• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Pala Indonesia

Indonesia terkenal akan rempah-rempah yang sangat diminati di seluruh dunia, salah satunya adalah pala. Pala Indonesia dijuluki rajanya rempah karena memiliki cita rasa dan aroma yang khas. Pala Indonesia memiliki nilai tinggi di pasar dunia karena rendemen minyaknya tinggi. Indonesia sendiri memiliki sumber daya genetik pala yang besar dengan pusat keragaman tanaman berada di Kepulauan Maluku. Keragaman tanaman tertinggi ditemukan di Pulau Banda,

Siau, dan Papua. Sebagai pusat keragaman genetik maka tanaman pala di daerah ini perlu dikelola, dikembangkan, dan dimanfaatkan secara optimal. Biji pala Sulawesi utara sudah cukup lama diekspor ke berbagai negara dan hingga saat ini masih tetap berlangsung. Ada beberapa daerah di Sulawesi utara yang merupakan penghasil pala, salah satunya di daerah Minahasa Utara yang merupakan sentra produksi pala. Penghasil pala terbesar adalah Kabupaten Minahasa Utara dan sebagian penduduknya bergantung pada sektor pertanian khususnya pada komoditi pala.

Pala merupakan tanaman rempah asli Maluku dan telah diperdagangkan dan dibudidayakan secara turun-temurun dalam bentuk perkebunan rakyat di sebagian besar Kepulauan Maluku. Tanaman pala merupakan tumbuhan berbatang sedang dengan tinggi mencapai 18 m, memiliki daun berbentuk bulat telur atau lonjong yang selalu hijau sepanjang tahun. Pohon pala dapat tumbuh di daerah tropis pada ketinggian di bawah 700 m dari permukaan laut, beriklim lembab dan panas, curah hujan 2.000-3.500 mm tanpa mengalami periode musim kering secara nyata. Daerah penghasil utama pala di Indonesia adalah Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara, Sumatra Barat, Nanggroe Aceh Darusalam, Jawa Barat dan Papua. Buah pala dapat dipanen setelah 6-7 tahun. Usia produktif tanaman pala sendiri dapat mencapai 25 tahun (Raharti 2013).

Indonesia sendiri mengekspor pala yang memiliki kode HS (Harmonized System) 090810. Namun tahun 2012 ekspor pala mengalami penurunan akibat sering terjadi penolakan oleh negara-negara importir karena tidak sesuai dengan persyaratan mutu yang ditetapkan, terutama mengenai kandungan alfatoksin yang melebihi batas maksimum. Setiap negara mempunyai standar batas maksimum kandungan Alfatoksin yang berbeda-beda. Sementara di Indonesia, syarat mutu pala berdasarkan SNI 01- 2045-1990 (pala dengan batok), hanya mengatur tentang kebersihan yang dilakukan dengan cara pengamatan visual (Direktorat Jendral Perkebunan 2016).

Sumber : UNCOMTRADE dan WITS (diolah) 2016 (kg)

Gambar 5 Tren volume ekspor pala ke negara tujuan ekspor tahun 2010-2014

0 1500000 3000000 4500000 6000000 7500000 9000000 10500000 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Belgia Francis Jerman iItalia

Belanda Rusia Singapore Spanyol

21

Penelitian ini fokus pada ekspor komoditi pala dengan kode HS 090810. Volume ekspor pala Indonesia dari tahun 2009 sampai 2014 cenderung berfluktuatif di sepuluh negara tujuan ekspor yang dianalisis. Volume ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2011 hampir di semua negara, namun kemudian mengalami penurunan meskipun tidak signifikan. Negara Vietnam merupakan negara yang melakukan impor pala Indonesia tertinggi dilihat dari volume ekspor pala Indonesia ke Vietnam. Sedangkan negara Belgia merupakan negara terkecil yang melakukan impor pala dilihat dari volume ekspor pala Indonesia ke Belgia. Peningkatan volume ekspor pala mengindikasikan adanya peningkatan permintaan ekspor akan komoditi pala di negara tujuan ekspor. Indonesia merupakan salahsatu eksportir utama pala, dimana ketika terjadi peningkatan volume ekspor pala mengindikasikan adanya peningkatan permintaan pala dunia yang harus didukung dengan peningkatan produksi dalam negeri.

