besi dan tembaga termasuk ke dalam golongan unsur hara mikro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman. Tanaman dapat menyerap unsur logam ini berupa ion atau senyawa kompleks. Unsur ini sangat berperan dalam proses metabolisme dalam tanaman. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kontaminasi ion Fe(III) dan Cu(II) pada minyak akar wangi sebagian berasal dari tanah.
Alat penyulingan dan penyimpanan minyak akar wangi terbuat dari logam yang mengandung unsur besi dan tembaga. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa selama proses penyulingan dan penyimpanan, terjadi reaksi pembentukan senyawa kompleks antara ion logam dengan komponen-komponen senyawa organik dalam minyak akar wangi.
Hasil Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya
Hasil pembuatan serpih kitosan-GA dari setiap proses dihomogenisasi terlebih dahulu sebelum dilakukan karakterisasi. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dapat mewakili seluruh kitosan-GA yang dihasilkan dari setiap proses pembuatannya. Gambar 5 menunjukkan kitosan-GA yang dihasilkan setelah dihomogenisasi.
17
Setelah itu, kitosan dan kitosan-GA hasil sistesis tersebut di analisis gugus fungsinya dengan menggunakan FTIR. Analisis gugus fungsi kitosan dan kitosan-GA dilakukan untuk dapat mengetahui keberhasilan sintesis kitosan-kitosan-GA.
Spektrum FTIR dari kitosan dan kitosan-GA ditampilkan pada Gambar 6. Puncak serapan yang dapat ditandai untuk kitosan dan kitosan-GA berdasarkan hasil analisis FTIR disajikan pada Tabel 5.
Gambar 6 Spektrum IR Kitosan (hitam) dan Kitosan-GA (merah)
Tabel 5 Analisis gugus fungsi kitosan dan kitosan-GA berdasarkan spektrum IR
No Bilangan gelombang (cm
-1
Vibrasi Ulur )
Literatur (Pavia et al. 2001) Kitosan Kitosan-GA 1 3400-3200 (O-H) 3500-3100 (N-H) 3427,97 3431,01 N-H dan O-H (Overlap) 2 3000-2850 2924,59 2926,65 C-H 3 1690-1650 - 1654,10 C=N 4 1300-1000 1045,94 1079,25 C-O
Hasil analisis gugus fungsi yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan spektrum IR antara kitosan dan kitosan yang telah tertaut silang GA. Bilangan gelombang untuk vibrasi ulur gugus O-H, C-H, dan C-O terlihat bergeser ke bilangan gelombang yang lebih tinggi. Pergeseran bilangan gelombang ini disebabkan adanya tautan silang yang sudah terbentuk antara polimer kitosan. Tautan silang ini menyebabkan pergerakan molekul menjadi lebih terbatas, sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk melakukan vibrasi. Besaran energi dan bilangan gelombang berbanding lurus, sesuai dengan persamaan : E = hc𝜐𝜐̅. Sehingga jika bilangan gelombangnya lebih besar, maka artinya energinya pun lebih besar.
Tautan silang yang terjadi antara kitosan dan GA menyebabkan terbentuknya ikatan baru, yaitu ikatan C=N. Hal ini dapat dibuktikan dengan
18
munculnya puncak serapan pada bilangan gelombang 1654,10 cm-1 yang merupakan vibrasi regangan C=N. Hal serupa juga telah dilakukan oleh Bin et. al. (2013) yang telah melaporkan bahwa terdapat puncak serapan pada bilangan gelombang 1659 cm-1
Analisis termal kitosan dan kitosan-GA dilakukan untuk dapat mengetahui seberapa besar pengaruh suhu terhadap kestabilan zat. Analisis termal dilakukan dengan menggunakan TG/DTA. Hasil pengujian TG/DTA untuk kitosan dan kitosan-GA ditampilkan pada Gambar 7.
yang ditandai sebagai vibrasi regangan C=N (basa Schiff) pada kitosan-GA.
