• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum

Kebijakan makroekonomi setiap negara bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mengendalikan tingkat inflasi agar lajunya

19

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 5 Total perdagangan terhadap GDP di negara anggota ASEAN tahun 2005-2012 (persen)

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 4 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi negara anggota ASEAN tahun 2005- 2012 (persen)

rendah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja dan alokasi faktor produksi. Sedangkan inflasi yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap perekonomian negara. Negara yang berpendapatan tinggi cenderung memiliki tingkat inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang kecil.

Pada Gambar 4 perbandingan rata-rata inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN. Negara-negara yang memiliki pertumbuhan lebih besar daripada inflasi diantaranya Singapura, Malaysia, Thailand, dan Laos. Sedangkan Indonesia, Brunei, Vietnam, dan Kamboja memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil daripada inflasi. Hal ini menunjukan laju inflasi yang rendah akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Nell (2010) menyatakan bahwa inflasi yang tidak lebih dari zona single digit dapat berdampak baik pada pertumbuhan, sedangkan inflasi yang lebih dari zona double digit dapat memperlambat pertumbuhan. Konvergensi pertumbuhan ekonomi dan inflasi diperlukan ASEAN dalam rangka membentuk ASEAN Single Currency di masa depan. Kebijakan penyesuaian nilai tukar akan efektif jika terdapat karakteristik ekonomi yang simetris suatu di kawasan.

20

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 6 Rata-rata pertumbuhan impor dan ekspor ASEAN tahun 2005-2012 (persen)

Total perdagangan yang digunakan pada penelitian ini adalah jumah share dari total ekspor dengan total impor barang dan jasa terhadap GDP. Gambar 5 menunjukan total perdagangan terhadap GDP di negara-negara ASEAN pada tahun 2007 hingga 2009 terjadi penurunan total perdagangan karena perlambatan perekonomian dunia. Hal tersebut menyebabkan permintaan impor dunia terhadap barang dan jasa ASEAN menurun. Singapura merupakan negara yang memiliki total perdagangan tertinggi di ASEAN, karena bisnis dan perdagangan merupakan sektor utama di Singapura. Perdagangan barang dan jasa antar ASEAN masih rendah, yaitu 24.3% di tahun 2012 dan negara mitra perdagangan ASEAN terbesar, yaitu antarnegara ASEAN, Cina, Uni Eropa, Jepang dan Amerika (ADB 2013).

Gambar 6 menunjukan rata-rata pertumbuhan impor dan ekspor barang dan jasa di negara ASEAN. ASEAN mulai menghadapi penurunan permintaan barang dan jasa dari negara-negara industri seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika pada awal 2009 karena krisis suprime mortgage, sebesar - 9.84% . Pada awal 2005 pertumbuhan ekspor ASEAN masih lebih besar daripada pertumbuhan impor, menunjukan produktifitas negara-negara ASEAN baik. Memasuki awal 2007 ekspor ASEAN, perekonomian ASEAN masih dapat bertahan karena mengandalkan konsumsi dan investasi domestik yang masih tinggi, di saat perdagangan mengalami penurunan. Akhir periode 2012, pertumbuhan impor ASEAN lebih besar daripada pertumbuhan ekspor.

Gambar 7 menunjukan pertumbuhan nilai tambah industri masih beragam di ASEAN. Pada saat krisis tahun 2009 rata-rata pertumbuhan nilai tambah industri ASEAN menurun sebesar 0.16% , namun Laos mengalami kenaikan. Nilai tambah industri terdiri dari penambahan nilai pada sektor pertambangan, manufaktur, kontruksi, elektronik, gas dan air. Nilai tambah industri yang semakin meningkat akan meningkatkan nilai jual produk, sehingga produk yang dijual tidak hanya berupa barang mentah. Memasuki tahun 2010 terjadi lonjakan tajam pertumbuhan nilai tambah industri. Lonjakan pertumbuhan nilai tambah industri terjadi karena faktor transisional ekspansi kebijakan fiskal untuk menghadapi krisis yang meningkatkan konsumsi domestik dan meningkatkan penjualan (ADB 2011).

