• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Penilaian teknologi penangkapan ikan dilakukan agar pengembangannya dapat mewujudkan perikanan tangkap semakin bertanggung jawab. Penilaian terbaik dilakukan berdasarkan tiap indikator, sifat aktif dan pasif, terbaik di perairan sungai, terbaik di perairan laut dan terbaik secara umum.

Skor setiap indikator teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab

Pengolahan data menghasilkan sebuah nilai yang menentukan skornya. Terdapat 3 skor tiap indikator yaitu 1, 2 dan 3; nilai 3 berarti baik, nilai 2 berarti tergolong cukup dan nilai 1 tergolong tidak baik (Tabel 3). Semakin tinggi skor suatu indikator berarti unit penangkapan ikan memiliki ciri yang semakin mendekati suatu kriteria ideal.

1. Indikator 1 : X1 = 2

Setiap jenis unit penangkapan yang diteliti dioperasikan oleh nelayan yang cukup terlatih, memahami dan menerapkan konsep efisiensi dan konservasi. Sebagian besar nelayan di Kabupaten Kapuas memiliki pengalaman kerja rata-rata lebih dari 5 tahun dan tingginya minat serta keaktifan nelayan dalam mengikuti program pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Awalnya peneliti ingin mengukur indikator X1 dengan membandingkan jumlah program yang telah diselenggarakan dengan jumlah program yang pernah diikuti nelayan, namun karena kesulitan dalam memperoleh data dan mendapatkan keterangan maka penilaian dilakukan dengan mengandalkan keterangan nelayan. Kurangnya pemahaman tentang konsep efesiensi dan konservasi juga merupakan suatu hambatan dalam melaksanakan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab.

2. Indikator 2 : X2 = 2

Berdasarkan aspek-aspek keselamatan anak buah kapal (ABK), keselamatan kasko, keselamatan mesin dan keselamatan alat penangkapan ikan, unit penangkapan ikan yang diteliti agak membahayakan nelayan dan orang lain di perairan laut dan sungai. Seluruh unit penangkapan ikan yang diteliti tidak menyediakan fasilitas keselamatan di atas kapal (lihat hasil perhitungan di Lampiran 2). Tampaknya hal ini disebabkan nelayan pada umumnya menganggap kelengkapan fasilitas keselamatan tersebut tidak terlalu penting karena semua nelayan memiliki kemampuan renang. Pengabaian terhadap fasilitas keselamatan sangat berbahaya pada lingkungan kerja di atas air mengingat kecelakaan laut dapat terjadi sewaktu-waktu atau tak terduga. Temuan ini menyimpulkan bahwa evaluasi terhadap indikator keselamatan pada kapal-kapal ikan harus dilaksanakan untuk untuk menjamin keselamatan nelayan maupun orang lain di laut dari risiko kecelakaan.

3. Indikator 3 : X3 = 3 (Rengge laut, rengge sungai, rawai laut, rawai sungai dan rakkang) dan X3 = 2 (lampara, sungkur dan togo)

Operasi penangkapan ikan di perairan wilayah ini bersifat harian dengan lokasi tangkap (fishing ground) paling jauh ± 12 mil dari garis pantai. Seluruh alat penangkapan ikan selalu dioperasikan pada alur penangkapan yang sesuai. Sub indikator alat tangkap, lampara, sungkur dan togo tergolong agak sesuai. Hal ini dikarenakan lampara dasar yang digunakan lebih condong seperti trawl, sehingga walaupun desainnya sesuai standar tetap dianggap kurang sesuai peraturan. Alat tangkap sungkur merupakan modifikasi dari alat tangkap seser (push net) sehingga digolongkan agak sesuai peraturan. Togo merupakan modifikasi dari alat tangkap udang/ikan tergolong agak sesuai karena fungsinya tetap untuk menangkap udang dan ikan. Kekurangsesuaian alat tangkap tidak menjadi hambatan dikarenakan pemanfaatannya masih sesuai dengan tujuan hasil tangkapannya.