Gambar 7 Termogram DTA / TGA Kitosan (hitam) Kitosan-GA (merah)
Berdasarkan termogram TGA dari kitosan dan kitosan-GA pada Gambar 7, secara umum diperoleh tiga kurva miring yang menunjukkan adanya perubahan massa. Kalor yang terlibat pada setiap proses perubahan massa tersebut dapat diketahui dari termogram DTA. Hasil analisis TGA dan DTA dari kitosan dan kitosan-GA dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Analisis TGA dan DTA dari kitosan dan kitosan-GA Kurva miring Pengurangan bobot Proses Rentang Suhu Kitosan Rentang Suhu Kitosan-GA I 40-230 3,8 mg 40-240 3,0 mg Endoterm II 230-330 11,5 mg 240-340 10,5 mg Eksoterm III 330-400 14,1 mg 340-400 12,5 mg Eksoterm
Kurva miring I terjadi pada rentang suhu 40-230 oC untuk kitosan dan 40 -240 oC untuk kitosan-GA. Pada kurva miring I ini proses yang terjadi adalah dehidrasi atau lepasnya molekul air yang terdapat baik dalam kitosan maupun
19
kitosan-GA. Proses dehidrasi ini merupakan proses endoterm yang ditunjukkan oleh munculnya puncak ke bawah termogram DTA. Selain itu, berdasarkan termogram TGA dapat diketahui bahwa pengurangan bobot kitosan lebih besar daripada kitosan-GA. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kitosan yang digunakan lebih banyak menyimpan molekul air dibandingkan dengan kitosan-GA.
Kurva miring II terjadi pada rentang suhu 230-330 oC untuk kitosan dan 240-340 oC untuk kitosan-GA. Pada kurva miring II ini proses yang terjadi adalah pemutusan ikatan C-N yang bersifat eksoterm karena terbentuk puncak pada termogram DTA. Hal ini didasarkan kepada nilai energi ikatan rata-rata yang kecil untuk ikatan C-N, yaitu sebesar 73 kkal/mol sehingga mudah diputuskan. Pada kitosan, ikatan C-N yang terjadi adalah antara atom karbon dengan gugus amina (R-NH2), sedangkan pada kitosan-GA sebagian gugus amina pada kitosan sudah tertaut silang dengan GA membentuk imina (basa Schiff). Ikatan C-N pada imina jauh lebih kuat disebabkan karena adanya dorongan elektron dari alkil pada GA. Hal ini menyebabkan dekomposisi kitosan-GA pada tahap ini dimulai dan diakhiri pada suhu yang lebih tinggi. Asumsi ini diperkuat oleh hasil penelitian Jiao et. al. (2011) yang menyatakan bahwa pada rentang suhu 214,3-351,3 o
Kurva miring III terjadi pada rentang suhu 330-400
C terjadi dekomposisi basa Schiff yang prosesnya melepaskan kalor (eksoterm).
o
C untuk kitosan dan 340-400 oC untuk kitosan-GA. Pada kurva miring III ini proses yang terjadi adalah pemutusan ikatan C-C (degradasi dari unit-unit kitosan). Proses ini pun merupakan proses eksoterm yang ditunjukkan oleh kurva DTA yang nilainya berada di atas 0 µV. Asumsi ini pun diperkuat oleh hasil penelitian Jiao et. al. (2011) yang menyatakan bahwa pada rentang suhu 351,3-600 o
Analisis TGA menunjukkan bahwa total pengurangan bobot kitosan-GA lebih kecil dibandingkan dengan kitosan. Sedangkan analisis pergeseran suhu dekomposisi menunjukkan bahwa kitosan-GA mulai terdekomposisi pada suhu yang lebih tinggi. Berdasarkan kepada kedua analisis ini maka dapat disimpulkan bahwa kitosan-GA lebih stabil secara termal dibandingkan dengan kitosan.
C terjadi dekomposisi kerangka kitosan.
Hasil Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Optimasi adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA telah dilakukan dengan menggunakan tiga variabel bebas, yaitu bobot adsorben, suhu, dan waktu kontak, sedangkan yang dijadikan variabel terikat atau responnya adalah konsentrasi ion Fe(III) pada kesetimbangan dalam adsorben. Hasil pengukuran responnya disajikan pada Tabel 7.
Analisis yang dilakukan terhadap data respon surface tersebut meliputi analisis perkiraan koefisien regresi dan analisis variansi. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan software MINITAB
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA mengikuti pola linier, kuadrat, dan interaksi. Hal ini didasarkan kepada besarnya nilai P (P-value 0,000) yang lebih kecil dari nilai signifikansinya (α = 0,050). Jika variabel waktu, suhu, bobot adsorben, dan respon disimbolkan sebagai X
14 yang hasilnya disajikan pada Lampiran 2.
