• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Struktur Industri Telekomunikasi Seluler

Struktur pasar dapat dianalisis berdasarkan beberapa elemen yang mendasarinya yaitu pangsa pasar, rasio konsentrasi, dan hambatan masuk.

a. Pangsa Pasar

Dalam industri telekomunikasi seluler besarnya pangsa pasar dapat ditentukan dari jumlah pelanggan pada suatu perusahaan operator seluler. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pasar telekomunikasi seluler Indonesia dikuasai oleh tiga perusahaan yang memiliki izin operasi dari pemerintah yaitu Telkomsel, Indosat dan XL, sehingga ketiga perusahaan tersebut memiliki pangsa pasar yang besar. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi pada bulan September tahun 2000, mulai muncul perusahaan-perusahaan operator seluler baru yang masuk ke dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia. Hal ini menyebabkan berkurangnya pangsa pasar dari ketiga perusahaan sebelumnya karena perusahaan-perusahaan baru tersebut memiliki produk dan strategi pemasaran yang cukup jitu untuk menarik pelanggan. Berikut grafik pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang ada di dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia pada tahun 2001 sampai dengan 2013.

17

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)

Gambar 2 Pangsa pasar

Dari Gambar 2 terlihat bahwa hingga tahun 2003 industri telekomunikasi seluler Indonesia masih dikuasai oleh tiga perusahaan utama yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL. Pada tahun 2004 Mobile-8 menjadi perusahaan operator pertama yang memasuki industri telekomunikasi seluler Indonesia pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kemudian industri telekomunikasi seluler Indoneisa kembali diramaikan oleh beberapa perusahaan operator baru yang masuk diantaranya Sampoerna Telekomunikasi Indonesia dan Axis Telekom Indonesia pada tahun 2006 serta Hutchison CP Telecommunications dan Smart Telecom pada tahun berikutnya.

Secara umum dominasi ketiga perusahaan utama yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL mulai berkurang sejak diterapkannya liberalisasi industri telekomunikasi oleh pemerintah. Hal ini terlihat besarnya pangsa pasar ketiga perusahaan tersebut yang memiliki tren menurun dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2013.

Pada tahun 2001 Telkomsel memiliki pangsa pasar sebesar 50.86% dan perlahan menurun hingga pada tahun 2013 pangsa pasar Telkomsel tersisa 42%. Meskipun pangsa pasarnya menurun Telkomsel tetap menjadi perusahaan operator seluler dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia. Indosat juga mengalami hal serupa dengan Telkomsel, pada tahun 2001 Indosat memiliki pangsa pasar sebesar 30.01%, dan pada tahun 2013 hanya 19%. XL memiliki pangsa pasar yang lebih stabil dan lebih berfluktuatif dibandingkan dengan Telkomsel dan Indosat.

Pada tahun 2001 pangsa pasar XL sebesar 19.13% dan pada tahun 2013 sebesar 19.3%. Meskipun pangsa pasar tahun 2013 lebih tinggi daripada tahun 2001, namun XL pernah mengalami titik terendah dalam perolehan pangsa pasar yaitu hanya sebesar 12.5% pada tahun 2004. Kestabilan perolehan pangsa pasar

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50% 55% 60% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 P an g sa P as ar Tahun TELKOMSEL INDOSAT XL

TRI SMART SMARTFREN

SAMPOERNA AXIS FLEXI

18

XL dikarenakan XL memiliki lebih sedikit masalah dalam pemindahan kepemilikan saham dibandingkan Telkomsel dan Indosat.

Pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan operator seluler lainnya masih relatif kecil yaitu dibawah 13%. Pencapaian pangsa pasar terbesar dicapai oleh Tri yang mendapatkan 12.16% pada tahun 2013. Data jumlah pelanggan dan pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2013 dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. b. Konsentrasi Rasio

Konsentrasi rasio adalah gabungan pangsa pasar dari beberapa perusahaan terbesar yang menunjukkan bentuk dari struktur pasar. Dalam penelitian ini konsentrasi rasio diukur dari tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL (CR3). Berikut adalah grafik konsentrasi rasio CR3 dari tahun 2001 hingga 2013.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)

Gambar 3 Konsentrasi rasio

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 sampai 2003 konsentrasi rasio menunjukkan angka 100%. Hal ini disebabkan pada saat itu hanya ada tiga perusahaan operator seluler yang beroperasi di Indonesia yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL sehingga ketiga perusahaan tersebut menguasai seluruh pasar telkomunikasi seluler di Indonesia. Pada tahun 2004 dominasi ketiga perusahaan tersebut mulai berkurang dengan masuknya Mobile-8 kedalam industri telekomunikasi seluler Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya nilai CR3 menjadi 98.4% karena 1.6% pangsa pasar telekomuniasi seluler Indonesia dikuasai oleh Mobile-8.

