• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Depok, secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek. Berawal dari sebuah Kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung Kabupaten Bogor, Kota Depok kemudian berkembang menjadi Kota Administratif Depok pada tahun 1981 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1981, dan terus berkembang hingga menjadi sebuah kota yang mandiri seperti saat ini. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menyebabkan pesatnya pembangunan di kota ini. Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Depok juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, kota resapan air dan kota pendidikan.

Menyadari perannya sebagai kota pendidikan, pemerintah kota terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan yang dilaksanakan di Kota Depok. Salah satunya dengan memudahkan akses pendidikan, yaitu dengan pendirian sekolah-sekolah di tiap kecamatan sehingga memudahkan jangkauan masyarakat. Tak kurang dari 11 kecamatan yang berada di kota ini.

Jumlah seluruh sekolah lanjutan pertama negeri di Kota Depok 17 sekolah. Adapun 13 sekolah diantaranya merupakan objek penelitian. Dua sekolah terletak di Kecamatan Pancoran Mas yakni SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2. Kecamatan Sukmajaya yang merupakan kecamatan terluas juga memiliki dua sekolah negeri, yaitu SMP Negeri 3 dan SMP Negeri 4. Kecamatan Cimanggis, lebih banyak memiliki sekolah negeri, yaitu SMP Negeri 7, SMP Negeri 8, SMP Negeri 11 dan SMP Negeri 12. Sedangkan sekolah lainnya tersebar di kecamatan lain, yaitu: Kecamatan Beji (SMP Negeri 5), Kecamatan Cilodong (SMP Negeri 6), Kecamatan Cipayung (SMP Negeri 9) dan Kecamatan Bojongsari (SMP Negeri 10 dan SMP Negeri 14).

Beberapa SMP Negeri di Kota Depok tergolong sekolah bertaraf nasional dan bahkan beberapa sekolah ada yang merupakan sekolah rintisan bertaraf internasional. Hal ini mendorong sekolah untuk menyediakan berbagai sarana dan prasarana pendidikan dalam menunjang proses belajar-mengajar. Jumlah guru yang mengajar di tiap sekolah beragam yang berkisar antara 60 sampai 80 orang. Para guru mengajar di tiga jenjang kelas yang berbeda dengan mata

pelajaran yang berbeda pula. Jumlah masing-masing jenjang kelas antara 9 sampai 10 rombongan belajar. Adapun jumlah ruang kelas secara keseluruhan berkisar antara 18 sampai 31 ruang kelas.

Umumnya sekolah juga dilengkapi dengan sarana perpustakaan dan beberapa laboratorium, seperti laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), bahasa, dan komputer. Ruang multimedia sebagai sarana pelengkap dalam proses pembelajaran, dan sering digunakan sebagai ruang serbaguna juga dilengkapi oleh beberapa sekolah.

Karakteristik Siswa

Data yang disajikan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa siswa yang berusia 13 tahun memiliki persentase terbesar dibanding siswa yang berusia 12 tahun dan 14 tahun, yaitu sebanyak 84,5%. Rentang usia siswa tersebut tergolong pada usia remaja awal (Monks et al. 1982) yaitu dengan usia yang berkisar antara 12-15 tahun. Masa remaja adalah periode yang penting pada pertumbuhan dan kematangan manusia (Riyadi 2001). Pertumbuhan cepat, perubahan emosional dan perubahan sosial merupakan ciri yang spesifik. Pada usia remaja, segala sesuatunya cepat berubah dan untuk mengantisipasinya makanan sehari-hari menjadi amat penting. Badan yang mengalami pertumbuhan perlu mendapat masukan zat-zat gizi dari makanan yang seimbang.

Karakteristik jenis kelamin menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan (75%) mendominasi siswa kelas 8 yang dijadikan objek penelitian dibanding laki- laki. Adapun secara umum, sebaran siswa dengan presentase terbesar adalah siswa berusia 13 tahun dengan jenis kelamin perempuan (63,5%), sedangkan presentasi terkecil adalah berjenis kelamin laki-laki dengan umur 12 tahun dan 14 tahun, masing-masing sebanyak 1,9%.

Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu

Jenis Kelamin Usia (tahun) Total 12 13 14 n % n % n % n % Laki-laki 1 1,9 11 21,2 1 1,9 13 25,0 Perempuan 6 11,5 33 63,5 0 0,0 39 75,0 Total 7 13,5 44 84,6 1 1,9 52 100,0

Keragaan Usaha Kesehatan Sekolah

Depkes (2007) mengategorikan keragaan UKS menjadi beberapa strata, yaitu strata minimal, strata standar, strata optimal dan strata paripurna. Pengategorian ini berdasarkan kondisi dan kemampuan sekolah dalam

melaksanakan pelayanan kesehatan bagi warga sekolah. Strata minimal adalah strata yang paling rendah sedangkan keragaan UKS dengan tingkatan paling tinggi dapat digolongkan sebagai strata paripurna. Akan tetapi dalam aplikasinya, pengategorian berdasarkan strata tersebut tidak digunakan sepenuhnya oleh sekolah. Umumnya sekolah tidak memenuhi kriteria strata berdasarkan tahapannya. Sekolah yang telah memenuhi beberapa kriteria strata standar, belum tentu memenuhi seluruh kriteria strata minimal. Adapun sekolah yang telah memenuhi beberapa kriteria strata optimal ternyata tidak semua kriteria strata minimal dan standar terpenuhi, begitu seterusnya. Sehingga dalam penilaian keragaan UKS digunakan suatu kriteria mutu yang merupakan modifikasi dari kriteria strata UKS tersebut.

Keragaan UKS merupakan keseluruhan dari pelaksanaan program pokok UKS, yaitu Tri Program UKS (TRIAS UKS) yang meliputi pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sehat.

a. Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan dapat dilaksanakan baik secara kurikuler maupun secara ekstrakurikuer. Secara kurikuler, dilaksanakan melalui mata pelajaran yang diberikan dan termasuk dalam proses pembelajaran di kelas. Secara ekstrakurikuler dapat berupa bimbingan dan penyuluhan kesehatan serta pelaksanaan konseling, pendidikan kader kesehatan remaja dan konseling sebaya. Adapun pengategorian UKS melalui kriteria strata UKS Depkes (2007) dalam bidang pendidikan kesehatan telah diuraikan pada Tabel 1.

Kriteria strata tersebut tidak digunakan seluruhnya dalam penilaian keragaan pendidikan kesehatan. Pada kategori stata UKS minimal, kriteria adanya guru penjaskes dan kriteria dilaksanakannya penjaskes secara kurikuler tidak dimasukkan sebagai kriteria modifikasi. Keduanya diasumsikan telah dilaksanakan oleh seluruh sekolah. Begitu pula kriteria tentang pendidikan kesehatan dan pendidikan kesehatan remaja yang diintegrasikan dalam mata pelajaran lain juga diasumsikan pelaksanaannya sama di setiap sekolah. Umumnya materi pendidikan kesehatan secara intrakurikuler diintegrasikan dalam mata pelajaran IPA khususnya biologi, agama, penjaskes dan bimbingan konseling.

Keterbatasan dalam menggali informasi dari narasumber yang merupakan guru UKS di tiap sekolah bersangkutan menyebabkan dua kriteria strata optimal UKS juga tidak disertakan. Kriteria tersebut adalah memiliki guru

mata pelajaran pendidikan jasmani dengan ratio 1:24 jam pelajaran dalam seminggu dan kriteria mengenai dilakukannya pengukuran dan pencatatan kesegaran jasmani. Adapun kriteria modifikasi yang digunakan untuk penilaian pendidikan kesehatan melalui UKS, dapat dilihat pada tabel berikut,

Tabel 8 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan pendidikan kesehatan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)