20
perkiraan koefisien regresi dapat disimpulkan model respon surface mengikut i persamaan:
Y = - 1,99638 + 0,01798X1 + 0,11063X2 + 5,93142X3 - 0,00001X12 - 0,00218X22 - 2,38960X32 + 0,00001X1X2 - 0,01070X1X3 + 0,03558 X2X3
Tabel 7 Hasil pengukuran respon surface Box Behnken dari adsorpsi ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
No Waktu (menit) Suhu (o Bobot C) Adsorben (g) [Fe] (ppm)
Awal Larutan Adsorben 1 360 35 0,50 9,9815 0,9981 8,9834 2 30 25 0,75 9,9815 2,7524 7,2291 3 30 35 1,00 9,9815 1,5421 8,4394 4 195 35 0,75 9,9815 1,1927 8,7888 5 360 35 0,50 9,9815 0,9878 8,9937 6 30 45 0,75 9,9815 2,8423 7,1392 7 195 35 0,75 9,9815 1,2081 8,7734 8 195 25 0,50 9,9815 1,4243 8,5572 9 30 35 0,50 9,9815 3,4234 6,5581 10 195 35 0,75 9,9815 1,1834 8,7981 11 360 35 1,00 9,9815 0,8213 9,1602 12 195 45 0,50 9,9815 2,0821 7,8994 13 195 45 1,00 9,9815 1,4344 8,5471 14 360 45 0,75 9,9815 0,8182 9,1633 15 195 25 1,00 9,9815 1,2174 8,7641 16 30 45 0,75 9,9815 2,7324 7,2491 17 195 35 0,75 9,9815 1,2132 8,7683 18 195 45 0,50 9,9815 2,1233 7,8582 19 30 35 1,00 9,9815 1,5314 8,4501 20 360 35 1,00 9,9815 0,8102 9,1713 21 360 25 0,75 9,9815 0,8141 9,1674 22 195 35 0,75 9,9815 1,1989 8,7826 23 360 45 0,75 9,9815 0,8234 9,1581 24 195 25 0,50 9,9815 1,5332 8,4483 25 195 35 0,75 9,9815 1,2022 8,7793 26 195 45 1,00 9,9815 1,5211 8,4604 27 30 25 0,75 9,9815 2,6123 7,3692 28 30 35 0,50 9,9815 3,5341 6,4474 29 360 25 0,75 9,9815 0,8033 9,1782 30 195 25 1,00 9,9815 1,2018 8,7797
Berdasarkan nilai R-Sq (adj) yang terdapat pada Lampiran 2 maka dapat disimpulkan bahwa model memprediksi variabel bebas yang berpengaruh
21
terhadap respon sebesar 94,8%. Besarnya pengaruh dari interaksi antara dua variabel bebas terhadap respon disajikan dalam bentuk kontur pada Gambar 8.
Gambar 8 Kontur Respon Surface adsorpsi ion Fe(III) oleh serpih kitosan-GA
Gambar 8a dan 8c menunjukkan bahwa secara umum respon akan meningkat apabila waktu kontak semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa waktu kontak sangat berpengaruh terhadap jumlah ion logam Fe(III) yang terikat pada kitosan-GA. Semakin lama waktu kontak maka jumlah ion logam Fe(III) yang teradsorpsi juga semakin banyak sampai tercapai kesetimbangan.
