• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Perusahaan Sejarah Singkat BRI

Bank Rakyat Indonesia (BRI) didirikan di Purwokerto, Jawa Tengah oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden atau “Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto”, suatu lembaga keuangan yang melayani orang-orang pribumi. Lembaga tersebut berdiri tanggal 16 Desember 1895 yang kemudian dijadikan sebagai hari kelahiran BRI.

Sejak 1 Agustus 1992 berdasarkan Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 1992 status BRI berubah menjadi perseroan terbatas. Kepemilikan BRI saat itu masih 100 % di tangan Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menjual 30 % saham BRI sehingga menjadi perusahaan dengan nama PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., yang masih digunakan sampai dengan saat ini.

Visi dan Misi BRI

Visi dari BRI adalah untuk menjadi bank komersial terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah. Sedangkan misi dari BRI antara lain:

1. Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan mengutamakan pelayanan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat.

12

2. Memberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerja yang tersebar luas dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional dan teknologi informasi yang handal dengan melaksanakan manajemen risiko serta praktik Good Corporate Governance (GCG) yang sangat baik.

3. Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Sejarah Singkat BRI Unit

BRI Unit dibentuk pada pertengahan tahun 1970 sebagai bagian dari upaya pencapaian swasembada pangan. BRI Unit dibentuk untuk menyalurkan kredit Bimbingan Masyarakat (Bimas), yaitu menyalurkan pinjaman yang disubsidi kepada petani untuk pembudidayaan padi. Program ini ditutup pada awal 1980-an ketika terjadi penumpukan kredit macet dan penyimpangan kredit yang tidak sesuai dengan tujuannya. Kemudian pada tahun 1984, BRI memperkenalkan instrument pinjaman yang disebut Kredit Umum Pedesaan atau yang biasa dikenal dengan Kupedes.

BRI Unit Ciampea mulai beroperasi pada tanggal 1 November 1992 dan terletak di Jalan Letnal Sukarna, Warung Borong Ciampea. Ruang lingkup BRI Unit Ciampea meliputi Kecamatan Ciampea dan Kecamatan Tenjolaya. Sedangkan BRI Unit Sindang Barang mulai beroperasi pada tanggal 25 Oktober 2011 dan terletak di Jalan Letjen Ibrahim Adji no. 29, Sindang Barang Bogor Barat. Ruang lingkup BRI Unit Sindang Barang meliputi Kecamatan Bogor Barat dan Kecamatan Ciomas.

Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI

Kredit Modal Kerja dan atau Kredit Investasi dengan plafon kredit sampai dengan Rp500 juta yang diberikan kepada usaha mikro, kecil, dan koperasi yang memiliki usaha produktif yang akan mendapat penjaminan dari Perusahaan Penjamin. KUR BRI terdiri dari:

1. KUR Mikro 2. KUR Ritel

3. KUR Linkage Program (Executing)

4. KUR Linkage Program (Channeling)

Dalam penentuan kualitas kredit, BRI menggunakan istilah kolektibilitas. Untuk kredit yang bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas 3 sampai dengan kolektibilitas 5. Jika sudah lebih dari kolektibilitas 5 maka akan dimasukkan ke dalam daftar hitam. Penjelasan dari kolektibilitas 3 sampai dengan kolektibilitas 5 adalah sebagai berikut:

1. Kolektibilitas 3 adalah kredit dengan waktu tunggakan 90 sampai 180 hari. 2. Kolektinilitas 4 adalah kredit dengan waktu tunggakan 180 sampai 270 hari. 3. Kolektibilitas 5 adalah kredit dengan waktu tunggakan >270 hari.

Persyaratan KUR Mikro BRI

Persyaratan bagi penyaluran KUR Mikro BRI (Bank Rakyat Indonesia 2012) antara lain:

1. Plafond kredit maksimal Rp20 juta.

2. Suku bunga efektif maksimal 22 % per tahun. 3. Jangka waktu & jenis kredit:

13 a. KMK: maksimal 3 tahun.

b. KI: maksimal 5 tahun.