No. Kriteria modifikasi n %

1 Guru membuat rencana pembelajaran pendidikan kesehatan 10 76,9

2 Ada buku pegangan guru tentang pendidikan kesehatan 10 76,9

3 Ada buku bacaan pendidikan kesehatan 9 69,2

4 Pendidikan jasmani dan kesehatan dilaksanakan secara

ekstrakurikuler

13 100,0

5 Memiliki guru Bimbingan Konseling (BK)/Bimbingan Penyuluhan (BP) 13 100,0

6 Memiliki guru pembina UKS 13 100,0

7 Memiliki guru pembina UKS terlatih 8 61,5

8 Memiliki media pendidikan kesehatan 10 76,9

9 Adanya pendidikan kesehatan remaja dalam ekstrakurikuler 12 92,3

10 Adanya peran aktif “pendidik sebaya”/”konselor sebaya” dalam

pendidikan kesehatan

7 53,8

11 Adanya program kemitraan pendidikan kesehatan dengan instansi

terkait

12 92,3

Seluruh sekolah telah melaksanakan pendidikan kesehatan, baik secara intrakurikuler, yang biasanya dilaksanakan oleh guru, maupun secara ekstrakurikuler oleh berbagai pihak, dalam dan luar sekolah. Pendidikan kesehatan secara ektrakurikuler, umumnya dilakukan melalui kegiatan ekskul siswa, seperti olahraga dan bela diri, Palang Merah Remaja (PMR), serta peer counselor (PC).

Pendidikan kesehatan di-76,9% sekolah telah memiliki rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru. Masing-masing ekskul didamping oleh guru pembina yang membuat rencana pembelajaran tersebut. Guru pembina PMR dan PC, yang umumnya juga merangkap sebagai guru pembina UKS, selain membuat rencana pembelajaran kesehatan yang teraplikasi dalam berbagai kegiatan kedua ekstrakurikuler tersebut, sebagai guru pembina UKS juga membuat rencana pembelajaran untuk kegiatan penyuluhan kesehatan secara masal bagi siswa lain yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

Seluruh sekolah memiliki guru pembina UKS yang sebagian besar merangkap sebagai guru pembina ekstrakurikuler PMR. Akan tetapi hanya sebanyak 61,5% sekolah yang memiliki guru pembina UKS yang terlatih. Adapun

guru yang belum pernah mengikuti pelatihan dikarenakan merupakan guru pembina yang baru setelah pergantian struktur dari guru pembina sebelumnya.

Dalam membantu proses edukasi kesehatan, guru pembina UKS di seluruh sekolah didampingi oleh guru Bimbingan Konseling (BK) yang berperan sebagai pembimbing, khususnya terhadap masalah-masalah remaja yang dihadapi oleh siswa secara lebih personal. Guru BK akan melakukan pemantauan secara berkala terhadap kondisi seluruh siswa di sekolah bersangkutan dan menuliskannya di dalam buku bimbingan konseling yang wajib dimiliki seluruh siswa.

Informasi terkait kesehatan remaja, dapat diakses baik oleh guru maupun siswa melalui buku. Sebanyak 76,9% sekolah memiliki buku pegangan tentang pendidikan kesehatan untuk guru yang umumnya didapat dari Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan setempat. Siswa di-69,2% sekolah juga dapat mengakses buku bacaan pendidikan kesehatan melalui perpustakaan sekolah. Media pendidikan kesehatan lain yang digunakan umumnya berupa poster tentang bahaya rokok dan NAPZA dimiliki oleh 76,9% sekolah. Rokok dan penyalahgunaan NAPZA adalah salah satu masalah kesehatan yang banyak dialami oleh anak usia sekolah lanjutan, sehingga titik berat pendidikan kesehatan untuk sekolah lanjutan, salah satunya terkait kedua hal tersebut.

