• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ADSORPSI ION Fe(III) OLEH KITOSAN BERTAUT SILANG GLUTARALDEHIDA DAN APLIKASINYA PADA PEMURNIAN MINYAK AKAR WANGI MUHAMMAD FATHURRAHMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI ADSORPSI ION Fe(III) OLEH KITOSAN BERTAUT SILANG GLUTARALDEHIDA DAN APLIKASINYA PADA PEMURNIAN MINYAK AKAR WANGI MUHAMMAD FATHURRAHMAN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ADSORPSI ION Fe(III) OLEH KITOSAN BERTAUT

SILANG GLUTARALDEHIDA DAN APLIKASINYA

PADA PEMURNIAN MINYAK AKAR WANGI

MUHAMMAD FATHURRAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan Bertaut Silang Glutaraldehida dan Aplikasinya pada Pemurnian Minyak Akar Wangi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Muhammad Fathurrahman

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD FATHURRAHMAN. Studi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan Bertaut Silang Glutaraldehida dan Aplikasinya pada Pemurnian Minyak Akar Wangi. Dibimbing oleh PURWANTININGSIH SUGITA dan HENNY PURWANINGSIH.

Adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA telah dipelajari dengan menggunakan metoda Batch. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimum dari adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari isotermal adsorpsi, kinetika, dan pengaruh ion Cu(II) terhadap adsorpsi ion Fe(III) serta aplikasinya pada pemurnian minyak akar wangi.

Optimasi dilakukan dengan menggunakan metode respon permukaan desain Box Behnken. Model isotermal adsorpsi yang dipelajari adalah isotermal Langmuir dan Freundlich. Serpih kitosan-GA dengan derajat deasetilisasi 78% mempunyai persen adsorpsi terhadap ion Fe(III) sebesar 91,8439% pada kondisi optimum: bobot adsorben 0,75 gram, suhu 25 o

Keberadaan ion Cu(II) dapat menurunkan persen adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III). Persen adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan adsorpsi terhadap ion Cu(II) dalam kondisi buatan (larutan Fe

C, dan waktu kontak 360 menit. Proses adsorpsi ion Fe(III) oleh serpih kitosan-GA mengikut i model isotermal Freundlich dan cenderung mengikuti kinetika reaksi orde kedua serta bersifat eksotermis dan tidak spontan. Persen desorpsi kitosan-GA-Fe oleh HCl 0,1 M sebesar 9,0605% dicapai pada waktu kontak 150 menit.

3+

dan Cu2+ dengan perbandingan konsentrasi 1:1) maupun alami (minyak akar wangi). Persen adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) dan Cu(II) pada kondisi alami memiliki nilai lebih kecil dibandingkan pada kondisi buatan. Warna minyak akar wangi berubah dari coklat gelap menjadi coklat kemerahan setelah dilakukan adsorpsi oleh kitosan-GA.

Kata kunci : Kitosan taut silang, Glutaraldehida, Adsorpsi, Ion Fe(III), Minyak akar wangi

(5)

SUMMARY

MUHAMMAD FATHURRAHMAN. Adsorption Studies of Fe(III) Ion on Glutaraldehyde Cross-linked Chitosan and Its Application to Vetiver Oil Purification. Supervised by PURWANTININGSIH SUGITA and HENNY PURWANINGSIH.

Adsorption of Fe(III) ions by glutaraldehyde cross-linked chitosan (Chitosan-GA) was studied by the batch method. The objectives of this research are to know optimum adsorption condition of Fe(III) ions by Chitosan-GA, then to study about isothermal adsorption, kinetics, and influence of Cu(II) ion for adsorption of Fe(III) ion and its application to vetiver oil.

Optimum conditions are finding out by response surface Box Behnken method. The adsorption isotherm models that were studied in this research are Langmuir and Freundlich model. Percent adsorption of Fe(III) ion by glutaraldehyde cross-linked chitosan (Chitosan-GA) is about 91,8439% in optimum conditions : adsorbent weight 0,75 gram, temperature 25 o

The existence of Cu(II) ions can decrease percent adsorption of Fe(III) ion by chitosan-GA. Percent adsorption of Fe(III) ion by chitosan-GA is higher than adsorption of Cu(II) ion in all conditions. Percent adsorption of Fe(III) and Cu(II) ion by chitosan-GA in vetiver oil is lower than other condition (solution of Fe

C, time contact 360 minutes. Adsorption process of Fe(III) ion by chitosan-GA is fit to Freundlich and second-order models. Adsorption process is exothermic and not spontaneous. Percent desorption of chitosan-GA-Fe by 0.1 M HCl is about 9.0605% and achieved in 150 minutes.

3+ and Cu2+ ion with its concentration ratio 1:1). Vetiver oil color was changed from dark brown to red brown after adsorption by chitosan-GA.

Key word : cross-linked chitosan, glutaraldehyde, adsorption, Fe(III) ion, vetiver oil.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

STUDI ADSORPSI ION Fe(III) OLEH KITOSAN BERTAUT

SILANG GLUTARALDEHIDA DAN APLIKASINYA

PADA PEMURNIAN MINYAK AKAR WANGI

MUHAMMAD FATHURRAHMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul : Studi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan Bertaut Silang Glutaraldehida dan Aplikasinya pada Pemurnian Minyak Akar Wangi

Nama : Muhammad Fathurrahman

NRP : G451114031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing Ketua

NIP. 19631217 198803 2 002 Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita, MS

Anggota

NIP 19741201 200501 2 001 Dr. Henny Purwaningsih, M.Si

Diketahui oleh:

Ketua Program Studi

NIP. 19670730 199103 2 001 Prof. Dr. Dyah Iswantini P. M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

NIP. 19650814 199002 1 001 Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah adsorpsi, dengan judul Studi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan Bertaut Silang Glutaraldehida dan Aplikasinya pada Pemurnian Minyak Akar Wangi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita, MS dan Dr. Henny Purwaningsih, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Sabur, Bu Yeni, dan Mbak Nia selaku staf laboratorium Kimia Organik yang telah banyak memberi bantuan berupa saran serta peminjaman alat dan bahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Wawan, Ibu Tori, Mas Eko dan Mas Yono yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Minyak Akar Wangi 4

Kitosan 6

Modifikasi Kitosan 6

Isoterm Adsorpsi 8

Kinetika Adsorpsi 10

Termodinamika Adsorpsi 11

3 BAHAN DAN METODE 12

Waktu dan Tempat Penelitian 12

Alat dan Bahan 12

Metode Penelitian 12

Analisis Kadar Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi 13 Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya 13 Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 13 Percobaan Isotermal dan Kinetika Adsorpsi 14 Percobaan Desorpsi Ion Fe(III) dari Kitosan-GA 15 Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi Ion Fe(III) 15 Analisis Perubahan Warna Minyak Akar Wangi 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Kadar Awal Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi 16 Hasil Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya 16 Hasil Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 19 Hasil Percobaan Isotermal Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 22 Hasil Percobaan Kinetika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 24

Pengaruh Konsentrasi 24

Pengaruh Suhu 26

Hasil Percobaan Desorpsi Ion Fe(III) dari Kitosan-GA 27 Hasil Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi Ion Fe(III) 28 Hasil Analisis Perubahan Warna Minyak Akar Wangi 29

5 SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 33

(12)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah kebutuhan pasar dunia terhadap minyak akar wangi 1 2 Volume minyak akar wangi yang dihasilkan oleh beberapa negara 1 3 Standar Nasional Indonesia nomor 06-2386-2006 untuk minyak akar wangi 5 4 Rancangan percobaan respon surface Box Behnken 14 5 Analisis gugus fungsi kitosan dan kitosan-GA berdasarkan spektrum IR 17 6 Analisis TGA dan DTA kitosan dan kitosan-GA 18 7 Hasil pengukuran respon surface Box Behnken

dari adsorpsi ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 20 8 Parameter isotermal adsorpsi Langmuir dan Freundlich

Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 23 9 Perbandingan konstanta laju orde pertama semu dan orde kedua

serta nilai qe

10 Persen adsorpsi simultan ion Fe(III) dan Cu(II) oleh kitosan-GA 28 hasil perhitungan dan percobaan 25

(13)

DAFTAR GAMBAR

1 Akar wangi kering siap suling 4

2 Struktur vetiverol 5

3 Struktur kitin (a) dan kitosan (b) 6 4 Reaksi penautsilangan kitosan dengan glutaraldehida 7 5 Kitosan-GA setelah dihomogenisasi 16 6 Spektrum IR Kitosan (hitam) dan Kitosan-GA (merah) 17 7 Termogram DTA / TGA Kitosan (hitam) Kitosan-GA (merah) 18 8 Kontur Respon Surface adsorpsi Fe oleh serpih kitosan-GA 21 9 Kurva hubungan antara kapasitas adsorpsi dengan

konsentrasi awal ion Fe(III) 22 10 Kurva Adsorpsi Isotermal Langmuir (a) dan Freundlich (b)

Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 23 11 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak pada

dua kondisi konsentrasi awal ion Fe(III) 10 dan 30 ppm 24 12 Plot kinetika orde pertama semu adsorpsi Ion Fe(III) oleh kitosan-GA

pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm 25 13 Plot kinetika orde kedua semu adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA

pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm 25 14 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA

dengan waktu kontak pada dua kondisi suhu 25oC dan 45o

15 Plot kinetika orde kedua adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA pada dua variasi suhu 25

C 26

o

C dan 45o

16 Kurva desorpsi Fe(III) dari kitosan-GA dalam larutan HCl 0,1 M

selama 150 menit 28

C 27

17 Warna minyak akar wangi sesudah (kiri) dan sebelum (kanan)

dilakukan adsorpsi ion-ion logam oleh kitosan-GA 29 18 Mekanisme adsorpsi ion logam Fe(III) dan Cu(II) oleh kitosan-GA 30

