• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum DAS Cisadane

DAS Cisadane secara geografis terletak pada 06°0'22'' sampai 06°47'16'' Lintang Selatan dan 106°28'29'' sampai 106°56'48'' Bujur Timur dengan luas 1515,77 km2. Sungai Cisadane pada DAS ini berasal dari Gunung Salak (2211 m) dan Gunung Gede Pangrango (2953 m). DAS Cisadane dibatasi oleh DAS Cimanceuri di sebelah barat, Laut Jawa di sebelah utara, DAS Angke di sebelah timur, dan di sebelah selatan dibatasi oleh DAS Cimandiri serta DAS Citarik. Lokasi dan batas DAS Cisadane dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Batas DAS Cisadane (Sumber: BBWS CiliCis 2012)

Terdapat 13 pos hujan pada DAS Cisadane (Gambar 9). Masing-masing pos hujan tersebar di wilayah DAS Cisadane yaitu Kabupaten Bogor (Pasir Jaya, Kracak, Ranca Bungur, Cigudeg, Cianten, Kuripan, Cihideung, Cikluwung, dan Dramaga), Kota Tanggerang (Pasar Baru), Kota Bogor (Empang), dan Kabupaten Tanggerang Selatan (Serpong dan Sepatan).

13 Wilayah administrasi DAS Cisadane meliputi 43 kecamatan, tersebar di 8 kota dan kabupaten pada 3 provinsi yaitu Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat (Lampiran 1). Luas wilayah DAS Cisadane adalah 1515,77 km2. Sebagian besar DAS Cisadane berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan luas mencapai 1123 km2. Peta wilayah administrasi ditampilkan dalam Gambar 10.

Gambar 10 Peta wilayah administrasi DAS Cisadane

Tutupan lahan DAS Cisadane didominasi oleh daerah pertanian dengan persentase 62,06% meliputi perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan sawah (Lampiran 2). Daerah pertanian sebagian besar tersebar di wilayah hulu dan tengah. Tutupan lahan berupa hutan, semak, dan belukar tersebar di bagian hulu DAS Cisadane. Tutupan lahan DAS Cisadane ditampilkan pada Gambar 11 berikut.

14

Curah Hujan Bulanan DAS Cisadane

Curah hujan bulanan di lokasi penelitian bervariasi (Gambar 12). Awal musim hujan terjadi pada bulan Oktober yang ditandai dengan curah hujan ≥ 50 mm pada 3 dasarian berturut-turut, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni. Giarno et al. (2012) menyebutkan bahwa BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) telah menetapkan awal musim hujan adalah kejadian 3 kali dasarian hujan ≥ 50 mm berurutan, sedangkan musim kemarau kebalikan dari awal musim hujan. Dari 168 kejadian hujan bulanan rata-rata selama 14 periode, terdapat 22 kali kejadian hujan dibawah 100 mm.

Gambar 12 Curah hujan bulanan rata-rata

Indonesia merupakan negara kepulauan, terletak diantara dua benua dan dua samudera sehingga memiliki keragaman iklim. Pola hujan bervariasi antara bulan lainnya. Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, DAS Cisadane termasuk pola hujan monsunal. Tukidi (2010) menjelaskan pola hujan monsun dicirikan oleh perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. DAS Cisadane mengalami satu puncak hujan tertinggi yaitu pada bulan Februari (Gambar 12).

Gambar 13 dihasilkan dari data rata-rata curah hujan bulanan dengan interpolasi IDW (Inverse Distance Weighted). BMKG membagi distribusi curah hujan bulanan menjadi 4 kategori yaitu rendah (0-100 mm), menengah (101-300 mm), tinggi (301-400 mm), dan sangat tinggi (>400 mm). Curah hujan bulanan rata-rata dalam periode 14 periode (2000-2013) menunjukkan pergeseran wilayah hujan (Gambar 13).

