• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pembangunan Usaha Hutan Rakyat Monokultur

Hutan rakyat murni (monokultur) adalah hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur. Areal hutan rakyat monokultur milik Wagimin terletak di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang memiliki luas 0,5 Ha yang telah diusahakan sejak 15 tahun lalu dengan jenis tanaman yang dibudidayakan pada areal tersebut adalah H. braziliensis penghasil getah karet. Pemilihan tanaman H. braziliensis oleh pemilik hutan rakyat monokultur adalah tanaman H. braziliensis dianggap memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan diharapkan dapat memberikan penghasilan yang cukup untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari oleh hasil getah karet yang akan diproduksi setelah tanaman

H. braziliensis berumur 6 tahun. Selain produksi getah karet, setelah tanaman

H. braziliensis tidak produktif lagi diharapkan hasil dari kayu H. braziliensis yang tetap dapat dijual oleh pemilik.

Gambar 1. Hutan rakyat monokultur tanaman H. braziliensis di Desa Jaharun

Pengelolaan hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis

miliknya. Kegiatan budidaya hutan rakyat monokultur dengan tanaman

H. braziliensis terdiri dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit dan pemanenan.

1. Persiapan Lahan

Persiapan lahan untuk budidaya H. braziliensis dibagi dua yaitu penanaman baru dan peremajaan (Damanik et al., 2010). Persiapan lahan hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis dilakukan dengan peremajaan (replanting) yaitu penanaman ulang di areal hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis karena tanaman lama sudah tidak produktif lagi. Kegiatan persiapan lahan dimulai dengan penebangan tanaman H. braziliensis yang sudah tidak lagi produktif yang dilakukan dengan sistem borong, yaitu segala biaya tidak

dikenakan oleh pemilik lahan tetapi ongkos dibebankan kepada hasil kayu

H. braziliensis yang didapat dalam persiapan lahan untuk usaha hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis.

Setelah lahan bebas dari kayu kemudian lahan dibersihkan dan tanah dibongkar secara manual dengan menggunakan cangkul yang diharapkan dapat dibersihkan dari sisa-sisa akar, rhizoma, alang-alang, dan bebatuan karena akan mengganggu perakaran tanaman H. braziliensis. Khusus pembersihan alang-alang dan rumput pengganggu disemprot herbisida dengan menggunakan Roundup dan

Dolomit. Setelah proses persiapan lahan selesai, lahan dibiarkan selama satu tahun untuk menghilangkan hama dan penyakit sisa tanaman H. braziliensis sebelumnya kemudian ditanam dengan komoditi yang sama kembali yaitu H. braziliensis

2. Penanaman

Kegiatan penanaman tanaman H. braziliensis dalam hutan rakyat monokultur dimulai dengan penentuan jarak tanam yaitu 3,5 m x 2,5 m. Menurut Damanik et al., (2010) untuk tanaman karet H. braziliensis tanam optimal tersebut adalah 3 x 7 m jika ditanam secara monokultur. Jarak tanam dalam budidaya tanaman harus mendapatkan perhatian memadai agar produktivitasnya optimal. Jarak tanam sangat ditentukan sosok tanaman. Semakin tinggi dan lebar tajuk tanaman, harus semakin jauh jarak antar tanamannya, dengan harapan tajuk tanaman dan perakarannya tidak saling bertaut.

Berdasarkan pengetahuan pemilik hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis, dengan jarak tanam 3,5 m x 2,5 m efisiensi dalam penggunaan lahan yang diharapkan dapat mengoptimalkan hasil panen getah karet. Setelah penentuan jarak tanam, dilakukan pembuatan lubang tanam. Setelah ditentukan dan ditandai dengan sebatang ajir, lubang tanam dibuat yang ukuran lubang tanam dalam budidaya karet harus disesuaikan dengan kondisi bibit yang akan ditanam yang merupakan bibit dari perbanyakan jenis tanaman H. braziliensis yang telah ada di desa tersebut yang umumnya ukuran lubang tanam dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm dengan bentuk lubang tanam silinder atau kerucut yang semakin menyempit ke dalam dengan menggunakan cangkul. Tanah galian bagian atas atau top soil yang subur dipisahkan dari tanah bagian bawah atau sub soil yang kurang subur. Setelah bibit dan lubang tanam siap maka dapat dilakukan penanaman, kemudian diberi pupuk dasar berupa pupuk kandang dan ditutup dengan tanah top soil.