Berdasarkan analisis dari perubahan nilai CR3 yang semula 100% pada tahun 2001, perlahan menurun dari tahun ke tahun menjadi 80.3% pada tahun

100.0% 100.0% 100.0% 98.4% 97.4% 96.9% 94.2% 91.0% 89.3% 84.5% 82.1% 81.3% 80.3% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 K ons en tra si Ra si o Tahun CR3

19 2013, mengindikasikan bahwa terjadi perubahan struktur pasar telekomunikasi seluler di Indonesia, yang sebelumnya monopoli menjadi oligopoli ketat. Menurut Jaya (2001), gabungan beberapa perusahaan terbesar yang memiliki rasio konsentrasi di atas 60% dikatakan memiliki struktur pasar yang bersifat oligopoli ketat, dimana kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif lebih mudah.

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa liberalisasi industri telekomunikasi yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2000 belum mempu mengubah struktur pasar secara signifikan. Meskipun nilai CR3 yang merupakan proksi dari dominasi tiga perusahaan terbesar terus menurun hingga tahun 2013, ketiga perusahaan tersebut masih menguasai sebagian besar pasar telekomunikasi seluler Indonesia. Meskipun belum dapat mengubah struktur pasar secara signifikan, liberalisasi industri telekomunikasi telah mendorong masuknya perusahaan-perusahaan operator baru kedalam industri telekomunikasi seluler Indonesia, sehingga persaingan antaroperator seluler menjadi semakin ketat.

Secara umum liberalisasi industri telekomunikasi membawa dampak positif yang cukup besar bagi industri telekomunikasi Indonesia. Sejak diberlakukannya liberalisasi, investasi domestik maupun asing terus mengalir ke sektor telekomunikasi Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan telekomunikasi di Indonesia. Selain itu sejak diberlakukannya liberalisasi industri telekomunikasi, masyarakat selaku konsumen memiliki lebih banyak pilihan dalam menggunakan jasa telekomunikasi seluler. Konsumen sangat diuntungkan dengan banyaknya perusahaan operator yang menawarkan berbagai jasa telkomunikasi seluler dengan kualitas yang baik dan harga yang lebih terjangkau.

c. Hambatan Masuk

Hambatan masuk pada industri telekomunikasi seluler Indonesia cukup besar dan terdiri dari banyak hal. Sebelum diberlakukannya liberalisasi, hambatan terbesar untuk masuk dalam industri telekomunikasi seluler indonesia adalah izin dari pemerintah yang tidak akan didapatkan, karena pada saat itu pemerintah memutuskan untuk memonopoli industri telekomunikasi seluler Indonesia melalui perusahaan-perusahaan milik pemerintah. Namun sejak tahun 2000 industri telekomunikasi seluler Indonesia telah dibuka bagi swasta untuk turut andil dalam industri tersebut. Berkat Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi semua pihak baik itu swasta maupun asing dapat masuk dan ikut bersaing dalam industri telkomunikasi seluler Indonesia.

Salah satu syarat sebuah perusahaan dapat bersaing di industri telekomunikasi adalah teknologi. Setiap operator harus memberikan berbagai jasa dan layanan yang dibutuhkan oleh pelanggan untuk menarik minat pelanggan, dan untuk memenuhi semua itu perusahaan operator harus terus meningkatkan teknologi yang digunakan. Biaya yang harus dibayar untuk teknologi-teknologi tersebut tidaklah murah. Karena hal tersebut, industri telekomunikasi merupakan salah satu industri dengan nilai investasi yang sangat besar, sehingga untuk masuk kedalamnya dibutuhkan modal yang besar pula. Hal ini tentu menjadi salah satu hambatan masuk bagi perusahaan-perusahaan baru yang akan masuk dalam industri telekomunikasi.