Variabel bebas yang lain adalah suhu. Gambar 8a dan 8b menunjukkan bahwa secara umum daerah respon optimal dihasilkan pada suhu sekitar 30–35 oC. Peningkatan suhu memang dapat meningkatkan laju adsorpsi, namun pada suhu tinggi dapat terjadi kerusakan gugus fungsi yang menyebabkan berkurangnya pusat aktif adsorpsi sehingga semakin sedikit ion logam yang dapat dijerap. Jika proses adsorpsi diaplikasikan pada minyak akar wangi maka sebaiknya suhu yang digunakan adalah pada 25 oC. Hal ini dilakukan karena jika suhu dinaikkan, maka dikhawatirkan akan ada komponen minyak yang menguap. Gambar 8a menunjukkan bahwa pada suhu 25 oC, respon optimal dapat dicapai pada waktu kontak sekitar 280–360 menit. Sedangkan Gambar 8b menunjukkan bahwa pada suhu 25 o
Berdasarkan kepada Gambar 8b dan 8c, secara umum respon optimum dicapai pada bobot adsorben sekitar 0,7–0,8 gram. Semakin besar bobot kitosan-GA artinya semakin banyak gugus amina dan hidroksi dari kitosan-kitosan-GA sebagai pusat aktif adsorpsi sehingga semakin banyak ion logam Fe(III) yang dapat dijerap. Namun, pada bobot kitosan-GA sekitar 0,8–1,0 gram ternyata respon C, respon optimal dapat dicapai pada bobot adsorben sekitar 0,9–1,0 gram.
22
menjadi turun. Hal ini disebabkan karena pengaruh suhu yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Berdasarkan hasil percobaan respon surface Box Behnken ini diambil keputusan untuk menggunakan kondisi: bobot adsorben 0,75 gram, suhu 25 oC, dan waktu kontak 360 menit. Keputusan ini diambil karena adsorpsi ion logam Fe(III) oleh kitosan-GA pada kondisi ini menghasilkan persen adsorpsi yang paling besar yaitu sebesar 91,9521%.
Hasil Percobaan Isotermal Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Penentuan isotermal adsorpsi dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi awal ion logam terhadap jumlah ion logam yang diadsorpsi oleh adsorben pada kondisi optimum serta interaksi yang terjadi antara adsorben dengan adsorbat. Data hasil percobaan isotermal adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) disajikan pada Lampiran 3.
Gambar 9 menunjukkan hubungan antara kapasitas adsorpsi dengan konsentrasi awal ion Fe(III). Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa pada awalnya kurva terlihat naik secara signifikan kemudian cenderung konstan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi Fe(III) meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal Fe(III). Hal ini dapat dipahami dengan konsep bahwa jika konsentrasi adsorbat meningkat maka jumlah ion Fe(III) yang berinteraksi semakin bertambah pada tahap awal dan selanjutnya akan cenderung konstan karena permukaan kitosan-GA sudah mulai mengalami kejenuhan.
Gambar 9 Kurva hubungan antara kapasitas adsorpsi dengan konsentrasi awal ion Fe(III)
Analisis isotermal adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dilakukan dengan menggunakan dua model, yaitu model Langmuir dan Freundlich. Analisis model Langmuir dan Freundlich dilakukan dengan membuat persamaan garis linear antara Ce terhadap Ce/qe untuk model Langmuir dan Log Ce terhadap Log qe untuk model Freundlich. Data hasil analisis isoterm Langmuir dan Freundlich disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan data yang terdapat pada Lampiran 4, kemudian dibuat kurva isotermal Langmuir dan Freundlich yang disajikan pada Gambar 10a dan 10b secara berturut-turut.
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 10 20 30 40 50 60 qe (m g/ g) Co (mg/L)
23
Gambar 10 Kurva Adsorpsi Isotermal Langmuir (a) dan Freundlich (b) Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Nilai parameter isotermal (qm, b, RSF, Kf, dan n) dapat ditentukan berdasarkan persamaan garis yang diperoleh dari kurva adsorpsi isotermal Langmuir dan Freundlich. Tabel 8 menunjukkan nilai parameter isotermal adsorpsi Langmuir dan Freundlich yang perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 8 Parameter isotermal adsorpsi Langmuir dan Freundlich Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Langmuir Freundlich
RSF
qm B R2 Kf N R2
1,7671 0,44097 0,9887 0,7418 3,9777 0,9994 0,0434
Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa nilai R2 model Freundlich lebih besar dibandingkan dengan model Langmuir. Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich didasarkan pada asumsi (1) terbentuknya adsorpsi beberapa lapisan (multilayer) dari molekul-molekul adsorbat pada adsorben, (2) bagian tapak aktif pada permukaan adsorben bersifat heterogen, dan (3) hanya melibatkan gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben (Atkins 1996). Penelitian lain dilakukan oleh Muharam et al. (2010) yang telah melaporkan bahwa penggunaan serpih kitosan-GA untuk adsorpsi ion Au(CN)4
-Parameter lain yang berhubungan dengan proses adsorpsi adalah R
juga mengikuti model isotermal Freundlich. Penggunaan kitin untuk adsorpsi ion logam Fe(III) juga mengikuti model isotermal Freundlich (Kartikeyan et. al. 2005). Adsorpsi ion logam Fe(III) oleh batang zaitun juga mengikuti model isotermal Freundlich (Zaid dan Mohammed 2008).