Dalam hal perpanjangan, suplesi, dan restrukturisasi. a. KMK: maksimal 6 tahun.

b. KI: maksimal 10 tahun. 4. Agunan:

a. Pokok: dapat hanya berupa agunan pokok apabila sesuai keyakinan Bank Proyek yang dibiayai cashflownya mampu memenuhi seluruh kewajiban kepada bank (layak).

b. Tambahan: sesuai dengan ketentuan pada Bank Pelaksana.

Strategi Community Based Marketing (CBM) BRI

Strategi pemasaran BRI masih menjangkau target pasar secara individual. Meskipun belum menerapkan strategi Community Based Marketing, namun BRI memiliki minat untuk menerapkannya. Minat tersebut didasarkan pada beberapa manfaat dari penerapan strategi Community Based Marketing yang salah satunya adalah dapat meningkatkan jumlah nasabah dan pinjaman. Khusus untuk produk KUR Mikro, BRI melakukan berbagai program pemasaran terpadu namun belum menerapkan strategi Community Based Marketing untuk memasarkan produk tersebut. Salah satu program tersebut adalah Pesta Rakyat Simpedes (PRS). Program lain yang dijalankan selain PRS adalah BRI Peduli Pasar Rakyat (BRI PESAT). BRI juga mengikutsertakan nasabah mikro BRI dalam berbagai pameran untuk lebih membuka pangsa pasar nasabah tersebut.

BRI Unit dibantu oleh Mantri atau Account Officer dalam melakukan kegiatan pemasaran. Kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh Mantri diantaranya adalah personal selling dengan berkeliling di sekitar wilayah cakupan BRI Unit tempat mereka beroperasi. Cara ini dianggap paling efektif berdasarkan pendapat Mantri karena dapat menciptakan hubungan yang lebih hidup, langsung, dan interaktif antara Mantri dengan calon debitur. Selain personal selling, kegiatan pemasaran KUR Mikro BRI juga menggunakan promosi dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh debitur KUR Mikro BRI. Para Mantri juga menggunakan brosur dan souvenir serta melaksanakan program undian.

Profil UMKM Debitur KUR Mikro BRI

Penelitian terhadap UMKM debitur KUR Mikro BRI dilakukan untuk mengetahui permasalahan kinerja yang dialami serta kebutuhan tambahan pengetahuan dari pakar dan sesama pemilik UMKM. UMKM yang diteliti merupakan UMKM dengan kriteria kredit bermasalah yaitu berada kolektibilitas 3 sampai dengan kolektibilitas 5. Profil pemilik UMKM dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan untuk profil usaha dan kredit dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

14

Tabel 3 Profil pemilik UMKM debitur KUR Mikro BRI

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa mayoritas pemilik UMKM tersebut berjenis kelamin pria dan berusia antara 26 sampai 32 tahun. Hal ini disebabkan karena debitur pria cenderung tidak taat terhadap peraturan dan tidak takut terhadap sanksi. Usia antara 26 sampai 32 tahun termasuk dalam golongan usia muda sehingga lebih rentan terhadap risiko usaha yang disebabkan oleh kurangnya pengalaman. Terkait dengan latar belakang pendidikan, mayoritas pemilik UMKM berlatar belakang pendidikan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SMA masih memerlukan pembinaan dalam menjalankan usaha serta mengenai kredit sehingga risiko kredit dapat diminimalisir.

Tabel 4 Profil usaha UMKM debitur KUR Mikro BRI

Profil usaha Kategori Frekuensi % Modus

a Jenis usaha Perdagangan 26 54.2

Perdagangan

Industri 5 10.4

Pertanian 4 8.3

Jasa 13 27.1

Total a 48 100.0

b Umur usaha 1-6 tahun 29 60.4

1-6 tahun 7-12 tahun 14 29.2 13-18 tahun 4 8.3 19-24 tahun 1 2.1 Total b 48 100.0 c Omzet/bulan Rp500 000- Rp1 350 000 13 27.1 Rp1 350 001- Rp2 200 000 Rp1 350 001- Rp2 200 000 21 43.8 Rp2 200 001- Rp3 050 000 12 25.0 Rp3 050 001- Rp3 900 000 2 4.2 Total c 48 100.0

