• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Gizi Balita

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan

dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi juga merupakan akibat dari keseimbangan

antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologik akibat dari kondisi ketersediaan zat gizi dalam seluruh tubuh (Supariasa 2002). Indikator status gizi balita merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan tingkat sosial ekonomi suatu wilayah. Saat ini kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG) secara Nasional dilakukan melalui dua kegiatan yaitu pengumpulan data antropometri dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan kedua pengumpulan data antropometri melalui kegiatan PSG yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Pemantauan status gizi balita diambil berdasarkan pada hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan, sehingga status gizi dianalisis menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB.

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).

Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U ini memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan kurang dalam jangka waktu lama sejak usia bayi sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek.

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk.

15

Berdasarkan indeks BB/U yang disajikan pada Tabel 2, prevalensi gizi buruk di lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP) mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 adalah 3.7%. Angka ini lebih rendah daripada prevalensi Jawa Barat (4.4%) dan prevalensi nasional (5.7%). Di sisi lain, prevalensi gizi kurang adalah 15.6%, lebih tinggi dari prevalensi nasional (13.9%) maupun Jawa Barat (11.3%). Prevalensi gizi lebih anak balita (1.5%) jauh lebih rendah daripada prevalensi nasional (4.5%) maupun Jawa Barat (4.3%). Sementara untuk prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor mencapai angka 19.3%, lebih rendah 0.3% dari dari prevalensi nasional (19.6%) (Kemenkes 2013a).

Tabel 2 Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks BB/U

Status gizi BB/U

n % Gizi buruk 15 3.7 Gizi kurang 63 15.6 Gizi baik 321 79.3 Gizi lebih 6 1.5 Total 405 100.0

Atas dasar sasaran MDG 2015, prevalensi gizi buruk-kurang di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor belum mencapai sasaran yang ditargetkan (15.5%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap tinggi/serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20.0-29.0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO 2010). Pada tahun 2014, masalah gizi berat kurang (istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)) pada anak balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor sebesar 19.3%, yang berarti masalah gizi berat kurang di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi.

Berdasarkan indeks TB (PB)/U (Tabel 3), prevalensi pendek (istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting)) di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 adalah 37.3%. Angka ini sedikit di atas prevalensi nasional (37.2%) dan lebih tinggi dari prevalensi Jawa Barat (35.3%) (Kemenkes 2013a).

Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek (stunting) sebesar 30 – 39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Masalah kesehatan masyarakat di di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 termasuk kategori berat.

Tabel 3 Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks TB (PB)/U

Status gizi TB (PB)/U

n % Sangat pendek 63 15.6 Pendek 88 21.7 Normal 240 59.3 Tinggi 14 3.5 Total 405 100.0

16

Menurut indeks BB/TB (Tabel 4), prevalensi sangat kurus pada balita (2.7%) lebih rendah daripada angka nasional (5.3%) maupun Jawa Barat (5.0%). Walaupun demikian, prevalensi kurus (12.3%) berada di atas prevalensi nasional (6.8%) maupun Jawa Barat (5.9%). Prevalensi gemuk (5.9%) berada jauh di bawah prevalensi nasional maupun Jawa Barat, yaitu 11.8% (Kemenkes 2013a).

Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus (istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)) antara 10.0-14.0 persen, dan dianggap kritis bila ≥15.0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2014, prevalensi kurus pada anak balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor mencapai angka 15.0 persen, yang berarti masalah kurus (wasting) di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 merupakan masalah kesehatan masyarakat kategori kritis.

Tabel 4 Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks BB/TB (PB)

Status gizi BB/TB (PB) n % Sangat kurus 11 2.7 Kurus 50 12.3 Normal 320 79.0 Gemuk 24 5.9 Total 405 100.0

Cakupan Gizi Buruk Mendapat Perawatan

Gizi buruk adalah status gizi berdasarkan indeks berat badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) dengan nilai Z-score < -3 SD dengan atau tanpa gejala klinis, ditangani/dirawat adalah tindakan yang diberikan kepada balita gizi buruk yang ditemukan mulai dari rujukan, klarifikasi dan konfirmasi, pengobatan dan pemberian makanan tambahan yang disertai dengan penyuluhan, baik rawat jalan maupun rawat inap. Menurut Sediaoetama (2008), anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi.