3. Pemeliharaan

Pemeliharaan hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis

mulai dari penanaman hingga masa produksi meliputi penyiangan dan

pemupukan. Penyiangan hutan rakyat monokultur dengan tanaman

H. braziliensis bertujuan untuk membebaskan tanaman H. braziliensis dari gangguan gulma yang tumbuh di lahan. Kegiatan penyiangan hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis dilakukan dua kali dalam setahun selama tujuh hari. Menurut Damanik et al., (2010) ada dua cara penyiangan yaitu secara manual dan secara kimiawi. Pada areal hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis, penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan menggunakan parang dan cangkul, hal tersebut dilakukan karena areal tersebut tidak terlalu luas sehingga tidak mengeluarkan banyak biaya.

Pemupukan pada areal hutan rakyat monokultur dengan tanaman

H. braziliensis adalah untuk memacu pertumbuhan tanaman muda, mempercepat matang sadap, menjaga ketersediaan getah karet sehingga panen getah karet dapat dilakukan secepatnya dan diharapkan dengan produksi getah karet yang tinggi. Kegiatan pemupukan dilakukan secara manual yaitu lubang dengan jarak disesuaikan dengan umur tanaman dan dilakukan umunya dengan jarak 15-50 cm dan kedalaman 15 cm, kemudian pupuk ditaburkan ke dalamnya dan ditutup dengan tanah. Kegiatan pemupukan dilakukan pada musim kemarau, hal tersebut sesuai dengan Damanik et al., (2010) yang menyatakan pemupukan tanaman karet sebaiknya tidak dilakukan pada pertengahan musim hujan karena pupuk mudah tercuci air hujan. Idealnya, pemupukan dilakukan pada pergantian musim hujan ke musim kemarau. Jenis pupuk yang diberikan adalah urea dengan dosis 17 gr/phn.

4. Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dilakukan penyemprotan pestisida sampai tanaman

H. braziliensis berusia 3 tahun. Penyakit yang sering menyerang tanaman

H. braziliensis adalah tidak keluarnya getah karet pada musim panen. Menurut Damanik et al., (2010) gejala tersebut dinamakan penyakit brown blast, penyakit

brown blast bukan disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, melainkan karena penyadapan yang terlalu sering, apalagi jika disertai penggunaan bahan perangsang lateks. Penyakit ini juga sering menyerang tanaman yang terlalu subur, berasal dari biji, dan tanaman yang sedang membentuk daun baru.

Dikarenakan pengelolaan hutan rakyat monokultur dengan tanaman

H. braziliensis masih tradisional, untuk mengatasi gejala penyakit tersebut pemilik hanya menunggu sampai getah karet dapat keluar dan dipanen kembali. 5. Pemanenan

Kegiatan pemanenan getah karet dilakukan sendiri oleh pemilik hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis, kegiatan penyadapan getah dilakukan setelah usia tanaman karet berumur 6 tahun dengan frekuensi penyadapan 8 kali dalam sebulan. Sistem pemanenan kayu H. braziliensis setelah tanaman H. braziliensis tidak lagi produktif adalah dilakukan dengan sistem borong. Sistem ini dikatakan sistem borong, bila pembeli berminat membeli kayu dari tanaman H. braziliensis yang sudah tidak produktif dengan biaya pemanenan kayu ditanggung kepada pembeli.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di lapangan, rincian biaya pembangunan usaha hutan rakyat monokultur yang dikeluarkan oleh pemilik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rincian biaya pembangunan usaha hutan rakyat monokultur

No. Uraian Jumlah Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)

1 Sewa lahan 0.5 Ha 2.000.000 40.000.000 2 Bibit H. braziliensis 600 bibit 3.000 1.800.000 3 Peralatan

Cangkul 7 buah 30.000 210.000 Parang 5 buah 35.000 170.000 Alat sadap 10 buah 40.000 400.000 4 Pupuk, herbisida dan

pestisida Kandang 570 Kg 1.000 570.000 Urea 2000 Kg 2.000 40.000.000 Roundup 2 botol 60.000 120.000 Dolomit 4 botol 25.000 100.000 Pestisida 6 botol 80.000 480.000 5 Persiapan lahan 40 HOK 40.000 1.600.000 6 Penanaman 25 HOK 40.000 1.000.000 7 Pemeliharaan

Penyiangan 42 HOK 40.000 1.680.000 Pemupukan 40 HOK 40.000 1.600.000 Penyemprotan pestisida 6 HOK 40.000 240.000 9 Pemanenan 1440 HOK 40.000 57.600.000