21

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 7 Tingkat pertumbuhan nilai tambah industri negara-negara ASEAN tahun 2005-2012 (persen)

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 8 Nilai net Foreign Direct Investment (FDI) di ASEAN tahun 2005- 2012 (Milyar USD)

Gambar 8 menunjukan nilai total bersih dari FDI inflow di Negara-Negara ASEAN. Singapura merupakan negara yang memiliki perkembangan FDI yang paling tinggi karena sektor bisnis dan jasa menjadi sektor utama. Negara mitra tertinggi untuk FDI di ASEAN, yaitu Jepang, Uni Eropa dan antar negara ASEAN. ASEAN merupakan salah satu tujuan investasi dunia sebagai emerging market karena memiliki jumlah konsumen dan tenaga kerja yang cukup besar.

Gambar 9 menunjukan pengeluaran konsumsi rumah tangga di negara anggota ASEAN. Negara yang memiliki tingkat konsumsi tertinggi, yaitu Indonesia dengan rata-rata 21 juta USD. Pada saat krisis Amerika dan Eropa tahun 2008 dan 2010, tidak berpengaruh terhadap daya beli masyarakat di ASEAN. Tingkat konsumsi di ASEAN semakin meningkat setiap tahun. Peningkatan konsumsi disebabkan oleh peningkatan daya beli masyarakat akan meningkatkan tingkat GDP.

22

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 9 Perkembangan pengeluaran konsumsi rumah tangga di negara anggota ASEAN tahun 2005-2012 (juta USD)

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 10 Perkembangan pertumbuhan sektor pertanian di negara anggota ASEAN tahun 2005-2012 (persen)

Gambar 10 di bawah ini menunjukan tingkat pertumbuhan pertanian yang beragam di ASEAN. Negara yang masih memiliki pertumbuhan pertanian yang masih positif walau terdapat krisis di tahun 2008, diantaranya Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Laos. Pertumbuhan sektor pertanian cenderung berfluktuatif. Sebagian negara di ASEAN mengalami transisi dari sektor pertanian ke sektor industri.

Gambar 11 nilai tukar merupakan salah satu faktor yang memengaruhi inflasi yang berasal dari sisi permintaan. Real Effective Exchange Rate merupakan indeks kurs nominal terhadap mata uang dari mitra dagang utama yang telah disesuaikan terhadap efek inflasi. REER dapat memperhitungkan kondisi nilai

23

Sumber : IMF, 2013 (diolah)

Gambar 12 Perkembangan general total government expenditure di negara anggota ASEAN tahun 2005-2012 (persen)

Sumber : Bruegel, 2014 (diolah)

Gambar 11 Real Effective Exchange Rate negara-negara ASEAN tahun 2005- 2012

tukar sebenarnya di suatu negara dan indikator kompetitif perdagangan suatu negara. Rata-rata REER negara-negara ASEAN mengalami kenaikan pada tahun 2008 dan berangsur turun hingga tahun 2012.

Gambar 12 menunjukan perkembangan total pengeluaran pemerintah. Pada tahun 2008, negara-negara ASEAN yang telah melakukan kebijakan ekspansi fiskal untuk mengatasi krisis, yaitu Kamboja, Singapura, Vietnam, Filipina dan Thailand. Ekspansi fiskal dilakukan agar menjaga konsumsi dan investasi domestik sehingga dapat mendorong kegiatan produksi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pengeluaran pemerintah pada satu waktu akan meningkatkan jumlah uang beredar dalam jangka pendek dan meningkatkan permintaan agregat sehingga meningkatkan output dan tingkat harga.

24

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 13 Perkembangan pembentukan kapital di negara anggota ASEAN tahun 2005-2012 (Milyar USD)

Sumber : World Bank, 2013 (diolah)

Gambar 14 Perkembangan jumlah uang beredar (M2) negara anggota ASEAN tahun 2005-2012

(persen)

Pembentukan kapital terhadap fixed asset meliputi penyediaan bangunan, tanah, mesin, konstruksi jalan dan infrastruktur lain. Perkembangan pembentukan kapita di ASEAN pada Gambar 13 cenderung meningkat setiap tahun, namun mengalami penurunan di tahun 2009. Indonesia memiliki tren pembentukan kapital yang terus meningkat dari tahun 2005 hingga 2012. Sedangkan Kamboja dan Brunei memiliki pembentukan kapital rendah. Pembentukan kapital ini meliputi pengeluaran untuk investasi infrastruktur dan inventori lain. Peningkatan pengeluaran investasi akan meningkatkan jumlah uang beredar, pada jangka pendek permintaan agregat akan meningkat sehingga output dan tingkat harga meningkat.

