• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara geografis DAS Cipasauran terletak pada 06° 1γ’ 51” – 06° 17’ γγ” LS dan 105° 49’ 50” – 105° 56’ 40” BT dan termasuk dalam zona 48 UTM. Secara administratif terletak di Provinsi Banten dengan luas 44.72 km2 yang berjarak ±35 km dari Kota Serang, di mana keadaan topografi didominasi oleh pegunungan di sebelah timur dan dataran rendah di sebelah barat. Peta DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta DAS Cipasauran

Sumber: Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Provinsi Banten (2010)

Lokasi outlet yang digunakan pada penelitian ini adalah lokasi rencana Bendung Cipasauran pada koordinat 6°13'41.56" LS dan 105° 50' 25.20" BT. Penempatan outlet pada lokasi tersebut mengunakan software MapWindow GIS menghasilkan luas sebesar 39.19 km2. Lokasi dari pos pencatatan data debit sungai disajikan pada Gambar 5. Penempatan outlet pada lokasi tersebut menghasilkan luas DAS yang memberikan kontribusi debit pada Sungai Cipasauran sebesar 20.55 km2. Luas tersebut selanjutnya dijadikan input pada program model tangki.

Berdasarkan pada Gambar 5, Sungai Cipasauran terbagi menjadi sub-DAS Kampung Dahu yang ditunjukkan dengan warna merah muda dan sub-DAS Cipasauran yang ditunjukkan dengan warna kuning. Dari proses digitasi menggunakan software ArcGIS 9.3, didapatkan bahwa kedua sub-DAS memiliki jenis tanah yang sama berupa tanah latosol. Latosol merupakan tanah dengan pelapukan lanjut karena sangat tercuci, batas-batas horison baur, kandungan mineral primer dan unsur hara rendah, pH rendah, konsistensi rendah, stabilitas agregat tinggi, dan terjadi akumulasi seskuioksida akibat pencucian silika. Warna tanah merah, coklat kemerahan, coklat, coklat kekuningan, atau kuning, tergantung dari bahan induk, umur, iklim, dan ketinggian (Dudal dan

15 Soepraptohardjo 1957 dalam Mashdar 2011). Di Indonesia, umumnya, tanah latosol berasal dari bahan induk vulkanik, baik berupa tufa ataupun batuan beku. Latosol umumnya berada di daerah iklim tropis basah dengan curah hujan antara 2,500-7,000 mm. (Buringh 1979 dalam Mashdar 2011). Peta sebaran tanah di DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Gambaran umum daerah penelitian

Vegetasi berperan penting dalam melindungi tanah dari pukulan hujan secara langsung dengan mengurangi energi kinetik dari tumbukan dengan adanya penghalang berupa tajuk, batang, dan ranting. Vegetasi juga berpengaruh terhadap besarnya neraca air dengan adanya evapotranspirasi melalui bagian-bagian tubuh vegetasi. Keadaan vegetasi tutupan lahan di DAS Cipasauran dikelompokkan menjadi tujuh jenis penggunaan lahan, pengelompokan jenis penggunaan lahan disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, penggunaan lahan di DAS Cipasauran didominasi oleh semak belukar seluas 10.14 km2 dan hutan sekunder seluas 9.02 km2.

16

Tabel 1 Luas masing-masing tipe tutupan lahan di DAS Cipasauran No. Tutupan Lahan Luas (km2) Persentase luas (%)

1 Badan Air 0.81 2.08 2 Hutan Sekunder 9.02 23.20 3 Pemukiman 1.77 4.56 4 Perkebunan 6.19 15.94 5 Sawah Irigasi 2.54 6.54 6 Semak Belukar 10.14 26.08 7 Tegalan 8.40 21.60 Total 38.87 100 Sumber: Rau (2012)

Penentuan hujan wilayah dilakukan dengan menggunakan metode rata-rata aritmatik yang dijelaskan pada persamaan 1. Data yang digunakan adalah rata-rata dari data hujan harian Stasiun Padarincang dan Stasiun Anyer. Dari hasil analisis hujan wilayah didapatkan bahwa curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli dan September sebesar 0 mm dan tertinggi pada bulan November sebesar 584 mm (Gambar 6).

Gambar 6 Grafik hujan rata-rata bulanan 2007-2010 di DAS Cipasauran Penentuan evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan metode Penman yang dijelaskan pada persamaan 2-12. Berdasarkan perhitungan, diperoleh nilai evapotranspirasi yang terjadi berkisar antara 76.35 mm/bulan-111.64 mm/bulan. Nilai evapotranspirasi minimum terjadi pada bulan Februari dan nilai evapotranspirasi maksimum terjadi pada bulan September. Besarnya

17 nilai evapotranspirasi harian berkisar antara 2.63 mm/hari-3.69 mm/hari (Gambar 7).