20

Selain investasi, hambatan masuk dalam industri telekomunkasi seluler yang berkaitan dengan anggaran biaya adalah fix cost dan sunk cost yang tinggi. Fix cost adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan produksi namun tidak terpengaruh oleh jumlah barang yang diproduksi. Fix cost yang harus dikeluarkan oleh perusahaan di industri telekomunikasi antara lain biaya pembuatan gedung perusahaan pusat, biaya pembuatan gerai layanan di setiap wilayah, pembayaran gaji karyawan, dan lain lain.

Sunk cost adalah biaya yang sudah dikeluarkan dan tidak dapat diambil kembali karena pengambilan sebuah keputusan. Sunk cost yang harus dikeluarkan oleh perusahaan operator seluler antara lain pembelian teknologi terbaru dan pembangunan BTS (Base Transceiver Station) atau menara telekomunikasi, dan lain lain. Fix cost dan sunk cost dalam industri telekomunikasi seluler tergolong sangat tinggi dibandingkan dengan industri yang lainnya. Hal ini juga membuat perusahaan-perusahaan baru yang akan masuk dalam industri telekomunikasi mengalami kegagalan karena kurangnya modal yang dimiliki.

Hambatan masuk lainnya yang berasal dari dalam industri teleomunikasi itu sendiri adalah dominasi perusahaan-perusahaan yang sudah lebih dahulu berada di dalam industri. Perusahaan-perusahaan yang sudah ada di dalam industri tentu tidak ingin ada pesaing baru yang dapat mengancam keberadaannya di dalam industri. Karena itu perusahaan-perusahaan tersebut melakukan berbagai cara untuk menghalangi perusahaan baru masuk kedalam industri. Cara-cara yang sering dilakukan perusahaan untuk menghalangi perusahaan baru masuk ke dalam industri antara lain integrasi vertikal untuk menguasai sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan produksi dan melakukan merger dan akuisisi untuk memperluas pangsa pasar dan meningkatkan efisiensi perusahaan.

Analisis Perilaku Industri Telekomunikasi Seluler

Di era globalisasi seperti saat ini kebutuhan akan telekomunikasi sangatlah tinggi, hal ini menyebabkan persaingan antarperusahaan operator seluler menjadi semakin ketat. Setiap perusahaan memiliki berbagai strategi untuk dapat memenangkan persaingan. Secara umum strategi yang digunakan adalah strategi harga, strategi produk, serta merger, dan akuisisi.

a. Strategi Harga

Di industri telekomunikasi, tarif adalah cerminan dari harga produk yang dihasilkan perusahaan operator seluler. Tarif bersifat sensitif bagi pelanggan operator seluler. Penetapan pembayaran tarif dalam industri telekomunikasi seluler dibagi menjadi dua jenis yaitu prabayar dan pascabayar, konsumen dapat memilih jenis pembayaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Pola penetapan tarif yang digunakan operator seluler saat ini dibagi menjadi dua yaitu tarif flat dan tarif berdasarkan variabel. Tarif flat adalah satu tarif yang digunakan untuk semua layanan, tidak terbatas oleh variabel apapun. Tarif berdasarkan variabel adalah tarif yang disesuaikan dengan variabel-variabel tertentu seperti jarak dan waktu penggunaan layanan.

Saat ini sedang terjadi perang tarif antar operator seluler. Semua perusahaan operator seluler berlomba lomba untuk menarik perhatian konsumen dengan tarif rendah yang ditawarkan. Setiap perusahaan memiliki strategi masing-masing

21 untuk memenangkan persaingan, seperti halnya Telkomsel yang lebih mengutamakan kualitas layanan dibandingkan menurunkan tarif seperti yang sebagian besar perusahaan operator seluler lakukan.

Pemerintah yang bertindak sebagai regulator tidak menentukan tarif untuk setiap operator. Dalam regulasi yang ditetapkan, pemerintah mengatur tarif telekomunikasi melalui dua komponen yaitu overhead cost dan tarif berdasarkan jenis layanan. Pemerintah menetapkan batas atas dan batas bawah untuk setiap jenis layanan yang dihasilkan setiap operator, selanjutnya pemerintah memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk menetapkan strategi harga masing-masing dan mengendalikan agar persaingan tarif tetap sehat.

b. Strategi Produk

Produk yang dapat menarik pelanggan adalah produk yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Dalam industri telekomunikasi seluler, konsumen dibagi menjadi tiga segmen pasar yaitu low end, middle up, dan high end.

