• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

Rendemen ekstrak etanol:air (1:1) daun kari yang didapat setelah dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotavavor adalah 19,2%. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ningappa et al. (2008) yaitu sebesar 12%. Hal ini disebabkan oleh modifikasi metode maserasi yang dilakukan yang meliputi lama ekstraksi, jumlah pelarut yang digunakan, dan cara ekstraksi yang dilakukan, yaitu dilakukan secara bertingkat dan dengan bantuan shaker orbital dengan

Tabel 1 Uji fitokimia ekstrak etanol:air (1:1) daun kari (Murraya koenigii)

Uji Hasil Alkaloid +++ Flavonoid - Fenolik - Saponin ++++ Steroid +++ Tanin ++++ Triterpenoid - Keterangan :

Tanda (-) : Tidak terdeteksi Tanda (+) : Adanya intensitas reaksi Alkaloid : Sedikit endapan (+) sampai banyak endapan (++++) Flavonoid : Merah (+) sampai merah tua (++++)

Fenolik : Merah (+) sampai merah tua (++++)

Saponin : Sedikit busa (+) sampai busa melebihi larutan (++++) Steroid : Hijau muda (+) sampai hijau tua (++++)

Tanin : Hijau (+) sampai hijau kehitaman (++++)

Triterpenoid : Merah (+) sampai merah tua (++++)

kecepatan putar 250 rpm sehingga proses ekstraksi berlangsung optimal dan ekstrak yang didapat menjadi lebih banyak. Sedangkan proses ekstraksi oleh Ningappa hanya dilakukan melalui satu tahap ekstraksi.

Tabel 1 menunjukkan hasil uji fitokimia ekstrak etanol:air (1:1) daun kari. Berdasarkan hasil hasil tersebut, ekstrak etanol:air (1:1) daun kari menunjukkan adanya kandungan alkaloid, Saponin, steroid, dan tanin. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kong et al. (1986); Tee & Lim (1991); Ramsewak et al.

(1999); Tachibana et al. (2001); Nakahara et al. (2002); dan Palaniswamy (2003). Berdasarkan uji secara in vitro yang dilakukan oleh Ningappa et al. (2008), menyatakan bahwa ekstrak etanol:air (1:1) daun kari mengandung senyawa antioksidan yang merupakan golongan senyawa polifenol.

Menurut Winarti & Nurdjanah (2005), Senyawa fitokimia merupakan senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman dan memiliki peranan yang sangat penting bagi kesehatan dan pencegahan terhadap beberapa penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang bersifat antioksidan aktif diketahui memiliki fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, sulfida,

dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak terkandung dalam sayuran, tanaman rempah dan tanaman obat. Menurut Craig (1999), diet yang menggunakan rempah- rempah dalam jumlah banyak sebagai penyedap makanan dapat menyediakan berbagai komponen aktif fitokimia yang bermanfaat menjaga kesehatan dan melindungi tubuh dari penyakit kronis.

Keadaan Hewan Coba Selama Perlakuan

Selama perlakuan secara in vivo, salah satu syarat pada perlakuan hewan coba adalah kondisi hewan harus dalam keadaan sehat. Beberapa parameter yang mudah diamati untuk mengetahui kesehatan hewan coba adalah dengan mengamati peningkatan bobot badan dan konsumsi pakan (Lu 2006). Kondisi tikus yang sehat ini menjadi faktor yang penting karena dapat memperkecil nilai galat percobaan yang terukur ketika memasuki tahap percobaan.