Anak yang menderita KEP terutama pada tingkat berat (gizi buruk) mengalami hambatan dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, daya tahan terhadap penyakit menurun sehingga meningkatkan angka kesakitan dan risiko kematiannya cukup tinggi. Risiko Relatif (RR) angka kematian bagi penderita KEP berat 8.4 kali, KEP sedang 4.6 kali dan KEP ringan 2.4 kali dibandingkan dengan gizi baik (Soekirman 2000). Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia. Keadaan demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi). Secara umum, bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition (kelebihan gizi) dan under nutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah suatu keadaan tubuh akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam waktu yang relatif lama. Undernutrition

17

adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh (Gibson 2005).

Tabel 5 Jumlah balita kurus dalam keluarga

Total balita n %

Kurus 25 7.8

Normal 295 92.2

Total 320 100

Tabel 6 Jumlah balita sangat kurus yang dirujuk dalam keluarga Jumlah balita

sangat kurus

Dirujuk ke

Rumah Sakit Puskesmas TFC

n % n % n %

Ya 4 16.0 20 80.0 1 4.0

Tidak 0 0.0 0 0 0 0

Total 4 16.0 20 80.0 1 4.0

Prevalensi balita kurus berdasarkan observasi (Tabel 5) adalah 7.8%. Dari seluruh balita yang kurus, 80% dirujuk ke Puskesmas (Tabel 6). Semua kasus balita gizi buruk di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 telah ditangani di Rumah Sakit (RS), Puskesmas dan Pusat Pemulihan Gizi (Therapeutic Feeding Center = TFC) baik rawat inap maupun rawat jalan, hal ini sesuai dengan target indikator dimana 100% balita gizi buruk yang ditemukan harus ditangani dan mendapat perawatan. Tingkat capaian indikator kinerja persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan dimana semua balita gizi buruk dengan komplikasi medis maupun tanpa komplikasi medis yang terdeteksi telah dirawat, baik itu rawat inap di TFC, puskesmas perawatan dan di rumah sakit maupun rawat jalan di puskesmas non perawatan dan rumah sakit setiap tahunnya selalu mencapai target 100%.

Notoadmojdo (2007), menyatakan bahwa salah satu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan rawan kesehatan adalah anak balita sudah mulai bermain di tanah atau di luar rumahnya sendiri. Dengan demikian anak-anak balita lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terkena berbagai penyakit.

Munculnya kasus gizi buruk di masyarakat seharusnya dapat dicegah dan diketahui secara dini melalui kegiatan penimbangan bulanan balita di Posyandu (Soekirman 2000). Untuk itu tugas yang harus dilakukan oleh pengelola program gizi yaitu selain menggabungkan data kegiatan pembinaan gizi masyarakat dari Puskesmas, pengelola kegiatan gizi juga perlu melakukan kompilasi laporan kasus gizi buruk yang dirawat di RS atau informasi dari masyarakat dan media. Bila ada laporan kasus gizi buruk dari masyarakat atau media, pengelola gizi perlu melakukan klarifikasi ke Puskesmas mengenai laporan atau informasi tersebut untuk melakukan konfirmasi status gizinya.

Klarifikasi laporan kasus gizi buruk dapat dilakukan melalui telepon dan sms. Bila hasil konfirmasi ternyata balita tersebut benar gizi buruk (BB/PB atau BB/TB <-3 SD dengan atau tanpa gejala klinis) maka perlu dilakukan pelacakan atau penyelidikan kasus. Pelacakan kasus meliputi waktu kejadiannya, tempat/lokasi kejadian dan identitas orangnya termasuk umur, jenis kelamin dan penyebab terjadinya kasus gizi buruk.

18

Pelacakan kasus gizi buruk dilakukan apabila kasus tersebut belum mendapatkan penanganan, kasus gizi buruk terkonsentrasi pada satu wilayah, dicurigai kemungkinan adanya rawan pangan (pedoman survailance gizi). Keluaran yang diharapkan dari langkah pengumpulan data adalah adanya rekapitulasi laporan terkait dengan jumlah Puskesmas yang melapor, ketepatan waktu, kelengkapan dan kebenaran data yang dilaporkan.