Total 111.575.000

Hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis memiliki bibit

tanaman H. braziliensis yang dibeli dari penjual bibit. Bibit tanaman

H. braziliensis dibeli sebanyak 600 bibit dengan harga Rp. 3.000/buah. Total

biaya yang dikeluarkan pada areal hutan rakyat monokultur dengan tanaman

H. brasiliensis pada tahun pertama yaitu sebesar Rp. 8.775.000. Biaya tersebut meliputi pengadaan bibit, peralatan, pupuk, herbisida, pestisida, persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan. Pada tahun berikutnya hingga tahun ke-20, total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 102.800.000, lebih besar bila dibandingkan

tahun pertama. Biaya tersebut meliputi pembelian pupuk dan pestisida serta biaya pemeliharaan serta pemanenan.

Potensi Hutan Rakyat Monokultur

Hasil pengukuran potensi hutan rakyat monokultur dengan tanaman

H. braziliensis di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Potensi hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis

No. Jenis komoditi Volume getah karet (Ton) Volume kayu H. braziliensis (M3) 1 Getah Karet a. Umur 6-10 thn 14,880 b. Umur 11-20 thn 59,520 2 Kayu H. braziliensis a. Diameter > 30 cm - b. Diameter 20-29 cm 10,908 c. Diameter < 19 cm 74,899 Total 74,400 85,807 Potensi/Ha 148,800 171,614

Lokasi hutan rakyat monokultur tanaman H. braziliensis memiliki potensi getah karet sebesar 74,400 Ton selama 20 tahun dengan luas areal 0.5 Ha. Potensi getah karet tersebut telah dapat disadap setelah berusia 6 tahun. Pada usia tanaman

H. braziliensis berumur 6-10 tahun dapat menghasilkan 2,976 Ton/thn getah karet dan pada usia tanaman H. braziliensis berumur 11-20 tahun dapat menghasilkan 5,952 Ton/thn getah karet.

Areal hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis terdapat 565 batang tanaman H. braziliensis yang memiliki nilai komersial dari total bibit yang ditanam sebanyak 570 bibit dengan total volume 85,80 m3 dengan luas areal

oleh diameter dibawah 19 cm dengan jumlah volume sebesar 74,89 m3. Diikuti

oleh diameter antara 20-29 cm dengan volume 10,91 m3. Usia tanaman

H. braziliensis di lokasi ini telah berusia 15 tahun.

Berdasarkan hasil wawancara, areal hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis tidak dilakukan penjarangan dan tetap pada jarak tanam 2,5 m x 3,5 m. Menurut Damanik et al., 2010, Tanaman H. braziliensis ditanam secara monokultur jarak tanam optimal adalah 3 x 7 m. Oleh karena pengelolaan hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis milik Wagimin masih tradisional dengan proses pembangunan hutan rakyat monokultur dengan tanaman

H. braziliensis berdasarkan pengetahuan yang pemilik miliki, hasil yang didapat untuk getah karet masih belum optimal dengan rata-rata dalam sebulan tanaman

H. braziliensis hanya menghasilkan getah karet sebanyak 0,88 Kg/bln setelah tanaman H. braziliensis berusia lebih dari 10 tahun.

Harga Komoditi Hasil Hutan Rakyat Monokultur

Berdasarkan hasil wawancara, penjualan hasil getah karet yang diperoleh pemilik adalah dijual kepada agen yang menampung getah karet dari masyarakat pengelola hutan rakyat monokultur tanaman H. braziliensis. Jadi dalam hal ini hanya agen yang dapat menentukan harga hasil getah karet dari masyarakat pengelola hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis. Sistem penjualan kayu H. braziliensis setelah tanaman H. braziliensis tidak lagi produktif adalah dilakukan dengan sistem borong. Sistem ini dikatakan sistem borong, bila pembeli berminat membeli kayu dari tanaman H. braziliensis yang sudah tidak produktif dengan biaya pemanenan kayu ditanggung kepada pembeli dan harga

dari kayu H. braziliensis dihargai per mobil pick up yang dapat menampung kayu karet sekitar 8 m3.