Curah hujan bulanan di sebagian daerah hulu merupakan daerah dengan curah hujan yang lebih tinggi dari daerah tengah dan hilir (Gambar 13). Daerah hulu merupakan daerah konservasi, memiliki kerapatan drainase tinggi, memiliki kemiringan lereng besar, dan umumnya jenis vegetasi merupakan tegakan hutan.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 CH B u la n a n (m m ) Bulan PH1 PH2 PH3 PH4 PH5 PH6 PH7 PH8 PH9 PH10 PH11 PH12 PH13

15 Daerah tengah dan hilir merupakan daerah yang didasarkan pada fungsi pemanfaatan air.

Terlihat perbedaan yang jelas antara musim hujan DJF (Desember, Januari, dan Februari) dan musim kemarau JJA (Juni, Juli, dan Agustus). Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 317 mm dan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 108 mm.

Gambar 13 Pola curah hujan bulanan DAS Cisadane

Curah hujan merupakan faktor penentu bagi kegiatan budidaya pertanian. Berdasarkan jumlah curah hujan bulanan, Oldeman pada tahun 1974 menyusun klasifikasi iklim Indonesia dari jumlah bulan basah. Ningsih (2012) menyebutkan bulan basah terjadi bila curah hujan lebih dari 200 mm, bulan kering apabila curah hujan kurang dari 100 mm, dan diantara 200-100 mm merupakan bulan lembab.

16

Gambar 14 Zona agroklimat berdasarkan klasifikasi Oldeman

DAS Cisadane memiliki kisaran curah hujan bulanan antara 116 sampai 302 mm. Zona agroklimat pada setiap wilayah yang diwakili pos hujan menghasilkan tipe iklim yang berbeda (Tabel 2). PH1, PH2, PH7, dan PH8 termasuk tipe iklim B1. Djaenudin et al. (2002) memaparkan, tipe iklim B1 sesuai untuk ditanami padi terus menerus dengan perencanaan musim tanam yang baik. PH3, PH4, PH5, dan PH11 termasuk kedalam tipe iklim E yang berarti wilayah ini sangat kering, hanya dapat ditanami satu kali palawija (tergantung adanya hujan). PH10 dan PH13 termasuk kedalam tipe iklim A1 dan sangat sesuai untuk ditanami padi terus menerus dan tiga wilayah sisanya masuk kedalam tipe iklim C1, D1, dan D4.

Tabel 2 Curah hujan bulanan per wilayah No Pos Hujan Curah Hujan (mm/bulan) Jumlah Bulan Basah Jumlah Bulan Kering Tipe Iklim 1 PH1 118-441 9 0 B1 2 PH2 144-394 9 0 B1 3 PH3 60-179 0 2 E2 4 PH4 32-302 2 5 E3 5 PH5 20-191 0 6 E4 6 PH6 101-245 3 0 D1 7 PH7 143-389 9 0 B1 8 PH8 149-418 9 0 B1 9 PH9 140-313 6 0 C1 10 PH10 196-444 11 0 A1 11 PH11 42-251 2 5 E3 12 PH12 27-463 3 7 D4 13 PH13 184-402 10 0 A1 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 C u r a h Hu ja n ( m m ) Bulan PH1 PH2 PH3 PH4 PH5 PH6 PH7 PH8 PH9 PH10

17 Interpolasi Data Curah Hujan Tahunan dengan ANN

Kelengkapan data curah hujan sangat dibutuhkan dalam analisis hidrologi. Curah hujan di lokasi penelitian memiliki keterbatasan data. Hanya 5 dari 13 pos hujan yang memiliki data curah hujan tahunan lengkap selama 14 periode (Lampiran 4,5,7,11, dan 13). Data curah hujan tahunan yang lengkap dimiliki oleh PH1, PH2, dan PH8 yang terletak di Kabupaten Bogor, PH4 yang terletak di Kabupaten Tanggerang, dan PH10 yang terletak di Kota Bogor.

Selanjutnya 5 data tersebut digunakan pada proses pembelajaran

(trainning) ANN untuk mendapatkan estimasi data hujan baru pada setiap

tahunnya (2000-2013). Validasi dilakukan untuk mengetahui korelasi curah hujan observasi dan estimasi yang ditunjukkan oleh koefisien determinasi (R2) sebesar 0,97 (Gambar 15). Gunawan dan Linarka (2011) menyebutkan jika korelasi mendekati ±1 maka hubungan antara kedua peubah sangat erat. Hal ini menunjukkan bahwa ANN mampu mempelajari hubungan antara koordinat dan elevasi pos hujan dengan curah hujan.