d Lokasi Kec. Ciampea 25 52.1

Kec. Ciampea

Kec. Tenjolaya 4 8.3

Kec. Bogor Barat 11 22.9

Kec. Ciomas 4 8.3

Kec. Kemang 3 6.3

Kec. Dramaga 1 2.1

Total d 48 100.0

Profil pemilik Kategori Frekuensi % Modus

a Jenis kelamin Pria 25 52.1

Pria Wanita 23 47.9 Total a 48 100.0 b Usia 26-32 tahun 22 45.8 26-32 tahun 33-39 tahun 11 22.9 40-46 tahun 12 25.0 47-53 tahun 3 6.3 Total b 48 100.0 c Pendidikan SD 15 31.3 SMA SMP 12 25.0 SMA 21 43.8 Diploma 0 0 Sarjana 0 0 Pascasarjana 0 0 Total c 48 100.0

15 Menurut hasil data pada Tabel 4, sebagian besar UMKM tersebut berlokasi di Kecamatan Ciampea karena BRI Unit Ciampea sudah lebih dulu beroperasi. Terkait dengan jenis usaha, hal ini disebabkan karena BRI Unit berlokasi tidak jauh dari pusat perdagangan. Usaha-usaha tersebut telah beroperasi antara 1 sampai 6 tahun. Usaha yang beroperasi antara 1 sampai 6 tahun masih berada pada tahap perkenalan sehingga laba usaha cenderung negatif dan berpotensi menciptakan tunggakan kredit. Sementara itu dengan omzet/bulan lebih dari Rp1 350 000 sampai Rp2 200 000 ternyata hanya cukup untuk menutupi biaya-biaya namun tidak cukup untuk membayar kewajiban kredit.

Tabel 5 Profil kredit UMKM debitur KUR Mikro BRI

Profil kredit Kategori Frekuensi % Modus

a Besar pinjaman Rp1 500 000- Rp6 125 000 34 70.8 Rp1 500 000- Rp6 125 000 Rp6 125 001- Rp10 750 000 12 25.0 Rp10 750 001- Rp15 375 000 1 2.1 Rp15 375 001- Rp20 000 000 1 2.1 Total a 48 100.0

b Jangka waktu 12 bulan 6 12.5

24 bulan

18 bulan 15 31.3

24 bulan 25 52.1

30 bulan 2 4.2

Total b 48 100.0

Mayoritas besar pinjaman yang diterima oleh UMKM tersebut berkisar antara Rp1 500 000 sampai Rp6 125 000 dengan jangka waktu 24 bulan seperti yang terlihat pada Tabel 7. Pinjaman sebesar Rp1 500 000 sampai Rp6 125 000 ternyata masih belum cukup untuk membantu debitur dalam mengembangkan usahanya sehingga timbul risiko terhambatnya pengembalian kredit yang disebabkan oleh pendapatan usaha yang tidak meningkat ditambah dengan beban pinjaman yang diberikan oleh bank. Berkaitan dengan jangka waktu pinjaman, ada kecenderungan untuk jangka waktu 24 bulan, debitur akan malas atau lupa untuk membayar angsuran pinjaman meskipun semakin lama jangka waktu pinjaman ini akan meringankan beban angsuran yang harus dibayar oleh debitur per bulannya.

Kendala Usaha UMKM Debitur KUR Mikro BRI Kendala Produksi dan Operasi Terkait Karakteristik Jenis Usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala terkait bidang produksi dan operasi yang dihadapi oleh UMKM tersebut adalah dalam hal teknik pengendalian mutu serta pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi. Kendala produksi dan operasi terkait karakteristik jenis usaha dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 6 yang didasarkan pada hipotesis awal bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kendala produksi dan operasi dengan jenis usaha.