Pendidikan kesehatan remaja juga dilakukan oleh 92,3% sekolah melalui penyuluhan yang biasanya diintegrasikan dalam rangkaian Masa Orientasi Siswa (MOS) atau masa perkenalan sekolah kepada siswa baru, yang diadakan di tahun pertama saat siswa masuk sekolah tersebut. Umumnya materi yang disampaikan mengenai kesehatan reproduksi remaja dan bahaya penyalahgunaan NAPZA. Pelaksanaan penyuluhan ini setahun sekali yang biasa diisi oleh Puskesmas setempat, Lembaga Kepolisian, atau Badan Narkotika Nasional (BNN). Beberapa guru pembina UKS pun mengaku pernah menjadi pembicara di penyuluhan kesehatan di sekolah, namun dengan sasaran terbatas, yakni siswa yang mengikuti ekskul PMR dan PC. Adanya PC atau pendidik sebaya di 53,8% sekolah diakui guru pembina UKS sangat membantu dalam memantau masalah remaja yang dihadapi terutama dari teman-teman sekelas mereka. Selain itu PC merupakan sarana pembelajaran bagi siswa yang mengikutinya dengan berpastisipasi aktif.

Keberadaan UKS tidak dapat berdiri sendiri, dukungan kebijakan yang dapat diimplementasikan di sekolah sangat membantu dalam pelaksanaannya,

selain itu peran aktif masyarakat juga diperlukan. Adanya program kemitraan dengan instansi terkait akan sangat membantu untuk melaksanakan pendidikan kesehatan. Sebanyak 92,3% sekolah telah menjalin kemitraan, terutama dengan puskesmas setempat dalam menjalankan penyuluhan kesehatan remaja dan penjaringan kesehatan.

Berdasarkan kegiatan pendidikan kesehatan yang dilaksanakan melalui UKS sesuai dengan kriteria modifikasi tersebut, setiap sekolah dikategorikan menjadi tiga kategori. Adapun pengategoriannya dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini,

Tabel 9 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan kriteria modifikasi pendidikan kesehatan Kategori n % Cukup Baik 1 7,7 Baik 7 53,8 Sangat Baik 5 38,5 Total 13 100,0

Rataan ± simpangan baku 90,9 ± 6,7

Tabel di atas menunjukkan sebagian besar sekolah telah melaksanakan pendidikan kesehatan dengan baik (53,8%). Sekolah yang melaksanakan pendidikan kesehatan dengan kategori cukup baik (7,7%), umumnya kurang dalam melaksanakan pendidikan kesehatan secara ekstrakurikuler, terutama dalam melibatkan peran aktif pendidik sebaya. Fasilitas penunjang akses siswa dalam mendapatkan informasi kesehatan melalui buku juga belum tersedia. Sebaliknya sekolah yang terkategori telah melakukan pendidikan kesehatan dengan sangat baik (38,5%), sangat aktif dalam melibatkan peran pendidik sebaya dalam membantu menyebarkan informasi kesehatan pada siswa yang lain.

b. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan UKS bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan siswa yang optimal, karenanya dilaksanakan kegiatan yang komprehensif dengan mengutamakan kegiatan promotif dan preventif serta didukung kegiatan kuratif dan rehablitatif. Seluruh kegiatan tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kondisi sekolah. Depkes (2007) mengategorikan tahapan tersebut melalui strata UKS, seperti telah ditunjukkan pada Tabel 2.

Pelaksanaan penyuluhan kesehatan remaja pada strata UKS minimal, selain menjadi kriteria pada program pelayanan kesehatan juga menjadi kriteria dalam program pendidikan kesehatan, sehingga kriteria ini tidak disertakan

dalam kriteria modifikasi. Selain itu kriteria jumlah Kader Kesehatan Remaja (KKR) tidak diperhitungkan, sehingga penilaiannya dilakukan secara umum melalui kriteria adanya KKR di sekolah. Hal ini dikarenakan jumlah KKR belum dapat dihitung secara pasti. Di beberapa sekolah, masih berlangsung proses perekrutan siswa baru untuk tergabung dalam KKR. Selain itu terkadang jumlah KKR yang terdaftar tidak sesuai dengan KKR yang ada.