Gambar 15 Korelasi curah hujan observasi dan estimasi

Uji sensitifitas menggunakan analyse-it merupakan add-ins pada ms.excel. Hasil yang diperoleh menunjukkan rsq sebesar 0,56. Nilai rsq selanjutnya digunakan sebagai critical value, merupakan batas untuk hasil korelasi. Korelasi antara X dan curah hujan sebesar 0,80 (Gambar 16a). Nilai ini melebihi critical

value, sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan uji sensitivitas antara

koordinat dan elevasi terhadap curah hujan, input data yang yang berpengaruh adalah bujur (X).

Gambar 16 Hasil uji sensitifitas antara curah hujan dengan (a) X, (b) Y, dan (c) Z

y = 1.0056x - 13.548 R² = 0.9723 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 0 2000 4000 6000 8000 C u rah h u jan o b ser v asi (m m )

18

Curah hujan di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh letak geografis dan curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat (Indrabayu et al.

2012). Pergerakan matahari terhadap posisi lintang yang menyebabkan perubahan pola angin dan tekanan mempengaruhi variasi curah hujan (Sinambela et al. 2008). Pratama (2011) menyebutkan bahwa faktor jarak, ketinggian, dan kelerengan mempengaruhi pembentukan awan menjadi curah hujan.

Data curah hujan tahunan yang tidak lengkap diestimasi dengan program

Backpropogation neural network. Nilai pembobot hasil proses pembelajaran

(trainning) digunakan pada proses testing data (estimasi data curah hujan tahunan) sehingga dihasilkan data curah hujan tahunan lengkap (Tabel 3). Curah hujan hasil estimasi pada Tabel 3 ditandai dengan warna angka yang lebih tebal.

Selain dapat digunakan untuk mengestimasi curah hujan tahunan, pembobot yang dihasilkan dapat digunakan kembali untuk mendapatkan interpolasi hujan pada grid (sebaran koordinat dan elevasi) dengan input koordinat (X dan Y) dan elevasi (Z) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17a. Penelitian serupa pernah dilakukan Bagiawan (2013) dan Hadi (2006) dalam pembagian data curah hujan dari menjadi grid-grid.

Tabel 3 Data curah hujan tahunan hasil estimasi ANN

Pos Hujan

Data Curah Hujan Tahunan (mm)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 PH 2594 2804 3433 1982 3771 3482 2731 4187 3471 4376 6081 2674 3055 3818 PH2 2454 1887 2817 2796 2751 1681 2152 3967 4310 4020 5118 2142 2944 3973 PH3 2416 955 3301 2082 1171 1676 2907 3237 1937 1781 1725 1236 2315 858 PH4 956 1298 1944 1121 1478 1599 944 2019 1386 1852 1966 1333 1304 2359 PH5 1580 1231 3124 1737 1480 1049 1278 1373 829 795 407 1126 77 127 PH6 1830 1934 2720 2231 2407 2261 1554 1529 2093 2806 3578 2761 3078 3969 PH7 2421 3530 3201 2418 2594 3344 2870 3540 3615 3284 3794 1998 2741 3538 PH8 2031 2708 3215 3004 2848 3258 3327 4189 3678 3472 4206 2848 3929 4232 PH9 2278 2021 2791 3212 3514 2126 1547 2354 3457 3185 3626 2767 3087 3972 PH10 3646 3253 4484 3886 3945 4674 3561 3131 4142 3542 5357 3011 3950 4980 PH11 1152 1344 3433 1320 1532 1664 1311 1527 1761 2132 2192 1722 1988 2906 PH12 713 1064 1801 1357 2008 1870 678 2285 1724 1701 1842 1171 1108 2193 PH13 2727 2782 3643 3308 4221 4929 2991 3772 4039 3498 4051 2842 3551 3993