Semakin banyak masyarakat memegang uang maka akan terjadi peningkatan permintaan produk yang akan meningkatkan tingkat harga. Gambar 14 menunjukan negara dengan rata-rata jumlah uang beredar di ASEAN Malaysia dan Singapura sebesar 131.37% dan 123.29%. Sebagian besar terjadi peningkatan

25 jumlah uang beredar di negara ASEAN pada tahun 2009. sebagai dampak dari kebijakan ekspansif

Analisis Deskriptif Kriteria Konvergensi Maastricht Treaty

Salah satu tujuan pembentukan ASEAN untuk mempersempit kesenjangan pembangunan melalui bantuan dan kerja sama timbal balik. Kondisi ekonomi negara anggota ASEAN masih sangat beragam. Negara yang tergolong berpendapatan tinggi di ASEAN, yaitu Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Malaysia. Sedangkan negara yang tergolong berpendapatan menengah, yaitu Indonesia dan Filipina serta kelompok negara berpendapatan kecil, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.

Dalam menciptakan stabilitas ekonomi, inisiatif integrasi ekonomi merupakan salah satu pilihan yang layak di ASEAN. Namun tercapainya integrasi ASEAN secara penuh akan sulit karena kondisi dan pekembangan kerja sama di ASEAN dinilai belum tercapai baik. Semenjak keberhasilan Uni Eropa membentuk suatu monetary union, terdapat wacana untuk menerapkan hal yang sama di ASEAN mengingat kawasan ini merupakan kawasan kekuatan ekonomi baru dunia. Uni Eropa memberlakukan suatu kriteria yang menjadi tolak ukur kinerja ekonomi bagi negara-negara yang akan bergabung ke dalam monetary union. Kriteria tersebut melingkupi inflasi, suku bunga, defisit fiskal dan utang pemerintah. Melalui kriteria ini diharapkan kebijakan ekonomi negara anggota akan mencapai suatu konvergensi. Perbandingan kondisi negara-negara ASEAN dalam menghadapi integrasi ekonomi yang lebih intensif dalam periode 2005 hingga 2012 dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut :

Tabel 4 Konvergensi ASEAN berdasarkan kriteria Maastricht Treaty tahun 2005-2012 Negara Inflasi (%) Suku Bunga Nominal (%) Defisit Fiskal (% of GDP) Utang Pemerintah (% of GDP) Reference Value 3.6984 8.77830564 - 3 60 Brunei**** 1.041213 2.45540496 15.304573 2.36 Cambodia** 7.11304 n.a -1.746643 28.755 Indonesia** 7.416087 10.0631146 -0.80182 24.032 Lao PDR* 5.496336 n.a -2.133146 61.529 Malaysia*** 2.648368 4.31904393 -3.576959 55.981 Myanmar** 11.81825 n.a -2.6535 47.27 Philipines*** 4.873812 8.68184444 -1.622209 40.595 Singapore*** 2.905618 6.39300958 5.054145 107.881 Thailand**** 3.267259 6.28069195 -1.220636 45.44 Vietnam** 11.3469 11.74491 -1.273588 49.953

Keterangan : * memenuhi satu kriteria ** memenuhi dua kriteria

*** memenuhi tiga kriteria **** memenuhi empat kriteria

26

Tabel 5 Hasil estimasi konvergensi absolut pendapatan di ASEAN dengan FD GMM Koefisien Estimasi PLS FE FD GMM GDPPPP t-1 1.064741 [0.000]* 0.3233967 [0.000]* 0.8641106 [0.000]* R square 0.9983 0.8583 AB Test Arellano-Bond m1 z -1.8885 Prob > z 0.0590 Arellano-Bond m2 -1.7325 0.1884 Sargan Test chi2 8.99596 Prob>chi square 0.9830