4. Indikator 4 : X4 = 2 kecuali lampara dan rawai (skor 1)

Pemakaian bahan bakar secara standar menurut Nomura (1975) ialah 0.02 kg/hp/jam. Peneliti tidak dapat melakukan pengukuran secara kuantitatif disebabkan penggunaan bahan bakar di Kabupaten Kapuas yang merupakan minyak campuran. Penggunaan bahan bakar campuran tentu menyebabkan mesin menjadi cepat rusak dan tidak hemat energi (Suara Merdeka 2003), sehingga peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap tiap unit penangkapan ikan berdasarkan jumlah bahan bakar serta campuran bahan bakar yang digunakan.

Lampara dan rawai sungai tergolong sangat boros bahan bakar dikarenakan mesin yang digunakan adalah mesin dumping dengan bahan bakar campuran berupa bensin, solar, oli pelumas, minyak tanah dan minyak goreng. Tingkat hemat energi yang

Tabel 3. Skor setiap indikator unit penangkapan ikan di perairan Kabupaten Kapuas Indikator Alat Tangkap Rata-rata Lampara (Y1) Sungkur (Y2) Rengge Laut (Y3) Rawai Laut (Y4) Rawai Sungai (Y5) Rengge Sungai (Y6) Togo (Y7) Rakkang (Y8) X1 2 2 2 2 2 2 2 2 2,0 X2 2 2 2 2 2 2 2 2 2,0 X3 2 2 3 3 3 3 2 3 2,6 X4 1 2 2 2 2 2 2 2 1,9 X5 1 2 2 2 2 2 2 2 1,9 X6 3 3 3 3 3 3 3 3 3,0 X7 2 3 2 2 2 3 3 3 2,5 X8 3 3 3 3 3 3 3 2 2,9 X9 3 3 2 3 3 3 3 3 2,9 X10 1 1 1 1 1 1 1 1 1,0 X11 3 3 3 3 3 3 3 3 3,0 X12 1 2 3 3 3 3 3 3 2,6 X13 2 3 3 3 3 3 3 3 2,9 Total 26 31 31 32 32 33 32 32 31,1 Keterangan:

X1 : Indikator 1; X2 : Indikator 2;... Xn : Indikator n

rendah dapat ditingkatkan melalui penggantian mesin kapal yang lama dan pemakaian bahan bakar secara konsisten yang berarti penggunaan bahan bakar yang sama tanpa pencampuran yang tentunya menyebabkan boros bahan bakar dan cepat merusak mesin. Sulitnya mendapat bahan bakar merupakan masalah yang sudah biasa di wilayah pesisir ini, sehingga perlu adanya dukungan dari pemerintah berupa pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di beberapa titik penting wilayah desa pesisir. Perlu diperhatikan juga bahwa penggunaan alat tangkap akan menjadi boros bergantung juga pada jarak daerah asal (fishing base) ke daerah penangkapan (fishing ground), jenis kapal, jenis mesin dan jenis bahan bakar yang digunakan, sehingga perlu disesuaikan alat tangkap yang akan menjadi tepat di suatu daerah pesisir.

5. Indikator 5 : X5 = 2 kecuali lampara (skor 1)

Hasil yang diperoleh pada sub indikator polusi cair adalah seluruh teknologi penangkapan ikan berada pada skor 3 yaitu terjadi pencemaran air yang rendah di perairan laut dan sungai. Semulanya berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar pada tahun 1960-an sungai masih cukup jernih, namun akibat terjadinya abrasi tanah yang tergeruk membuat perairan menjadi sangat kotor dan sedikit mengurangi populasi ikan. Pengamatan pada sub indikator polusi udara dilakukan terhadap umur mesin, jenis mesin, jarak tempuh dan periode servis. Berdasarkan umur mesin penggerak kapal, dapat diasumsikan bahwa semakin tua mesin kapal dan semakin besar jarak tempuh berarti semakin tinggi polusi yang disumbangkan ke lingkungan jika servis tidak dilakukan secara rutin (Lupita 2013). Di lokasi penelitian, polusi udara yang disebabkan rengge sungai permukaan dan togo tergolong rendah karena unit-unit penangkapan ikan ini dilengkapi dengan kapal dan mesin baru dari sumbangan dari pemerintah. Perbaikan mesin dilakukan oleh nelayan itu sendiri, penggantian mesin sangat jarang dilakukan karena harganya yang mahal. Selain perbaikan mesin secara berkala, perlu juga adanya bantuan dari pemerintah dalam pemberian mesin baru kepada nelayan yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan.