Gambar 4 menunjukkan grafik bobot badan (BB) hewan coba selama perlakuan. Pada gambar terlihat jelas bahwa kelompok normal terjadi peningkatan BB tikus yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang lain. Fluktuasi pada BB tikus yang terjadi disebabkan oleh nafsu makan yang berbeda-beda antar satu tikus dengan tikus yang lain. Disamping itu, hal ini disebabkan oleh tikus dipuasakan selama 24 jam sebelum pengambilan darah sehingga terjadi penurunan BB yang cukup drastis. Kelompok KN menunjukkan peningkatan BB terendah jika dibandingkan dengan kelompok yang lain. Hal ini disebabkan oleh salah satu efek pemberian parasetamol yang dapat menurunkan nafsu makan. Menurut Gan (1980), toksisitas parasetamol dapat menimbulkan gejala-gejala anoreksia, mual, muntah, serta sakit perut yang terjadi dalam 24 jam pertama, dan dapat berlangsung terus menerus selama seminggu atau lebih. Gejala- gejala inilah yang menyebabkan menurunnya nafsu makan yang berpengaruh terhadap BB hewan coba.

Secara keseluruhan, pada semua kelompok terjadi peningkatan BB hewan coba (Tabel 2). Peningkatan ini disebabkan oleh kondisi tikus yang masih berada dalam tahap pertumbuhan (<6 bulan). Peningkatan BB yang paling tinggi ditunjukkan oleh kelompok Normal, yaitu 18,88%. Sedangkan peningkatan terendah ditunjukkan oleh kelompok KN, yaitu 7,97%. Sedangkan pada kelompok KP dan kelompok perlakuan dosis 200 dan dosis 300 terjadi peningkatan bobot tikus secara

12

berturut-turut yaitu sebesar 13,42%, 11.81%, dan 12,31%.

Gambar 4 Bobot badan hewan coba selama perlakuan

Tabel 2 Peningkatan bobot badan hewan coba selama perlakuan

Kelompok Bobot (g) Peningkatan (%) awal akhir Normal 232,0 275,8 18,88 KN 238,4 257,4 7,97 KP 228,0 258,6 13,42 ED 200 230,4 257,6 11,81 ED 300 234,0 262,8 12,31

Keadaan Hewan Coba Sebelum Perlakuan

Pada hari ke-0 (setelah tikus diadaptasikan/aklimatisasi selama 14 hari), dilakukan analisis serum pada kelima kelompok perlakuan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keadaan normal aktivitas enzim ALT dan AST sebelum perlakuan yang kemudian akan dijadikan keadaan populasi normal. Aktivitas enzim dinyatakan dalam satuan U/L yang berarti bahwa satu unit aktivitas enzim transaminase setara dengan 1 µmol piruvat dan oksaloasetat yang dihasilkan per menit pada kondisis perlakuan. Hasil uji aktivitas enzim ALT dan AST pada hari ke-0 menunjukkan hasil yang seragam dengan rataan aktivitas enzim ALT sebesar 1,96 ± 0,82 U/L dan rataan aktivitas enzim AST sebesar 1,84 ± 0,33 U/L (Tabel 3). Nilai tersebut berada pada kisaran yang sangat rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Cabaud (1956), yang menyatakan bahwa aktivitas normal enzim ALT berada pada kisaran 1 – 45 U/L dan aktivitas normal enzim AST berada pada kisaran 4 – 40 U/L. Hal ini menunjukkan bahwa pada hari ke-0 tikus pada semua kelompok percobaan berada pada kisaran normal sehingga dapat disimpulkan bahwa semua tikus dalam kondisi sehat dan tidak terjadi kerusakan pada organ hati.

Aktivitas enzim ALT dan AST tersebut, jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Adji (2004) dan Marliana (2005) menunjukkan hasil yang jauh berbeda. Adji (2004) melaporkan bahwa aktivitas enzim ALT dan AST pada tikus Sprague Dawley sebelum masa percobaan berkisar antara 18,29 – 29,23 U/L dan 32,0 – 67,01 U/L. Sedangkan Marliana (2005) menyatakan bahwa sebelum masa percobaan, kadar enzim ALT dan AST pada tikus Sprague Dawley

adalah sebesar 16,29 – 28,55 U/L dan 39,23

– 71,53 U/L. Perbedaan hasil analisis tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor stres yang dapat terjadi melalui peningkatan aktivitas syaraf simpatik perifer (Arakawa et al. 1966), perbedaan bobot tikus, hemolisis, keadaan fisiologis dan makroenzim yang berbeda, alat dan metode analisis yang digunakan, bahkan perbedaan kit reagen yang digunakan juga dapat mempengaruhi hasil analisis (Hollans & Logan 1966).