Nilai ekspor komoditi pala dari tahun 2010 sampai 2014 cenderung fluktuatif, dan nilai ekspor paling tinggi terjadi tahun 2012 yaitu sebesar 98033.05 US$ (UNCOMTRADE 2016). Produksi dan luas areal pala cenderung mengalami peningkatan walaupun peningkatan tersebut tidak signifikan. Produksi pala tertinggi terjadi tahun 2014 yaitu 26468 ton dan luas areal tertinggi untuk tanaman pala juga terjadi tahun 2014 yaitu 147377 ha (Dirjen Perkebunan 2016). Peningkatan nilai ekspor pala Indonesia mengindikasikan adanya peningkatan volume ekspor yang merespon peningkatan permintaan pala dunia. Sebagai salahsatu negara penghasil pala, Indonesia dituntut untuk melakukan peningkatan produksi agar tetap dapat menyuplai tingginya permintaan ekspor pala Indonesia.

Sumber : UNCOMTRADE dan Dirjen Perkebunan (diolah) 2016

Gambar 6 Nilai ekspor pala ke dunia, produksi pala, dan luas areal tanaman pala tahun 2010-2014

Analisis Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif Pala Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Periode 2009-2014

Keunggulan komparatif komoditi pala Indonesia di sepuluh negara tujuan ekspor dapat diketahui dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA). Metode ini digunakan untuk mengetahui kinerja ekspor untuk

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 2010 2011 2012 2013 2014

komoditi pala Indonesia, dengan menggunakan variabel yang diukur yaitu volume ekspor komoditi pala Indonesia terhadap total ekspor Indonesia yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai komoditi dalam perdagangan dunia. Apabila pangsa ekspor pala di dalam total ekspor seluruh komoditi Indonesia lebih besar dibandingkan dengan pangsa pasar pala di dalam total ekspor seluruh komoditi di dunia maka Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor komoditi pala. Komoditi pala Indonesia dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif atau daya saing yang kuat apabila besarnya nilai RCA lebih dari satu (RCA>1). Jika besarnya nilai RCA kurang dari satu (RCA<1) maka keunggulan komparatif atau daya saing komoditi pala Indonesia lemah.

Pada tabel 7, hasil perhitungan Revealed Comparative Advantages (RCA) dari sepuluh negara tujuan ekspor yang diteliti pada periode tahun 2009-2014 menunjukkan bahwa komoditi pala yang memiliki kode HS 090810 memiliki nilai rata-rata RCA>1 di semua negara tujuan ekspor yang diteliti, yaitu di negara Vietnam, Belanda, Perancis, Jerman, Belgia, Italia, Federasi Rusia, Singapura, Amerika Serikat, dan Spanyol. Hal ini menunjukan bahwa komoditi pala Indonesia secara keseluruhan memiliki daya saing yang kuat dilihat dari besarnya nilai rata-rata RCA lebih dari satu. Lima negara tujuan ekspor komoditas pala yang memiliki nilai RCA terbesar yaitu Belgia, Jerman, Perancis, Italia, dan Federasi Rusia. Nilai RCA komoditas pala di negara Belgia tahun 2009-2014 berkisar antara 73.87-180.39 dengan nilai rata-rata RCA sebesar 124.57 dan di Jerman berkisar antara 93.36-151.51 dengan rata-rata 130.18. Di Perancis berkisar antara 108.90-288.03 dengan rata-rata sebesar 161.86 dan di Italia berkisar antara 66.04-166.95 dengan rata-rata 133.17. Nilai RCA tertinggi berada di negara Federasi Rusia berkisar antara 73.34-247.81 dengan rata-rata 188.11. Rata-rata nilai RCA di Spanyol sebesar 41.54, di Belanda sebesar 87.80, di Singapura sebesar 8.79, di Amerika Serikat sebesar 93.73 dan di Vietnam sebesar 34.87.