Penjaja atau penjamah makanan di seluruh sekolah hanya diperbolehkan melalui kantin sekolah. Sehingga kriteria adanya pengawasan terhadap penjaja atau penjamah makanan di sekitar sekolah tidak dimasukkan, sedangkan kriteria adanya pengawasan penjaja atau penjamah makanan di sekolah dimasukkan dalam bagian pembinaan lingkungan sehat, karena juga merupakan salah satu komponen program tersebut. Adapun penilaian keragaan pelayanan kesehatan yang dilakukan menggunakan kriteria yang telah dimodifikasi dari kriteria di atas dapat ditunjukkan oleh tabel berikut,

Tabel 10 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan pelayanan kesehatan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)

No. Kriteria modifikasi n %

1 Kegiatan P3K dan P3P 13 100,0

2 Pengukuran BB dan TB 9 69,2

3 Penjaringan/pemeriksaan kesehatan 8 61,5

4 Pemeriksaan kesehatan berkala tiap 6 bulan termasuk TB dan BB 1 7,7

5 Ada pencatatan hasil pemeriksaan kesehatan dan pengukuran TB

dan BB pada buku/KMS remaja

5 38,5

6 Ada rujukan bagi yang memerlukan 10 76,9

7 Ada kader kesehatan remaja (KKR) 12 92,3

8 Ada kader kesehatan remaja (KKR) yang terlatih 10 76,9

9 Pelayanan konseling kesehatan remaja 12 92,3

10 Konseling kesehatan remaja oleh “pendidik sebaya”/”konselor

sebaya”

7 53,8

11 Ada kegiatan forum komunikasi/diskusi kelompok terarah dari

“pendidik sebaya”/”konselor sebaya”

5 38,5

12 Dana sehat/dana UKS 10 76,9

Pelayanan berupa Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dan kegiatan Pertolongan Pertama Pada Penyakit (P3P) telah dilaksanakan di seluruh sekolah. Sebagai upaya promotif dan preventif, 61,5% sekolah melaksanakan penjaringan kesehatan pada tahun pertama siswa masuk ke sekolah yang bekerjasama dengan puskesmas. Penjaringan kesehatan ini meliputi pemeriksaan keadaan umum kesehatan siswa, seperti tekanan darah,

status gizi dengan antropometri, pemeriksaan kesehatan mata serta pemeriksaan kesehatan telinga, hidung dan tenggorokan (THT).

Penimbangan berat badan (BB) dan pengukuran tinggi badan (TB) juga dilakukan oleh 69,2% sekolah. Akan tetapi hanya 7,7% sekolah yang melakukan hal tersebut secara berkala, yaitu setiap 6 bulan sekali. Hasil pemeriksaan kesehatan dan pengukuran TB dan BB dicatat pada Kartu Menuju Sehat (KMS) remaja oleh 38,5% sekolah. KMS sangat penting peranannya dalam memantau status gizi siswa.

Hasil pemeriksaan yang dilakukan akan menunjukkan ada tidaknya masalah kesehatan yang diderita oleh siswa. Bagi siswa yang memiliki kecenderungan masalah kesehatan setelah penjaringan kesehatan dan pengukuran TB dan BB mendapat rujukan oleh sekolah kepada tenaga kesehatan, biasanya melalui Puskesmas maupun Rumah Sakit terdekat. Hal ini dilakukan oleh 76,9% sekolah. Rujukan ini juga dilakukan bila siswa mengalami kecelakaan atau sakit di sekolah yang tidak bisa ditangani oleh sekolah dan membutuhkan pertolongan medis.

Pelayanan kesehatan di sekolah selain dilakukan oleh guru juga dilakukan oleh siswa dengan adanya Kader Kesehatan Remaja (KKR). Sebanyak 92,3% sekolah telah memiliki KKR yang tergabung dalam ekskul PMR atau PC. Akan tetapi baru 76,9% sekolah dengan KKR yang terlatih. Umumnya pelatihan diberikan oleh guru pembina yang bersangkutan, alumni, atau tenaga kesehatan. Pelatihan juga pernah diberikan oleh Dinas Kesehatan setempat.