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan 33 2 Hasil Analisis Respon Surface Box Behnken Adsorpsi Ion Fe(III)

oleh Kitosan-GA 34

3 Data Hasil Percobaan Isotermal Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 35 4 Data Hasil Analisis Isotermal Langmuir dan Freundlich Adsorpsi

Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 36 5 Perhitungan Konstanta Isoterm Langmuir dan Freundlich Adsorpsi

Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 37 6 Data Hasil Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA pada Dua Variasi

Konsentrasi Beserta Hasil Perhitungan Kapasitas Adsorpsinya 38 7 Data Analisis Kinetika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 39 8 Perhitungan Parameter Kinetika Adsorpsi Fe(III) oleh Kitosan-GA 40 9 Data Laju Orde Kedua Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA pada

Dua Variasi Suhu 42

10 Data Analisis Kinetika Orde Kedua Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA Pada Dua Variasi Suhu dan Perhitungan Ea 43 11 Data Analisis Pengaruh Suhu dan Perhitungan Parameter

Termodinamika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 44 12 Data Hasil Penelitian Desorpsi Kitosan-GA-Fe oleh HCl 0,1 M 45 13 Data Hasil Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi

(15)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Minyak akar wangi adalah salah satu komoditas ekspor non-migas Indonesia. Minyak ini dalam dunia perdagangan internasional sering disebut Java Vetiver oil. Minyak ini dihasilkan melalui proses penyulingan terhadap hasil budi daya tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides). Minyak akar wangi bermutu tinggi banyak digunakan sebagai zat pengikat bau (fixative) untuk parfum, sedangkan minyak akar wangi bermutu rendah banyak digunakan sebagai pewangi sabun.

Pembeli produk minyak akar wangi ini adalah para pengusaha pabrikan atau importir. Sebagian besar konsumen produk ini adalah pembeli luar negeri, kalaupun ada pembeli dalam negeri jumlahnya sangat sedikit. Tabel 1 menunjukkan kebutuhan pasar dunia terhadap minyak akar wangi.

Tabel 1 Jumlah kebutuhan pasar dunia terhadap minyak akar wangi

No Negara Tujuan Volume/Ton/Tahun

1 Amerika Serikat 80 2 Perancis 60 3 Jepang 15 4 Jerman 6 5 Italia 4 6 Belanda 9 7 Spanyol 4 8 Swiss 15 9 Inggris 7 10 Negara lainnya 70 Jumlah 270

Sumber : Disperindag Kab. Garut (2012)

Tabel 1 menunjukkan bahwa total kebutuhan pasar dunia terhadap minyak akar wangi mencapai 270 ton pertahunnya, sedangkan minyak akar wangi yang diproduksi para penyuling di Kabupaten Garut dapat mencapai 50 - 75 ton/tahun. Hal ini tentu saja bergantung kepada ketersediaan bahan baku, cuaca, dan permintaan. Minyak akar wangi dari Garut tidak mempunyai saingan produk sejenis di dalam negeri, namun di luar negeri produk serupa dihasilkan oleh beberapa negara, seperti negara Bourbon, Haiti, China, dan India. Tabel 2 menunjukkan data negara pengekspor utama minyak akar wangi.

Tabel 2 Volume minyak akar wangi yang dihasilkan oleh beberapa negara No Negara Volume (ton/tahun)

1 Bourbon ± 36

2 Indonesia ± 52

3 Haiti ± 82

Sumber : Disperindag Kab. Garut (2012)

(16)

2

Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi minyak akar wangi Indonesia dari segi volume dapat bersaing dengan negara-negara lain, akan tetapi dari segi harga masih terbilang rendah. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011 harga terendah produk minyak akar wangi Indonesia adalah 111,11 USD/Kg, sedangkan produk minyak akar wangi Haiti memiliki harga terendah sebesar 150,10 USD/Kg. Penyebab utama terjadinya perbedaan harga ini adalah karena perbedaan mutu.

Hasil observasi menunjukkan bahwa minyak hasil penyulingan akar wangi di Garut masih terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman. Menurut Hernani (2006), minyak yang terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman itu akibat adanya kontaminasi dari logam Fe dan Cu.

Pemurnian adalah salah satu proses yang digunakan untuk meningkatkan kualitas minyak agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Proses pemurnian minyak akar wangi dapat dilakukan secara kimia ataupun fisika. Proses pemurnian secara fisika dapat dilakukan dengan mendestilasi ulang minyak yang dihasilkan (redestillation). Pemurnian secara fisika menghasilkan minyak yang warnanya lebih jernih dan konsentrat komponen utamanya menjadi lebih tinggi, namun cara ini memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik dan biaya operasional yang relatif mahal.

Pemurnian secara kimia dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah metoda adsorpsi. Adsorpsi adalah metoda yang tepat dan mudah dalam menjerap ion logam. Metoda adsorpsi menggunakan peralatan yang lebih sederhana, karena hanya diperlukan pencampuran dengan adsorben pada kondisi tertentu (Firdaus 2009).

Penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas minyak akar wangi dengan menggunakan adsorben sudah banyak dilakukan. Beberapa adsorben tersebut misalnya adalah bentonit 2% (b/v) yang diaplikasikan pada minyak akar wangi dapat meningkatkan kadar vetiverol dari 48,67% menjadi 49,18%, kemudian kadar logam Fe berkurang dari 2,76 ppm menjadi 2,53 ppm dan kadar logam Cu berkurang dari 2,13 ppm menjadi 1,96 ppm (Hernani 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2009), dilaporkan bahwa penggunaan zeolit 2% (b/v) pada minyak akar wangi dapat meningkatkan kadar vetiverol dari 51,90% menjadi 78,68%, namun kandungan asamnya masih melebihi batas standar. Selain itu, penggunaan arang aktif pada minyak akar wangi telah dilaporkan dapat menyerap zat warna sebanyak 90% dari jumlah zat warna yang terdapat dalam minyak, namun arang aktif mempunyai pori-pori yang dapat menyebabkan minyak terjerap ke dalamnya. Minyak yang sudah masuk ke dalam pori-pori arang aktif ini sangat sulit untuk dipisahkan (Sani 2011).

Adsorben yang sedang marak dikembangkan adalah kitosan. Kitosan merupakan polimer yang melimpah di alam yang dihasilkan dari proses deasetilisasi kitin. Penelitian mengenai kitosan sebagai adsorben dengan atau tanpa modifikasi telah banyak dilaporkan. Kemampuan kitosan untuk menarik ion-ion logam melalui mekanisme pengkelatan atau pertukaran ion (bergantung kepada jenis ion logam dan pH larutan) disebabkan karena gugus amino dan hidroksida pada struktur kimia kitosan.

Penggunaan kitosan secara langsung sebagai adsorben kurang efektif karena kitosan rapuh secara mekanik dan mudah didegradasi secara biologi, serta mudah larut dalam asam encer. Hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan modifikasi menjadi kitosan bertaut silang. Salah satu bahan penaut silang yang

(17)

3 sering digunakan adalah glutaraldehida (GA). GA ini dipilih sebagai penaut silang karena dapat meningkatkan sifat mekanik dari kitosan sehingga stabilitas struktur kitosan meningkat baik secara termal maupun dalam asam (Muharam et al. 2010). Penelitian terkait aplikasi kitosan-GA pada minyak pernah dilakukan oleh Rahmi dan Julinawati (2009), yang telah melaporkan bahwa penggunaan 5 gram kitosan-GA pada minyak solar untuk adsorpsi ion logam Cu(II) pada suhu 70 oC selama 75 menit menghasilkan persen adsorpsi sebesar 73%. Penelitian lain dilakukan oleh Muharam et al. (2010), yang telah melaporkan bahwa penggunaan 0,875 gram kitosan-GA untuk mengadsorpsi ion [Au(CN)4]

-Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dilakukan penelitian mengenai pembuatan serpih kitosan bertaut silang glutaraldehida untuk mengadsorpsi ion logam Fe(III) dan Cu(II) pada minyak akar wangi. Sebagai pembanding, maka dilakukan studi adsorpsi ion logam Fe(III) dalam larutan FeCl

pada pH 2 selama 120 menit menghasilkan persen adsorpsi sebesar 97,874%. Penelitian penggunaan kitosan-GA sebagai adsorben ion logam pada minyak akar wangi sampai saat ini belum dilakukan.

3.6H2O oleh kitosan-GA. Ion logam Fe(III) dipilih karena kadar ion logam Fe(III) dalam minyak akar wangi lebih tinggi dibandingkan dengan ion logam Cu(II). Studi adsorpsi tersebut meliputi sintesis kitosan-GA beserta karakterisasinya menggunakan Spektroskopi IR dan DTA (Differential Thermal Analysis) / TGA (Thermogravimetric Analysis). Setelah itu dilakukan optimasi proses adsorpsi dengan parameter bobot adsorben, waktu, dan suhu. Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai kinetika, termodinamika dan isotermal adsorpsi. Setelah itu dilakukan penelitian mengenai desorpsi kitosan-GA dan pengaruh ion logam Cu(II) terhadap adsorpsi ion logam Fe(III) oleh kitosan-GA kemudian diaplikasikan pada sampel minyak akar wangi hasil penyulingan yang berasal dari Garut. Tahap yang terakhir adalah analisis perubahan warna dari minyak akar wangi sebelum dan sesudah dilakukan adsorpsi ion logam oleh kitosan-GA.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari kondisi optimum adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III), kemudian dilanjutkan mempelajari isotermal, kinetika, termodinamika, dan pengaruh ion logam Cu(II) terhadap adsorpsi dan desorpsi ion logam Fe(III) oleh kitosan-GA yang diaplikasikan pada minyak akar wangi serta menganalisis perubahan warna minyak akar wanginya.