Sebanyak 170 grid digunakan untuk interpolasi sebaran hujan dan setiap

grid memiliki jarak 3 km. Hal ini didasarkan karena pada konsep spasial, semua titik harus memiliki nilai. Hermawan (2010) menyebutkan, perilaku curah hujan dapat dianalisis menggunakan data iklim dari pos hujan, tetapi untuk analisis spasial sangat ditentukan oleh kerapatan jaringan penakar hujan. Perbedaan warna (Gambar 17b) menunjukkan variasi jumlah curah hujan pada suatu grid. Daerah hulu memiliki nilai curah hujan lebih tinggi dibandingkan daerah hilir. Elevasi pada daerah hulu lebih besar dibandingkan hilir. Hal ini menunjukkan bahwa elevasi memberikan pengaruh kepada curah hujan yang terjadi. Galván et al. (2014) menggunakan ketinggian dari pos pengukuran hujan sebagai salah satu masukan pada SWAT (Soil and Water Assessment Tool) untuk melihat pengaruh elevasi terhadap jumlah curah hujan yang terjadi pada tipe hujan orografik.

19

(a) (b)

Gambar 17 (a) Peta pembagian grid untuk interpolasi dan (b) hasil interpolasi dengan ANN

Peta sebaran hujan dapat dihasilkan dari interpolasi menggunakan metode

Inverse Distance Weighted (IDW) ataupun Kriging. Kedua metode tersebut

memiliki kelebihan dan kekurangan. Pramono (2008) menyebutkan bahwa pada metode IDW, hasil interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang terdekat, sedangkan pada metode Kriging hasil interpolasi akan memiliki korelasi terhadap jarak dan orientasi antara data sampel. Kolaborasi antara hasil data ANN dan ArcGis dapat memberikan gambaran mengenai sebaran curah hujan secara spasial dengan input koordinat dan elevasi.

Gambar 18 a dan b menunjukkan bahwa hasil interpolasi ANN (Gambar 17b) dapat digunakan untuk menggambarkan sebaran hujan baik dengan IDW dan Kriging. Data ini merupakan hasil curah hujan tahunan. Daerah dengan warna hijau tua merupakan daerah dengan curah hujan tertinggi diantara daerah lainnya. Jika dikaitkan dengan konservasi air maka daerah tersebut berpotensi menjadi daerah resapan dan daerah dengan warna merah perlu diwaspadai sebagai daerah dengan potensi kekeringan.

(a) (b)

Gambar 18 Peta sebaran hujan dengan (a) IDW dan (b) Kriging Curah Hujan DAS Cisadane

Rata-rata aritmatik

Perhitungan aritmatik dipandang sebagai perhitungan curah hujan kawasan paling sederhana. Tikno (2000) menggunakan perhitungan dengan aritmatik

20

dalam penentuan curah hujan wilayah DAS Riam Kanan. Persamaan 3 digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata aritmatik. Data curah hujan tahunan akumulasi dari seluruh pos hujan dibagi dengan jumlah pos hujan. Hasil perhitungan ini kurang representatif untuk menggambarkan curah hujan karena hanya membagi jumlah curah hujan dengan jumlah pos hujan. Namun Bayraktar

et al. (2005), menyebutkan perhitungan dengan aritmatik efektif digunakan pada

kejadian hujan ekstrim.

Hasil perhitungan rata-rata arimatik dapat dilihat pada Lampiran 18. Curah hujan tertinggi dengan perhitungan ini terjadi pada tahun 2010 sebesar 3251 mm dan terendah pada tahun 2000 sebesar 1752 mm (Gambar 19).

Gambar 19 Curah hujan tahunan DAS Cisadane dengan rata-rata aritmatik Poligon Thiessen

Poligon thiessen merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata wilayah walaupun masih memiliki kekurangan karena tidak memasukkan pengaruh topografi. Poligon thiessen dihasilkan dengan menganggap bahwa setiap pos pengukuran dalam suatu daerah memiliki luas pengaruh tertentu dan luas tersebut merupakan koreksi bagi curah hujan pos pengukuran menjadi curah hujan daerah yang bersangkutan.