Nilai rata-rata RCA tertinggi adalah di negara Federasi Rusia yang mengindikasikan bahwa komoditi pala Indonesia memiliki daya saing komparatif yang kuat di negara tersebut. Nilai rata-rata RCA terendah adalah di negara Singapura, walaupun memiliki nilai RCA yang lebih rendah dibandingkan sembilan negara tujuan ekspor lainnya, pala Indonesia tetep memiliki keunggulan komparatif yang kuat karena memiliki nilai RCA>1. Hasil analisis RCA ini sesuai dengan hipotesis yang telah diuraikan sebelumnya

Tabel 7 Hasil RCA Komoditi Pala Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor

Negara Tahun

Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Belgia 180.39 147.94 73.87 126.69 105.15 113.39 124.57 Jerman 132.56 143.12 144.84 93.36 115.72 151.51 130.18 Spanyol 62.77 51.20 41.26 28.06 26.18 39.80 41.54 Perancis 197.96 140.47 114.27 288.03 108.90 121.50 161.86 Italia 157.79 66.04 134.05 125.57 166.95 148.62 133.17 Belanda 71.86 97.95 72.98 105.29 85.26 93.45 87.80 Federasi Rusia 73.34 207.74 247.81 245.83 206.02 147.92 188.11 Singapura 10.47 8.83 4.55 8.92 9.47 10.50 8.79

23

Amerika

Serikat 77.28 87.08 86.81 116.02 103.89 91.32 93.73

Vietnam 33.24 33.15 25.95 27.43 41.88 47.56 34.87

Sumber : UNCOMTRADE (diolah) 2016

Metode Export Product Dynamic (EPD) digunakan dalam sebuah penelitian untuk dapat mengidentifikasi suatu produk yang kompetitif dan dinamis (pertumbuhannya cepat) pada sebuah aliran ekspor. Pada metode ini dapat diketahui posisi pasar suatu komoditi yang diteliti. Jika suatu produk memiliki pertumbuhan diatas rata-rata secara kontinyu selama kurun waktu tertentu, maka produk ini mungkin dapat menjadi sumber pendapatan ekspor yang penting bagi negara tersebut.

Tabel 8 Hasil Estimasi EPD komoditi pala Indonesia di sepuluh Negara tujuan Ekspor

Negara Pertumbuhan pangsa

pasar ekspor (persen)

Pertumbuhan pangsa

pasar produk (persen) Posisi EPD

Amerika Serikat 3.114 -0.804 Falling Star

Belanda 7.715 -0.304 Falling Star

Belgia -3.405 -1.904 Retreat

Perancis 9.707 0.447 Rising star

Italia 16.185 4.127 Rising star

Jerman 3.349 -1.738 Falling Star

Federasi Rusia 61.065 13.102 Rising star

Singapore 6.317 -0.622 Falling Star

Spanyol -7.015 -2.190 Retreat

Vietnam -0.868 -8.743 Retreat

Sumber : UNCOMTRADE (diolah) 2016

Pertumbuhan pangsa pasar ekspor terendah berada di Spanyol yaitu sebesar -7.015 persen yang menunjukan bahwa komoditi pala Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar ekspor di negara tersebut. Sedangkan pertumbuhan pangsa pasar terendah terjadi di negara Vietnam yaitu sebesar -8.743 persen yang menunjukan bahwa permintaan ekspor akan komoditi pala Indonesia mengalami kemunduran di negara tersebut. Pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan pertumbuhan pangsa pasar produk tertinggi berada di Federasi Rusia yang menunjukan bahwa komoditi pala Indonesia mengalami peningkatan pangsa pasar ekspor dan permintaan ekspor akan komoditi pala Indonesia mengalami peningkatan di negara tersebut.