16

Tabel 6 Kendala produksi operasi terkait jenis usaha Kendala usaha Level Distribusi setiap kelompok jenis usaha (%)a)

Total (%) Modus A B C D a Teknik pengendalian mutu STT 0 0 0 0 0 T*** TT 12.5 0 0 20.8 33.3 RR 0 0 0 0 0 T 29.2 10.4 6.3 6.3 52.1 ST 12.5 0 2.1 0 14.6 Total a 54.2 10.4 8.3 27.1 100.0 b Pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi STT 2.1 0 2.1 10.4 14.6 T*** TT 6.3 0 6.3 16.7 29.2 RR 0 0 0 0 0 T 35.4 6.3 0 0 41.7 ST 10.4 4.2 0 0 14.6 Total b 54.2 10.4 8.3 27.1 100.0 a

Keterangan: A: Perdagangan; B: Industri; C: Pertanian; D: Jasa; STT: Sangat Tidak Terkendala; TT: Tidak Terkendala; RR: Ragu-Ragu; T: Terkendala; ST: Sangat Terkendala; ***: Signifikan pada 5 %

Berdasarkan data pada Tabel 6, kendala dalam hal teknik pengendalian mutu serta pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi mayoritas dialami oleh jenis UMKM perdagangan (A). Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis usaha dengan kendala-kendala tersebut yang berarti bahwa kedua kendala tersebut akan ditentukan oleh jenis usaha. Ketidakmampuan dalam mengelola persediaan barang dagangan akan berakibat pada rendahnya mutu produk sehingga jumlah konsumen akan berkurang. Hal tersebut akan mengurangi jumlah pendapatan sehingga tidak mampu untuk membayar angsuran pinjaman.

Kendala Pemasaran Terkait Karakteristik Lokasi Usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala terkait bidang pemasaran yang dihadapi oleh UMKM tersebut adalah dalam hal strategi penetapan harga serta bentuk-bentuk kegiatan promosi. Kendala pemasaran terkait karakteristik lokasi usaha dapat dilihat pada Tabel 7 yang didasarkan pada hipotesis awal bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kendala pemasaran dengan lokasi usaha.

Tabel 7 Kendala pemasaran terkait lokasi usaha

Kendala usaha Level Distribusi setiap kelompok lokasi usaha (%)a) Total

(%) Modus A B C D E F a Strategi penetapan harga STT 4.2 2.1 2.1 0 0 0 8.3 T TT 18.8 2.1 8.3 4.2 0 0 33.3 RR 0 0 0 0 0 0 0 T 16.7 2.1 6.3 4.2 4.2 2.1 35.4 ST 12.5 2.1 6.3 0 2.1 0 22.9 Total a 52.1 8.3 22.9 8.3 6.3 2.1 100.0 b Bentuk- bentuk kegiatan promosi STT 8.3 2.1 4.2 2.1 0 0 16.7 T TT 16.7 4.2 6.3 2.1 4.2 2.1 35.4 RR 2.1 0 0 0 0 0 2.1 T 25.0 2.1 12.5 4.2 2.1 0 45.8 ST 0 0 0 0 0 0 0 Total b 52.1 8.3 22.9 8.3 6.3 2.1 100.0

aKeterangan: A: Kec. Ciampea; B: Kec. Tenjolaya; C: Kec. Bogor Barat; D: Kec. Ciomas; E: Kec. Kemang; F: Kec. Dramaga; STT: Sangat Tidak Terkendala; TT: Tidak Terkendala; RR: Ragu-Ragu; T: Terkendala; ST: Sangat Terkendala

17 Tabel 7 memperlihatkan bahwa kendala strategi penetapan harga serta bentuk-bentuk kegiatan promosi mayoritas dialami oleh UMKM di Kecamatan Ciampea (A). Lokasi usaha tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kendala penetapan harga serta bentuk-bentuk kegiatan promosi. Beberapa kecamatan yang menjadi lokasi UMKM merupakan kecamatan padat penduduk dengan tingkat pendapatan masyarakat yang masih rendah sehingga para pemilik UMKM mengalami kesulitan dalam menetapkan harga untuk menutupi kerugian karena masyarakat sekitar sering kali berhutang. Mengenai bentuk-bentuk kegiatan promosi juga terdapat kendala karena Ciampea merupakan kecamatan dengan tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga para pemilik UMKM tidak memiliki pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kegiatan promosi dan pada akhirnya mereka tidak melakukan kegiatan promosi.

Kendala Keuangan dan Akuntansi Terkait Karakteristik Tingkat Pendidikan Pemilik Usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala terkait bidang keuangan dan akuntansi yang dihadapi adalah dalam hal pembuatan laporan keuangan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 berdasarkan pada hipotesis awal bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kendala keuangan dan akuntansi dengan tingkat pendidikan pemilik usaha.