Cakupan Penimbangan Balita (D/S)

Cakupan penimbangan balita (D/S) merupakan indikator yang berkaitan dengan cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, tingkat partisipasi masyarakat serta prevalensi gizi kurang. Semakin tinggi cakupan D/S, semakin tinggi cakupan vitamin A, semakin tinggi cakupan imunisasi dan semakin rendah prevalensi gizi kurang (Kemenkes 2012). Indikator ini menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita. Kunjungan balita ke Posyandu untuk penimbangan juga merupakan realisasi dari upaya kesehatan dalam bentuk promotif sekaligus preventif guna meningkatkan status gizi dan kesehatan balita.

Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi cakupan penimbangan berat badan balita di di lokasi KKP IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 (Tabel 7) diketahui bahwa 63.6% bayi 0-1 bulan tidak pernah datang dan ditimbang di Posyandu. Hal ini dapat disebabkan keengganan responden untuk membawa bayi keluar rumah, khususnya pada 40 hari pertama. Frekuensi ini meningkat sejalan dengan pertambahan umur anak, ditunjukkan dengan frekuensi bayi 2-3 bulan datang dan ditimbang di Posyandu yang hampir merata pada seluruh kategori kecuali dengan frekuensi empat kali. Frekuensi penimbangan tertinggi berada pada kategori dua kali (40%). Frekuensi bayi 4-5 bulan datang dan ditimbang di Posyandu dengan proporsi terbesar (42.1%) berada pada kategori lima kali dalam enam bulan terakhir. Hal ini menunjukkan kesadaran ibu yang memiliki balita di lokasi KKP IPB di Kabupaten Bogor untuk membawa anaknya yang berusia 4-5 bulan sudah cukup baik. Frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan sudah sangat baik, ditunjukkan dengan proporsi yang ditimbang enam kali (53.0%) melebihi angka nasional (44.6%) dan hampir mencapai angka proporsi Jawa Barat (53.3%) (Kemenkes 2013a).

Tabel 7 Jumlah bayi yang datang dan ditimbang di Posyandu Bayi (umur 0-1 bln) yang datang dan ditimbang

2 bulan terakhir n %

Tidak pernah 7 63.6

Satu kali 4 36.4

Dua kali 0 0.0

Total 11 100

Bayi ( 2 – 3 bln) yang datang dan ditimbang 4

bulan terakhir n %

Tidak pernah 3 15.0

19

Tabel 7 Jumlah bayi yang datang dan ditimbang di Posyandu (Lanjutan) Bayi (umur 0-1 bln) yang datang dan ditimbang

2 bulan terakhir n %

Dua kali 8 40.0

Tiga kali 4 20.0

Empat kali 1 5.0

Total 20 100

Bayi ( 4 – 5 bln) yang datang dan ditimbang 6

bulan terakhir n % Tidak pernah 1 5.3 Satu kali 2 10.5 Dua kali 1 5.3 Tiga kali 4 21.1 Empat kali 3 15.8 Lima kali 8 42.1 Enam kali 0 0.0 Total 19 100.0

Bayi ( 6 – 59 bln) yang datang dan ditimbang 6

bulan terakhir n % Tidak pernah 48 13.5 Satu kali 15 4.2 Dua kali 22 6.2 Tiga kali 21 5.9 Empat kali 12 3.4 Lima kali 49 13.8 Enam kali 188 53.0 Total 355 100.0

Bila dibandingkan dengan standar pelayanan minimum (SPM) dan target 2014 (Gambar 3) angka realisasi cakupan penimbangan balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor mencapai 85.4% masuk pada kategori baik (≥80%) dan telah melampaui target pencapaian penimbangan balita Tahun 2014 yang ditetapkan Kemenkes (≥85%). Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2013, terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan Tahun 2013 (67.0%) (Dinkes Kab. Bogor 2013). Walau demikian masih sangat diperlukan upaya untuk terus menggalakkan program-program pemantauan penimbangan balita agar pencapaian tahun ini dapat lebih dipertahankan dan ditingkatkan.