Hasil analisis Eksport Product Dynamic (EPD) menunjukkan posisi pala Indonesia dengan kode HS 090810 di sepuluh negara tujuan ekspor, diantaranya adalah posisi rissing star, falling star, lost opportunity, dan reatret. Posisi rissing star komoditi pala Indonesia berada di negara Fancis, Italia dan Federasi Rusia menunjukan bahwa komoditi pala Indonesia memiliki keunggulan kompetitif di pasar negara tersebut. Hal ini ditandai dengan meningkatnya permintaan ekspor terhadap komoditi pala Indonesia serta pangsa pasar yang menunjukan pertumbuhan yang positif. Posisi falling star merupakan posisi yang kurang

menguntungkan bagi Indonesia. Pala Indonesia juga berada pada posisi falling star di negara Amerika Serikat, Belanda, Jerman, dan Singapore yang menunjukan bahwa komoditi pala Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan pangsa pasar, namun mengalami penurunan permintaan ekspor pala Indonesia. Komoditi pala berada di posisi reatret di negara Belgia, Spanyol, dan Vietnam yang menunjukan bahwa baik pangsa pasar dan permintaan ekspor komoditi pala mengalami penurunan. Diperlukan peningkatan kualitas dan adanya inovasi agar komoditi pala tidak menurun pada tahun-tahun selanjutnya.

Sumber : UNCOMTRADE (diolah) 2016

Gambar 7 Hasil EPD komoditi pala Indonesia di negara tujuan ekspor

Berdasarkan Grafik EPD yang telah dijelaskan sebelumnya, negara Italia, Perancis dan Federasi Rusia berada pada kudran I yang berarti bahwa pala Indonesia berada di posisi rissing star di ketiga negara tersebut dan memiliki keunggulan kompetitif. Negara Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan Singapore berada di kuadran II yang berarti bahwa komoditi pala Indonesia berada pada posisi falling star. Negara Belgia, Spanyol dan Vietnam berada pada kuadran IV yang berarti bahwa komoditi pala Indonesia berada pada posisi retreat.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Pala Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor

Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi volume ekspor pala Indonesia digunakan analisis gravity model. Model tersebut digunakan dalam menganalisis pengaruh variabel-variabel ekonomi dan non ekonomi lainnya terhadap volume ekspor pala Indonesia di pasar Internasional. Variabel independen dalam model volume ekspor pala Indonesia adalah GDP riil negara tujuan ekspor (GDPjt), GDP riil Indonesia (GDPit), nilai tukar riil efektif negara tujuan ekspor (REERjt), jarak ekonomi Indonesia dengan negara tujuan (ECODISTijt) dan harga ekspor pala Indonesia (PEXijt). Sedangkan untuk variabel dependennya adalah volume ekspor pala dari Indonesia ke negara tujuan (EXijt). Penelitian ini dalam pengolahan datanya menggunakan metode efek tetap

-10 -5 0 5 10 15 -15 -10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Pertu m b u h an p an gs a p asar p ro d u k ( p e rs e n )

Pertumbuhan pangsa pasar ekspor ( persen)

Amerika Serikat Belanda Belgia Francis Italia Jerman Rusia Singapura Spanyol Vietnam

25

(fixed effect). Data yang dianalisis dengan menggunakan data panel yang merupakan gabungan antara data time series dan cross section.

Hasil estimasi model pada Tabel 9 memiliki R-squared sebesar 0.917501 yang menunjukan bahwa 91.7 persen model tersebut dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen pada model, sedangkan 8.3 persen dijelaskan oleh variabel diluar model. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ln E = - 58.82533 + 2.908640 ��� + 0.458525 ��� - 0.573731

�� � - 0.668534�� - 0.300662 + �

Tabel 9 Hasil Estimasi Gravity Model Ekspor Pala Indonesia menggunakan Fixed Effect Model dengan pembobotan Cross Section (cross-section SUR)

Variabel Koefisien Prob.