(18)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Minyak Akar Wangi

Rumpun tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides) ditemukan tumbuh secara liar, setengah liar, maupun sengaja ditanam di berbagai negara beriklim tropis dan subtropis. Bagian tanaman dalam tanah terdiri dari sejumlah akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan, dan mengandung minyak atsiri berwujud kental dengan bau khas dan tahan lama (Guenther 2006).

Akar wangi (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari keluarga rumput-rumputan (Graminae) ini telah dikenal lama di Indonesia, yakni sebelum Perang Dunia II, bahkan pada tahun 1918 telah tercatat sebagai komoditas ekspor meskipun masih dalam bentuk akar (Kardinan 2005).

Gambar 1 Akar wangi kering siap suling

Tanaman akar wangi di Indonesia umumnya masih diusahakan dalam skala kecil. Hanya sebagian kecil yang diusahakan oleh perkebunan/swasta terutama di wilayah Jawa Barat. Daerah tanam akar wangi di Indonesia adalah di Jawa Barat, meliputi Garut, Sukabumi, Bandung, Sumedang, dan Kuningan; Jawa Tengah, meliputi Wonosobo dan Purwokerto; dan sebagian wilayah Sumatera Utara. Wilayah yang menjadi pusat penyulingan minyak akar wangi di Indonesia adalah Kabupaten Garut yang tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Leles, Cilawu, Bayongbong dan Samarang. Luas lahan yang diizinkan untuk ditanami akar wangi adalah 2.400 Ha. Sedangkan jumlah penyuling yang sampai saat ini masih beroperasi sebanyak ± 30 penyuling dengan jumlah ketel sebanyak 48 buah (Disperindag Kab. Garut 2012).

Akar wangi yang kering bermutu baik menghasilkan randemen minyak sekitar 1,5% - 2% berat kering, dan jarang mencapai rendemen sampai 3 %. Akar segar (belum kering) menghasilkan rendemen minyak lebih kecil (Sani 2011).

Luu (2007) menyebutkan komponen utama penyusun minyak akar wangi

terdiri dari sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinene, clovene, α-amorphine, junipene, aromadendrene, dan turunan alkoholnya), vetiverol (khusimol, epiglobulol, khusinol, spathulenol, serta turunan karbonilnya), dan vetivone (α-vetivone, β -vetivone, khusimone dan turunan esternya). Diantara komponen-komponen

(19)

5

tersebut, α-vetivone, β-vetivone, dan khusimone merupakan komponen utama sebagai penentu aroma minyak akar wangi, sedangkan komponen terbesar yang menjadi salah satu parameter mutu adalah vetiverol (Gambar 2).

Gambar 2 Struktur vetiverol

Minyak akar wangi yang baik umumnya ditandai oleh bobot jenis yang tinggi, komposisi bau yang lebih sempurna, dan ketahanan bau yang lebih lama. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak akar wangi antara lain umur atau waktu panen, kondisi bahan baku, cara penanganan dan pengolahan bahan baku, bahan konstruksi alat penyulingan, metode ekstraksi, metode penyulingan, lama penyulingan, dan penanganan minyak hasil ekstraksi. Standar mutu minyak akar wangi dalam perdagangan internasional belum seragam karena masing-masing negara penghasil dan pengimpor menentukan standar mutu minyak akar wangi menurut kebutuhan sendiri (Suhirman 2007). Negara Indonesia sendiri telah menetapkan standar mutu untuk minyak akar wangi seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Pemurnian minyak akar wangi bertujuan untuk menghilangkan zat-zat yang tidak dikehendaki dalam minyak, diantaranya ion logam dan polimer yang menyebabkan warna minyak menjadi gelap. Warna minyak atsiri sangat memengaruhi mutu, penggunaan, dan harganya. Minyak yang keruh dan berwarna gelap mempunyai mutu yang rendah. Pengotor dalam minyak juga dapat mempercepat kerusakan minyak terutama selama penyimpanan dan pengolahan lebih lanjut (Hernani 2006).

Tabel 3 Standar Nasional Indonesia nomor 06-2386-2006 untuk minyak akar wangi (SNI 2006)

Parameter Uji Persyaratan

Warna Bau Bobot jenis (20 o Indeks bias (20 C) o

Kelarutan dalam etanol 95% C) Bilangan asam

Bilangan ester

Bilangan ester setelah asetilasi Vetiverol total

Kuning muda – cokelat kemerahan Khas akar wangi

0,980 – 1,003 1,520 – 1,530 1:1 jernih, seterusnya jernih

10 – 35 5 – 26 100 – 150 Minimum 50

(20)

6

Kerusakan yang sering terjadi pada minyak atsiri adalah kerusakan komponen kimia, yang disebabkan oleh proses hidrolisis, oksidasi, polimerisasi, pencampuran dengan bahan lain, dan pencemaran oleh wadah kemasan. Hidrolisis terjadi dalam minyak yang mengandung ester, jika tedapat air dan asam sebagai katalis. Asam organik hasil hidrolisis ester terdapat secara alamiah dan golongan fenol dapat bereaksi dengan ion logam dan membentuk garam, mengakibatkan minyak berubah warna menjadi gelap. Oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam terpena. Peroksida yang dihasilkan bersifat labil dan dapat berisomerisasi dengan adanya air membentuk senyawa aldehida dan asam organik yang menimbulkan bau yang tidak dikehendaki (Suhirman 2007).

Kitosan

Kitosan (poli-β(1→4)-2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa) merupakan biopolimer karbohidrat yang didapat dari proses deasetilasi kitin (poli-β(1→4) -2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa) dengan menggunakan basa. Secara alami kitosan dapat dihasilkan dari beberapa jenis jamur, sedangkan kitin merupakan zat penyusun utama pada kulit/cangkang Crustaceace. Suatu kitin dapat dikatakan telah menjadi kitosan apabila derajat deasetilasinya telah mencapai minimal 70%. Perbedaan struktur selulosa, kitin dan kitosan terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kitin (a) dan kitosan (b)

Hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan kitosan dapat mengikat logam berat 4 sampai 5 kali lebih besar dari kitin, hal ini terkait dengan adanya gugus amina terbuka sepanjang rantai kitosan dan gugus hidroksil (terutama pada posisi C-3) (Guibal 2004). Gugus-gugus reaktif tersebut akan berinteraksi dengan ion logam melalui mekanisme yang beragam bergantung kepada jenis logam, pH dan medium larutan. Sepasang elektron bebas pada nitrogen dapat mengikat kation logam pada pH netral, di lain pihak protonasi gugus amina dalam larutan asam menghasilkan perilaku polimer kationik dan berpotensi untuk mengikat anion senyawa logam.

Modifikasi Kitosan

Kitosan memiliki sifat rapuh, mudah didegradasi secara biologi, dan mudah larut dalam asam encer sehingga penggunaan kitosan secara langsung sebagai adsorben akan menjadi kurang efektif. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut biasanya dilakukan modifikasi dengan mereaksikan bahan penaut silang untuk membentuk kitosan bertaut silang.

(21)

7 Modifikasi kitosan ini bertujuan untuk: (1) meningkatkan stabilitas struktur kitosan baik secara termal, maupun dalam asam (2) meningkatkan sifat penyerapan logam yang meliputi kapasitas dan selektivitasnya (Muharam 2010). Salah satu modifikasi kimia kitosan yang paling banyak digunakan adalah penaut silangan dengan glutaraldehida melalui reaksi pembentukan basa Schiff (imina tersubstitusi, -CH=NR) antara gugus aldehida ujung pada glutaraldehida (GA) dengan gugus amino kitosan (Chang dan Chen 2006). Reaksi penautsilangan glutaraldehida dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Reaksi penautsilangan kitosan dengan glutaraldehida

Jumlah tautan silang tersebut meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah glutaraldehida yang ditambahkan. Tautan silang ini telah terbukti dapat meningkatkan sifat mekanik dari adsorben kitosan. Kitosan menjadi tidak rapuh dan lebih sulit didegradasi secara biologis serta tidak mudah larut dalam asam. Manik kitosan-GA dengan derajat tautan silang 18,4 dan 34,7% dapat stabil pada kisaran pH 2-4. Namun, derajat tautan silang yang terlalu tinggi juga akan menurunkan jumlah –NH2

Hal yang mempengaruhi nilai kapasitas adsorpsi adalah suhu, pH, konsentrasi logam, bobot adsorben, serta waktu kontak. Hal ini didukung oleh penelitian Wahyono (2006) yang telah dilaporkan bahwa kapasitas adsorpsi ion Cu(II) oleh kitosan-alginat bertaut silang glutaraldehida lebih besar pada kondisi larutan pH 6 dan konsentrasi logam 1000 ppm, dibandingkan dengan kondisi larutan pH 3 dan konsentrasi logam 500 ppm. Penelitian lain menjelaskan bahwa kapasitas adsorpsi optimum untuk adsorpsi ion Au(III) diperoleh pada kondisi pH 2, selang waktu 120 menit, dan bobot kitosan-GA yang digunakan 0,875 g (Muharam et. al. 2010).

, sehingga kapasitas adsorpsi maksimumnya juga menurun. Selain itu, reaksi glutaraldehida dan kitosan juga dapat melemahkan ikatan antara atom nitrogen dan ion logam yang akan dijerap (Osifo et al. 2008).