6. Indikator 6 : X6 = 3

Penggunaan jumlah bahan alam yang sedikit seperti bambu pada sungkur, kayu galam pada rakkang dan tongkat kayu pada togo dianggap tidak merusak.

7. Indikator 7 : X7 = 3 (sungkur, rengge sungai permukaan, togo dan rakkang ) dan X7 = 2 (lampara, rengge laut dasar, rawai laut dan rawai sungai)

Ikan yang tertangkap oleh sungkur, rengge sungai permukaan, togo dan rakkang seragam, legal atau proper size,

sedangkan pada alat tangkap lampara, rengge laut dasar, rawai laut dan rawai sungai tergolong cukup. Peneliti tidak melakukan pengukuran terhadap ukuran ikan secara terperinci pada penelitian ini, sehingga peneliti melakukan pengamatan secara langsung dan wawancara dengan nelayan. Tingkat keseragaman dan kelegalan erat kaitannya dalam menjaga kelestarian sumberdaya secara berkelanjutan. Keseragaman baiknya disesuaikan dengan ukuran yang ditetapkan artinya telah memenuhi kiteria telah matang gonad atau LM (length at first maturity).

8. Indikator 8 : X8 = 3 kecuali rakkang (skor 2)

Seluruh unit penangkapan ikan memiliki potensi rendah terjadinya “ghost fishing” kecuali rakkang. Menurut informasi yang diperoleh dari nelayan, rakkang tergolong memiliki potensi cukup tinggi terjadinya “ghost fishing”. Pengoperasian rakkang yang dilakukan dengan cara mendiamkan selama lima belas (15) jam dan meninggalkan alat tangkap diperairan merupakan penyebab mudahnya hilang alat tangkap ini jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Pemberian tagging perlu diperhatikan apakah tagging dapat berfungsi optimal, sehingga pemberian tagging yang tepat dan secara benar sangat diperlukan

9. Indikator 9 : X9 = 3 kecuali rengge laut dasar (skor 2).

Seluruh unit penangkapan ikan memanfaatkan hasil tangkapan secara maksimum kecuali rengge laut dasar. Pengoperasian rengge laut yang berada di dasar perairan menyebabkan tertangkapnya berbagai jenis hasil tangkapan, sehingga hasil tangkapan yang tidak sesuai target dan dianggap kurang menguntungkan akan dibuang serta tidak dimanfaatkan. Indikator ini berhubungan dengan indikator menjamin survival dari ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut (discards) dimana seluruh alat tangkap berada pada skor 1 (indikator 10). Tanggung jawab mengenai keberlangsungan hidup ikan tidak hanya oleh nelayan tetapi juga masyarakat. Permintaan konsumen adalah salah satu faktor penyebab tersedianya ikan kecil oleh nelayan, sehingga sangat penting untuk memberikan pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai ukuran konsumsi ikan untuk menjaga keberlangsungan hidup ikan secara berkelanjutan serta pentingnya perairan bagi kehidupan masyarakat.

10. Indikator 10 : X10 = 1

Ikan dan biota laut yang tidak layak tangkap dikembalikan ke laut tidak dijamin keberlangsungan hidupnya oleh seluruh unit penangkapan ikan. Nelayan di wilayah perairan ini memiliki pandangan yang sama mengenai keberlangsungan hidup ikan. Alasan tidak dijaminnya hidup ikan adalah karena hampir sebagian besar hasil tangkapan yang tertangkap mati

setelah didaratkan di atas kapal. Kurangnya informasi mengenai pentingnya menjaga kelangsungan hidup ikan menyebabkan kurang dihargainya biota perairan.