Tabel 3 Aktivitas enzim ALT dan AST serum darah tikus pada hari ke-0

Kelompok ALT (U/L) AST (U/L) Normal 2,2 ± 1,10 2,0 ± 0,71 KN 2,8 ± 0,84 2,2 ± 1,10 KP 2,6 ± 0,55 2,0 ± 0,71 ED 200 1,2 ± 0,45 1,6 ± 0,55 ED 300 1,0 ± 0,00 1,4 ± 0,55 Rerata 1,96 ± 0,82 1,84 ± 0,33 n = 25

Aktivitas Enzim Transaminase

Daya hepatotoksik parasetamol terhadap hati dapat dikaji dari aktivitas enzim ALT dan AST serum darah setelah pemberian dosis toksik. Kerusakan hati dapat menyebabkan produk sekresinya seperti enzim ALT dan AST bebas keluar sel dan masuk ke pembuluh darah sehingga kadar ALT dan AST dalam darah menjadi meningkat bahkan melebihi batas normal. Pada keadaan kronis, aktivitas enzim ALT dan AST dalam darah dapat mengalami peningkatan sebanyak 1-5 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan keadaan normal, bahkan menurut Akbar (1995), peningkatan kadar ALT dan AST dapat mencapai 5 hingga 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan normal.

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan hasil analisis aktivitas enzim ALT dan AST serum darah tikus selama perlakuan. Aktivitas enzim ALT pada kelompok normal selama perlakuan dari hari ke-0 hingga hari ke-21

Gambar 6 Aktivitas enzim AST selama perlakuan berkisar antara 2,2 – 48,2 U/L. Sedangkan

aktivitas enzim AST berkisar antara 2,0 – 142,6 U/L. Berdasarkan Pillichos et al.

(2004), nilai aktivitas enzim ALT dan AST normal pada tikus berkisar antara 19,3 – 68,9 U/L dan 29,8 – 77,0 U/L. Nilai aktivitas enzim ALT yang diperoleh ini dapat dikatakan berada pada ambang batas normal. Namun, pada aktivitas enzim AST menunjukkan hasil yang jauh berbeda dan lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh keberadaan AST yang tidak hanya dijumpai pada sitosol hati, tetapi juga dijumpai pada otot rangka, pankreas, jantung dan ginjal. Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh darah tikus yang mengalami hemolisis yang dapat dilihat dari warna serum darah yang agak kemerahan sehingga menyebabkan aktivitas

enzim AST menjadi lebih tinggi. Hollands & Logan (1966), menyatakan bahwa fenomena hemolisis pada serum darah dapat menyebabkan peningkatan aktivitas enzim AST secara signifikan namun tidak berpengaruh terhadap aktivitas enzim ALT. Menurut Adji (2004), fenomena hemolisis dapat disebabkan oleh mekanisme biokimia, fisik maupun kimia. Oleh karena itu, aktivitas enzim ALT bersifat khas dan spesifik terhadap kerusakan sel hati sehingga merupakan indikator terbaik dalam melihat dan menentukan adanya gangguan fungsi hati walaupun dalam derajat ringan (Stockham & Scoot 2002).