SF. RSF ini merupakan faktor separasi yang menyatakan bahwa jika nilai RSF > 1 maka proses adsorpsi tidak menguntungkan; jika nilai RSF = 1 maka proses adsorpsinya linier; jika nilai 0 < RSF < 1 maka proses adsorpsi menguntungkan dan terakhir jika RSF = 0 maka proses adsorpsi tidak dapat balik (irreversible). Tabel 8
y = 0.565x + 1.283 R² = 0.988 0 5 10 15 20 0 10 20 30 Ce / qe Ce a) y = 0.251x - 0.129 R² = 0.999 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 -1.0 0.0 1.0 2.0 Lo g qe Log Ce b)
24
menunjukkan bahwa nilai RSF untuk proses adsorpsi Fe(III) oleh kitosan-GA berada pada rentang nilai 0 < RSF < 1. Hal ini menunjukkan proses adsorpsinya menguntungkan karena dapat dilakukan proses desorpsi (Ho 2003). Proses desorpsi dapat terjadi karena interaksi yang terjadi antara ion logam Fe(III) dan kitosan-GA adalah interaksi fisik dengan menggunakan gaya Van der Waals. Gaya Van der Waals merupakan gaya antar molekul yang interaksinya relatif lemah sehingga mudah diputuskan.
Hasil Percobaan Kinetika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA Pengaruh Konsentrasi
Kinetika adsorpsi menjelaskan laju pengambilan zat terlarut oleh adsorben selama penjerapan berlangsung. Gambar 11 menunjukkan hubungan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak pada dua kondisi konsentrasi awal yang berbeda. Data untuk Gambar 11 terdapat pada Lampiran 6. Berdasarkan Gambar 11 tersebut terlihat bahwa kapasitas adsorpsi meningkat secara signifikan setelah 30 menit baik pada larutan dengan konsentrasi awal ion Fe(III) 10 ppm maupun 30 ppm. Kemudian kapasitas adsorpsi naik secara perlahan setelah 60–150 menit. Kenaikan secara perlahan ini menunjukkan telah tercapainya kejenuhan adsorpsi.
Hal lain yang dapat dijelaskan adalah pengaruh konsentrasi awal terhadap kapasitas adsorpsi. Berdasarkan kepada Gambar 11, dapat disimpulkan bahwa nilai kapasitas adsorpsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal ion Fe(III). Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi maka interaksi ion Fe(III) dengan kitosan-GA semakin besar.
Gambar 11 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak pada dua kondisi konsentrasi awal ion Fe(III) 10 dan 30 ppm.