*,**,*** signifikan pada 1%, 5% dan 10%

Berdasarkan Tabel 4, hanya Brunei dan Thailand yang dapat memenuhi empat kriteria secara keseluruhan. Brunei merupakan negara penghasil minyak serta memiliki kondisi ekonomi yang cenderung stabil. Thailand saat ini menjadi salah satu negara eksportir komoditi pertanian terbesar dan pariwisata. Selanjutnya Malaysia, Singapura dan Filipina memenuhi tiga kriteria. Negara yang memenuhi dua kriteria, yaitu Indonesia, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Singapura sebagai negara yang berpendapatan tinggi masih belum memenuhi kriteria karena utang pemerintah tertinggi diantara negara anggota ASEAN lainnya. Laos hanya mampu memenuhi satu kriteria saja. Jika secara garis besar negara-negara dalam kawasan tidak memenuhi kriteria Maastricht ini maka kebijakan moneter dalam perspektif regional untuk merespon shock di kawasan ASEAN tidak efektif dilakukan. Kondisi ekonomi kawasan ASEAN belum menuju suatu konvergensi ekonomi menurut kriteria Maastricht.

Model Konvergensi Absolut Pendapatan

Pada panel dinamis, hasil estimasi konvergensi absolut lag GDP PPP dalam model First Difference GMM menunjukan nilai , yaitu 0.8641106 signifikan pada taraf nyata 5%. Koefisien menunjukan nilai kurang dari satu nilai (-0.136) kurang dari nol. Hal ini menunjukan terjadi proses konvergensi pendapatan di ASEAN tanpa diikuti dengan adanya faktor kondisi tertentu dari masing-masing negara. Tingkat konvergensi diperoleh dari pengurangan koefisien lag dikurangi satu (0.8641 – 1) didapatkan nilai sebesar 0.13591 atau menunjukan kecepatan masing-masing negara untuk mencapai kondisi steady state sebesar 13.6% per tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi konvergen di negara ASEAN atau half life of convergence sekitar 5 tahun2 dengan asumsi cateris paribus.

1

Tingkat konvergensi dinyatakan sebagai – 2

27

Gambar 15 Sebaran laju GDP per Capita at Purchasing Power Parity negara anggota ASEAN tahun 2005 - 2012 (diolah)

Model terbaik yang dipilih model FD GMM dalam estimasi two step no constant , karena memenuhi kriteria uji Arrelano Bond dan uji Sargan. Hasil estimasi uji Arrelano-Bond (AB) menyatakan bahwa uji statistik m1 (-1.8885) signifikan pada taraf nyata 10% atau menunjukan nilai yang menolak hipotesis H0 . Sedangkan statistik m2 (-1.7325) tidak signifikan pada taraf nyata 10% atau menunjukan nilai tidak tolak hipotesis H0. Hasil pada uji Sargan menunjukan nilai chi square (8.99596) dengan probabilitas (0.9830) yang tidak signifikan atau menunjukan nilai tidak tolak hipotesis H0 . Koefisien lag FD GMM berada diantara koefisien lag PLS dan FE, sehingga estimasi tersebut tidak bias.

Gambar 15 slope yang negatif menunjukan adanya korelasi negatif antara tingkat pertumbuhan GDP PPP pada periode awal tahun 2005 dan tingkat pertumbuhan GDP PPP pada sepanjang periode 2005 hingga 2012. Hal ini menyatakan bahwa adanya konvergensi absolut yang terjadi di ASEAN selama 2005 hingga 2012. Konsep konveregnsi absolut, yaitu melihat terjadinya konvergensi di suatu wilayah tanpa memperhitungkan faktor-faktor yag mempengaruhi konvergensi. Dapat dikatakan bahwa terjadi kecenderungan diferensiasi pendapatan antar negara semakin kecil. Dimana negara maju seperti Brunei dan Singapura memiliki pertumbuhan yang kecil sedangkan pertumbuhan pendapatan negara berpendapatan rendah seperti Laos memiliki pertumbuhan yang besar.

Model Konvergensi Kondisional Pendapatan

Hasil estimasi konvergensi pendapatan pada Tabel 6 membandingkan antara panel statis dan dinamis. Pemasukan lag variabel dependen pada panel statis akan menghasilkan estimasi yang bias. Koefisien lag variabel GDP PPP,

28

jika diuji dengan PLS menghasilkan estimasi yang bias ke atas. Sedangkan dengan uji metode FE menghasilkan estimasi yang bias ke bawah. Untuk itu digunakan panel dinamis untuk menganalis konvergensi kondisional pada pendapatan. Berdasarkan kriteria model terbaik pada panel dinamis dan banyaknya variabel yang signifikan dipilih model First Difference GMM dalam estimasi two step no constant .