Pelayanan konseling kesehatan remaja sebenarnya dilakukan di 92,3% sekolah baik oleh guru BK, guru pembina UKS maupun KKR. Namun, peran aktif KKR terutama PC dalam memberikan konseling kesehatan remaja hanya terdapat di 53,8% sekolah. Para siswa yang menjadi PC ini terwadahi dalam suatu kegiatan forum komunikasi atau diskusi kelompok. Forum ini dibuat untuk menyampaikan dan mendiskusikan masalah yang mereka temukan baik pada teman-teman sebaya maupun diri mereka sendiri, sehingga dapat ditemukan solusi yang terbaik, terutama bagi masalah atau hal yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri. Forum ini baru dibentuk di 38,5% sekolah, sedangkan 61,5% belum melaksanakan forum diskusi ini terkendala pada sumber daya manusia dan waktu.

Pentingnya peran UKS dalam mewujudkan sekolah sehat, tak lepas dari kebutuhan finansial untuk menopang seluruh kegiatan yang dilakukan,

karenanya ketersediaan dana sehat atau dana UKS merupakan salah satu kriteria strata optimal dari pelaksanaan UKS. Sebanyak 76,9% sekolah telah memiliki dana UKS. Awalnya dana UKS diambil dari uang pembayaran atau SPP siswa akan tetapi perubahan sistem dimana tidak ada lagi pemungutan biaya sekolah kepada siswa yang sebagai gantinya adalah dengan adanya Biaya Operasional Sekolah (BOS) berdampak pula pada pembiayaan kegiatan UKS. Hal inilah yang diakui beberapa orang guru pembina UKS menjadi alasan 23,1% sekolah tidak menyediakan dana UKS tersebut.

Sebaran sekolah dalam melaksanakan pelayanan kesehatan relatif merata pada setiap kategori, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Hal ini dikarenakan kegiatan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di seluruh sekolah relatif seragam. Umumnya seluruh sekolah telah melaksanakan pelayanan kesehatan dasar (kegiatan P3K dan P3P). Akan tetapi banyak sekolah yang terkendala dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan siswa, seperti melalui kegiatan penjaringan kesehatan dan pemeriksaaan kesehatan secara berkala termasuk pengukuran BB dan TB. Kendala tersebut dihadapi oleh sekolah dengan kategori cukup baik (30,8%).

Tabel 11 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan kriteria modifikasi pelayanan kesehatan Kategori n % Cukup Baik 4 30,8 Baik 4 30,8 Sangat Baik 5 38,5 Total 13 100,0

Rataan ± simpangan baku 84,0 ± 8,3

Beberapa sekolah (38,5%) telah sangat baik dalam menyediakan pelayanan kesehatan bagi siswanya. Umumnya sekolah tersebut selain melaksanakan pelayanan kesehatan dasar dan pemeriksaan kesehatan siswa juga melaksanakan pemantuan status kesehatan siswa dengan pencatatan hasil pemeriksaan dalam KMS remaja. Selain itu pengoptimalan peran pendidik sebaya juga dilakukan dengan membuat suatu forum komunikasi atau diskusi kelompok.

c. Pembinaan Lingkungan Sekolah Sehat

Pembinaan lingkungan sehat meliputi kegiatan bina lingkungan fisik dan kegiatan bina lingkungan mental sosial, sehingga tercipta suasana dan hubungan kekeluargaan yang akrab dan erat antara sesama warga sekolah (Depkes 2003). Hal ini terkait upaya meningkatkan faktor pelindung, seperti

gedung, halaman dan warung sekolah yang memenuhi standar kesehatan, serta upaya memperkecil faktor risiko dengan adanya pagar pengaman, bangunan sekolah yang aman, pengadaan kantin, dan upaya pembebasan sekolah dari rokok maupun NAPZA (Depkes 2007). Pengategorin UKS berdasarkan kriteria pembinaan lingkungan sekolah sehat telah diuraikan pada Tabel 3.