Mekanisme kinetika yang mengendalikan proses adsorpsi dapat dievaluasi oleh analisis model kinetika orde pertama semu dan orde kedua. Model kinetika adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13 serta parameter kinetika yang ditentukan dari kemiringan dan intersep berdasarkan persamaan 8 dan 10 disajikan pada Tabel 9. Data analisis serta perhitungan parameter kinetika adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 30 60 90 120 150 180 kap asi tas ad so rp si (m g/ g) Waktu (menit) 10 ppm 30 ppm
25
Gambar 12 Plot kinetika orde pertama semu adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm
Gambar 13 Plot kinetika orde kedua adsorpsi ion Fe(III) oleh
kitosan-GA pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm
Tabel 9 Perbandingan konstanta laju orde pertama semu dan orde kedua serta nilai qe
Model kinetika
hasil perhitungan dan percobaan Parameter Kinetika [Fe]o (ppm) 10 30 Kinetika orde pertama semu k1 (menit-1) 0,0170 0,0267 qe hitung (mg/g) 0,1835 0,7520 R2 0,8559 0,8885 Kinetika orde kedua k2 (g mg-1 menit-1) 0,1430 0,0398 qe hitung (mg/g) 0,5354 0,9536 R2 0,9943 0,9949 qe percobaan (mg/g) 0,5016 0,8157 Keterangan [Fe]o q
: Konsentrasi ion Fe(III) awal
e
k
: Kapasitas adsorpsi ion Fe(III) dalam kesetimbangan
1
k
: Konstanta laju orde pertama semu
2
R
: Konstanta laju orde kedua
2 : Koefisien korelasi -2 -1.5 -1 -0.5 0 0 20 40 60 80 100 120 140 Lo g ( qe -qt ) Waktu (menit) 10 ppm 30 ppm 0 50 100 150 200 250 300 350 0 50 100 150 200 t/ qt Waktu (menit) 10 ppm 30 ppm
26
Berdasarkan Tabel 9, nilai koefisien korelasi orde kedua lebih besar daripada orde pertama semu. Selain itu, nilai qe hitung untuk orde kedua lebih mendekati kepada nilai qe hasil percobaan. Sehingga pada penelitian ini mekanisme adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dikendalikan oleh model kinetika orde kedua. Model kinetika orde kedua ini didasarkan kepada asumsi bahwa jumlah ion logam tidak melebihi jumlah tempat adsorpsi di permukaan adsorben, sehingga penambahan konsentrasi awal ion logam mempengaruhi kinetika secara konstan dari proses adsorpsi (Chen et al. 2008). Penelitian lain menyebutkan bahwa penggunaan kitosan bertaut silang tiourea sebagai adsorben untuk menjerap ion logam Fe(II) dan Fe(III) juga mengikuti kinetika orde kedua (Dai et al. 2012).
Pengaruh Suhu
Pengaruh suhu pada kinetika adsorpsi Fe(III) oleh serpih kitosan-GA yang diteliti menggunakan konsentrasi Fe(III) awal 30 ppm dan variasi suhu 25 oC dan 45 oC ditunjukkan oleh Gambar 14 (Lampiran 9). Hasilnya menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi pada suhu 45 oC awalnya lebih tinggi (pada t = 30 menit) kemudian lebih rendah jika dibandingkan dengan yang larutan yang dikondisikan pada suhu 25 oC. Peningkatan suhu artinya sistem diberikan energi sehingga kation-kation dalam larutan bergerak lebih cepat. Proses adsorpsi pun kecepatannya menjadi lebih besar sehingga kapasitas adsorpsi meningkat pada waktu 30 menit. Pada menit berikutnya terlihat kapasitas adsorpsi pada suhu 45 oC lebih rendah daripada larutan dengan suhu 25 oC. Hal ini menunjukkan bahwa proses adsorpsi berlangsung eksotermis atau melepaskan kalor. Kalor yang dilepaskan ini menyebabkan kelarutan ion logam bertambah sehingga jumlah ion logam yang menempel pada adsorben menjadi berkurang.
Gambar 14 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dengan waktu kontak pada dua kondisi suhu 25 oC dan 45 oC
Berdasarkan percobaan kinetika sebelumnya diketahui bahwa proses adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA mengikuti model kinetika orde kedua. Oleh karena itu model tersebut juga digunakan untuk menginterpretasikan data kinetika adsorpsi yang dipengaruhi oleh suhu yang disajikan pada Gambar 15 (Lampiran 10). 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0 50 100 150 200 Kap asi tas A dso rp si (m g/ g) Waktu (menit) T = 25 oC T = 45 oC = 25 oC = 45 oC
27
Gambar 15 Plot kinetika orde kedua adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA pada dua variasi suhu 25 oC dan 45 oC
Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 10, diketahui bahwa kinetika orde kedua masih menunjukkan proses adsorpsi yang baik, terlihat dari nilai koefisien korelasi (R2) mendekati nilai 1 dan nilai qe hitung cukup dekat dengan qe
Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 10, diketahui energi aktivasi (Ea) dari proses adsorpsi adalah sebesar 22,912 kJ/mol. Nilai ini termasuk ke dalam rentang nilai energi aktivasi adsorpsi fisika, yaitu sebesar 5-40 kJ/mol, sementara energi aktivasi untuk adsorpsi kimia berkisar 40-800 kJ/mol (Chang dan Chen 2006). Hal ini memperkuat dugaan bahwa adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA merupakan adsorpsi fisika yang melibatkan gaya van der waals.
percobaan.