Pasar low end memiliki jumlah pengguna yang besar namun memiliki ARPU yang rendah. Produk yang dibutuhkan oleh pasar low end adalah produk dengan biayayang rendah. Oleh karena itu berbagai perusahaan mengeluarkan produk yang ditujukan bagi pasar low end seperti Kartu AS dari Telkomsel, IM3 dari Indosat, dan Kartu Jempol dari XL.

Sedangkan pasar middle up dan high end memiliki jumlah pengguna yang lebih sedikit namun memiliki ARPU yang lebih tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan pasar middle up Telkomsel mengeluarkan produk Simpati, sedangkan Indosat mengeluarkan produk Mentari, dan XL mengeluarkan produk Bebas XL. Pasar high end merupakan pasar yang memiliki nilai ARPU paling tinggi dibandingkan dengan segmen pasar lainnya, sehingga walaupun jumlah penggunanya sedikit namum memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan operator seluler. Untuk itu perusahaan operator seluler mengeluarkan berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan pasar high end seperti Kartu Halo dan Telkomsel, Matrix dari Indosat, dan Xplore dari XL. Setiap segmen pasar akan memberikan keuntungan bagi perusahaan dengan jumlah yang proporsional, sehingga setiap operator seluler harus dapat menguasai semua segmen pasar agar mendapatkan tingat keuntungan yang maksimal.

c. Merger dan Akuisisi

Merger dan akuisisi dalam industri telekomunikasi bukanlah hal yang asing didengar. Beberapa perusahaan operator seluler melakukan merger atau akuisisi terhadap perusahaan operator seluler lainnya guna memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi perusahaan. Beberapa merger dan akuisisi yang terjadi di industri telekomunikasi seluler pada tahun 2001 hingga 2013 antara lain :

1. Indosat melakukan merger terhadap beberapa anak perusahaannya yaitu Satelindo, Im3, dan Bimagraha pada tahun 2003. Indosat sebagai induk perusahaan tetap eksis dan tetap menjual berbagai produk masing-masing perusahaan yang dimerger.

2. Sinar Mas Group melalui P.T. Smart Telecom melakukan akuisisi terhadap Mobile-8 yang sebelumnya dimiliki oleh P.T. Global Mediacom. Setelah diakuisisi Mobile-8 di merger dengan P.T. Telekomindo Selular, P.T. Metro

22

Selular Nusantara, P.T. Komunikasi Selular Indonesia, dan P.T. Menara Jakarta yang selanjutnya dijadikan holding dari P.T. Smart Telecom dan berubah nama menjadi P.T. Smartfren Telecom.

3. Pada tahun 2012 P.T. Bakrie Telecom dan P.T. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) mengumumkan penandatanganan penjualan bersyarat atas perjanjian jual beli STI. Dari perjanjian tersebut, Bakrie Telecom memeroleh 35% saham STI, dan dalam tiga tahun setelah perjanjian dilakukan akan menjadi pemegang saham mayoritas. Sebagai imbalannya, Sampoerna Strategic akan menjadi pemegang saham Bakrie Telecom.

4. Pada tanggal 26 September 2013 XL Axiata telah menandatangani perjanjian untuk mengakuisisi Axis Telekom Indonesia.

Analisis Kinerja Industri Telekomunikasi Indonesia

Pada penelitian ini kinerja pasar dianalisis menggunakan variabel NIM, ARPU, ROA, ROE. Secara keseluruhan kinerja industri dapat diukur dari tingkat keuntungan yang diperoleh oleh unit industrinya. Pada penelitian ini Net Income Margin menjadi proksi dari keuntungan suatu perusahaan operator seluler. NIM adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih. Menurut Weston dan Copeland (1998) Semakin besar NIM berarti semakin efisien perusahaan tersebut dalam mengeluarkan biaya-biaya sehubungan dengan kegiatan operasinya. Perusahaan dapat dikatakan efisien apabila memiliki NIM lebih dari 5% (Sulistyanto,tanpa tahun). Berikut adalah grafik NIM dari tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia tahun 2001 sampai tahun 2013.

Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, dan XL

Gambar 4 Net Income Margin

Gambar 4 menunjukkan bahwa NIM dari ketiga perusahaan operator seluler tersebut berfluktuatif dari tahun ke tahun, namun secara umum tren NIM di setiap perusahaan tersebut adalah tren negatif atau menurun. Hal ini disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan dalam industri telekomunikasi seluler itu sendiri

-20% -10% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 N IM Tahun TELKOMSEL INDOSAT XL

23 sehingga memengaruhi pendapatan dari setiap perusahaan dan berdampak pada nilai NIM setiap tahunnya.