Tabel 8 Kendala keuangan akuntansi terkait pendidikan pemilik usaha Kendala

usaha Level

Distribusi setiap kelompok tingkat pendidikan pemilik

(%)a) Total (%) Modus A B C D E F Pembuatan laporan keuangan STT 0 0 0 0 0 0 0 T TT 0 2.1 8.3 0 0 0 10.4 RR 4.2 2.1 2.1 0 0 0 8.3 T 18.8 10.4 22.9 0 0 0 52.1 ST 8.3 10.4 10.4 0 0 0 29.2 Total 31.3 25.0 43.8 0 0 0 100.0 a

Keterangan: A: SD; B: SMP; C: SMA; D: Diploma; E: Sarjana; F: Pascasarjana; STT: Sangat Tidak Terkendala; TT: Tidak Terkendala; RR: Ragu-Ragu; T: Terkendala; ST: Sangat Terkendala

Berdasarkan Tabel 8, dapat dijelaskan bahwa kendala pembuatan laporan keuangan tersebut sebagian besar dialami oleh para pemilik UMKM berlatarbelakang pendidikan SMA (C). Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan pemilik usaha dengan kendala pembuatan laporan keuangan sehingga kendala tersebut tidak ditentukan oleh tingkat pendidikan pemilik usaha. Penyebab utama para pemilik UMKM tersebut tidak membuat laporan keuangan yang rinci adalah karena adanya pola pikir bahwa hal tersebut sangat rumit dan hanya dibutuhkan oleh usaha-usaha berskala besar.

Kendala Karakter Kewirausahaan Terkait Karakteristik Usia Pemilik Usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala terkait karakter kewirausahaan yang dihadapi adalah dalam hal komitmen dan motivasi dalam menjalankan usaha. Kendala karakter kewirausahaan terkait usia pemilik usaha dapat dilihat pada Tabel 9 berdasarkan pada hipotesis awal bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kendala karakter kewirausahaan dengan usia pemilik usaha.

18

Tabel 9 Kendala karakter kewirausahaan terkait usia pemilik usaha Kendala

usaha Level

Distribusi setiap kelompok usia pemilik (%)a)

Total (%) Modus A B C D Komitmen dan motivasi dalam menjalankan usaha STT 2.1 0 0 0 2.1 T TT 8.3 2.1 10.4 0 20.8 RR 2.1 0 2.1 0 4.2 T 20.8 16.7 8.3 4.2 50.0 ST 12.5 4.2 4.2 2.1 22.9 Total 45.8 22.9 25.0 6.3 100.0 a

Keterangan: A: 26 sampai 32 tahun; B: 33 sampai 39 tahun; C: 40 sampai 46 tahun; D: 47 sampai 53 tahun; STT: Sangat Tidak Terkendala; TT: Tidak Terkendala; RR: Ragu-Ragu; T: Terkendala; ST: Sangat Terkendala

Berdasarkan Tabel 9, dapat dijelaskan bahwa kendala dalam hal komitmen dan motivasi dalam menjalankan usaha sebagian besar dialami oleh para pemilik UMKM yang berusia antara 26 sampai 32 tahun (A). Antara usia pemilik usaha dengan kendala komitmen dan motivasi dalam menjalankan usaha tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini berarti bahwa kendala komitmen dan motivasi tidak ditentukan oleh usia pemilik usaha tersebut. Rendahnya komitmen dan motivasi yang dimiliki oleh para pemilik usaha disebabkan oleh usaha yang tidak mengalami kemajuan serta penghasilan yang tidak mencukupi.

Kendala Pengembangan Usaha Terkait Karakteristik Besar Pinjaman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala terkait pengembangan usaha yang dihadapi adalah pengadaan bahan baku dan bahan pendukung serta peningkatan jumlah pelanggan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 berdasarkan hipotesis awal bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kendala pengembangan usaha dengan besar pinjaman.