Gambar 7 Grafik evapotranspirasi total DAS Cipasauran tahun 1996-2006

Gambar 8 Tampilan program model tangki

Tampilan program model tangki disajikan pada Gambar 8. Data masukan yang digunakan dalam program tersebut adalah data hujan harian (mm), data debit harian terukur (mm), dan data evapotranspirasi aktual harian (mm). Pada sel C3 dan D4, program tersebut melakukan perhitungan ekstrapolasi linear selama tidak ada hujan yang diakibatkan evapotranspirasi dan debit. Pengulangan proses

18

inisialisasi akibat tinggi air awal ditunjukan pada sel O3:R3 dan aliran air di sel S3:Z3. Keluaran model menggambarkan debit harian terukur dan debit harian dugaan di DAS Cipasauran selama periode Juli 2007-Juni 2010. Pemilihan tahun disesuaikan dengan ketersediaan data hujan harian dan debit harian terukur di DAS Cipasauran.

Tabel 2 Parameter model tangki di DAS Cipasauran

No. Parameter Nilai

Awal Akhir Minimum Maksimum

1 A0 0.047 0.019 0.001 1 2 A1 0.006 0.001 0.001 1 3 A2 0.028 0.056 0.001 1 4 B0 1 1 0.001 1 5 B1 0.001 0.001 0.001 1 6 C0 1 1 0.001 1 7 C1 0.001 0.001 0.001 1 8 D1 0.001 0.001 0.001 1 9 HA1 1 1 1 100 10 HA2 36.054 36.053 1 100 11 HB1 17.106 17.100 1 100 12 HC1 1 1 1 100

Dihasilkan 12 parameter model tangki berdasarkan hasil optimasi (Setiawan et. al 2003) seperti disajikan pada Tabel 2. Parameter tersebut dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu:

1. Koefisien laju aliran (Run-off coefficients), menunjukkan besarnya laju aliran, A1=0.001, A2=0.056, B1=0.001, C1=0.001, dan D1=0.001. Parameter yang menunjukkan laju aliran terbesar adalah pada tangki pertama.

2. Koefisien Infiltrasi (Infiltration coefficients), menunjukkan besarnya laju infiltrasi A0=0.019, B0=1, dan C0=1, Parameter yang menunjukkan laju infiltrasi terbesar adalah pada lubang outlet vertikal tangki kedua dan ketiga.

3. Parameter simpanan (Storage parameter), menunjukkan tinggi lubang outlet horizontal masing-masing tangki, HA1=1, HA2=36.053, HB1=17.100, dan HC1=1. Parameter menunjukkan bahwa lubang outlet horizontal tangki pertama adalah yang tertinggi. Nilai awal merupakan kunci dari keberhasilan algoritma ini. Penentuan nilai awal yang terlalu jauh dari nilai optimum menyebabkan program ini tidak akan berhasil menemukan nilai optimum atau terjebak pada nilai optimum palsu. Pengubahan kombinasi nilai awal tertentu dapat menghasilkan penemuan nilai optimum yang lebih baik (Heryansyah 2001). Berdasarkan pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa penentuan nilai awal sudah mendekati dengan nilai akhir (optimum) setelah dilakukan optimasi.

19

Gambar 9 Aliran lateral periode Juli 2007-Juni 2010

Untuk aliran lateral dari outlet 1 di tangki A (qA1), aliran lateral dari outlet 2 di tangki A (qA2), aliran lateral dari outlet 1 di tangki B (qB1), aliran lateral dari outlet 1 di tangki C (qC1), dan aliran lateral di tangki D (qD1) selama Juli 2007-Juni 2010, disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa aliran lateral hasil perhitungan yang semakin dekat dengan permukaan tanah sangat responsif terhadap peningkatan atau penurunan hujan yang terjadi, hal ini terlihat dari nilai qA1 lebih berfluktuasi dibandingkan qD1, qA2, qC1, qB1 sedangkan qD1 lebih berfluktuasi dibandingkan qA2, qC1, qB1. Nilai qA2 lebih berfluktuasi dibandingkan qC1 dan nilai qB1 adalah nol.

Tabel 3 Nilai evaluasi model tangki hasil optimasi periode Juli 2007-Juni 2008

Objective Error Functions Nilai

R (Correlation Coefficient) 0.85

MAE (Mean Absolute Error) 1.56

RMSE (Root Square Mean Error) 2.69

LOG (Log Root Square Mean Error) 0.11

Standard χ 0.52

Squared Standard χ2

0.57

MRE (Mean Relative Error) 0.19

RR (Root Square Relative Error) 0.26

NRMSE (Normalized Root Mean Square Error) 0.36

NME (Normalized Mean Error) 3.7 x 10-3

EI (Nash-Sutcliffe Coefficient or Model Efficiency) 0.72

(Average Percentage Deviation) 3.6 x 10-3

ARE (Area Relative Error) 0.21

CD (Coefficient of Determination) 0.61

ARI (Annual Runoff Index) 3.7 x 10-3

EWB (Error Water Balance) 3.7 x 10-3

Indikator keandalan hasil optimasi disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan pada Tabel 3, didapatkan nilai Correlation Coefficient (R) sebesar 0.85, Mean Absolute Error (MAE) sebesar 1.56, Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 2.69, Log Root Mean Square Error (LOG) sebesar 0.11, Error Water Balance (EWB) sebesar 3.7 x 10-3, Nash-Sutcliffe Coefficient atau Model Efficiency (EI) sebesar