Perhitungan parameter termodinamika adsorpsi Fe(III) oleh kitosan-GA dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan nilai perubahan entalpi (∆H) sebesar -6,2134 kJ/mol. Nilai ∆H yang bertanda negatif ini menunjukkan proses adsorpsi melepaskan kalor, kemudian besar kalor yang dilepaskannya adalah sebesar 6,2134 kJ/mol.
Adsorpsi Fe(III) oleh kitosan-GA memiliki nilai perubahan entropi (∆S) sebesar -0,04647 kJ/mol dan nilai perubahan energi bebas Gibbs (∆G) sebesar 7,6347 dan 8,5640 kJ/mol untuk suhu 25 oC dan 45 oC secara beruturut-turut. Nilai ∆S yang bertanda negatif menunjukkan penurunan ketidakteraturan pada antar muka adsorben dan adsorbat. Nilai ∆G yang bertanda positif ini menunjukkan proses adsorpsi pada suhu 25 oC dan 45 oC berjalan tidak spontan. Proses adsorpsi yang tidak spontan ini menunjukkan bahwa sistem memerlukan energi dari luar yang lebih besar dari Ea sehingga proses adsorpsi dapat terus berlangsung. Berdasarkan kepada nilai ∆H dan ∆S yang bertanda negatif, maka proses adsorpsi dapat berlangsung spontan pada suhu yang lebih rendah.
Hasil Percobaan Desorpsi ion Fe(III) dari Kitosan-GA
Adsorben yang menguntungkan adalah jika adsorbat mudah dilepaskan kembali dan adsorben dapat didaur ulang. Pada penelitian ini efisiensi desorpsi Fe(III) dari kitosan-GA dilakukan pada 100 mL larutan HCl 0,1 M. Hasil penelitiannya ditunjukkan pada Gambar 16 (Lampiran 12).
(T=25oC) y = 1,0486x + 27,593 R² = 0,9949 (T=45oC) y = 1,2204x + 20,918 R² = 0,9957 0 50 100 150 200 250 0 50 100 150 200 t/ qt Waktu (menit) T = 25 oC T = 45 oC
28
Gambar 16 Kurva desorpsi ion Fe(III) dari kitosan-GA dalam larutan HCl 0,1 M selama 150 menit
Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa persen desorpsi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu kontak. Persen desorpsi terbesar dicapai pada waktu kontak 150 menit dengan nilai sebesar 9,0605%. Nilai persen desorpsi ini sangat rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Muharam (2010) yang telah melaporkan bahwa penggunaan larutan NaCN untuk mendesorpsi ion [Au(CN)4]- dari kitosan-GA menghasilkan nilai persen desorpsi sebesar 100% dengan waktu kontak hanya 90 menit. Penyebab nilai persen desorpsi yang rendah ini dapat dikaitkan dengan nilai RSF
Proses desorpsi ini nampaknya masih terus berlanjut, karena perubahan persen desorpsi masih meningkat secara signifikan. Proses desorpsi terjadi karena lingkungan yang sangat asam menyebabkan gugus ion Fe(III) yang telah terikat kepada gugus amina kitosan-GA menjadi terlepas. Ion H
yang telah dihitung sebelumnya, yaitu sebesar 0,0434. Nilai ini hampir mendekati 0 yang menunjukkan bahwa proses adsorpsi bersifat hampir irreversible sehingga agak sulit untuk dilakukan desorpsi.
+
merupakan asam yang lebih keras dibandingkan dengan ion Fe(III) sehingga gugus amina pada adsorben kitosan-GA yang juga merupakan basa keras akan lebih memilih menarik ion H+ dibandingkan dengan ion Fe(III). Setelah terjadi desorpsi, maka gugus amina pada kitosan-GA menjadi bermuatan positif dengan menangkap ion H+.
Hasil Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi Ion Fe(III) Penelitian pengaruh ion Cu(II) terhadap adsorpsi ion Fe(III) telah dilakukan pada kondisi buatan dan alami. Kondisi buatan adalah larutan yang terdiri atas ion logam Fe(III) dan Cu(II) dengan perbandingan konsentrasi 1:1.