Gambar 3 Perbandingan realisasi penimbangan balita (D/S), SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014

Realisasi SPM Target Pencapaian

Program % Penimbangan Balita (D/S) 85,4 80,0 85,0 100,5 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0 % P en im b an gan B al it a (D/S )

20

Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Peran serta masyarakat dalam penimbangan balita (D/S) menjadi sangat penting dalam deteksi dini kasus gizi kurang dan gizi buruk. Dengan rajin menimbang balita, maka pertumbuhan balita dapat dipantau secara intensif. Sehingga bila berat badan anak tidak naik ataupun jika ditemukan penyakit akan dapat segera dilakukan upaya pemulihan dan pencegahan supaya tidak menjadi gizi kurang atau gizi buruk. Semakin cepat ditemukan, maka penanganan kasus gizi kurang atau gizi buruk akan semakin baik. Penanganan yang cepat dan tepat sesuai tata laksana kasus anak gizi buruk akan mengurangi risiko kematian, sehingga angka kematian akibat gizi buruk dapat ditekan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain.

Masalah yang berkaitan dengan kunjungan Posyandu antara lain: dana operasional dan sarana prasarana untuk menggerakkan kegiatan Posyandu; tingkat pengetahuan kader dan kemampuan petugas dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling; tingkat pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat Posyandu; serta pelaksanaan pembinaan kader. Selain itu menurut Sandjaja et al. (2005) beberapa faktor yang kemungkinan menjadi penyebab menurunnya anak balita ditimbang adalah makin menurunnya peran serta masyarakat, termasuk posyandu dan kadernya. Sehingga untuk mengantisipasi masalah ini, diperlukan bentuk pendekatan yang lebih efektif untuk memfungsikan dan memantapkan kegiatan kader yang berkesinambungan. Dukungan lintas sektor, seperti Lurah/Kepala Desa, Camat sangat penting dan selanjutnya perlu dukungan juga dari tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan naslonal. Jika sebelumnya pendekatan lebih bersifat mobilisasi, karena peran kekuasaan dan komando, maka pendekatan menumbuhkan kasadaran menjadi kader adalah yang terbaik. Diupayakan agar kader yang dilibatkan merasakan bahwa penunjukan dan penugasannya menjadi suatu penghargaan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya dari pemerintah dan masyarakat. Mungkin penghargaan berupa insentif dalam berbagai bentuk untuk kader posyandu sebagai pengganti hari kerja perlu menjadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan di tingkat daerah.

Beberapa kendala yang dihadapi berdasarkan laporan KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 antara lain: (1) Permasalahan geografis, seperti di Kecamatan Sukamakmur, terdapat jarak rumah penduduk ke Posyandu sekitar 2 kilometer yang harus ditempuh dengan berjalan kaki; (2) Kurangnya dukungan dari para pemangku kepentingan, Posyandu hanya didukung oleh tenaga kesehatan dari Puskesmas setempat; (3) Kualitas dan kuantitas dari kader masih kurang; (4) Terbatasnya dana operasional, sarana dan prasarana di Posyandu; (5) kurangnya kemampuan tenaga dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling; (6) Tingkat pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat Posyandu masih rendah.

21

Pemberian Tablet Tambah Darah (Fe)

Anemia Gizi adalah rendahnya kadar Haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi. Untuk penanggulangan masalah ini telah dilakukan intervensi dengan distribusi tablet Fe. Cakupan pemberian tablet Fe terkait erat dengan pelayanan antenatal care (ANC). Analisis cakupan Fe sering menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar, hal ini mungkin disebabkan karena belum optimalnya koordinasi antar lintas program terkait atau pencatatan dan pelaporan cakupan Fe ibu hamil belum terlaporkan dengan baik (Kemenkes 2012).