LN_ECODISTIJT -0.573731 0.0759** LN_GDPIT 2.908640 0.0000* LN_GDPJT 0.458525 0.0000* LN_PEXIT -0.668534 0.0000* LN_REERJT -0.300662 0.6695 C -58.82533 0.0000* Weighted Statistics R-squared 0.917501 Prob(F-statistic) 0.0000

Sum squared resid 137.5812

Durbin-Watson stat 1.915993

Unweighted Statistics

R-squared 0.535986

Sum squared resid 320.9732

Durbin-Watson stat 1.379747

Keterangan : Signifikan pada taraf nyata 5 persen (*) Signifikan pada taraf nyata 10 persen (**)

Uji Kriteria Statistik

Uji kriteria statistik atau dapat disebut uji hipotesis dilakukan untuk melihat variabel-variabel independen yang digunakan dalam model signifikan atau tidak terhadap variabel dependennya. Uji kriteria statistik terdiri dari koefisien determinasi (R2), uji F, dan uji t.

1. Koefisien determinasi (R2)

Nilai koefisien determinasi estimasi model sebesar 0.917501. Nilai koefisian determinasi ini menunjukan bahwa keragaman variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 91.7 persen, dan sisanya dijelaskan diluar model. Nilai R2 yang mendekati satu menunjukkan model tersebut dapat digunakan dengan baik.

2. Uji F

Nilai F-statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama-sama memengaruhi variabel dependen pada tingkat kepercayaan 95 persen atau taraf nyata lima persen. Nilai F-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata mengindikasikan bahwa terdapat variabel independen yang berpengaruh

secara signifikan terhadap variabel dependennya. Nilai F-statistik pada model yang dianalisis sebesar 0.0000 lebih kecil dari taraf nyata lima persen. Dari nilai F statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat minimal satu variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume ekspor pala Indonesia.

3. Uji t

Uji t digunakan untuk mengetahui seberapa besar setiap variabel independen memengaruhi variabel dependen dengan menguji koefisien regresi secara individual. Nilai probabilitas setiap variabel independen yang lebih kecil dari taraf nyata lima persen mengindikasikan bahwa variabel independen memengaruhi variabel dependen secara signifikan.

Pemilihan model terbaik antara PLS, fixed effect atau random effect

dilakukan melalui uji Hausman dan uji Chow. Hasil uji Chow menunjukan nilai probabilitas 0.0000 atau lebih kecil dari taraf nyata 5 persen yang mengindikasikan bahwa model fixed effect adalah model terbaik. Selanjutnya hasil uji Hausman juga menunjukan bahwa model fixed effect merupakan model terbaik. Sehingga penelitian ini menggunakan model fixed effect. Setelah menentukan model terbaik dilakukan dengan uji asumsi klasik, yaitu uji normalitas, heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokolerasi.

Uji Asumsi Klasik

1. Uji Normalitas

Pada panel data perlu dilakukan pengujian terhadap normal atau tidaknya

error terms dengan menggunakan uji normalitas. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dan nilai Jarque-Bera pada

histogram-normality test. Nilai Jarque-Bera sebesar 5.864118 dan nilai probabilitas sebesar 0.053287 yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen. Sehingga model telah memiliki error term yang menyebar normal (lampiran 5).

2. Uji Heteroskedastisitas

Masalah heteroskedastisitas pada suatu model dapat dilihat dengan membandingkan nilai Sum Squared Residual Weighted Statistic dengan nilai Sum Squared Residual Unweighted. Nilai Sum Squared Weighted Statistic sebesar 137.5812 lebih kecil dari nilai Sum Squared Unweighted Statistic yaitu sebesar

320.9732. Hal ini menunjukan bahwa model memiliki masalah

heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, model yang dianalisis diberi pembobotan cross section SUR. Pembobotan cross section

membuat model terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Selain itu, untuk menguji masalah heteroskedastisitas dapat dilihat dari hasil Standardized Residual Graph yang menunjukan grafik yang berfluktiatif atau seperti detak jantung, sehingga masalah heteroskedastisitas sudah diatasi.

3. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan suatu penyimpangan asumsi karena adanya keterkaitan atau hubungan linier antar variabel bebas penyusun model. Jika terdapat hubungan maka dapat dikatakan bahwa peubah-peubah bebas tersebut berkolinearitas ganda sempurna (Juanda 2009). Indikasi adanya multikolinearitas dapat dilihat jika dalam model yang dihasilkan terbukti signifikan secara keseluruhan pada uji-F dan memiliki nilai R-squared yang tinggi akan tetapi

27

banyak variabel yang tidak signifikan pada uji-t. Uji multikolinearitas pada penelitian ini dilihat dari adanya korelasi antar variabel. Adanya masalah multikolinearitas pada suatu model dapat dideteksi dengan melihat nilai R2 yang tinggi (R2>0.8) namun banyak koefisien yang tidak sesuai dengan teori atau banyak variabel yang tidak signifikan (Gujarati 2004). Selain itu, multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat nilai probabilitas (F-Statistik) yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dan dengan melihat nilai korelasi antar variabel. Model yang dianalisis memiliki porbabilitas lebih kecil dari taraf nyata lima persen, yaitu sebesar 0.000. Nilai korelasi antar variabel yang dianalisis di bawah 0.8 (lampiran 7) sehingga dapat disimpulkan tidak ada pelanggaran asumsi klasik multikolinearitas. Selain itu, model memiliki nilai R-squared sebesar 91.7 persen dan semua variabel signifikan sehingga masalah multikolinearitas dapat diabaikan.

4. Uji Autokolerasi

Masalah autokolerasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson. Tabel DW dengan taraf nyata 5 persen, jumlah observasi sebanyak 150 dan jumlah variabel independen sebanyak 5 variabel. Nilai dL sebesar 1.6649 dan nilai dU sebesar 1.8024, serta nilai dW sebesar 1.915993. Berdasarkan nilai dU dan dL, autokorelasi tidak dapat ditentukan ada atau tidaknya autokorelasi karena jika nilai DW statistik berada di antara 2 < dw < (4-du). Nilai DW statistik yang dianalisis bukan berada di daerah autokorelasi negatif atau positif. Namun model yang dianalisis menggunakan fixed effect model dengan pembobotan Generalized Least Square (GLS) cross section SUR autokorelasi dapat diatasi (Juanda 2009).

Estimasi dengan pendekatan Generalized Least Square serta terpenuhinya tujuh asumsi tersebut menghasilkan penduga yang memenuhi sifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) sehingga adanya masalah terhadap asumsi klasik yaitu dalam model ini (heteroskedastisitas) dapat diabaikan.

GDP Riil Negara Indonesia

Meningkatnya GDP riil Indonesia dapat diartikan sebagai peningkatan produktivitas domestik sehingga jumlah penawaran terhadap barang dan jasa dalam negeri termasuk penawaran pala Indonesia juga meningkat. Peningkatan produktivitas domestik akan menambah jumlah ekspor pala Indonesia karena kegiatan ekspor dilakukan ketika terjadi kelebihan produksi pada tingkat domestik Berdasarkan hasil estimasi model, GDP riil Indonesia memiliki hubungan positif yang signifikan pada taraf nyata 5 persen . Nilai probabilitas GDP riil Indonesia adalah sebesar 0.0000. Nilai probabilitas tersebut menunjukan bahwa setiap terjadi peningkatan GDP riil Indonesia akan berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor pala Indonesia. Ketika terjadi kenaikan GDP riil Indonesia 1 persen maka terjadi kenaikan volume ekspor sebesar 2.908640 persen.