Kriteria untuk uji model terbaik menggunakan uji validitas dan uji konsistensi. Hasil estimasi uji Arrelano-Bond (AB) menyatakan bahwa uji statistik m1 (-1.8967) signifikan pada taraf nyata 10% atau menunjukan nilai yang menolak hipotesis H0 . Sedangkan statistik m2 (-0.75815) tidak signifikan pada taraf nyata 10% atau menunjukan nilai tidak tolak hipotesis H0. Hal ini menunjukan semakin berkurangnya second order serial correlation pada model sehingga estimasi yang dihasilkan konsisten. Hasil pada uji Sargan menunjukan nilai chi square (5.802906) dengan probabilitas (0.9991) yang tidak signifikan atau menunjukan nilai tidak tolak hipotesis H0 . Hal ini menunjukan bahwa hasil estimasi valid karena tidak ada korelasi antar residual dan overindentifying restriction mendeteksi tidak ada masalah validitas. Selain itu, koefisien lag variabel GDP PPP (0.9157638) berada diantara koefisien estimasi PLS dan FE. Hal ini menunjukan estimasi yang dihasilkan tidak bias karena adanya korelasi yang kuat antara regresi endogen.

Tabel 6 Perbandingan estimasi konvergensi kondisional pendapatan antara model PLS, FE, dan FD-GMM Koefisien Estimasi PLS FE FD GMM GDPPPP t-1 1.052298 [0.000]* 0.8808953 [0.000]* 0.9157638 [0.000]* Trade -0.0446043 [0.651] 0.0319068 [0.131] 0.0515996 [0.037]** FDI -0.0165888 [0.757] 0.0031839 [0.309] 0.0069226 [0.010]* Industry 0.0059676 [0.039]** 0.0019117 [0.000]* 0.001735 [0.000]* Agr 0.0070325 [0.158] 0.0003872 [0.167] 0.0002405 [0.174] HH -0.0171705 [0.253] -0.0034351 [0.885] 0.580577 [0.015]** R square 0.9799 0.9790 AB Test Arellano-Bond m1 z -1.8967 Prob > z 0.0579*** Arellano-Bond m2 -0.75815 0.4484 Sargan Test chi2 5.802906 Prob>chi square 0.9991

29 Koefisien lag GDP PPP pada model FD GMM menunjukan nilai

, yaitu 0.9157638 signifikan pada taraf nyata 5%. Koefisien menunjukan nilai kurang dari satu atau nilai (-0.0842) kurang dari nol. Hal ini menunjukan bahwa terjadi proses konvergensi pendapatan di ASEAN. Tingkat konvergensi diperoleh dari pengurangan koefisien lag dikurangi satu (0.9157 – 1) didapatkan nilai sebesar 0.08423 atau menunjukan bahwa kecepatan masing- masing negara untuk mencapai kondisi steady state sebesar 8.4% per tahun dengan asumsi cateris paribus. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi konvergen di negara ASEAN atau half life of convergence sekitar 9 tahun4. Variabel yang memengaruhi pendapatan, yaitu perdagangan, nilai tambah industri, FDI dan konsumsi rumah tangga.

Koefisien total perdagangan (0.0515996) signifikan pada taraf nyata 5% sehingga adanya kenaikan total perdagangan sebesar 1% akan menaikan pendapatan sebesar 0.0515996% dengan asumsi cateris paribus. Keterbukaan perdagangan dapat meningkatkan akses pasar bagi negara anggota ASEAN. Selain itu perdagangan internasional dapat mendorong industrialisasi, kemajuan teknologi dan menarik perusahaan multinasional. Setiap negara ASEAN perlu memiliki daya saing untuk menghadapi globalisasi perdagangan agar setiap negara mampu memperoleh keuntungan perdagangan untuk meningkatkan pendapatan negara. Keterbukaan perdagangan di ASEAN seharusnya tidak semakin memudahkan negara ASEAN untuk mengimpor barang dan jasa sehingga menyebabkan neraca perdagangan defisit. Zhang dan Ondrich (2004), menemukan hanya ekspor yang berkorelasi dengan pendapatan perkapita, cateris paribus dengan negara yang memiliki intensitas ekspor tinggi, bukan penestrasi impor yang tinggi, berpengaruh positif terhadap kenaikan pendapatan perkapita.