Gambar 20 menunjukkan hasil dari poligon thiessen pada masing-masing pos pengukuran. Daerah poligon terbesar terdapat pada pos hujan 1 (Pasir Jaya) dengan luas 217,6 km2. Luas suatu poligon bukan merupakan faktor penentu dari besarnya curah hujan wilayah, tapi dipengaruhi juga oleh besarnya hujan yang tercatat. Perhitungan curah hujan DAS Cisadane dengan menggunakan poligon thiessen dapat dilihat dalam Lampiran 19. Overlay peta administrasi dan peta poligon thiessen menghasilkan pembagian wilayah hujan berdasarkan hasil poligon thiessen (Lampiran 21).

1752 3251 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 C u rah h u jan ( m m ) Tahun

21

Gambar 20 Peta pembagian poligon thiessen DAS Cisadane

Pergerakan curah hujan selama 14 periode (2000-2013) berfluktuasi setiap tahunnya. Curah hujan terendah terjadi pada tahun 2000 sebesar 1733 mm dan tertinggi sebesar 3290 mm pada tahun 2010 (Gambar 21).

Gambar 21 Curah hujan tahunan DAS Cisadane dengan poligon thiessen Isohyet

Isohyet merupakan garis-garis imajiner menggambarkan curah hujan yang serupa pada suatu daerah. Peta isohyet digunakan untuk melihat penyebaran hujan secara keruangan contohnya dalam mengidentifikasi daerah yang berpeluang menyebabkan banjir (Nugroho 2002). Peta ini merupakan hasil interpolasi spasial dari data curah hujan (Setiawan dan Rohmat 2011). Metode interpolasi spasial yang digunakan adalah IDW (Inverse Distance Weighted).

1733 3290 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 C u rah h u jan ( m m ) Tahun

22

Gambar 22 Peta sebaran isohyet pada DAS Cisadane

Kontur dengan nilai tinggi menunjukkan curah hujan tinggi di daerah tersebut. Kontur tertinggi diwakili oleh warna hijau dan terendah diwakili oleh warna merah (Gambar 22). Pada Gambar 22 terlihat jelas daerah-daerah yang memiliki kontur hujan tinggi setiap tahunnya.

Luas daerah antar kontur dari peta isohyet digunakan untuk mendapatkan curah hujan DAS Cisadane dengan menggunakan Persamaan 5. Hasil perhitungan dengan isohyet dapat dilihat pada Lampiran 20. Curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar 3323 mm dan 1760 mm pada tahun 2000 (Gambar 23).

23

Gambar 23 Curah hujan tahunan DAS Cisadane dengan isohyet

Hasil dari ketiga perhitungan curah hujan DAS Cisadane di atas terlihat jelas bahwa curah hujan tertinggi selama 14 periode (2000-2013) terjadi pada tahun 2010 dan terendah pada 2000. Curah hujan tinggi berpotensi menjadi cadangan air tanah, tetapi jika tidak diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan sumber daya air yang baik akan berdampak buruk yaitu berpotensi menyebabkan banjir, sedangkan curah hujan yang rendah rentan terhadap dampak kekeringan. Informasi mengenai curah hujan maksimum dengan periode ulang tertentu dibutuhkan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya air. Metode Gumbel merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam penentuan periode ulang curah hujan maksimum (Basuki et al. 2009). Penentuan periode ulang pada penelitian ini menggunakan metode Gumbel. Mudjonarko (2009) menyebutkan bahwa periode ulang merupakan periode dimana suatu curah hujan dengan besar yang sama dapat berulang kembali dalam periode tertentu. Besarnya curah hujan maksimum melebihi 3200 mm. Nilai ini mengikuti periode ulang 10 tahunan (Tabel 4).

Tabel 4 Periode ulang curah hujan tahunan maksimum DAS Cisadane Periode Ulang Rata-rata

Aritmatik Poligon Thiessen Isohyet

2 2371 2306 2372 5 2859 2795 2850 10 3181 3119 3166 25 3589 3528 3566 50 3891 3831 3862 100 4192 4133 4157 200 4491 4433 4450 1000 5184 5128 5129 1760 3323 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 C u rah h u jan ( m m ) Tahun

24

Dokumen terkait