Tabel 10 Kendala pengembangan usaha terkait karakteristik besar pinjaman

Kendala usaha Level

Distribusi setiap kelompok besar pinjaman (%)a)

Total (%) Modus

A B C D

a Pengadaan

bahan baku dan bahan pendukung STT 14.6 0 0 0 14.6 ST* TT 14.6 12.5 0 0 27.1 RR 0 0 0 0 0 T 25.0 2.1 0 0 27.1 ST 16.7 10.4 2.1 2.1 31.3 Total a 70.8 25.0 2.1 2.1 100.0 b Meningkatkan jumlah pelanggan STT 0 0 0 0 0 T TT 12.5 2.1 0 0 14.6 RR 0 0 0 0 0 T 43.8 18.8 2.1 2.1 66.7 ST 14.6 4.2 0 0 18.8 Total b 70.8 25.0 2.1 2.1 100.0 a

Keterangan: A: Rp1 500 000 sampai Rp6 125 000; B: Rp6 125 001 sampai Rp10 750 000; C: Rp10 750 001 sampai Rp15 375 000; D: Rp15 375 001 sampai Rp20 000 000; STT: Sangat Tidak Terkendala; TT: Tidak Terkendala; RR: Ragu-Ragu; T: Terkendala; ST: Sangat Terkendala; *: Signifikan pada 15 %

Kendala usaha terkait bidang pengembangan usaha pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa kendala pengadaan bahan baku dan bahan pendukung serta peningkatan jumlah pelanggan sebagian besar dialami oleh UMKM dengan

19 besar pinjaman antara Rp1 500 000 sampai Rp6 125 000 (A). Besar pinjaman memiliki hubungan yang signifikan dengan kendala pengadaan bahan baku dan bahan pendukung namun tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kendala dalam meningkatan jumlah pelanggan. Kendala pengadaan bahan baku tersebut terpusat pada UMKM dengan kelompok besar pinjaman terkecil sehingga masih dirasa kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku serta bahan pendukung. Kendala dalam meningkatkan jumlah pelanggan tidak ditentukan oleh besar pinjaman. Pinjaman yang diberikan seharusnya digunakan untuk membiayai kegiatan usaha. Namun terkadang KUR yang diberikan justru digunakan untuk membiayai kehidupan pribadi.

Kebutuhan Penerapan Strategi CBM KUR Mikro BRI

Kebutuhan Tambahan Pengetahuan Produksi dan Operasi Terkait Karakteristik Jenis Usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tambahan pengetahuan dari pakar serta dari sesama pemilik UMKM terkait bidang produksi dan operasi yang dibutuhkan adalah dalam hal teknik pengendalian mutu serta pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12 berdasarkan hipotesis awal bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebutuhan tambahan pengetahuan produksi dan operasi dengan jenis usaha.

Tabel 11 Kebutuhan pengetahuan produksi operasi terkait jenis usahaa) Tambahan

pengetahuan Level

Distribusi setiap kelompok jenis usaha (%)b)

Total (%) Modus A B C D a Teknik pengendalian mutu STP 2.1 0 0 2.1 4.2 P TP 10.4 0 0 6.3 16.7 RR 0 0 0 0 0 P 18.8 4.2 2.1 16.7 41.7 SP 22.9 6.3 6.3 2.1 37.5 Total a 54.2 10.4 8.3 27.1 100.0 b Pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi STP 2.1 2.1 2.1 14.6 20.8 P*** TP 6.3 0 4.2 10.4 20.8 RR 0 0 0 0 0 P 39.6 8.3 2.1 2.1 52.1 SP 6.3 0 0 0 6.3 Total b 54.2 10.4 8.3 27.1 100.0 a

Kebutuhan pengetahuan dari pakar

b

Keterangan: A: Perdagangan; B: Industri; C: Pertanian; D: Jasa; STP: Sangat Tidak Perlu; TP: Tidak Perlu; RR: Ragu-Ragu; P: Perlu; SP: Sangat Perlu; ***: Signifikan pada 5 %

Berdasarkan Tabel 11, tambahan pengetahuan teknik pengendalian mutu serta pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi sebagian besar dibutuhkan oleh UMKM perdagangan (A). Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara jenis usaha dengan kebutuhan tambahan pengetahuan teknik pengendalian mutu. Namun terdapat hubungan yang signifikan antara jenis usaha dengan kebutuhan tambahan pengetahuan pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi. UMKM perdagangan merupakan UMKM yang paling membutuhkan tambahan pengetahuan pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi yang disebabkan oleh adanya persediaan barang dagangan.