Tabel 8 Usia kehamilan ibu dan Usia pertama kali mendapat TTD dalam keluarga

Usia Ibu hamil n %

Trimester I (1 – 3 bln) 4 26.7

Trimester II ( 4 – 6 bln) 5 33.3

Trimester III (7 – 9 bln) 6 40.0

Tidak tahu 0 0.0

Total 15 100.0

Ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah

pertama kali n % Trimester I (1 – 3 bln) 6 40.0 Trimester II ( 4 – 6 bln) 3 20.0 Trimester III (7 – 9 bln) 1 6.7 Tidak tahu 5 33.3 Total 15 100.0

Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi yang dilakukan dari 15 ibu hamil (Tabel 8), 40.0% ibu hamil memiliki usia kehamilan trimester III (7-9 bulan) dan seluruh (100%) ibu hamil mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD) dengan proporsi terbesar memperoleh TTD pertama kali pada usia kehamilan 1-3 bulan. Tabel 9 menjelaskan frekuensi ibu hamil mendapat TTD terbesar (33.3%) dengan frekuensi tiga kali. Hal ini menunjukkan cakupan program TTD sudah cukup baik. Sepertiga lebih (33.3%) ibu hamil menerima 90 butir TTD. Angka ini menyamai angka nasional untuk konsumsi TTD 90 butir, yaitu 33.3%. Dari sejumlah TTD yang diterima, sebagian besar (77.8%) dikonsumsi di rentang 0-30 TTD (Tabel 10). Bagi yang tidak menerima TTD, sebesar 33.3% ibu membeli sendiri dan meminum seluruhnya (Tabel 11). Hanya sebagian kecil ibu hamil yang mengkonsumsi TTD kurang dari yang diterima dengan alasan baunya yang tidak enak, kotoran hitam dan menimbulkan rasa mual (Tabel 12).

22

Tabel 9 Frekuensi ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) Frekuensi ibu hamil mendapat Tablet Tambah

Darah n % Tidak pernah 6 40.0 1 (satu) kali 3 20.0 2 (dua) kali 1 6.7 3 (tiga) kali 5 33.3 Tidak tahu 0 0.0 Total 15 100.0

Jumlah Tablet Tambah Darah (TTD) yang

diperoleh ibu hamil n %

30 butir 5 55.6

60 butir 0 0.0

90 butir 4 44.4

Total 9 100.0

Tabel 10 Jumlah Tablet Tambah Darah (TTD) yang diminum ibu hamil Jumlah ibu hamil

mendapat Tablet Tambah Darah

Jumlah Tablet Tambah Darah (butir)

0 - 30 31 - 60 61 – 90

n % n % n %

Diminum 7 77.8 0 0 2 22.2

Tidak diminum 0 0 0 0 0 0

Total 7 77.8 0 0 2 22.2

Tabel 11 Jumlah ibu hamil yang tidak dapat TTD tapi membeli TTD sendiri Jumlah ibu hamil yang minum

Tablet Tambah Darah

Asal Tablet Tambah Darah Puskesmas Beli Sendiri

n % n %

Ya - - 2 33,3

Tidak - - 4 66,7

Total - - 6 100,0

Tabel 12 Persentase alasan ibu tidak minum TTD

Alasan tidak minum TTD n %

Bau tidak enak 1 25.0

Rasa tidak enak 0 0.0

Kotoran hitam 1 25.0

Mual 2 50.0

Total 4 100.0

Anemia gizi besi dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dari tingkat ringan sampai berat. Anemia pada ibu hamil akan menambah risiko mendapatkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), risiko perdarahan sebelum dan pada saat persalinan, dan bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya jika ibu hamil tersebut menderita anemia berat. Pada ibu hamil lebih banyak terjadi perdarahan kronis, yaitu perdarahan sedikit-sedikit tetapi terus menerus dalam waktu yang lama (Riyadi, Hardinsyah, & Anwar 1997).

23

Anemia pada ibu hamil disebabkan oleh banyak faktor, yaitu faktor langsung, tidak langsung dan mendasar. Secara langsung anemia disebabkan oleh seringnya mengkonsumsi zat penghambat absorbsi zat besi, kurangnya mengkonsumsi promotor absorbsi zat besi non heme serta adanya infeksi parasit. Adapun kurang diperhatikannya keadaan ibu pada waktu hamil merupakan faktor tidak langsung. Namun secara mendasar anemia pada ibu hamil disebabkan oleh rendahnya pendidikan dan pengetahuan serta faktor ekonomi yang masih rendah (Darlina 2003).