11. Indikator 11 : X11 = 3

Seluruh unit penangkapan ikan dalam pengoperasiannya tidak pernah menangkap jenis biota yang dilindungi/biodiversity. Tidak ada jenis yang dilindungi pada perairan laut di Kabupaten Kapuas, sedangkan untuk perairan sungai jenis yang dilindungi adalah arwana (Scleropages formosus ) dan labi-labi (Pelodiscus sinensis).

12. Indikator 12 : X12 = 3 kecuali sungkur (skor 2) dan lampara (skor 1).

Metode dan operasi penangkapan ikan pada alat tangkap lampara tergolong sangat merusak lingkungan perairan dan habitat dikarenakan dalam pengoperasiannya seluruh isi perairan yang tersapu akan masuk kedalam kantung sehingga sangat merusak habitat perairan. Beda halnya dengan lampara, sungkur yang dioperasikan dengan cara yang sama tergolong cukup merusak lingkungan perairan dan habitat.

13. Indikator 13 : X13 = 3 kecuali lampara (skor 2)

Seluruh unit penangkapan ikan tidak menimbulkan konflik dengan kegiatan lainnya kecuali lampara. Lampara termasuk cukup menimbulkan konflik dengan kegiatan lainnya dikarenakan pengoperasiannya yang menyapu dasar perairan sehingga banyak hasil tangkapan tertangkap dan mengurangi jumlah hasil tangkapan alat tangkap sungkur. Konflik kecil yang tejadi tetap perlu diwaspadai agar tidak menjadi besar kedepannya, sehingga perlunya pembagian wilayah penangkapan yang lebih jelas dan tidak berdekatan satu sama lainnya.

Teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab berdasarkan sifat aktif, pasif dan secara umum

Menurut cara mengoperasikannya dalam mendekati ikan yang menjadi sasaran penangkapan ikan, alat penangkapan ikan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu alat tangkap aktif dan alat tangkap pasif. Alat yang bersifat aktif adalah lampara dan sungkur, sedangkan alat yang bersifat pasif adalah rengge, rawai, togo dan rakkang. Menurut lokasi tempat dioperasikan, unit penangkapan ikan di Kabupaten Kapuas dibagi menjadi tiga yaitu aktif di laut, pasif di laut dan pasif di sungai (tidak terdapat unit penangkapan ikan aktif di sungai Kabupaten Kapuas dalam penelitian). Berikut unit penangkapan terbaik.

1. Unit penangkapan ikan bersifat aktif yang terbaik di laut adalah sungkur. Alat ini mendapatkan skor sebesar 31 sedangkan skor untuk lampara ialah 26. Kedua alat penangkapan ikan ini memiliki persamaan, yaitu dioperasikan dengan cara menyapu dasar perairan. Jika dibandingkan dengan lampara, sungkur sebagai teknologi penangkapan ikan terbaik yang bersifat aktif dilaut memiliki lima nilai yang berada diatas lampara yaitu konsumsi bahan bakar

kapal atau perahu (X4), kuantitas bahan pencemar (X5), komposisi ikan yang tertangkap (X7), potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan habitat (X12) dan kejadian atau potensi konflik (X13)

2. Unit penangkapan ikan bersifat pasif yang terbaik di laut adalah rawai laut dengan total nilai 32.

3. Unit penangkapan ikan bersifat pasif yang terbaik di sungai adalah rengge sungai permukaan dengan total nilai 33.

Secara umum, teknologi penangkapan ikan yang paling bertanggung jawab di laut adalah rawai laut dengan total nilai yaitu 31, sedangkan yang paling bertanggung jawab di sungai adalah rengge sungai permukaan dengan total nilai 33. Dari kedelapan alat tangkap, rengge sungai permukaan adalah alat tangkap terbaik di Kabupaten Kapuas.