Harga untuk getah karet yang dijual ke agen berada di kisaran harga Rp. 6.500/Kg sampai Rp. 7.000/Kg dan untuk harga kayu H. braziliensis per

mobil pick up adalah berkisar Rp. 1.200.000. Kegiatan pemanenan hingga penjualan getah karet tidak dikenakan biaya pemanenan karena pemilik hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis sendiri yang melakukan

kegiatan pemanenan getah karet dan dalam hal penjualan kayu dari tanaman

H. braziliensis yang sudah tidak produktif pemilik hutan rakyat monokultur hanya terima bersih, yang berarti pembeli yang menanggung semua kegiatan operasional dan mengeluarkan biaya yang diperlukan dalam kegiatan penebangan, penyaradan hingga pengangkutan.

Berdasarkan penentuan harga tersebut, dapat diketahui penaksiran

pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan dari getah karet dan kayu

H. braziliensis. Jika harga getah karet Rp. 6500/Kg dan harga kayu H. braziliensis

per mobil pick up adalah berkisar Rp. 120.000. Total pendapatan yang diterima pemilik hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Total pendapatan usaha hutan rakyat monokultur selama 20 tahun

No. Jenis komoditi Jumlah Pendapatan (Rp)

1. Getah karet 74,400 ton 483.600.000 2. Kayu H. braziliensis 85,807 m3 12.670.000

Total 496.470.000

Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa pendapatan dari getah karet dengan

H. braziliensis adalah Rp. 12.670.000. Total pendapatan yang diperoleh dari hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis adalah Rp. 496.470.000. Total

pendapatan yang diperoleh dari hutan rakyat monokultur dengan tanaman

H. braziliensis merupakan pendapatan kotor yaitu belum termasuk biaya yang dikeluarkan mulai dari persiapan lahan hingga pemanenan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.47/Menhut-II/2008 tentang Penetapan Harga Limit Lelang Hasil Kayu dan Bukan Kayu, harga hasil komoditi dari hutan rakyat monokultur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penetapan harga limit lelang hasil hutan kayu dan bukan kayu

No. Jenis Komoditi Satuan Harga Limit Lelang (Rp) / Wilayah Wilayah I (Sumatera) Wilayah II (Kalimantan) Wilayah III (Sulawesi) Wilayah IV (Maluku, Papua) Wilayah V (Jawa, Bali) 1 Kayu H. braziliensis a. Diameter > 30 cm M3 160.000 160.000 160.000 160.000 260.000 b. Diameter 20-29 cm M3 140.000 140.000 140.000 140.000 240.000 c. Diameter < 19 cm M3 100.000 100.000 100.000 100.000 110.000

Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.47/Menhut-II/2008

Berdasarkan Tabel 4, dapat dilakukan perbandingan penaksiran pendapatan dari kayu H. braziliensis berdasarkan asumsi pendapatan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.47/Menhut-II/2008 dengan pendapatan dari kayu

H. braziliensis berdasarkan sistem borongan yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan pendapatan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.47/Menhut-II/2008 dengan sistem borong

No. Jenis Komoditi Volume (m3) Pendapatan (Rp)

Ø < 19 Ø 20-29 Ø > 30 1 Kayu H. braziliensis (berdasarkan P.47/Menhut-II/2008 ) 748,991 109,081 - 9.017.020 2 Kayu H. braziliensis (Berdasarkan sistem borong) 748,991 109,081 - 12.670.000

Berdasarkan Tabel 5 asumsi pendapatan yang diperoleh dari kayu

H. braziliensis berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.47/Menhut-II/2008 adalah Rp. 9.017.020. Pendapatan hasil kayu H. brasiliensis berdasarkan sistem borong adalah Rp. 12.670.000 . Bila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh pemilik hutan rakyat monokultur dengan tanaman H. braziliensis

tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari pendapatan kayu H. braziliensis. Sistem penjualan kayu H. braziliensis yang sudah tidak lagi produktif yang dilakukan dengan sistem borong menguntungkan pemilik hutan rakyat monokultur dengan tanaman karet dengan selisih pendapatan bila dibandingkan dengan asumsi pendapatan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.47/Menhut-II/2008 adalah Rp. 3.652.980.

Proses Pembangunan Usaha Hutan Rakyat Campuran

Hutan rakyat campuran adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran. Areal hutan rakyat campuran milik Ponijo Sukendar di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang memiliki luas 1 Ha yang telah diusahakan sejak 7 tahun lalu dengan jenis tanaman yang ditanami pada areal tersebut adalah A. malaccensis penghasil gubal gaharu, mahoni (S. mahagoni), G. arborea, melinjo (G. gnemon), dan sentang (M. excelsa). Tanaman utama pada usaha hutan rakyat campuran milik Ponijo Sukendar adalah A. malaccensis dikarenakan tanaman gaharu memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan jenis tanaman lain yang ditanam secara campuran. Pemilihan jenis pada areal hutan rakyat sesuai dengan pernyataan Surmana (2001) terkait dengan pemilihan beberapa tanaman yang dikembangkan di hutan rakyat.