(22)

8

Afinitas penjerapan kitosan-GA juga dipengaruhi jenis dan muatan logam. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rojas et al. (2005); dilaporkan bahwa afinitas penjerapan kitosan-GA terhadap Cr6+ lebih besar dibadingkan dengan afinitasnya terhadap Cr3+. Penelitian lain, menjelaskan bahwa afinitas penjerapan kitosan-GA terhadap Cu2+ lebih besar dibandingkan dengan afinitasnya terhadap Co2+

Kitosan-GA juga dapat dimodifikasi secara fisika, yaitu dibuat serpih, butir, gel dan membran (Beppu et al. 2007). Setiap modifikasi bentuk kitosan-GA tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengadsorpsi logam. Muharam et. al. (2010) telah melaporkan bahwa penggunaan kitosan-GA pada larutan [Au(CN)

(Cestari et al. 2007).

4]

Besarnya kemampuan kitosan dalam mengikat logam tergantung dari karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi proses isolasi. Perbedaan bentuk kitosan tersebut dipakai bergantung pada aplikasinya dalam berbagai bidang. Semakin kecil ukuran kitosan maka semakin besar luas permukaan kitosan, akibatnya proses adsorpsi semakin baik. Kestabilan gel dipengaruhi oleh konsentrasi, bobot molekul, pH, suhu, polielektrolit dan hidrokoloid lain (Sugita et al. 2009).

dalam bentuk serpih, butir, membran dan gel memiliki kapasitas adsorpsi (mg/g) berturut-turut 0,489; 0,485; 0,016 dan 0,480. Berdasarkan data tersebut, kitosan-GA bentuk serpih memiliki kapasitas adsorpsi yang paling tinggi.

Isoterm Adsorpsi

Proses adsorpsi dapat dipelajari dengan cara membuat salah satu faktornya tetap. Salah satu kondisi yang dapat dipilih ialah isoterm (suhu tetap). Isoterm adsorpsi merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mewakili keadaan kesetimbangan sistem adsorpsi karena dapat memberikan keterangan berguna yang berkaitan dengan adsorbat, adsorben, proses adsorpsi, penentuan luas permukaan adsorben, volume dan distribusi ukuran pori, kalor adsorpsi, serta adsorbilitas relatif gas atau uap pada suatu adsorben. (Sugita et al. 2009)

Persamaan yang sering digunakan untuk menjelaskan adsorpsi isotermal adalah persamaan Langmuir dan Freundlich. Ada tiga pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk menentukan jenis isoterm adorpsi, yaitu pendekatan kinetika, statistika, dan termodinamika. Pada pendekatan kinetika, laju adsorpsi sama dengan laju desorpsi pada saat setimbang, sehingga persamaan kedua laju dalam persamaan isoterm dapat diperoleh. Sementara pada pendekatan secara statistika, tetapan kesetimbangan mewakili perbandingan fungsi permukaan adsorben yang kosong, yang sudah menyerap molekul, dan molekul bebas pada fase bebas. Persamaan isoterm dapat diperoleh dengan menyamakan perbandingan tersebut dan konsentrasi. Sementara pendekatan termodinamika menyatakan bahwa kerja yang dilakukan saat terjadi perpindahan sejumlah kecil gas dari fase gas ke permukaan pada suhu tetap sama dengan nol, atau dapat juga menggunakan persamaan adsorpsi Gibbs (Sugita et al. 2009).

Persamaan Isoterm Langmuir

Isoterm langmuir merupakan isoterm adsorpsi yang pertama dikembangkan secara teoritis sekaligus menjadi dasar bagi banyak persamaan isoterm baru.

(23)

9 Isoterm ini mengasumsikan bahwa adsorbat hanya membentuk lapisan tunggal di atas permukaan adsorben yang homogen. Persamaan Langmuir diperoleh melalui penurunan termodinamik dan statistik, tetapi dibatasi dengan pendekatan kinetik. Pada pendekatan kinetik, kesetimbangan diasumsikan dinamis apabila laju molekul fasa gas atau cairan yang menumbuk permukaan padatan dan berkondensasi pada tempat kosong sama dengan laju molekul yang menguap dari lokasi yang telah terisi. Dengan kata lain seluruh permukaan adsorben mempunyai afinitas yang relatif sama karena laju adsorpsi sama dengan laju desorpsi. Persamaan empiris untuk isoterm Langmuir dituliskan pada Persamaan (1).

𝑞𝑞𝑒𝑒 = 𝑞𝑞𝑚𝑚𝑏𝑏𝐶𝐶𝑒𝑒

1+𝑏𝑏𝐶𝐶𝑒𝑒 (1)

dimana qe adalah jumlah adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/g), Ce adalah konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/L), qm adalah konstanta kapasitas adsorpsi Langmuir (mg/g) dan b adalah konstanta energi adsorpsi Langmuir (L/g).

Persamaan (1) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linier sebagaimana dituliskan pada Persamaan (2).

𝐶𝐶𝑒𝑒 𝑞𝑞𝑒𝑒 = 1 𝑞𝑞𝑚𝑚𝑏𝑏+ 1 𝑞𝑞𝑚𝑚𝐶𝐶𝑒𝑒 (2)

dengan memplotkan nilai Ce terhadap Ce/qe maka dapat ditentukan kostanta qm

dan b untuk setiap kondisi percobaan.

Parameter penting lain dari proses adsorpsi adalah RSF, yang disebut dengan parameter kesetimbangan untuk menentukan menguntungkan atau tidaknya sistem adsorpsi. Persamaan yang digunakan untuk menghitung RSF dituliskan pada Persamaan (3).

𝑅𝑅𝑆𝑆𝑆𝑆 = 1+𝑏𝑏𝐶𝐶1 𝑜𝑜 (3)

dimana Co adalah konsentrasi awal adsorbat (mg/g). Nilai RSF antara 0–1 menunjukkan bahwa sistem adsorpsi menguntungkan. (Wu et al. 2010)

Persamaan Isoterm Freundlich

Isoterm Freundlich adalah bentuk terbatas dari isoterm Langmuir. Pada isoterm Freundlich, adsorpsi terjadi pada lebih dari satu lapisan tunggal (multilayer) dengan permukaan yang heterogen sehingga ikatan masing-masing adsorbat terhadap adsorben berbeda-beda. Persamaan empiris untuk isoterm Freundlich dituliskan pada Persamaan 4:

𝑞𝑞𝑒𝑒 = 𝐾𝐾𝑓𝑓𝐶𝐶𝑒𝑒1/𝑛𝑛 (4)

dimana Kf adalah konstanta kapasitas adsorpsi Freundlich, n adalah konstanta intensitas adsorpsi Freundlich.

(24)

10

Persamaan (4) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linier sebagaimana dituliskan pada Persamaan (5).

Log qe = Log Kf + 1

𝑛𝑛𝐿𝐿𝑜𝑜𝐿𝐿 𝐶𝐶𝑒𝑒 (5)

dengan memplotkan nilai log qe terhadap log Ce maka dapat ditentukan kostanta adsorpsi isoterm Freundlich. (Chalid et. al. 2010)

Kinetika Adsorpsi

Kinetika adsorpsi menyatakan adanya proses penyerapan suatu zat oleh adsorben dalam fungsi waktu. Kinetika adsorpsi dapat dipelajari melalui persamaan kinetika orde pertama semu (Pseudo-first-order) dan orde kedua (second-order). Persamaan Lagergren dapat diterapkan sebagai orde pertama, dengan asumsi jumlah ion logam melebihi jumlah sisi aktif permukaan adsorben. Nilai konstanta rata-rata orde pertama, k1, diperoleh dari Persamaan (7) (Mohan et al. 2006; Fan et al. 2008; Gupta et al. 2008).

𝑑𝑑𝑞𝑞𝑡𝑡

𝑑𝑑𝑡𝑡 = 𝑘𝑘1(𝑞𝑞𝑒𝑒 − 𝑞𝑞𝑡𝑡) (7)

Integrasi persamaan (7) dari qt = 0 pada t = 0 menghasilkan persamaan linier yang dituliskan pada Persamaan (8).

Log (qe-qt) = log qe - 2,303𝑘𝑘1𝑡𝑡 (8)

dimana qe adalah jumlah logam teradsorpsi pada kesetimbangan, qt adalah jumlah logam teradsorpsi pada waktu t dan k1 adalah konstanta laju orde pertama. qe dan k1 dihitung dari intersep dan kemiringan plot kurva linier log (qe-qt) dan t.

Jika validitas kinetika orde pertama semu rendah, maka kinetika adsorpsi dicoba untuk mekanisme orde kedua dengan menggunakan Persamaan (9).

𝑑𝑑𝑞𝑞𝑡𝑡

𝑑𝑑𝑡𝑡 = 𝑘𝑘2(𝑞𝑞𝑒𝑒 − 𝑞𝑞𝑡𝑡)2 (9)

Integrasi persamaan (9) dari qt = 0 pada t = 0 menghasilkan persamaan linier yang dituliskan pada Persamaan (10).

𝑡𝑡 𝑞𝑞𝑡𝑡 = 1 𝑘𝑘2𝑞𝑞𝑒𝑒2+ 1 𝑞𝑞𝑒𝑒𝑡𝑡 (10)

Konstanta laju orde kedua (k2) dan qe dihitung dari kemiringan dan intersep plot linier t/qt terhadap t.

(25)

11

Termodinamika Adsorpsi

Kajian termodinamika adsorpsi sangat penting dilakukan untuk mengidentifikasi proses adsorpsi ditinjau dari aspek energi yang terlibat. Besaran-besaran yang dihitung dalam hal ini adalah energi bebas Gibbs (∆G), perubahan entropi (∆S), perubahan entalpi (∆H), dan energi aktivasi (Ea).

Faktor perubahan entropi dan energi bebas Gibbs harus dipertimbangkan untuk mengetahui kespontanan proses adsorpsi. Parameter perubahan entalpi digunakan untuk dapat mengetahui jumlah kalor yang terlibat dalam proses adsorpsi. Parameter energi aktivasi digunakan untuk dapat mengetahui total energi yang dibutuhkan dalam melakukan proses adsorpsi.