Gambar 4 menjelaskan bahwa cakupan pemberian tablet Fe di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 (66.7%) masih pada kategori kurang dari SPM dan target Kemenkes di Tahun 2014. Realisasi cakupan Fe Tahun 2014 ini juga menurun dari cakupan pemberian Fe di Kabupaten Bogor Tahun 2013 (78.3%). Hal ini dimungkinkan karena masih adanya keengganan dan rendahnya kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya dalam rangka menjaga kesehatan ibu dan bayinya.

Gambar 4 Perbandingan realisasi cakupan Fe (TTD 90), SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014

Konsumsi Garam Beryodium di Rumah Tangga

Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kurang unsur yodium secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Kekurangan yodium saat ini tidak terbatas pada gondok dan kretinisme saja, tetapi ternyata kekurangan yodium berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk perkembangan otak sehingga terjadi penurunan potensi tingkat kecerdasan (Intelligence Quotient=IQ). Penanggulangan masalah ini dilakukan dengan upaya Universal Salt Iodination (USI), yaitu fortifikasi yodium dalam garam konsumsi (Kemenkes 2012).

Menurut Depkes (2002), masalah GAKY merupakan masalah yang serius mengingat dampaknya secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia yang mencakup 3 aspek, yaitu aspek perkembangan kecerdasan, aspek perkembangan sosial dan aspek perkembangan ekonomi. Lebih jauh telah diidentifikasi bahwa masalah GAKY

Realisasi SPM Target TTD 90 Pencapaian Program % Cakupan Fe 66,7 70,0 85,0 78,4 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 % C ak u p an F e

24

berhubungan erat dengan kecerdasan akibat defisit IQ point dan produktivitas kerja. Anak-anak yang menderita kekurangan yodium mempunyai rata-rata IQ 10-15 poin lebih rendah dibandingkan dengan anak yang cukup mendapat yodium.

Berdasarkan uji yodium (Iod test) yang dilakukan terhadap sampel garam yang digunakan/dikonsumsi keluarga diperoleh hasil sebagai berikut, garam halus (58.3%) dan garam bata (40.2%) digunakan di hampir seluruh rumah tangga. Hanya 1.5% responden yang menggunakan garam curah bahkan tidak ada yang menggunakan garam gurih (Tabel 13). Tabel 14 menjelaskan alasan penggunaan jenis garam tersebut, sebagian besar (70.1%) adalah karena tersedia di pasar. Berdasarkan hasil pemeriksaan garam di rumah tangga (Tabel 15), 75.8% garam beryodium. Cakupan garam beryodium ini lebih rendah dari angka nasional (77,1%) namun melampaui konsumsi garam beryodium di Jawa Barat (68,6%) (Kemenkes 2013a). Garam yang telah dites dan dikategorikan sebagai tidak beryodium memiliki arti kandungan yodiumnya kurang, bukan berarti tidak ada yodium sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan hasil tes yang berwarna namun tidak pekat.

Tabel 13 Persentase jenis garam yang digunakan dalam rumah tangga Jenis garam yang dikonsumsi di rumah tangga n %

Garam bata 163 40.2

Garam curah 6 1.5

Garam halus 236 58.3

Garam gurih 0 0

Total 405 100

Tabel 14 Alasan menggunakan garam Jenis garam

yang dikonsumsi

Alasan penggunaan Mengandung

Yodium Ada di pasar

Rasa tidak pahit Murah n % n % n % n % Garam bata 5 1.2 127 31.4 6 1.5 25 6.2 Garam curah 1 0.2 3 0.7 0 0.0 2 0.5 Garam halus 63 15.6 154 38.0 11 2.7 7 1.7 Garam gurih 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Total 69 17.0 284 70.1 17 4.2 34 8.4

Tabel 15 Hasil pemeriksaan garam di rumah tangga Jenis garam yang dikonsumsi di

rumah tangga

Hasil pemeriksaan

Beryodium Tidak beryodium

n % n % Garam bata 83 20.5 80 19.8 Garam curah 6 1.5 0 0.0 Garam halus 218 53.8 18 4.4 Garam gurih 0 0.0 0 0.0 Total 307 75.8 98 24.2

Berdasarkan target Kemenkes Tahun 2014, secara nasional cakupan rumah

Dokumen terkait