Rengge sungai permukaan merupakan alat tangkap dominan di desa Sei Teras. Perlu diperhatikan bahwa tiap daerah memiliki alat tangkap dominan. Penggunaan alat tangkap didaerah tertentu mempengaruhi hasil penetapan teknologi penangkapan ikan yang terbaik, sehingga diharapkan perhatian pada setiap strategi perbaikan seluruh indikator.

Pembahasan

Analisis kuantitatif di atas menghasilkan status untuk setiap jenis unit penangkapan ikan yang diteliti di Kabupaten Kapuas. Pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut akan difokuskan pada kondisi umum, indikator-indikator yang memiliki skor terendah, serta jenis unit penangkapan ikan yang memiliki skor terendah.

Secara sederhana, tiap orang ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, hal ini juga berlaku dalam kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Kapuas. Semakin banyak hasil tangkapan maka semakin tinggi keuntungan yang diperoleh, jika harga ikan per satuan berat atau per ekor tidak berubah atau konstan (Soekartawi 1994). Beberapa nelayan menggunakan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan besar sehingga seringkali cara-cara yang diterapkan mengabaikan pemikiran pentingnya menjaga lingkungan dan kelestarian sumber daya ikan.

Dilihat dari 13 indikator yang dipakai untuk menentukan tingkat keramahan terhadap lingkungan, perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Kabupaten Kapuas secara umum tergolong baik. Status baik ini ditunjukkan oleh 5 indikator yang memiliki skor dengan nilai rata-rata mendekati atau sama dengan 3 (Tabel 3). Kelima indikator tersebut adalah bahan pembuatan alat penangkapan ikan (X6), tingkat kerawanan suatu alat tangkap (X8), proporsi hasil tangkapan yang dimanfaatkan (X9), kasus tertangkapnya jenis biota yang dilindungi (X11) dan kejadian atau potensi konflik (X13)

Status ini tampak sekali berkaitan erat dengan jenis alat penangkapan ikan yang umumnya sederhana dan pengusahaan dalam skala kecil. Alat penangkapan ikan dengan tingkat teknologi sederhana memiliki daya tangkap yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan alat penangkapan ikan yang modern (Zamzami 2007).

Daya tangkap yang rendah ini berkaitan dengan dimensi atau ukuran alat penangkapan ikan sehingga tenaga kerja yang diperlukan untuk mengoperasikannya hanya beberapa orang saja. Sebagai contoh, alat tangkap togo dioperasikan 2-3 orang nelayan.

Semua jenis unit penangkapan ikan yang diteliti memiliki masalah untuk indikator perlakuan pada ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut (X10). Nelayan menganggap dicards bukan persoalan penting pada saat ini karena perhatian mereka lebih kepada jenis-jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan ikan. Meskipun jumlah discards rendah karena sebagian besar hasil tangkapan dimanfaatkan (X9), jika ikan-ikan tersebut sebagian besar masuk dalam kategori tidak layak tangkap, maka ancaman terjadinya overfishing juga tetap ada.

Kehidupan biota laut dan lingkungan saling tergantung satu sama lain, lingkungan yang buruk akan mengganggu yang merupakan habitat bagi sejumlah besar organisme akuatik (ikan, moluska, burung, serangga, tanaman air dan sebagainya) dan mendukung keanekaragaman hayati pada wilayah daratan dan sekelilingnya, termasuk sejumlah burung migrasi (Sukimin 2007). Overfishing adalah salah satu penyumbang kerusakan lingkungan. Dampak yang diberikan ialah berkurang atau musnahnya salah satu alur jaring makanan yang akan menyebabkan hilangnya sumber makanan bagi suatu spesies dilanjutkan hilangnya sumber makanan bagi spesies lainnya. Terganggunya ketersediaan mangsa dan juga proporsi predator akan menyebabkan terganggunya keseimbangan pada jaring makanan (food web) terutama ekosistem perairan secara keseluruhan.