Parameter termodinamika seperti perubahan entalpi, energi bebas Gibbs dan perubahan entropi, dapat diperkirakan menggunakan konstanta kesetimbangan dengan perubahan suhu sebagai variabel bebasnya. Nilai-nilai perubahan energi bebas Gibbs standar untuk proses adsorpsi dievaluasi dengan menggunakan nilai yang diperoleh dari Kd (koefisien distribusi adsorpsi) atau (qe/Ce) pada temperatur yang berbeda. Persamaan yang digunakan untuk menentukan energi bebas Gibbs dituliskan pada Persamaan (11).

∆G = -RT ln Kd (11)

Nilai perubahan entalpi dan perubahan entropi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (12).

Log Kd = ∆𝑆𝑆

2,303𝑅𝑅− ∆𝐻𝐻

2,303𝑅𝑅𝑅𝑅 (12)

Nilai energi aktivasi (Ea) dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (13).

Ln k = Ln A - 𝐸𝐸𝑎𝑎

𝑅𝑅 1

𝑅𝑅 (13)

Persamaan 12 dikenal dengan persamaan Van Hoff dan persamaan 12 dikenal dengan persamaan Arrhenius, dengan R adalah tetapan gas ideal yang bernilai 8,314 JK-1mol-1, Kd adalah koefisien distribusi adsorpsi, T adalah suhu dalam Kelvin (K). Nilai ∆S dan ∆H dihitung dari intersep dan kemiringan persamaan linier Van Hoff antara Log Kd terhadap 1/T, sedangkan nilai energi aktivasi (Ea) dihitung berdasarkan kemiringan dari plot linier persamaan Arrhenius antara ln k terhadap 1/T (Fuziwara et al. 2007).

(26)

12

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan Desember 2013 yang bertempat di Laboratorium Kimia Organik IPB, Laboratorium Bersama IPB, Laboratorium Mineralogi Deptartemen Tanah Faperta IPB, dan Laboratorium Terpadu IPB.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer Serapan Atom (AAS) Model Shimadzu AA 7000, (DTA) dan Thermogravimetric / Differential Thermal Analysis (TG/DTA) Model Shimadzu DTG-60H FC-60A TA-60WS, Spektrometer Fourier Transform Infrared (FTIR) Model Brucker Tensor 37, Spektrofotometer UV-Vis Model Shimadzu, Tanur, Termometer, Water Bath, labu takar, gelas kimia, dan labu erlenmeyer.

Bahan-bahan yang digunakan adalah minyak akar wangi, kitosan (Brataco, derajat deasetilasi = 78%), FeCl3.6H2O, CuSO4.5H2O, HCl, GA, dan aquades.

Metode Penelitian

Tahapan penelitian ini terdiri dari:

1. Analisis kadar ion logam Fe(III) dan Cu(II) dalam minyak akar wangi yang dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 dan 324,7 nm secara berturut-turut.

Hasil analisis ini dijadikan pertimbangan untuk tahapan selanjutnya. Jika di dalam minyak akar wangi terdapat ion logam Fe(III) dan Cu(II) maka kemudian dilanjutkan ke tahap yang berikutnya.

2. Pembuatan serpih kitosan bertaut silang GA dan karakterisasinya yang dilakukan dengan menggunakan FTIR dan DTA/TGA.

Hasil dari percobaan ini berkaitan dengan perbandingan stabilitas termal dan analisis gugus fungsi antara kitosan sebelum dan sesudah ditaut silang dengan GA. Hal ini dapat dijadikan parameter telah terbentuknya kitosan-GA.

3. Optimasi proses adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) yang dilakukan dengan menggunakan metoda batch dengan parameter optimasi adalah waktu kontak, suhu dan bobot adsorben, sedangkan model rancangan percobaan yang digunakan adalah respon permukaan Box Behnken.

Hasil dari tahap ini adalah kondisi optimum adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III). Kondisi optimum ini digunakan dalam percobaan isotermal dan kinetika adsorpsi serta pengaruh logam asing.

4. Percobaan isotermal adsorpsi yang dilakukan adalah penentuan isotermal Langmuir dan Freundlich.

Hasil yang dapat diperoleh dari tahap ini adalah informasi tentang pengaruh konsentrasi awal ion logam terhadap kapasitas adsorpsi dan juga informasi mengenai mekanisme adsorpsi.

5. Percobaan kinetika adsorpsi dilakukan untuk dapat menentukan laju, orde reaksi dan parameter termodinamika proses adsorpsi.

(27)

13 6. Penelitian desorpsi ion Fe(III) oleh HCl.

Hasil dari percobaan ini berkaitan dengan kemampuan adsorben untuk dapat digunakan kembali.

7. Percobaan adsorpsi ion Fe(III) dengan adanya pengaruh ion asing dari Cu(II). Hasil dari percobaan ini berkaitan dengan informasi mengenai kemampuan kitosan-GA dalam menjerap logam Fe(III) dan Cu(II) secara simultan. Awalnya dilakukan simulasi buatan untuk larutan Fe(III) dan Cu(II) dengan perbandingan 50% : 50%. Setelah itu penjerapan logam oleh kitosan-GA diaplikasikan pada minyak akar wangi.

8. Analisis perubahan warna minyak akar wangi sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.

Hasil dari percobaan ini berkaitan dengan informasi mengenai peningkatan mutu dalam hal warna minyak akar wangi.

Analisis Kadar Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi

Sejumlah sampel minyak akar wangi yang berasal dari penyulingan akar wangi di Garut diambil ± 2,5 gram kemudian ditimbang setelah itu ditanur sampai suhu 600 oC selama 5 jam. Abu hasil tanur dilarutkan dengan HCl p.a sebanyak 5 mL kemudian dipanaskan secara hati-hati sampai volume berkurang setengah dari volume awal. Campuran disaring, kemudian filtratnya dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL. Setelah itu dilakukan analisis awal kadar ion Fe(III) dan Cu(II) oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 dan 324,7 nm.

Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya

Pembuatan serpih kitosan bertaut silang glutaraldehida ini dilakukan dengan mengacu kepada metode yang dilakukan oleh Muharam et. al. (2010). Prosedurnya, serpih kitosan ditimbang sebanyak 5 gram kemudian direndam dalam 75 mL glutaraldehida 2,5% sambil diagitasi selama 24 jam pada 220 rpm dan pada suhu kamar. Selanjutnya serpih kitosan-GA dicuci dan dikeringkan pada suhu kamar. Kitosan dan kitosan-GA yang telah terbentuk kemudian dilakukan analisa termal dengan menggunakan DTA/TGA dan analisis gugus fungsi dengan menggunakan FTIR, untuk memastikan kitosan telah tertaut silang dengan GA.

Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA

Proses optimasi dilakukan pada tiga parameter, yaitu waktu kontak, suhu dan bobot adsorben. Prosedurnya, serpih kitosan-GA ditambahkan ke dalam 50 mL larutan Fe(III) 10 ppm yang telah diatur pada pH = 5. Penentuan kondisi pH ini didasarkan kepada hasil penelitian Dai et. al. (2012) yang telah melaporkan bahwa adsorpsi ion logam Fe(II) dan Fe(III) oleh kitosan bertaut silang tiourea mencapai kondisi optimum pada pH = 5. Setelah itu campuran diaduk pada kondisi percobaan sesuai rancangan percobaan Box Behnken. Tabel 4 menunjukkan rancangan percobaan metode respon permukaan Box Behnken. Campuran kemudian disaring dan kadar ion Fe(III) dalam filtrat dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.

(28)

14

Tabel 4. Rancangan percobaan respon permukaan Box Behnken No X1 X2 X3 Waktu (menit) Suhu (o

Bobot Adsorben (g) C) 1 -1 -1 0 30 25 0,75 2 1 -1 0 360 25 0,75 3 -1 1 0 30 45 0,75 4 1 1 0 360 45 0,75 5 -1 0 -1 30 35 0,50 6 1 0 -1 360 35 0,50 7 -1 0 1 30 35 1,00 8 1 0 1 360 35 1,00 9 0 -1 -1 195 25 0,50 10 0 1 -1 195 45 0,50 11 0 -1 1 195 25 1,00 12 0 1 1 195 45 1,00 13 0 0 0 195 35 0,75 14 0 0 0 195 35 0,75 15 0 0 0 195 35 0,75

Percobaan Isotermal dan Kinetika Adsorpsi

Parameter optimal (waktu, suhu, dan bobot adsorben) hasil dari percobaan optimasi digunakan untuk kondisi percobaan isotermal dan kinetika adsorpsi.

Isotermal adsorpsi

Kitosan-GA ditambahkan ke dalam 50 mL larutan Fe(III) dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 mg/L, kemudian diaduk pada kondisi optimal. Selanjutnya kitosan-GA disaring dan kadar ion Fe(III) dalam filtrat dianalisis oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.

Kinetika adsorpsi

Percobaan pengaruh konsentrasi awal larutan Fe(III) terhadap kinetika adsorpsi dilakukan sebagai berikut: kitosan-GA masing-masing ditambahkan ke dalam 50 mL larutan Fe(III) dengan konsentrasi 10 dan 30 mg/L kemudian diaduk pada kondisi optimal. Pada selang waktu 150 menit setiap 30 menit diambil 10 mL aliquot. Selanjutnya kadar ion Fe(III) dalam aliquot dianalisa oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.

Percobaan pengaruh suhu terhadap kinetika adsorpsi dilakukan dengan cara menambahkan kitosan-GA ke dalam dua wadah yang berisi 50 mL larutan Fe(III) dengan konsentrasi 30 mg/L, kemudian diaduk pada kondisi optimal dengan suhu 25 oC dan 45 oC untuk masing-masing wadah. Pada selang waktu 150 menit setiap 30 menit diambil 10 mL aliquot. Selanjutnya kadar ion Fe(III) dalam setiap aliquot dianalisis oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.