Variabel ini signifikan karena posisi Indonesia sebagai eksportir utama pala dunia dan kondisi negara tujuan ekspor yang tidak mampu memproduksi pala untuk memenuhi permintaan domestiknya mendorong mereka untuk melakukan impor pala dari negara lain. Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menguasai pasar di sepuluh negara tujuan ekspor komoditi pala. Hal ini sesuai teori dimana GDP riil negara pengekspor akan berpengaruh positif dan signifikan sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ademe dan Yismawuntuk (2013)

yang menganalisis pola perdagangan kopi Ethiophia mmenunjukan bahwa GDP riil negara eksportir memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap ekspor kopi Ethiophia.

GDP Riil Negara Tujuan Ekspor

GDP riil negara tujuan ekspor pala menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa tertentu. Berdasarkan hasil estimasi, GDP riil negara tujuan mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan volume ekspor pala Indonesia. Nilai probalititas dari GDP riil negara tujuan adalah sebesar 0.0000 menunjukan bahwa setiap terjadi peningkatan GDP riil negara tujuan akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume ekspor pala Indonesia. Ketika terjadi kenaikan 1 persen GDP riil negara tujuan menunjukan negara tersebut memiliki daya beli yang tinggi terhadap komoditi pala Indonesia, maka akan terjadi peningkatan volume ekspor sebesar 0.458525 persen. GDP riil negera tujuan menggambarkan ukuran pendapatan negara tujuan ekspor. Semakin besar GDP riil suatu negara menunjukan bahwa tingkat pendapatan negara tersebut semakin besar yang akan mengakibatkan konsumsi akan semakin meningkat. Hal ini menunjukan korelasi positif terhadap volume ekspor komoditi pala Indonesia di negara eksportir.

Penelitian ini didukung dengan penelitian Ademe dan Yismawuntuk (2013) menjelaskan bahwa GDP riil negara tujuan yang semakin besar mengindikasikan bahwa negara tersebut memiliki kemampuan menyerap produk yang diperdagangkan lebih tinggi artinya kemampuan melakukan impor negara tersebut juga meningkat. Peningkatan GDP riil negara tujuan mengakibatkan daya beli masyarakat dalam negara tersebut meningkat, sehingga berdampak pada konsumsi barang dan jasa di negara tersebut yang mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan jika GDP riil negara tujuan semakin tinggi, maka negara tersebut semakin berpotensi sebagai pasar ekspor pala Indonesia.

Jarak Ekonomi

Jarak ekonomi merupakan salah satu syarat yang cukup penting dalam model gravity. Jarak ekonomi menunjukan biaya transportasi dalam pendistribusian barang ataupun jasa. Variabel jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor memiliki hubungan negatif dengan volume ekspor dan signifikan pada taraf nyata 10 persen terhadap nilai ekspor pala Indonesia, sehingga apabila terjadi kenaikan biaya 1 persen akan terjadi penurunan volume ekspor 0.573731 persen dengan asumsi cateris paribus. Peningkatan jarak ekonomi menunjukan biaya transportasi semakin tinggi karena jarak tempuh yang semakin jauh sehingga akan berdampak signifikan pada ekspor pala Indonesia.

Hal ini sesuai dengan teori gravity dimana jarak dapat mempengaruhi interaksi antara dua objek. Semakin jauh jarak negara tujuan ekspor pala dengan Indonesia maka biaya transportasi untuk pengangkutan barang (biaya distribusi) yang ditanggung menjadi semakin meningkat yang akan membawa pengaruh pada penurunan permintaan ekspor komoditi sehingga akan menyebabkan semakin berkurangnya volume ekspor pala Indonesia. Begitu juga sebaliknya, jika jarak ekonomi semakin kecil maka biaya transportasi pengangkutan barang (biaya

29

ditribusi) akan berkurang yang akan berpengaruh terhadap peningkatan permintaan pala Indonesia di negara tujuan. Hasil estimasi model sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2007) yang menganalisis determinasi perdagangan bilateral Indonesia dimana variabel jarak berpengaruh signifikan dan negatif terhadap komoditi ekspor Indonesia.

Dokumen terkait