Pada kelompok KP dan kelompok perlakuan, obat curliv sebagai pembanding dan ekstrak daun kari diberikan selama 7 hari

14

pertama sebelum hati tikus dirusak oleh parasetamol. Hal ini bertujuan untuk mengetahui khasiat ekstrak dalam melindungi hati terhadap kerusakan akibat pemberian parasetamol dalam dosis toksik pada minggu selanjutnya (minggu ke-2). Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak daun kari dan obat curliv yang diberikan tidak bersifat toksik maupun menyebabkan terjadinya gangguan fungsi hati. Hal tersebut terlihat dari aktivitas enzim ALT (Gambar 5) yang secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P<0,01) antara hari ke-0 dan hari ke-7 jika dibandingkan dengan kelompok normal (Lampiran 9). Begitu juga dengan kelompok KN (hepatotoksik) yang diinduksi parasetamol belum menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap peningkatan aktivitas ALT.

Aktivitas enzim ALT meningkat secara signifikan pada semua kelompok perlakuan terjadi pada hari ke-14 setelah pemberian parasetamol pada minggu ke-2 (Gambar 5). Tabel 4 menunjukkan perubahan aktivitas enzim ALT pada hari ke-14 dan hari ke-21 jika dibandingkan dengan kelompok normal. Pada hari ke-14, aktivitas enzim ALT pada kelompok KN (hepatotoksik) meningkat secara signifikan sebesar 84,82% atau hampir 2 kali jika dibandingkan dengan kelompok normal. Sedangkan peningkatan enzim ALT pada kelompok KP (pembanding), ED200, dan ED300 yaitu sebesar 32,98%, 48,17%, dan 36,13%. Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok KN. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan yang nyata (P<0,01) antara ketiga kelompok perlakuan (KP, ED200, dan ED300) tersebut dengan kelompok normal dan berbeda nyata (P<0,01) jika dibandingkan dengan kelompok KN. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat curliv dan ekstrak daun kari memberikan pengaruh yang sifnifikan terhadap mekanisme perlindungan hati dari pengaruh radikal bebas akibat pemberian parasetamol selama 7 hari sebelumnya.

Pada minggu terakhir perlakuan, ketiga kelompok perlakuan (KP, ED200, dan ED300) kembali dicekok dengan obat curliv dan ekstrak daun kari. Hal ini bertujuan melihat mekanisme perlindungan hati setelah dilakukan pengrusakan dengan parasetamol dosis toksik selama satu minggu sebelumnya. Pada kelompok KN tingkat kerusakan hati semakin bertambah yang ditandai dengan peningkatan aktivitas enzim ALT sebesar 131,95%. Sebaliknya, pada kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan aktivitas

enzim ALT yang menurun dibandingkan dengan aktivitas enzim ALT minggu sebelumnya, yaitu sebesar 46,67% pada kelompok ED200 dan 34,85% pada kelompok ED300. Bahkan pada kelompok KP, aktivitas enzim ALT lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok normal. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh nyata (P<0,01) terhadap mekanisme perlindungan hati yang diberikan oleh obat curliv maupun ekstrak daun kari. Pengaruh signifikan tehadap mekanisme perlindungan hati ditunjukkan oleh obat curliv dan ekstrak daun kari dosis 300 mg/Kg BB. Walaupun ekstrak daun kari dengan dosis 200 mg/Kg BB memberikan pengaruh yang nyata namun, secara statistik menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin besar dosis daun kari yang diberikan maka mekanisme perlindungan hati semakin tinggi (Lampiran 9).

Gambar 6 menunjukkan hasil analisis aktivitas enzim AST selama perlakuan. Pada gambar tersebut terlihat bahwa peningkatan enzim AST secara signifikan mulai terjadi pada hari ke-7. Tabel 5 menunjukkan peningkatan aktivitas enzim AST pada hari ke-14 dan hari ke-21 dibandingkan dengan kelompok normal. Pada hari ke-14, peningkatan secara signifikan (P<0,01) terjadi pada kelompok KN, yaitu sebesar 82,67 % atau hampir 2 kali jika dibandingkan dengan kelompok normal. Sedangkan pada kelompok KP, ED200, dan ED300 terjadi peningkatan enzim AST sebesar 36,80%, 49,39%, dan 46,73%. Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok KN (hepatotoksik). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh mekanisme perlindungan hati terhadap pemberian parasetamol. Namun secara statistik, pengaruh secara signifikan (P<0,01) ditunjukkan oleh kelompok KP yang Tabel 4 Perubahan aktivitas enzim ALT darah tikus pada hari ke-14 dan -21 dibandingkan dengan kelompok normal