(29)

15

Percobaan Desorpsi ion Fe(III) dari Kitosan-GA

Kitosan-GA dimasukkan ke dalam 50 mL larutan Fe(III) 10 mg/L sambil diaduk pada kondisi optimal. Kitosan-GA yang mengandung ion Fe(III) disaring dan dikeringkan. Kadar ion Fe(III) dalam filtrat dianalisis oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Selisih antara kadar ion Fe(III) mula-mula dengan hasil analisis kadar ion Fe(III) dalam filtrat ditetapkan sebagai jumlah ion Fe(III) awal yang ada dalam kitosan-GA.

Uji desorpsi dilakukan dengan pengadukan sejumlah kitosan-GA-Fe pada 100 mL larutan asam klorida (HCl) 0,1 M pada suhu kamar selama 2,5 jam dan setiap 30 menit diambil 10 mL aliquot. Selanjutnya terhadap setiap aliquot dilakukan analisis kadar ion Fe(III) oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.

Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi Ion Fe(III)

Percobaan pengaruh ion Cu(II) terhadap adsorpsi ion Fe(III) ini dilakukan dengan dua kondisi. Kondisi yang pertama adalah kondisi buatan dan yang kedua adalah kondisi alami. Kondisi buatan yang dimaksud adalah pembuatan larutan sampel yang berisi ion Fe(III) dan ion Cu(II) dengan perbandingan konsentrasi 50% : 50%. Sedangkan kondisi alami yang dimaksud adalah aplikasi kitosan-GA terhadap minyak akar wangi.

Uji pengaruh ion asing ini dilakukan dengan pengadukan sejumlah kitosan-GA pada 50 mL larutan sampel kondisi buatan dan alami pada suhu kamar selama 6 jam. Selanjutnya kitosan-GA disaring dan kadar Fe dan Cu dalam filtrat dianalisa oleh spektrofotometer serapan atom dengan cara yang sama seperti pengukuran kadar logam awal.

Analisis Perubahan Warna Minyak Akar Wangi (SNI 2006)

Analisis perubahan warna minyak akar wangi ini dilakukan dengan cara memasukkan ± 5 mL minyak akar wangi sebelum dan sesudah perlakuan ke dalam tabung reaksi. Kedua tabung disandarkan pada kertas atau karton berwarna putih, dan diamati warnanya dari jarak 30 cm.

(30)

16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Awal Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi

Sampel minyak akar wangi diperoleh dari salah satu penyulingan di Kab. Garut. Analisis kadar ion Fe(III) dan Cu(II) dalam minyak akar wangi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS) pada panjang gelombang 248,3 dan 324,7 nm secara berturut-turut. Hasilnya didapat bahwa sampel minyak akar wangi mengandung ion logam Fe(III) sebesar 2,1724 ppm dan ion logam Cu(II) sebesar 0,3937 ppm.

Kontaminasi ion Fe(III) dan Cu(II) ini diduga berasal dari mineral dalam tanah, alat penyulingan, serta drum penyimpanan minyak akar wangi. Supriyanto dan Zainul (2006) telah melaporkan bahwa kandungan besi dan tembaga dalam tanah dapat mencapai 360,59 dan 0,355 ppm secara berturut-turut. Unsur besi dan tembaga termasuk ke dalam golongan unsur hara mikro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman. Tanaman dapat menyerap unsur logam ini berupa ion atau senyawa kompleks. Unsur ini sangat berperan dalam proses metabolisme dalam tanaman. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kontaminasi ion Fe(III) dan Cu(II) pada minyak akar wangi sebagian berasal dari tanah.

Alat penyulingan dan penyimpanan minyak akar wangi terbuat dari logam yang mengandung unsur besi dan tembaga. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa selama proses penyulingan dan penyimpanan, terjadi reaksi pembentukan senyawa kompleks antara ion logam dengan komponen-komponen senyawa organik dalam minyak akar wangi.

Hasil Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya

Hasil pembuatan serpih kitosan-GA dari setiap proses dihomogenisasi terlebih dahulu sebelum dilakukan karakterisasi. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dapat mewakili seluruh kitosan-GA yang dihasilkan dari setiap proses pembuatannya. Gambar 5 menunjukkan kitosan-GA yang dihasilkan setelah dihomogenisasi.

(31)

17 Setelah itu, kitosan dan kitosan-GA hasil sistesis tersebut di analisis gugus fungsinya dengan menggunakan FTIR. Analisis gugus fungsi kitosan dan kitosan-GA dilakukan untuk dapat mengetahui keberhasilan sintesis kitosan-kitosan-GA.

Spektrum FTIR dari kitosan dan kitosan-GA ditampilkan pada Gambar 6. Puncak serapan yang dapat ditandai untuk kitosan dan kitosan-GA berdasarkan hasil analisis FTIR disajikan pada Tabel 5.

Gambar 6 Spektrum IR Kitosan (hitam) dan Kitosan-GA (merah)

Tabel 5 Analisis gugus fungsi kitosan dan kitosan-GA berdasarkan spektrum IR

No Bilangan gelombang (cm

-1

Vibrasi Ulur )

Literatur (Pavia et al. 2001) Kitosan Kitosan-GA

1 3400-3200 (O-H) 3500-3100 (N-H) 3427,97 3431,01 N-H dan O-H (Overlap) 2 3000-2850 2924,59 2926,65 C-H 3 1690-1650 - 1654,10 C=N 4 1300-1000 1045,94 1079,25 C-O

Hasil analisis gugus fungsi yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan spektrum IR antara kitosan dan kitosan yang telah tertaut silang GA. Bilangan gelombang untuk vibrasi ulur gugus O-H, C-H, dan C-O terlihat bergeser ke bilangan gelombang yang lebih tinggi. Pergeseran bilangan gelombang ini disebabkan adanya tautan silang yang sudah terbentuk antara polimer kitosan. Tautan silang ini menyebabkan pergerakan molekul menjadi lebih terbatas, sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk melakukan vibrasi. Besaran energi dan bilangan gelombang berbanding lurus, sesuai dengan persamaan : E = hc𝜐𝜐̅. Sehingga jika bilangan gelombangnya lebih besar, maka artinya energinya pun lebih besar.

Tautan silang yang terjadi antara kitosan dan GA menyebabkan terbentuknya ikatan baru, yaitu ikatan C=N. Hal ini dapat dibuktikan dengan

(32)

18

munculnya puncak serapan pada bilangan gelombang 1654,10 cm-1 yang merupakan vibrasi regangan C=N. Hal serupa juga telah dilakukan oleh Bin et. al.

(2013) yang telah melaporkan bahwa terdapat puncak serapan pada bilangan gelombang 1659 cm-1

Analisis termal kitosan dan kitosan-GA dilakukan untuk dapat mengetahui seberapa besar pengaruh suhu terhadap kestabilan zat. Analisis termal dilakukan dengan menggunakan TG/DTA. Hasil pengujian TG/DTA untuk kitosan dan kitosan-GA ditampilkan pada Gambar 7.

yang ditandai sebagai vibrasi regangan C=N (basa Schiff) pada kitosan-GA.

Gambar 7 Termogram DTA / TGA Kitosan (hitam) Kitosan-GA (merah) Berdasarkan termogram TGA dari kitosan dan kitosan-GA pada Gambar 7, secara umum diperoleh tiga kurva miring yang menunjukkan adanya perubahan massa. Kalor yang terlibat pada setiap proses perubahan massa tersebut dapat diketahui dari termogram DTA. Hasil analisis TGA dan DTA dari kitosan dan kitosan-GA dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Analisis TGA dan DTA dari kitosan dan kitosan-GA

Kurva miring Pengurangan bobot Proses Rentang Suhu Kitosan Rentang Suhu Kitosan-GA I 40-230 3,8 mg 40-240 3,0 mg Endoterm II 230-330 11,5 mg 240-340 10,5 mg Eksoterm III 330-400 14,1 mg 340-400 12,5 mg Eksoterm

Kurva miring I terjadi pada rentang suhu 40-230 oC untuk kitosan dan 40 -240 oC untuk kitosan-GA. Pada kurva miring I ini proses yang terjadi adalah dehidrasi atau lepasnya molekul air yang terdapat baik dalam kitosan maupun

(33)

19 kitosan-GA. Proses dehidrasi ini merupakan proses endoterm yang ditunjukkan oleh munculnya puncak ke bawah termogram DTA. Selain itu, berdasarkan termogram TGA dapat diketahui bahwa pengurangan bobot kitosan lebih besar daripada kitosan-GA. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kitosan yang digunakan lebih banyak menyimpan molekul air dibandingkan dengan kitosan-GA.

Kurva miring II terjadi pada rentang suhu 230-330 oC untuk kitosan dan 240-340 oC untuk kitosan-GA. Pada kurva miring II ini proses yang terjadi adalah pemutusan ikatan C-N yang bersifat eksoterm karena terbentuk puncak pada termogram DTA. Hal ini didasarkan kepada nilai energi ikatan rata-rata yang kecil untuk ikatan C-N, yaitu sebesar 73 kkal/mol sehingga mudah diputuskan. Pada kitosan, ikatan C-N yang terjadi adalah antara atom karbon dengan gugus amina (R-NH2), sedangkan pada kitosan-GA sebagian gugus amina pada kitosan sudah tertaut silang dengan GA membentuk imina (basa Schiff). Ikatan C-N pada imina jauh lebih kuat disebabkan karena adanya dorongan elektron dari alkil pada GA. Hal ini menyebabkan dekomposisi kitosan-GA pada tahap ini dimulai dan diakhiri pada suhu yang lebih tinggi. Asumsi ini diperkuat oleh hasil penelitian Jiao et. al.