20

Tabel 12 Kebutuhan pengetahuan produksi operasi terkait jenis usahaa) Tambahan

pengetahuan Level

Distribusi setiap kelompok jenis usaha (%)b)

Total (%) Modus A B C D a Teknik pengendalian mutu STP 4.2 0 0 2.1 6.3 (P dan SP)* TP 8.3 0 0 14.6 22.9 RR 0 0 0 0 0 P 20.8 6.3 2.1 6.3 35.4 SP 20.8 4.2 6.3 4.2 35.4 Total a 54.2 10.4 8.3 27.1 100.0 b Pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi STP 0 0 2.1 4.2 6.3 P*** TP 8.3 2.1 4.2 20.8 35.4 RR 0 0 0 0 0 P 25.0 8.3 2.1 2.1 37.5 SP 20.8 0 0 0 20.8 Total b 54.2 10.4 8.3 27.1 100.0 a

Kebutuhan pengetahuan dari hasil interaksi antar sesama pemilik UMKM

b

Keterangan: A: Perdagangan; B: Industri; C: Pertanian; D: Jasa; STP: Sangat Tidak Perlu; TP: Tidak Perlu; RR: Ragu-Ragu; P: Perlu; SP: Sangat Perlu; *: Signifikan pada taraf 15 %; ***: Signifikan pada 5 %

Berdasarkan Tabel 12, tambahan pengetahuan teknik pengendalian mutu serta pengelolaan persediaan bahan baku dan hasil produksi mayoritas dibutuhkan UMKM perdagangan (A). Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis usaha dengan kebutuhan tambahan pengetahuan-pengetahuan tersebut yang berarti bahwa kebutuhan interaksi dengan sesama pemilik UMKM untuk memperoleh tambahan pengetahuan dalam hal produksi dan operasi ditentukan oleh jenis usaha.

Kebutuhan Pengetahuan Pemasaran Terkait Lokasi Usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tambahan pengetahuan pemasaran dari pakar dan dari sesama pemilik UMKM yang dibutuhkan adalah strategi penetapan harga serta bentuk-bentuk kegiatan promosi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 13 dan Tabel 14 berdasarkan hipotesis awal bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebutuhan pengetahuan pemasaran dengan lokasi usaha.

Tabel 13 Kebutuhan pengetahuan pemasaran terkait lokasi usahaa) Tambahan

pengetahuan Level

Distribusi setiap kelompok lokasi usaha (%)b) Total

(%) Modus A B C D E F a Strategi penetapan harga STP 2.1 2.1 0 0 0 0 4.2 P TP 6.3 2.1 4.2 2.1 0 0 14.6 RR 0 0 0 0 0 0 0 P 35.4 4.2 14.6 6.3 6.3 2.1 68.8 SP 8.3 0 4.2 0 0 0 12.5 Total a 52.1 8.3 22.9 8.3 6.3 2.1 100.0 b Bentuk- bentuk kegiatan promosi STP 0 0 0 0 2.1 0 2.1 P*** TP 8.3 2.1 2.1 2.1 0 0 14.6 RR 0 0 0 0 2.1 0 2.1 P 31.3 4.2 16.7 2.1 2.1 2.1 58.3 SP 12.5 2.1 4.2 4.2 0 0 22.9 Total b 52.1 8.3 22.9 8.3 6.3 2.1 100.0 a

Kebutuhan pengetahuan dari pakar

b

Keterangan: A: Kec. Ciampea; B: Kec. Tenjolaya; C: Kec. Bogor Barat; D: Kec. Ciomas; E: Kec. Kemang; F: Kec. Dramaga; STP: Sangat Tidak Perlu; TP: Tidak Perlu; RR: Ragu-Ragu; P: Perlu; SP: Sangat Perlu; ***: Signifikan pada 5 %

21 Menurut Tabel 13, tambahan pengetahuan mengenai strategi penetapan harga serta bentuk-bentuk kegiatan promosi mayoritas dibutuhkan oleh UMKM di Kecamatan Ciampea (A). Tidak ada hubungan signifikan antara lokasi usaha dengan kebutuhan pengetahuan strategi penetapan harga, Namun terdapat hubungan signifikan dengan kebutuhan pengetahuan kegiatan promosi.