Kelompok Peningkatan enzim ALT (%) Hari ke-14 Hari ke-21 KN 84,82b 131,95c KP 32,98a -0,02a ED200 48,17a 46,47b ED300 36,13a 34,85ab Catatan : Huruf yang berbeda pada kolom

yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,01) dalam mekanisme perlindungan sel hati.

diberi obat curliv. Sedangkan kelompok perlakuan ED200 dan ED300 tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mekanisme perlindungan hati.

Aktivitas enzim AST pada hari terakhir perlakuan menunjukkan peningkatan yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan hari ke-14 (Tabel 5). Pada kelompok KN, aktivitas enzim AST menjadi semakin tinggi dan meningkat sebesar 40,53% jika dibandingkan dengan kelompok normal. Sedangkan pada kelompok perlakuan (KP, ED200, dan ED300), aktivitas enzim AST menunjukkan hasil yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok normal, sehingga menunjukkan peningkatan aktivitas enzim AST yang menurun dibandingkan dengan aktivitas enzim AST minggu sebelumnya. Secara statistik, ketiga kelompok perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang nyata (P<0,01) dalam mekanisme perlindungan hati terhadap senyawa radikal bebas (NAPQI) yang merupakan seyawa hasil metabolisme parasetamol. Mekanisme perlindungan tertinggi ditunjukkan oleh kelompok KP (pembanding) yang diberi obat culiv, diikuti dengan kelompok ED300 dan ED200. Hal ini menunjukkan semakin besar dosis daun kari yang diberikan maka semakin besar mekanisme perlindungan hati yang diberikan (Lampiran 11).

Mekanisme perlindungan hati oleh ekstrak daun kari diduga disebabkan oleh senyawa aktif yang terkandung didalamnya yang merupakan golongan senyawa antioksidan. Senyawa antioksidan tersebut berperan dalam mengikat maupun menghambat proses oksidasi radikal bebas (NAPQI) dan membentuk senyawa yang stabil sehingga tidak terjadi kerusakan sel hepatosit. Menurut Muragesh et al. (2005), senyawa antioksidan alami secara farmakologi memiliki aktivitas hepatoproteksi.

Gambaran Histopatologi Hati

Hasil uji histopatologi jaringan menunjukkan adanya kerusakan yang terjadi terutama pada jaringan hati tikus yang diinduksi parasetamol (Gambar 7B). Pada keadaan normal, hati tersusun atas lobulus- lobulus. Sel hepatosit dalam lobulus tersusun rapi seperti melingkar (radial) menuju pusat vena sentralis. Batas antara tiga lobulus yang berdekatan membentuk segitiga Kiernan yang terdiri dari vena, saluran empedu, dan arteri (Gambar 7A).

Berbeda dengan kelompok normal, kelompok KN (hepatotoksik) yang dicekok dengan parasetamol mengalami kerusakan hati yang cukup signifikan. Kerusakan jaringan hati meliputi degenerasi butir, nekrosis, vakuolisasi, sel apoptosis, haemorrhagi, dan degenerasi lemak yang merata diseluruh jaringan. Terjadinya degenerasi lemak disebabkan adanya serangan radikal bebas yang menyebabkan peroksidasi lipid. Sel hati juga mengalami pendarahan yang merata diseluruh jaringan dan adanya kematian sel yang dapat terlihat dari mengecilnya atau bahkan hilangnya inti sel. Batas antar sel dan bentuk radial sel hepatosit dalam lobulus hati juga tidak terlihat dan seolah-olah menjadi tidak teratur. Hasil penelitian serupa juga menunjukkan bahwa metabolit toksik asetaminofen (NAPQI) menyebabkan kerusakan mitokondria (Burham & Harman 1991).