(2011) yang menyatakan bahwa pada rentang suhu 214,3-351,3 o Kurva miring III terjadi pada rentang suhu 330-400

C terjadi dekomposisi basa Schiff yang prosesnya melepaskan kalor (eksoterm).

o

C untuk kitosan dan 340-400 oC untuk kitosan-GA. Pada kurva miring III ini proses yang terjadi adalah pemutusan ikatan C-C (degradasi dari unit-unit kitosan). Proses ini pun merupakan proses eksoterm yang ditunjukkan oleh kurva DTA yang nilainya berada di atas 0 µV. Asumsi ini pun diperkuat oleh hasil penelitian Jiao et. al.

(2011) yang menyatakan bahwa pada rentang suhu 351,3-600 o

Analisis TGA menunjukkan bahwa total pengurangan bobot kitosan-GA lebih kecil dibandingkan dengan kitosan. Sedangkan analisis pergeseran suhu dekomposisi menunjukkan bahwa kitosan-GA mulai terdekomposisi pada suhu yang lebih tinggi. Berdasarkan kepada kedua analisis ini maka dapat disimpulkan bahwa kitosan-GA lebih stabil secara termal dibandingkan dengan kitosan.

C terjadi dekomposisi kerangka kitosan.

Hasil Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA

Optimasi adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA telah dilakukan dengan menggunakan tiga variabel bebas, yaitu bobot adsorben, suhu, dan waktu kontak, sedangkan yang dijadikan variabel terikat atau responnya adalah konsentrasi ion Fe(III) pada kesetimbangan dalam adsorben. Hasil pengukuran responnya disajikan pada Tabel 7.

Analisis yang dilakukan terhadap data respon surface tersebut meliputi analisis perkiraan koefisien regresi dan analisis variansi. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan software MINITAB

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA mengikuti pola linier, kuadrat, dan interaksi. Hal ini didasarkan kepada besarnya nilai P (P-value 0,000) yang lebih kecil dari nilai signifikansinya

(α = 0,050). Jika variabel waktu, suhu, bobot adsorben, dan respon disimbolkan

sebagai X

14 yang hasilnya disajikan pada Lampiran 2.

(34)

20

perkiraan koefisien regresi dapat disimpulkan model respon surface mengikut i persamaan:

Y = - 1,99638 + 0,01798X1 + 0,11063X2 + 5,93142X3 - 0,00001X12 - 0,00218X22 - 2,38960X32 + 0,00001X1X2 - 0,01070X1X3 + 0,03558 X2X3

Tabel 7 Hasil pengukuran respon surface Box Behnken dari adsorpsi ion Fe(III) oleh Kitosan-GA

No Waktu (menit) Suhu (o Bobot C) Adsorben (g) [Fe] (ppm)

Awal Larutan Adsorben

1 360 35 0,50 9,9815 0,9981 8,9834 2 30 25 0,75 9,9815 2,7524 7,2291 3 30 35 1,00 9,9815 1,5421 8,4394 4 195 35 0,75 9,9815 1,1927 8,7888 5 360 35 0,50 9,9815 0,9878 8,9937 6 30 45 0,75 9,9815 2,8423 7,1392 7 195 35 0,75 9,9815 1,2081 8,7734 8 195 25 0,50 9,9815 1,4243 8,5572 9 30 35 0,50 9,9815 3,4234 6,5581 10 195 35 0,75 9,9815 1,1834 8,7981 11 360 35 1,00 9,9815 0,8213 9,1602 12 195 45 0,50 9,9815 2,0821 7,8994 13 195 45 1,00 9,9815 1,4344 8,5471 14 360 45 0,75 9,9815 0,8182 9,1633 15 195 25 1,00 9,9815 1,2174 8,7641 16 30 45 0,75 9,9815 2,7324 7,2491 17 195 35 0,75 9,9815 1,2132 8,7683 18 195 45 0,50 9,9815 2,1233 7,8582 19 30 35 1,00 9,9815 1,5314 8,4501 20 360 35 1,00 9,9815 0,8102 9,1713 21 360 25 0,75 9,9815 0,8141 9,1674 22 195 35 0,75 9,9815 1,1989 8,7826 23 360 45 0,75 9,9815 0,8234 9,1581 24 195 25 0,50 9,9815 1,5332 8,4483 25 195 35 0,75 9,9815 1,2022 8,7793 26 195 45 1,00 9,9815 1,5211 8,4604 27 30 25 0,75 9,9815 2,6123 7,3692 28 30 35 0,50 9,9815 3,5341 6,4474 29 360 25 0,75 9,9815 0,8033 9,1782 30 195 25 1,00 9,9815 1,2018 8,7797

Berdasarkan nilai R-Sq (adj) yang terdapat pada Lampiran 2 maka dapat disimpulkan bahwa model memprediksi variabel bebas yang berpengaruh

(35)

21 terhadap respon sebesar 94,8%. Besarnya pengaruh dari interaksi antara dua variabel bebas terhadap respon disajikan dalam bentuk kontur pada Gambar 8.

Gambar 8 Kontur Respon Surface adsorpsi ion Fe(III) oleh serpih kitosan-GA Gambar 8a dan 8c menunjukkan bahwa secara umum respon akan meningkat apabila waktu kontak semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa waktu kontak sangat berpengaruh terhadap jumlah ion logam Fe(III) yang terikat pada kitosan-GA. Semakin lama waktu kontak maka jumlah ion logam Fe(III) yang teradsorpsi juga semakin banyak sampai tercapai kesetimbangan.

Variabel bebas yang lain adalah suhu. Gambar 8a dan 8b menunjukkan bahwa secara umum daerah respon optimal dihasilkan pada suhu sekitar 30–35 oC. Peningkatan suhu memang dapat meningkatkan laju adsorpsi, namun pada suhu tinggi dapat terjadi kerusakan gugus fungsi yang menyebabkan berkurangnya pusat aktif adsorpsi sehingga semakin sedikit ion logam yang dapat dijerap. Jika proses adsorpsi diaplikasikan pada minyak akar wangi maka sebaiknya suhu yang digunakan adalah pada 25 oC. Hal ini dilakukan karena jika suhu dinaikkan, maka dikhawatirkan akan ada komponen minyak yang menguap. Gambar 8a menunjukkan bahwa pada suhu 25 oC, respon optimal dapat dicapai pada waktu kontak sekitar 280–360 menit. Sedangkan Gambar 8b menunjukkan bahwa pada suhu 25 o

Berdasarkan kepada Gambar 8b dan 8c, secara umum respon optimum dicapai pada bobot adsorben sekitar 0,7–0,8 gram. Semakin besar bobot kitosan-GA artinya semakin banyak gugus amina dan hidroksi dari kitosan-kitosan-GA sebagai pusat aktif adsorpsi sehingga semakin banyak ion logam Fe(III) yang dapat dijerap. Namun, pada bobot kitosan-GA sekitar 0,8–1,0 gram ternyata respon C, respon optimal dapat dicapai pada bobot adsorben sekitar 0,9–1,0 gram.

(36)

22

menjadi turun. Hal ini disebabkan karena pengaruh suhu yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Berdasarkan hasil percobaan respon surface Box Behnken ini diambil keputusan untuk menggunakan kondisi: bobot adsorben 0,75 gram, suhu 25 oC, dan waktu kontak 360 menit. Keputusan ini diambil karena adsorpsi ion logam Fe(III) oleh kitosan-GA pada kondisi ini menghasilkan persen adsorpsi yang paling besar yaitu sebesar 91,9521%.

Hasil Percobaan Isotermal Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA

Penentuan isotermal adsorpsi dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi awal ion logam terhadap jumlah ion logam yang diadsorpsi oleh adsorben pada kondisi optimum serta interaksi yang terjadi antara adsorben dengan adsorbat. Data hasil percobaan isotermal adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 9 menunjukkan hubungan antara kapasitas adsorpsi dengan konsentrasi awal ion Fe(III). Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa pada awalnya kurva terlihat naik secara signifikan kemudian cenderung konstan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi Fe(III) meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal Fe(III). Hal ini dapat dipahami dengan konsep bahwa jika konsentrasi adsorbat meningkat maka jumlah ion Fe(III) yang berinteraksi semakin bertambah pada tahap awal dan selanjutnya akan cenderung konstan karena permukaan kitosan-GA sudah mulai mengalami kejenuhan.

Gambar 9 Kurva hubungan antara kapasitas adsorpsi dengan konsentrasi awal ion Fe(III)

Analisis isotermal adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dilakukan dengan menggunakan dua model, yaitu model Langmuir dan Freundlich. Analisis model Langmuir dan Freundlich dilakukan dengan membuat persamaan garis linear antara Ce terhadap Ce/qe untuk model Langmuir dan Log Ce terhadap Log qe untuk model Freundlich. Data hasil analisis isoterm Langmuir dan Freundlich disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan data yang terdapat pada Lampiran 4, kemudian dibuat kurva isotermal Langmuir dan Freundlich yang disajikan pada Gambar 10a dan 10b secara berturut-turut.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 10 20 30 40 50 60 qe (m g/ g) Co (mg/L)

(37)

23

Gambar 10 Kurva Adsorpsi Isotermal Langmuir (a) dan Freundlich (b) Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA

Nilai parameter isotermal (qm, b, RSF, Kf, dan n) dapat ditentukan berdasarkan persamaan garis yang diperoleh dari kurva adsorpsi isotermal Langmuir dan Freundlich. Tabel 8 menunjukkan nilai parameter isotermal adsorpsi Langmuir dan Freundlich yang perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 8 Parameter isotermal adsorpsi Langmuir dan Freundlich Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA

Langmuir Freundlich

RSF

qm B R2 Kf N R2

1,7671 0,44097 0,9887 0,7418 3,9777 0,9994 0,0434

Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa nilai R2 model Freundlich lebih besar dibandingkan dengan model Langmuir. Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich didasarkan pada asumsi (1) terbentuknya adsorpsi beberapa lapisan (multilayer) dari molekul-molekul adsorbat pada adsorben, (2) bagian tapak aktif pada permukaan adsorben bersifat heterogen, dan (3) hanya melibatkan gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben (Atkins 1996). Penelitian lain dilakukan oleh Muharam et al. (2010) yang telah melaporkan bahwa penggunaan serpih kitosan-GA untuk adsorpsi ion Au(CN)4

-Parameter lain yang berhubungan dengan proses adsorpsi adalah R

juga mengikuti model isotermal Freundlich. Penggunaan kitin untuk adsorpsi ion logam Fe(III) juga mengikuti model isotermal Freundlich (Kartikeyan et. al. 2005). Adsorpsi ion logam Fe(III) oleh batang zaitun juga mengikuti model isotermal Freundlich (Zaid dan Mohammed 2008).