Koefisien FDI (0.0069226) berpengaruh signifikan terhadap pendapatan artinya kenaikan FDI sebesar 1% akan meningkatkan pendapatan sebesar 0.0069226% dengan asumsi cateris paribus. Investasi menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan jumlah kapital baru untuk proses produksi. Investasi asing ini menjadi sarana transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Upah tenaga kerja yang masih murah dan tingginya konsumsi di negara-negara ASEAN menjadi daya tarik bagi investor asing. Pemutusan birokrasi untuk investasi baru, iklim investasi yang kondusif dan sarana yang memadai dapat menjadi upaya yang dapat dilakukan untuk menarik investor.

Koefisien pertumbuhan nilai tambah industri (0.001735) signifikan pada taraf nyata 5% sehingga adanya kenaikan pertumbuhan nilai tambah industri sebesar 1% akan meningkatkan pendapatan sebesar 0.001735% dengan asumsi cateris paribus. Semakin meningkatnya nilai tambah industri menunjukan produk yang diproduksi tidak hanya sekedar bahan mentah saja tapi terdapat proses pengolahan yang dapat meningkatkan nilai jual. Hal ini dapat meningkatkan daya saing produk.

Konsumsi rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap pendapatan. Jika ada kenaikan konsumsi rumah tangga sebesar 1% akan meningkatkan pendapatan sebesar 0.580577% dengan asumsi cateris paribus. Konsumsi

3

Tingkat konvergensi dinyatakan sebagai – 4

30

Tabel 7 Hasil estimasi konvergensi absolut inflasi di ASEAN dengan SYS GMM Koefisien Estimasi PLS FE SYS GMM INF t-1 1.049188 [0.000]* 0.9467256 [0.000]* 1.015376 [0.000]* R square 0.9999 0.9450 AB Test Arellano-Bond m1 z -1.7051 Prob > z 0.0882 Arellano-Bond m2 -0.65427 0.5129 Sargan Test chi2 7.940621 Prob>chi2 0.9997

*,**,*** signifikan pada 1%, 5% dan 10%

merupakan salah satu unsur utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi ASEAN. Sebagian besar negara berkembang pertumbuhan ekonominya masih didukung oleh konsumsi.

Nilai tambah pertanian belum berpengaruh signifikan terhadap pendapatan di ASEAN. Hal ini karena terdapat pergeseran dominasi sektor pertanian ke sektor industri dan jasa di sebagian besar negara anggota ASEAN. Luas lahan pertanian yang semakin berkurang serta penurunan produktivitas pertanian dapat menjadi salah satu penyebab menurunnya kontribusi nilai tambah sektor pertanian terdahap pendapatan. Produk pertanian yang dijual masih berupa produk primer sehingga memiliki nilai tambah yang rendah.

Proses konvergensi kondisional pendapatan terjadi di ASEAN dipengaruhi oleh perdagangan, FDI, pertumbuhan nilai tambah industri dan kosnumsi rumah tangga. Perkembangan variabel-variabel tersebut mendorong tingkat pendapatan menuju suatu konvergensi. Dibutuhkan waktu yang lama dan usaha lebih tinggi bagi negara-negara ASEAN untuk mencapai konvergensi. Peluang itu dapat diperoleh dengan keterbukaan ekonomi, investasi dan kerja sama ASEAN yang semakin baik.

Model Konvergensi Absolut Inflasi

Hasil estimasi lag inflasi pada model System GMM menunjukan nilai

, yaitu 1.015376 signifikan pada taraf nyata 5%. Koefisien menunjukan nilai lebih dari satu atau nilai (1.015) lebih dari nol. Hal ini menunjukan bahwa belum terjadi proses konvergensi inflasi di ASEAN tanpa diikuti dengan adanya faktor kondisi tertentu dari masing-masing negara. Model terbaik yang dipilih model SYS GMM dalam estimasi two step no constant, karena memenuhi kriteria uji Arrelano Bond dan uji Sargan.