Pada kelompok KP (Gambar 7C), gambaran histologi hati menunjukkan keadaan yang serupa dengan keadaan normal. Hal ini menunjukkan bahwa obat curliv memberikan pengaruh terhadap mekanisme perlindungan hati. Hal ini terlihat pada gambar yang menunjukkan adanya regenerasi sel hepatosit. Selain disebabkan oleh regenerasi secara alami Perbaikan sel hepatosit diduga dipengaruhi oleh zat kimia aktif yang terkan- dung didalam obat curliv, yang meliputi

silymarin, schizandrae, curcuma, radix, kolin bitartrat, dan vitamin B6. Gambaran histopatologi hati ini menguatkan analisis aktivitas enzim ALT dan AST pada akhir perlakuan yang mencapai batas normal.

Berdasarkan analisis aktivitas enzim ALT dan AST serum darah tikus, pemberian ekstrak daun kari menunjukkan adanya mekanisme perlindungan hati. Namun, gambaran histologi hati pada kedua dosis menunjukkan hasil yang berbeda. Pada ED200 (Gambar 7D) perbaikan sel hepatosit yang terjadi tidak begitu berarti. Pada perlakuan ini kerusakan sel hepatosit masih Tabel 5 Perubahan aktivitas enzim AST darah

tikus pada hari ke-14 dan -21 dibandingkan dengan kelompok normal

Kelompok Peningkatan enzim AST (%) Hari ke-14 Hari ke-21 KN 82,57c 40,53b KP 36,80b - 42,78a ED 200 49,39bc - 12,62a ED 300 46,73bc - 18,65a Catatan : Huruf yang berbeda pada kolom

yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,01) dalam mekanisme perlindungan sel hati.

16

Gambar 7 Gambaran sel hati tikus. A) Perlakuan normal. Sel hati normal dengan inti sel yang berukuran normal (n). B) Pemberian parasetamol 500 mg/kg BB. Sel hati mengalami nekrosis (nk) C) Pemberian curliv-plus® 42,86 mg/kg BB dan parasetamol 500 mg/kg BB. Regenerasi sel hati (r). D) Pemberian ekstrak daun kari 200 mg/kg BB dan parasetamol 500 mg/kg BB. Vakuolisasi sel hati (v). E) Pemberian eksrak daun kari 300 mg/kg BB dan parasetamol 500 mg/kg BB. Tidak ada kelainan spesifik dan sel hati berukuran normal (n). Objektif HE. x200

terlihat adanya degenerasi butir dan degenerasi lemak, tetapi tidak sebanyak pada kelompok hepatotoksik. Namun, sebagian sel hepatosit normal mulai terlihat dari inti sel yang tampak jelas. Hal ini menandakan bahwa adanya proses menuju regenerasi walaupun belum signifikan. Sedangkan pada pemberian ED300 (Gambar 7E) mampu mengembalikan sel-sel hepatosit menjadi normal kembali. Hal ini terlihat dari sel hepatosit yang menjadi lebih teratur dengan batas antar sel serta bentuk radial dalam lobulus sudah mulai terlihat.

Hasil uji statistik Kruskal-Wallis (Tabel 6) yang dilanjutkan dengan uji Duncan menunjukkan bahwa efek perlindungan hati paling baik diberikan oleh ED300 dan obat curliv. Kolompok KN (hepatotoksik) memberikan nilai yang sangat berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan kelompok normal. Sebaliknya, tidak terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara kelompok perlakuan (KP, ED200, dan ED300) dan kelompok normal. Namun, jika dibandingkan antara ketiga perlakuan tersebut dengan kelompok hepatotoksik, kelompok ED300 dan

KP memberikan pengaruh yang signifikan dalam mekanisme perlindungan hati. Sedangkan ED200 belum menunjukkan hasil yang signifikan, walaupun secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil uji histopatologi hati memberikan informasi yang sama dengan hasil analisis aktivitas enzim ALT dan AST, yaitu efek hepatoprotektor dari ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dapat melindungi sel hati tikus yang diinduksi parasetamol serta dapat mengurangi dan memperbaiki kerusakan hati.