SF. RSF ini merupakan faktor separasi yang menyatakan bahwa jika nilai RSF > 1 maka proses adsorpsi tidak menguntungkan; jika nilai RSF = 1 maka proses adsorpsinya linier; jika nilai 0 < RSF < 1 maka proses adsorpsi menguntungkan dan terakhir jika RSF = 0 maka proses adsorpsi tidak dapat balik (irreversible). Tabel 8

y = 0.565x + 1.283 R² = 0.988 0 5 10 15 20 0 10 20 30 Ce / qe Ce a) y = 0.251x - 0.129 R² = 0.999 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 -1.0 0.0 1.0 2.0 Lo g qe Log Ce b)

(38)

24

menunjukkan bahwa nilai RSF untuk proses adsorpsi Fe(III) oleh kitosan-GA berada pada rentang nilai 0 < RSF < 1. Hal ini menunjukkan proses adsorpsinya menguntungkan karena dapat dilakukan proses desorpsi (Ho 2003). Proses desorpsi dapat terjadi karena interaksi yang terjadi antara ion logam Fe(III) dan kitosan-GA adalah interaksi fisik dengan menggunakan gaya Van der Waals. Gaya Van der Waals merupakan gaya antar molekul yang interaksinya relatif lemah sehingga mudah diputuskan.

Hasil Percobaan Kinetika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA Pengaruh Konsentrasi

Kinetika adsorpsi menjelaskan laju pengambilan zat terlarut oleh adsorben selama penjerapan berlangsung. Gambar 11 menunjukkan hubungan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak pada dua kondisi konsentrasi awal yang berbeda. Data untuk Gambar 11 terdapat pada Lampiran 6. Berdasarkan Gambar 11 tersebut terlihat bahwa kapasitas adsorpsi meningkat secara signifikan setelah 30 menit baik pada larutan dengan konsentrasi awal ion Fe(III) 10 ppm maupun 30 ppm. Kemudian kapasitas adsorpsi naik secara perlahan setelah 60–150 menit. Kenaikan secara perlahan ini menunjukkan telah tercapainya kejenuhan adsorpsi.

Hal lain yang dapat dijelaskan adalah pengaruh konsentrasi awal terhadap kapasitas adsorpsi. Berdasarkan kepada Gambar 11, dapat disimpulkan bahwa nilai kapasitas adsorpsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal ion Fe(III). Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi maka interaksi ion Fe(III) dengan kitosan-GA semakin besar.

Gambar 11 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak pada dua kondisi konsentrasi awal ion Fe(III) 10 dan 30 ppm.

Mekanisme kinetika yang mengendalikan proses adsorpsi dapat dievaluasi oleh analisis model kinetika orde pertama semu dan orde kedua. Model kinetika adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13 serta parameter kinetika yang ditentukan dari kemiringan dan intersep berdasarkan persamaan 8 dan 10 disajikan pada Tabel 9. Data analisis serta perhitungan parameter kinetika adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 30 60 90 120 150 180 kap asi tas ad so rp si (m g/ g) Waktu (menit) 10 ppm 30 ppm

(39)

25

Gambar 12 Plot kinetika orde pertama semu adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm

Gambar 13 Plot kinetika orde kedua adsorpsi ion Fe(III) oleh

kitosan-GA pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm Tabel 9 Perbandingan konstanta laju orde pertama semu dan orde kedua serta

nilai qe Model kinetika

hasil perhitungan dan percobaan Parameter Kinetika [Fe]o (ppm) 10 30 Kinetika orde pertama semu k1 (menit-1) 0,0170 0,0267 qe hitung (mg/g) 0,1835 0,7520 R2 0,8559 0,8885 Kinetika orde kedua k2 (g mg-1 menit-1) 0,1430 0,0398 qe hitung (mg/g) 0,5354 0,9536 R2 0,9943 0,9949 qe percobaan (mg/g) 0,5016 0,8157 Keterangan [Fe]o q

: Konsentrasi ion Fe(III) awal e

k

: Kapasitas adsorpsi ion Fe(III) dalam kesetimbangan 1

k

: Konstanta laju orde pertama semu 2

R

: Konstanta laju orde kedua 2 : Koefisien korelasi -2 -1.5 -1 -0.5 0 0 20 40 60 80 100 120 140 Lo g ( qe -qt ) Waktu (menit) 10 ppm 30 ppm 0 50 100 150 200 250 300 350 0 50 100 150 200 t/ qt Waktu (menit) 10 ppm 30 ppm

(40)

26

Berdasarkan Tabel 9, nilai koefisien korelasi orde kedua lebih besar daripada orde pertama semu. Selain itu, nilai qe hitung untuk orde kedua lebih mendekati kepada nilai qe hasil percobaan. Sehingga pada penelitian ini mekanisme adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dikendalikan oleh model kinetika orde kedua. Model kinetika orde kedua ini didasarkan kepada asumsi bahwa jumlah ion logam tidak melebihi jumlah tempat adsorpsi di permukaan adsorben, sehingga penambahan konsentrasi awal ion logam mempengaruhi kinetika secara konstan dari proses adsorpsi (Chen et al. 2008). Penelitian lain menyebutkan bahwa penggunaan kitosan bertaut silang tiourea sebagai adsorben untuk menjerap ion logam Fe(II) dan Fe(III) juga mengikuti kinetika orde kedua (Dai et al. 2012).

Pengaruh Suhu

Pengaruh suhu pada kinetika adsorpsi Fe(III) oleh serpih kitosan-GA yang diteliti menggunakan konsentrasi Fe(III) awal 30 ppm dan variasi suhu 25 oC dan 45 oC ditunjukkan oleh Gambar 14 (Lampiran 9). Hasilnya menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi pada suhu 45 oC awalnya lebih tinggi (pada t = 30 menit) kemudian lebih rendah jika dibandingkan dengan yang larutan yang dikondisikan pada suhu 25 oC. Peningkatan suhu artinya sistem diberikan energi sehingga kation-kation dalam larutan bergerak lebih cepat. Proses adsorpsi pun kecepatannya menjadi lebih besar sehingga kapasitas adsorpsi meningkat pada waktu 30 menit. Pada menit berikutnya terlihat kapasitas adsorpsi pada suhu 45 oC lebih rendah daripada larutan dengan suhu 25 oC. Hal ini menunjukkan bahwa proses adsorpsi berlangsung eksotermis atau melepaskan kalor. Kalor yang dilepaskan ini menyebabkan kelarutan ion logam bertambah sehingga jumlah ion logam yang menempel pada adsorben menjadi berkurang.

Gambar 14 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dengan waktu kontak pada dua kondisi suhu 25 oC dan 45 oC Berdasarkan percobaan kinetika sebelumnya diketahui bahwa proses adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA mengikuti model kinetika orde kedua. Oleh karena itu model tersebut juga digunakan untuk menginterpretasikan data kinetika adsorpsi yang dipengaruhi oleh suhu yang disajikan pada Gambar 15 (Lampiran 10). 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0 50 100 150 200 Kap asi tas A dso rp si (m g/ g) Waktu (menit) T = 25 oC T = 45 oC = 25 oC = 45 oC

Gambar

Gambar 4 Reaksi penautsilangan kitosan dengan glutaraldehida
Tabel 4. Rancangan percobaan respon permukaan Box Behnken  No  X 1 X 2 X 3 Waktu (menit)  Suhu ( o Bobot Adsorben
Gambar 5 Kitosan-GA setelah dihomogenisasi
Gambar 6 Spektrum IR Kitosan (hitam) dan Kitosan-GA (merah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selama melakukan kegiatan kerja praktik pada Baitul Mal Aceh, penulis ditempatkan pada bidang pengawasan dan juga di bagian counter. Selama ditempatkan pada bidang

Observasi merupakan penelitian dan melakukan pencatatan yang terstruktur dan terorganisir terhadap fakta dan permasalahan yang diteliti. Observasi dapat dilakukan secara

Tabel 5. Maka dilakukan  penggabungan sel untuk kembali di uji dengan uji chi-square. Peneliti memutuskan untuk menggabungkan kelompok tingkat stres ringan dengan kelompok

Opportunities) dan level Sigma. Ketika diterapkan Six Sigma, diharapkan kinerja proses mencapai 6 Sigma, dimana tingkat kegagalannya adalah 3, 4 kegagalan per satu

Berdasarkan hasil wawancara dan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti bahwa wali nikah anak temuan menurut tokoh masyarakat desa Gumelar yang berhak menjadi wali

Oleh yang demikian, peristiwa bahasa semasa majlis berlangsung seperti penggunaan bahasa santun dalam majlis dan tingkah laku santun seperti, manis muka atau senyum,

(1) Pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, apabila pegawai