31

Gambar 16 Sebaran laju inflasi negara anggota ASEAN tahun 2005 - 2012 (diolah) Hasil estimasi uji Arrelano-Bond (AB) menyatakan bahwa uji statistik m1 (-1.7051) signifikan pada taraf nyata 10% atau menunjukan nilai yang menolak hipotesis H0 . Sedangkan statistik m2 (-0.65427) tidak signifikan pada taraf nyata 10% atau menunjukan nilai tidak tolak hipotesis H0. Hasil pada uji Sargan menunjukan nilai chi square (7.940621) dengan probabilitas (0.9997) yang tidak signifikan atau menunjukan nilai tidak tolak hipotesis H0 . Koefisien lag SYS GMM berada diantara koefisien lag PLS dan FE, sehingga estimasi tersebut tidak bias.

Gambar 16 slope positif menunjukan korelasi positif antara tingkat laju inflasi pada periode awal tahun 2005 dan tingkat laju inflasi pada sepanjang periode 2005 hingga 2012. Hal ini menyatakan bahwa belum terjadi konvergensi absolut di ASEAN selama 2005 hingga 2012. Jika variabel faktor-faktor yang memengaruhi konvergensi dianggap konstan, belum terjadi konvergensi inflasi di ASEAN. Hal ini menunjukan kecenderungan diferensiasi inflasi yang masih besar perbedaannya. Menurut Hanohan dan Lane (1999), perbedaan output gap dapat menjadi faktor divergensi inflasi, negara yang memiliki pertumbuhan lebih tinggi cenderung memiliki tingkat inflasi yang tinggi.

Hoffman dan Remspeger (2004), menyatakan penyebab divergensi inflasi dapat terjadi karena terdapat shock supply dan demand, perubahan pajak, perbedaan pola konsumsi dan struktur ekonomi. Selain itu untuk kasus ASEAN letak geografis negara-negara ASEAN yang terpisah cukup jauh dapat menjadi salah satu peyebab konvergensi absolut belum terjadi. Konvergensi inflasi diperlukan untuk membentuk shock yang simetris dalam pembentukan single currency. Dalam Mutaqin dan Ichihashi (2012), perbedaan output gap antar negara akan menyebabkan masalah serius bagi perekonomian terutama jika wilayah tersebut tidak memiliki shock yang simetris. Output gap merupakan selisih dari pendapatan nasional dengan pendapatan potensialnya. Pendapatan potensial merupakan pendapatan riil yang dapat diproduksi perekonomian dalam

32

Tabel 8 Perbandingan estimasi konvergensi kondisional inflasi antara model PLS, FE, dan FD-GMM Koefisien Estimasi PLS FE FD GMM INF t-1 0.9515502 [0.000]* 0.7250548 [0.000]* 0.7553025 [0.000]* REER -0.043543 [0.005]* -0.0059521 [0.916] -0.3847313 [0.033]** M2 0.1710597 [0.126] 0.178408 [0.080]*** 0.496149 [0.019]** Fiscal 0.0137549 [0.515] -0.0704529 [0.581] 0.1391931 [0.120] Capital 0.0134209 [0.072]*** 0.0673755 [0.057]*** 0.0703076 [0.058]*** R square 0.9479 0.9549 AB Test Arellano-Bond m1 z -2.1712 Prob > z 0.0299 Arellano-Bond m2 -0.93264 0.3510 Sargan Test chi2 2.72021 Prob>chi2 1.0000

*,**,*** signifikan pada 1%, 5% dan 10%

keadaan full employment. Ekonomi yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung mengalami peningkatan inflasi.

Langkah ASEAN dalam membentuk suatu single currency masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mewujudkannya. Berdasarkan pengalaman Uni Eropa pada krisis tahun 2010, ASEAN perlu berhati-hati dalam mempersiapkan single curency untuk meminimalkan terjadinya krisis seperti di Yunani. Jika AEC 2015 dijadikan sebagai langkah awal untuk meraih target membentuk suatu single currency, setiap negara anggota ASEAN harus mempersiapkan fundamental ekonomi dengan baik.

Model Konvergensi Kondisional Inflasi

Model panel dinamis untuk analisis konvergensi kondisional pada inflasi,

Dokumen terkait