Gambar 2. Hutan rakyat campuran di Desa Jaharun

Hutan rakyat campuran dibangun dengan kemapuan modal dan tenaga sendiri dengan tujuan untuk tabungan di masa mendatang. Pola pembangunan hutan rakyat campuran merupakan pola pembangunan swadaya yang dibangun

oleh kelompok atau pereorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mampu untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan (KLH, 2007).

Pengelolaan hutan rakyat campuran merupakan bagian dari seluruh aktivitas pemilik yang berprofesi sebagai petani. Kegiatan budidaya hutan rakyat campuran terdiri dari pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama penyakit dan pemanenan.

1. Pemilihan jenis

Jenis tanaman yang ditanami pada areal hutan rakyat campuran adalah A. malaccensis sebanyak 800 bibit, mahoni (S. mahagoni) sebanyak 300

bibit, melinjo (G. gnemon) sebanyak 40 bibit, G. arborea sebanyak 30 bibit, dan sentang (M. excelsa) sebanyak 40 bibit. Pemilihan jenis tersebut dilakukan karena telah diketahui tehnologi penanaman, perawatan, pemeliharaan, perlindungan serta pemanenan dan komoditi yang ditanam memiliki akses yang baik terhadap pemasaran serta yang akan menampung, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Windawati (2005) terkait dengan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan suatu jenis tanaman di hutan rakyat. Pemelihan jenis tersebut juga dapat memberikan hasil jangka pendek dari panen buah melinjo yang dapat

dipanen setelah berumur 3 tahun, hasil jangka menengah dari budidaya

A. malaccensis yang dapat dipanen pada umur 10 tahun dan jangka panjang dari

tanaman G. arborea, M. excelsa dan S. mahagoni yang dipanen dalam usia 20 tahun.

2. Persiapan lahan

Persiapan lahan hutan rakyat campuran dilakukan dengan penebangan komoditi H. braziliensis yang sudah tidak lagi produktif. Proses penebangan dilakukan dengan sistem borong, yaitu segala biaya tidak dikenakan oleh pemilik lahan tetapi ongkos dibebankan kepada hasil kayu H. braziliensis yang didapat dalam persiapan lahan untuk usaha hutan rakyat campuran. Setelah lahan bebas dari kayu kemudian lahan dibersihkan dengan traktor dengan sistem penyewaan yang diharapkan dapat dibersihkan dari sisa-sisa akar, rhizoma, alang-alang, dan bebatuan karena akan mengganggu perakaran tanaman tanaman dan lahan disemprot herbisida dengan menggunakan Roundup dan Dolomit untuk membersihkan alang-alang dan rumput pengganggu. Setelah proses persiapan lahan selesai, lahan dibiarkan selama satu tahun untuk menghilangkan hama dan penyakit bekas tanaman H. braziliensis sebelumnya kemudian ditanam dengan tanaman yang telah dipilih sebelumnya sebagai sebuah usaha hutan rakyat campuran.

3. Penanaman

Kegiatan penanaman hutan rakyat campuran dimulai dengan penentuan jarak tanam. Tanaman A. malaccensis ditanam dengan jarak tanam 4 x 4 m yang berada di selang tanaman S. mahagoni yang juga ditanam dengan jarak tanam 4 x 4 m. Untuk tanaman M. excelsa dan G. arborea ditanam dengan jarak tanam 3 x 3

m serta tanaman G. gnemon ditanam dengan jarak tanam 5 x 5 m. Tanaman

M. excelsa dan G. arborea ditanam mengelilingi areal hutan rakyat campuran yang dimaksudkan untuk menutupi tanaman A. malaccensis sebagai tanaman utama dalam hutan rakyat campuran agar menghidari dari pencurian. Penanaman

tanaman S. mahagani di selang antara tanaman A. malaccensis adalah juga untuk melindungi tanaman A. malaccensis sebagai tanaman utama dalam hutan rakyat campuran agar tidak terlalu terlihat oleh masyarakat sekitar dan juga menghidari dari pencurian.