Dari kriteria strata UKS yang telah tersebut selanjutnya diambil beberapa kriteria untuk menilai keragaan pembinaan lingkungan sekolah sehat melalui UKS. Beberapa kriteria seperti rasio WC berbanding siswa, adanya saluran pembuangan air kotor yang berfungsi dengan baik, adanya saluran air limbah yang tertutup dan berfungsi dengan baik serta lingkungan sekolah yang bebas jentik tidak diamati selama observasi sehingga tidak dimasukkan dalam kriteria modifikasi. Selain itu kriteria terkait ruang kelas, seperti ruang kelas yang memenuhi syarat kesehatan, jarak papan tulis dengan bangku terdepan dan terbelakang serta rasio kepadatan siswa juga tidak disertakan dalam kriteria modifikasi untuk penilaian karena tidak dilakukan pengamatan. Kriteria pelaksanaan dan pembinaan kawasan sekolah tanpa rokok, bebas narkoba dan miras tidak dapat teramati secara langsung, sehingga penilaian dengan menggunakan kriteria ini tidak dilakukan.

Dalam kegiatan bina lingkungan mental dan sosial, seluruh sekolah memiliki sarana keagamaan, berupa masjid untuk siswa muslim menjalankan ibadah. Hal ini dikarenakan sebagian besar siswa beragama Islam. Sedangkan siswa beragama lain bila akan mengadakan kegiatan keagamaan, biasanya menggunakan ruang sekolah atau kelas yang sedang tidak digunakan. Sebagian besar (84,6%) juga memiliki ruang bimbingan konseling yang digunakan oleh guru BK untuk memberikan konsultasi dan atau konseling pada anak yang memiliki masalah tertentu, sebagian besar terkait perilaku kedisiplinan dan masalah psikososial.

Penilaian pembinaan lingkungan sekolah sehat dengan melihat sarana kebersihan yang tersedia, menggunakan tujuh kriteria yang telah dimodifikasi. Kriteria ini meliputi fasilitas air bersih, tempat cuci tangan, dan kamar mandi, seperti yang ditampilkan pada Tabel 12.

Seluruh sekolah telah menyediakan air bersih yang merupakan kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan warganya. Air tersebut harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Fasilitas lain yang tersedia adalah tempat cuci tangan yang

memungkinkan setiap guru atau siswa dapat menjaga kebersihan dirinya terutama dengan mencuci tangan. Sebagian besar sekolah (92,3%) telah memiliki tempat cuci tangan di beberapa tempat, terutama di depan setiap ruang kelas. Akan tetapi baru sebagian kecil (23,1%) yang melengkapi beberapa tempat cuci tangannya dengan sabun, terutama di area kamar mandi dan ruang UKS. Keberadaan kamar mandi atau jamban, yang merupakan salah satu sumber agen penyakit, juga harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu tidak berbau, ada ventilasi, cukup penerangan, kedap air, tidak licin, tidak ada genangan air dan tidak ada nyamuk/jentik nyamuk. Seluruh sekolah telah memiliki kamar mandi atau jamban yang berfungsi dengan baik, dan telah memisahkan jamban untuk guru dan siswa.

Tabel 12 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan lingkungan sekolah sehat berdasarkan ketersediaan sarana kebersihan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)

No. Kriteria modifikasi n %

1 Ada air bersih 13 100,0

2 Ada air bersih yang memenuhi syarat kesehatan 13 100,0

3 Ada tempat cuci tangan 12 92,3

4 Ada tempat cuci tangan di beberapa tempat dengan air mengalir/kran

dan dilengkapi sabun

3 23,1

5 Ada WC/jamban yang berfungsi dengan baik 13 100,0

6 Ada jamban/WC siswa dan guru yang memenuhi syarat kesehatan

dan kebersihan

13 100,0

7 Melakukan 3 M plus, 1 kali seminggu 12 92,3

Lingkungan sekolah yang sehat juga diharuskan terbebas jentik nyamuk, salah satu cikal agen pembawa penyakit. Kegiatan yang sering dilakukan dalam

Dokumen terkait