Pengamatan yang terjadi di lapangan ditemukan bahwa nelayan kurang peduli dengan ukuran ikan yang ditangkap yang ditunjukkan dengan ketidakpedulian dengan status juvenile atau dewasa hasil tangkapan yang tertangkap. Saat ini dampak yang terjadi mungkin sangat kecil, namun jika kegiatan perikanan setempat berkembang lebih pesat ada kemungkinan discards yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya overfishing pada spesies-spesies tersebut (Israel dan Caesar 1997).

Lampara merupakan alat tangkap yang telah ada sejak lama. Tahun 1980-an di Kabupaten Kapuas tepatnya di Desa Batanjung, lampara menjadi alat tangkap idaman sehingga nelayan yang sebelumnya menggunakan sungkur, rawai dan rengge beralih menggunakan lampara. Hal ini disebabkan alat tangkap ini dapat digunakan di semua musim serta hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak sehingga keuntungan yang diterima juga meningkat. Namun lampara yang dioperasikan nelayan Kabupaten Kapuas memiliki lebih banyak masalah dibandingkan dengan alat-alat tangkap lainnya. Alat tangkap lampara yang memiliki skor terendah dibanding alat tangkap lainnya (yaitu 26) memiliki beberapa indikator yang bernilai rendah yaitu konsumsi bahan bakar kapal ikan (X4), kuantitas bahan pencemar (X5), perlakuan pada ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut (X10) dan potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan habitat (X12). Jenis unit penangkapan ikan ini harus diperhatikan secara seksama karena jika dibiarkan dapat memicu konflik antar nelayan.

Masa lalu trawl banyak menimbulkan masalah sosial, selain masalah ancaman terhadap kelestarian sumber daya. Permasalahan yang rumit ini biasanya berakhir dengan konflik antar nelayan sehingga Pemerintah menerbitkan Keppres nomor 39 tahun 1980 yang melarang penggunaan trawl kecuali pengoperasian

trawl udang yang dilengkapi dengan BED (bycatch excluder device) di perairan tertentu saja yaitu Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Papua dan Arufura laut, dari 1300 ke arah timur, termasuk garis pantai dari batas pulau dengan 10 meter isobath. Pengecualian pelarangan trawl di tempat-tempat tertentu tersebut berdasarkan alasan bahwa sumber daya udang di daerah tersebut masih cukup baik dan belum pernah dimanfaatkan oleh para nelayan tradisional. Dampak langsung dari larangan ini adalah penurunan yang signifikan dari produksi udang nasional (Monintja et al. 2007). Namun pelanggaran banyak terjadi secara luas dan konflik serupa berulang lama setelah penerbitan kebijakan tersebut, seperti terjadi di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan (2009) dan perairan Asahan, Sumatera Utara (2012).

Konflik nelayan sejak tahun 2009 yang terjadi perairan Kotabaru terjadi sejak beberapa tahun lalu sebelumnya berawal dari persaingan daerah penangkapan ikan di antara nelayan perikanan skala kecil (seperti perahu pancing dan jaring rengge) dan nelayan yang mengoperasikan alat penangkapan ikan yang lebih modern, yaitu mereka yang menggunakan alat tangkap lampara dasar. Kelompok nelayan lampara dasar memiliki kapasitas teknis yang lebih tinggi dari kelompok nelayan lainnya. Kegiatan nelayan perikanan skala kecil tersebut sering terganggu oleh kegiatan nelayan lampara dasar yang menabrak pancing kepiting sehingga rusak. Selain alat tangkapnya rusak, nelayan perikanan skala kecil juga kehilangan kesempatan mendapatkan kepiting yang kemudian banyak tertangkap oleh lampara dasar (Kompas 2009).

Konflik nelayan akibat penggunaan alat tangkap trawl atau pukat hela juga terjadi di perairan Tanjungbalai Asahan, Sumatera Utara. Maraknya penggunaan trawl mengakibatan 30 ribu nelayan lokal merugi sebab hasil tangkapannya berkurang sehingga keberlanjutan sumber penghidupan nelayan lokal terancam (Republika 2012).