Setelah penentuan jarak tanam, dilakukan pembuatan lubang tanam. Setelah ditentukan dan ditandai dengan sebatang ajir, lubang tanam dibuat yang ukuran lubang tanam yang harus disesuaikan dengan kondisi bibit yang akan ditanam. Kondisi bibit yang ditanam semuanya berasal dari perbanyakan dengan

menggunakan biji. Umumnya ukuran lubang tanam adalah dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm dengan bentuk lubang tanam silinder atau kerucut yang semakin

menyempit ke dalam dengan menggunakan cangkul. Tanah galian bagian atas atau top soil yang subur dipisahkan dari tanah bagian bawah atau sub soil yang kurang subur. Setelah bibit dan lubang tanam siap maka dapat dilakukan penanaman, kemudian diberi pupuk dasar berupa pupuk kandang dan ditutup dengan tanah top soil.

4. Pemeliharaan

Pemeliharaan hutan rakyat campuran mulai dari penanaman hingga masa

produksi meliputi penyiangan dan pemupukan dan khusus untuk tanaman

A. malaccensis dilakukan kegiatan penyuntikan fusarium yang ditujukan untuk pembentukan gubal gaharu pada tanaman A. malaccensis. Penyiangan pada hutan rakyat campuran bertujuan untuk membebaskan semua tanaman dari gangguan gulma yang tumbuh di lahan. Kegiatan penyiangan pada hutan rakyat campuran dilakukan dua kali dalam setahun. Pada areal hutan rakyat campuran penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan menggunakan parang dan cangkul,

hal tersebut dilakukan karena areal tersebut tidak terlalu luas sehingga tidak mengeluarkan banyak biaya.

Pemupukan pada areal hutan rakyat campuran adalah untuk memacu pertumbuhan tanaman muda. Kegiatan pemupukan dilakukan secara manual yaitu lubang dengan jarak disesuaikan dengan umur tanaman dan dilakukan umunya dengan jarak 15-50 cm dan kedalaman 15 cm, kemudian pupuk ditaburkan ke dalamnya dan ditutup dengan tanah. Jenis pupuk yang diberikan adalah urea dan NPK dengan dosis 33 gr/phn.

Khusus untuk tanaman A. malaccensis, dilakukan penyuntikan fusarium

untuk pembentukan gubal gaharu pada tanaman A. malaccensis. Kegiatan

penyuntikan fusarium dilakukan dengan pengeboran batang tanaman

A. malaccensis, kemudian fusarium disuntik ke dalam batang tanaman

A. malaccensis. Gaharu merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Gaharu terbentuk sebagai reaksi pertahanan terhadap infeksi patogen melalui pelukaan pada batang, cabang, atau ranting, atau pengaruh fisik lain. Infeksi patogen menyebabkan keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu, lama-kelamaan jaringan kayu mengeras dan menjadi cokelat (Santoso et al., 2007). 5. Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dilakukan penyemprotan pestisida sampai tanaman semua tanaman yang berada di hutan rakyat campuran berumur 6 tahun. Hama yang menyerang tanaman A. malaccensis adalah hama ulat yang menyerang daun, kegiatan penanggulangannya adalah menyemprotkan dengan menggunakan pestisida. Pada tanaman S. mahagoni dan G. arborea, hama yang menyerang

adalah hama penggerek batang, kegiatan penanggulangannya adalah menyemprotkan dengan menggunakan pestisida sampai usia tanaman 6 tahun, jika usia tanaman lebih dari 6 tahun maka kegiatan penyemprotan herbisida akan dihentikan walaupun terdapat hama yang menyerang.

6. Pemanenan

Kegiatan pemanenan tanaman A. malaccensis dilakukan setelah tanaman berumur 10 tahun, pemanenan gubal gaharu dilakukan oleh tenaga kerja yang diupah per tanaman A. malaccensis yang dipanen mulai dari penebangan, penyaradan sampai dengan pengupasan batang A. malaccensis hingga

mendapatkan hasil gubal gaharu. Sistem pemanenan kayu S. mahagoni,

M. excelsa dan G. arborea dilakukan dengan sistem borong setelah tanaman tersebut berumur 20 tahun. Sistem ini dikatakan sistem borong, bila pembeli berminat membeli kayu dari tanaman S. mahagoni, M. excelsa dan G. arborea

dengan biaya pemanenan kayu ditanggung kepada pembeli. Untuk tanaman

G. gnemon, kegiatan pemanenan buah melinjo dilakukan setelah tanaman melinjo

Dokumen terkait