Tabel 14 Kebutuhan pengetahuan pemasaran terkait lokasi usahaa) Tambahan

pengetahuan Level

Distribusi setiap kelompok lokasi usaha (%)b) Total

(%) Modus A B C D E F a Strategi penetapan harga STP 6.3 0 6.3 0 0 0 12.5 P TP 6.3 4.2 0 2.1 0 0 12.5 RR 0 0 0 0 0 0 0 P 27.1 4.2 14.6 2.1 2.1 0 50.0 SP 12.5 0 2.1 4.2 4.2 2.1 25.0 Total a 52.1 8.3 22.9 8.3 6.3 2.1 100.0 b Bentuk- bentuk kegiatan promosi STP 2.1 2.1 2.1 0 2.1 0 8.3 P TP 4.2 0 0 2.1 2.1 0 8.3 RR 8.3 0 4.2 0 0 0 12.5 P 22.9 4.2 6.3 6.3 2.1 0 41.7 SP 14.6 2.1 10.4 0 0 2.1 29.2 Total b 52.1 8.3 22.9 8.3 6.3 2.1 100.0 a

Kebutuhan pengetahuan dari hasil interaksi antar sesama pemilik UMKM

b

Keterangan: A: Kec. Ciampea; B: Kec. Tenjolaya; C: Kec. Bogor Barat; D: Kec. Ciomas; E: Kec. Kemang; F: Kec. Dramaga; STP: Sangat Tidak Perlu; TP: Tidak Perlu; RR: Ragu-Ragu; P: Perlu; SP: Sangat Perlu

Data pada Tabel 14 memperlihatkan bahwa tambahan pengetahuan strategi penetapan harga serta bentuk-bentuk kegiatan promosi sebagian besar dibutuhkan oleh UMKM di Kecamatan Ciampea (A). Lokasi usaha tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kebutuhan tambahan pengetahuan-pengetahuan tersebut yang berarti pengetahuan tersebut tidak ditentukan oleh lokasi usaha.

Kebutuhan Tambahan Pengetahuan Keuangan dan Akuntansi Terkait Karakteristik Tingkat Pendidikan Pemilik Usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tambahan pengetahuan keuangan akuntansi yang dibutuhkan adalah pembuatan laporan keuangan. Hal tersebut tersaji pada Tabel 15 dengan hipotesis awal terdapat hubungan yang signifikan antara kebutuhan pengetahuan keuangan akuntansi dengan tingkat pendidikan . Tabel 15 Kebutuhan pengetahuan keuangan akuntansi terkait pendidikan

pemilika) Tambahan

pengetahuan Level

Distribusi setiap kelompok tingkat pendidikan pemilik

(%)b) Total (%) Modus A B C D E F Pembuatan laporan keuangan STP 0 0 0 0 0 0 0 P TP 2.1 2.1 6.3 0 0 0 10.4 RR 0 0 4.2 0 0 0 4.2 P 22.9 10.4 27.1 0 0 0 60.4 SP 6.3 12.5 6.3 0 0 0 25.0 Total 31.3 25.0 43.8 0 0 0 100.0 a

Kebutuhan pengetahuan dari pakar

b

Keterangan: A: SD; B: SMP; C: SMA; D: Diploma; E: Sarjana; F: Pascasarjana; STP: Sangat Tidak Perlu; TP: Tidak Perlu; RR: Ragu-Ragu; P: Perlu; SP: Sangat Perlu

22

Berdasarkan Tabel 15, kebutuhan pengetahuan pembuatan laporan keuangan dibutuhkan oleh pemilik UMKM dengan latar belakang pendidikan SMA (C). Tingkat pendidikan pemilik usaha tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kebutuhan tambahan pengetahuan pembuatan laporan keuangan dari pakar.

Kebutuhan Tambahan Pengetahuan Karakter Kewirausahaan Terkait Karakteristik Usia Pemilik Usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tambahan pengetahuan dari pakar terkait karakter kewirausahaan yang dibutuhkan adalah komitmen dan motivasi.

Dokumen terkait