Kedua kelompok nelayan (yaitu kelompok nelayan lampara dan nelayan non-lampara) di Kabupaten Kapuas memiliki pemikiran berbeda. Nelayan lampara dasar berpendapat bahwa lampara adalah alat tangkap yang paling efektif, sedangkan nelayan lain berpendapat bahwa lampara mengurangi hasil tangkapan mereka dan merusak lingkungan. Pendapat nelayan selain lampara menunjukkan bahwa mereka memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar dibandingkan nelayan lampara.

Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menghentikan penggunaan lampara dasar ini dengan menerbitkan peraturan dan tidak memberikan dukungan kepada nelayan pelanggar, namun pemerintah kesulitan untuk mengawasi masyarakat sehingga pelanggaran tetap terjadi. Tidak didukungnya penggunaan lampara oleh pemerintah dapat dilihat dari tidak disediakannya insentif berupa bantuan kapal dan mesin baru untuk pengoperasian lampara di Kabupaten Kapuas, terutama kepada sebagian besar nelayan lampara yang tinggal di desa Batanjung.

Pemerintah Kabupaten Kapuas dapat menerapkan pendekatan Kabupaten Serang untuk mengurangi jumlah lampara tersebut, yaitu dengan menawarkan penggantian lampara dengan bagan congkel. Penggantian alat tangkap merupakan salah satu solusi yang dapat membantu walaupun pada pengaplikasian bagan congkel sebagai pengganti lampara, 14 nelayan di Kabupaten Serang masih ada yang tidak patuh (Poskota 2010). Ketidakpatuhan nelayan ini ternyata disebabkan tangkapan ikan menggunakan bagan tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga

karena penggunaan bagan hanya bisa dilakukan pada musim-musim tertentu sedangkan jaring lampara bisa digunakan kapan saja (Poskota 2010). Ketidakpatuhannya juga kembali dilakukan saat Polair Polda Banten berhasil mengamankan sebuah kapal nelayan penangkap ikan yang menggunakan trawl di sekitar perairan Karangantu, Kabupaten Serang (Bantenposnews 2013).

Pengaplikasian bagan congkel sebagai pengganti lampara kenyataannya sulit untuk diterima masyarakat Serang yang dapat dilihat dari pelanggaran yang terus terjadi. Strategi penggantian alat tangkap harusnya disesuaikan dengan keadaan, perilaku dan pola pikir nelayan. Kesadaran nelayan akan besarnya untung dari alat tangkap lampara dasar merupakan salah satu alasan nelayan masih menggunakan alat tangkap tersebut. Karena itu perlu adanya penelitian atau kajian mengenai alat tangkap yang tepat untuk menggantikan lampara dengan pertimbangan keuntungan yang diperoleh kurang lebih sama dengan alat tangkap tersebut. Sementara itu diperlukan suatu strategi jika nelayan lampara masih ingin mengoperasikan alat tangkap tersebut (sulit beralih ke alat tangkap lain) seperti modifikasi alat tangkap, pengaturan mesh size, pembatasan waktu penangkapan dan pembatasan jumlah unit penangkapan ikan.

Strategi tambahan diperlukan selain strategi tersebut. Strategi tambahan tersebut mencakup upaya untuk membangun kesadaran melalui kegiatan penyuluhan untuk nelayan agar mereka sadar untuk menjaga lingkungan dan sumber daya ikan. Materi penyuluhan tersebut mencakup penjelasan tentang konsekuensi dari kegiatan penangkapan ikan yang merusak terhadap kelestarian ikan dan keberlanjutan usaha yang dilakukan nelayan, cara memperbaiki teknologi penangkapan ikan dan cara mengendalikan kegiatan penangkapan ikan dengan memantau upaya penangkapan ikan dan produksi ikan serta kualitas ikan yang ditangkap. Penyuluhan ini tampaknya tidak terbatas untuk nelayan lampara,

Dokumen terkait