Pada tahun 2002 NIM Indosat merosot tajam menjadi 5.03%. Hal ini terjadi karena pada saat itu pemerintah menjual sebagian besar saham Indosat kepada asing. Hal ini menimbulkan gejolak di dalam maupun di luar perusahaan sehingga menyebabkan kinerja Indosat menurun pada tahun tersebut. Pada tahun 2003 terlihat NIM Indosat berada jauh di atas Telkomsel dan XL. Proses merger antara Indosat dengan anak perusahaannya (Satelindo, IM3 dan Bimagraha) pada tahun 2003 ini membuat Indosat memiliki strategi operasi yang baik sehingga dapat meningkatan laba bersih dengan nilai yang sangat tinggi.

NIM XL pada tahun 2004 dan 2005 bernilai negatif yaitu sebesar 1% dan -5%. Hal ini dikarenakan kompetisi dari para operator baru (Fixed Wireless Access dan Code Division Multiple Access) yang menawarkan layanan seluler dengan jangkauan terbatas dan biaya yang lebih murah. Penurunan NIM XL pun terjadi pada tahun 2007, dikarenakan XL membayar withholding tax atas bunga obligasi dengan rate 20% dan denda Rp 341 milyar untuk periode 2004 sampai September 2007.

Rata-rata NIM dari ketiga perusahaan terbesar dalam industri telekomunikasi seluler Indonesia dari tahun 2001 sampai 2013 adalah sebesar 19.12%. Hasil ini menunjukkan bahwa kinerja industri telekomunikasi seluler Indonesia pada tahun tersebut tergolong sangat baik karena lebih besar dari 5%. Data NIM Telkomsel, Indosat, dan XL dapat dilihat pada lampiran 4.

Analisis kinerja selanjutnya menggunakan variabel ARPU. Nilai ARPU menunjukkan rata-rata jumlah penggunaan layanan telekomunikasi seluler setiap pelanggan. Berikut adalah grafik ARPU tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2013.

Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, dan XL

Gambar 5 Average Revenue per User

Dari Gambar 5 terlihat bahwa ARPU ketiga perusahaan operator seluler terbesar di Indoesia memiliki tren negatif atau menurun. Hal ini disebabkan oleh

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 200000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 A R P U ( R U P IA H ) Tahun TELKOMSEL INDOSAT XL

24

perang tarif antar operator yang semakin ketat sehingga membuat pendapatan perusahaan menurun karena harga layanan menjadi semakin murah. Selain itu, harga kartu perdana dan gadget yang sangat murah, juga menjadi faktor utama yang membuat ARPU perusahaan telekomunikasi seluler terus menurun. Dengan harga kartu perdana dan gadget yang murah, konsumen dengan mudah mengganti kartu perdana mereka sehingga pembagi dari nilai ARPU menjadi semakin besar dan nilai ARPU sendiri menjadi semakin kecil.

Oleh karena itu ARPU tidak dapat menjelaskan kinerja pasar secara keseluruhan, namun masih dapat menjelaskan seberapa besar konsumen menggunakan layanan yang ditawarkan oleh pasar. Data ARPU Telkomsel, Indosat, dan XL dapat dilihat pada lampiran 5.

Dalam penelitian ini ROA dan ROE dari ketiga perusahaan terbesar juga digunakan untuk menganalisis kinerja industri telekomunikasi seluler di Indonesia. Berikut adalah grafik ROA dari tiga perusahaan operator seluler terbesar di Indonesia.

Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, dan XL

Gambar 6 Return on Asset

Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai ROA dari Telkomsel, Indosat, dan XL berfluktuatif dari tahun ke tahun. Rata-rata ROA Telkomsel dari tahun 2001 hingga 2013 adalah 28.85%, Indosat 4.96%, dan XL 8.43%. Secara umum tidak ada informasi maupun riset yang menyatakan pada angka berapa ROA sebuah perusahaan dianggap baik. Namun dari grafik di atas dapat dilihat bahwa Telkomsel memiliki ROA tertinggi dibandingkan Indosat dan XL selama tahun 2001 hingga 2013. Hal ini menunjukkan bahwa Telkomsel memiliki efektifitas kerja yang paling tinggi dalam memanfaatkan aset yang dimiliki untuk menghasilkan laba, dibandingkan dua perusahaan pesaingnya. Hal ini membuat Telkomsel memiliki kesempatan paling besar untuk mengembangkan aset yang dimiliki. Data ROA Telkomsel, Indosat, dan XL dapat dilihat pada lampiran 6.