Tabel 6 Hasil uji Kruskal-Wallis kelainan histopatologi hati

Kelompok Skor kerusakan Normal 11,70 ab

KN 23,00 c

KP 09,80 ab ED 200 14,50 b ED 300 06,00 a

Catatan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,05)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekstrak etanol:air (1:1) daun kari mengandung senyawa alkaloid, saponin, steroid, dan tanin. Pemberian Ekstrak etanol:air (1:1) daun kari dapat melindungi sel hati tikus yang diinduksi parasetamol serta dapat mengurangi dan memperbaiki sel-sel hepatosit hati yang mengalami kerusakan. mekanisme perlindungan hati secara signifikan (P<0,01) terjadi pada pemberian ekstrak daun kari dosis 300 mg/Kg BB dan pemberian obat curliv-plus® sebagai pembanding, diikuti dengan ekstrak daun kari dosis 200 mg/Kg BB. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol:air (1:1) daun kari memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor dan semakin besar dosis ekstrak daun kari yang diberikan, maka semakin tinggi pula efek yang diberikan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian serupa dengan cara penambahan waktu penelitian maupun penambahan dosis bertingkat untuk mengetahui dosis yang aman dan berkhasiat optimal sebagai hepatoprotektor. Selain itu, perlu diteliti lebih lanjut mengenai senyawa bioaktif yang terkandung didalam daun kari yang berpengaruh sebagai hepatoprotektor.

Hewan coba lain, seperti kelinci atau satwa primata juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol:air (1:1) daun kari sebelum diaplikasikan pada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Adji P. 2004. Daya antioksidasi saponin akar kuning (Archangelisia flava L. Merr) sebagai mekanisme hepatoproteksi pada tikus yang diinduksi parasetamol [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ahmed S et al.. 2000. Evaluation of the efficacy of Lawsonia alba in the alleviation of carbon tetrachloride induced oxidative stress. Abstract. J Ethnopharmacol.9: 157-164.

Akbar N. 1995. Diagnostik Hepatitis Akut dan Kronis. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

Arakawa H, Kodama H, Matsouka N, Yamaguchi I. 1996. Stress increases plasma activity in rats: differential effects of andrenergic and cholinergic blockades. J Pharmacol Experiment Therapeutics. 280: 1296-1303.

Arulselvan P et al.. 2006. Anti-diabetic effect of Murraya koenigii leaves on streptozotocin induced diabetic rats.

Pharmazie. 61: 874-877.

Aryadi Q. 2009. Potensi hepatoprotektor ekstrak rosella (Hibiscus sabdariffa L) terhadap hati tikus yang diinduksi parasetamol [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Balamurugan M, Parthasarathi K, Ranganathan LS, Cooper EL. 2008. Hypothetical mode of action of earthworm extract with hepatoprotective and antioxidant properties. J. Zhejiang Univ. Sci. B. 9: 141-147.

Baron DN. 1992. Kapita Selekta Patologi Klinik Ed ke-4. Andrianto P, Gunawan J, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: A Short Textbook of Chemical Pathology. Hlm 113-231.

18

Batubara I. 2003. Saponin akar kuning (Arcangelisia flava (L) Merr) sebagai hepatoprotektor: ekstraksi, pemisahan, dan bioaktivasinya [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bhakta T et al.. 1999. Evaluation of hepatoprotective activity of Cassia fistula leaf extract. Abstract. J Ethnopharmacol. 66: 277-282.

Bhat M et al.. 2008. Antidiabetic Indian plants: a good source of potent amylase inhibitors. eCAM Adance Access Published. 411: 07-11.

Burham PC, Harman AW. 1991. Acetominophen toxicity result in site-

Dokumen terkait