-1 1 3 5 7

1-Jul-07 1-Jan-08 1-Jul-08 1-Jan-09 1-Jul-09 1-Jan-10

A li ra n l at er al ( mm /h ar i) qA1 qA2 qB1 qC1 qD0

20

0.72, dan Area Relative Error (ARE) sebesar 0.21. Menurut (Setiawan et. al 2003), RMSE berguna dalam melihat ketepatan model dalam memperkirakan surface flow, MAE memberikan informasi ketepatan model dalam memperkirakan aliran secara keseluruhan, sedangkan LOG memberikan informasi dalam memperkirakan base flow. Nilai R merupakan parameter keandalan dari proses optimasi yang dilakukan. Menurut (Sahayana 2011), EI memberikan informasi ketepatan model dalam menggambarkan karakteristik hidrologi di daerah penelitian, EWB menggambarkan keseimbangan air di daerah penelitian, dan ARE memberikan informasi ketepatan luas daerah penelitian yang menjadi input pada program tersebut.

Tutupan lahan, jenis tanah, kelerengan, dan iklim mempengaruhi jumlah dan kecepatan aliran, baik di permukaan maupun di dalam tanah (Sahayana 2011). Sahayana (2011) menambahkan, kondisi umum sub-DAS yang sebagian besar tutupan lahannya adalah semak belukar dan lahan pertanian dapat menyebabkan air yang menjadi limpasan cukup besar pada saat terjadi hujan. Nilai RMSE hasil optimasi yang melebihi dari 1 dapat disebabkan karena tutupan lahan di kedua sub-DAS yang didominasi semak belukar dan hutan sekunder.

Hasil perhitungan kumulatif untuk optimasi dari seluruh debit dugaan dan dibandingkan dengan debit yang terukur di Sungai Cipasauran disajikan pada Gambar 10. Hasil simulasi debit yang terlihat dari kurva hidrograf menunjukkan bahwa walaupun terjadi pergeseran bentuk kurva debit simulasi dibandingkan dengan kurva pengukuran tetapi pada umumnya hidrograf yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang sama dan bentuk umum hidrografnya identik. Dengan demikian model simulasi yang dipergunakan dapat dikatakan mampu memodelkan suatu sistem transfer air di dalam DAS dengan baik.

Gambar 10 Hidrograf periode Juli 2007-Juni 2010

Validasi model digunakan untuk melihat kebenaran dari model. Dari proses validasi didapatkan nilai R2 sebesar 0.72 dan nilai y=1.0003 x. Nilai R2 yang mendekati 1 dan y yang mendekati x menggambarkan hubungan antara debit dugaan yang lebih mendekati debit terukur atau dapat dikatakan debit model hasil optimasi lebih dapat menggambarkan debit aktual di lapangan. Dengan kata lain program ini telah mampu memodifikasi model untuk menemukan nilai optimum untuk menggambarkan kondisi kedua sub-DAS yang sesungguhnya. Hubungan (korelasi) linear antara debit terukur/aktual (Qo) dan debit dugaan/model (Qc) hasil optimasi disajikan pada Gambar 11.

0 10 20 30 40 50 60 70 0 20 40 60 80 100 120

1-Jul-07 1-Nov-07 1-Mar-08 1-Jul-08 1-Nov-08 1-Mar-09 1-Jul-09 1-Nov-09 1-Mar-10

D eb it ( mm /h ar i) H u ja n ( mm /h ar i) R Qo Qc

21

Gambar 11 Hubungan antara debit aktual (Qo) dan debit model (Qc) hasil validasi periode Juli 2007-Juni 2008

Jumlah air yang tersedia yang dapat dimanfaatkan adalah selisih dari debit total dengan base flow. Jumlah air tersedia periode Juli 2007-Juni 2008, Juli 2008-Juni 2009, dan Juli 2009-2008-Juni 2010 berturut-turut adalah sebesar 13,412,343 m3/tahun, 9,078,351 m3/tahun, dan 8,713,695 m3/tahun. Jumlah air yang tersedia tiap tahunnya dapat dilihat pada Lampiran 2-4. Dari hasil optimasi model Juli 2007-Juni 2008 diperoleh debit maksimum sebesar 583,792 m3/hari dan debit minimum sebesar 67,241 m3/hari.

Analisis ketersediaan air yang dihasilkan dari model yang telah dibuat hanya menggambarkan sub-DAS Kampung Dahu, karena sub-DAS Kampung Dahu dan sub-DAS Cipasauran memiliki jenis tanah yang sama yaitu tanah latosol, maka debit dengan outlet pada rencana Bendung Cipasauran dapat diestimasi dengan menggunakan rasio luas, sehingga dapat diketahui debit maksimum dan debit minimum di sub-DAS Cipasauran sebesar 1,113,325 m3/hari dan 128,232 m3/hari.

Dokumen terkait