-10% -5% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 R O A Tahun TELKOMSEL INDOSAT XL

25 Analisis selanjutnya adalah analisis ROE. ROE adalah rasio yang sangat diperhatikan oleh investor sebelum melakukan investasi kepada sebuah perusahaan, karena ROE mencerminkan tingkat pengembalian modal yang diinvestasikan dari laba yang dihasilkan. Berikut grafik ROE Telkomsel, Indosat, dan XL dari tahun 2001 hingga 2013.

Sumber : Laporan tahunan Telkomsel, Indosat, dan XL Gambar 7 Return on equity

Gambar 7 menunjukkan bahwa ROE dari Telkomsel, Indosat, dan XL sangat berfluktuatif. Pada beberapa tahun pertama diterapkannya liberalisasi industri telekomunikasi seluler Indonesia, yaitu pada tahun 2001 hingga 2005, ROE XL mengalami penurunan yang sangat drastis dibandingkan dengan Telkomsel dan Indosat.

Hal ini karena XL sebagai satu-satunya perusahaan telekomunikasi swasta yang notabene sepenuhnya mengandalkan modal dari investor, pada saat itu mengalami goncangan dalam hal investasi dan permodalan. Pada awal liberalisasi diterapkan, banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi di sektor telekomunikasi. XL sebagai satu-satunya perusahaan swasta mendapatkan banyak modal baru dari investor. Hal ini membuat pembagi dari ROE menjadi semakin besar dan menurunkan nilai ROE. ROE Telkomsel dan Indosat tetap stabil karena pada saat itu sebagian besar sahamnya masih dimiliki oleh pemerintah sehingga kedua perusahaan ini tidak begitu bermasalah dalam hal investasi dam permodalan.

Tidak ada informasi maupun riset mengenai berapa nilai ROE sebuah industri maupun perusahaan yang dianggap baik. Biasanya investor akan lebih percaya jika berinvestasi di dalam industri yang memiliki ROE lebih dari 20%. Berdasarkan data yang didapat, ROE rata-rata dari tiga perusahaan terbesar di industri telekomunikasi seluler Indonesia selama tahun 2001 hingga 2013 adalah sebesar 31.4%. Hal ini menunjukkan bahwa industri telekomunikasi seluler Indonesia masih menjadi industri yang menarik bagi investor domestik maupun

-40% -20% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 R O E Tahun TELKOMSEL INDOSAT XL

26

asing untuk berinvestasi. Data ROE Telkomsel, Indosat, dan XL dapat dilihat pada lampiran 7.

Analisis Dayasaing Telkomsel Pascaliberalisasi Industri Telekomunikasi Berdasarkan berbagai data yang didapat dan berbagai analisis yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa Telkomsel masing memiliki dayasaing yang sangat kuat pasca diberlakukannya liberalisasi industri telekomunikasi di Indonesia. Berdasarkan analisis yang dilakukan, rata-rata pangsa pasar Telkomsel selama tahun 2001 hingga 2013 adalah sebesar 49.39%. Meskipun pangsa pasar Telkomsel perlahan turun karena sejumlah perusahaan operator seluler baru yang membuat persaingan semakin ketat, namun jumlah pelanggan Telkomsel mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Hingga saat ini Telkomsel masih memiliki pangsa pasar terbesar dengan jumlah pelanggan lebih dari 130 juta pada tahun 2013.

Dalam hal kinerja, berdasarkan analisis variabel NIM, Telkomsel menjadi perusahaan dengan NIM rata-rata tertinggi dibandingkan dengan Indosat dan XL dengan nilai NIM sebesar 33.95%. Hal ini menunjukkan bahwa Telkomsel adalah perusahaan operator seluler dengan tingkat pendapatan terbesar di Indonesia selama tahun 2001 hingga tahun 2013.

Selanjutnya analisis kinerja berdasarkan ARPU menunjukkan bahwa Telkomsel mendapatkan keuntungan terbesar dari setiap pelanggannya. Hal ini

Dokumen terkait